Anda di halaman 1dari 89

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan di Indonesia dalam sektor ekonomi pada dasarnya tidak dapat

dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang

melakukan kegiatan ekonomi. Dalam perkembangannya, tersedianya sumber dana

merupakan faktor yang paling dominan sebagai motor penggerak kegiatan usaha.

Setiap organisasi ekonomi dalam bentuk apapun dan dalam skala apapun selalu

membutuhkan dana yang cukup agar laju kegiatan usahanya dapat berjalan sesuai

perencanaan. Kebutuhan dana tersebut adakalanya dapat dipenuhi sendiri sesuai

dengan kemampuan tetapi adakalanya pula tidak dapat dipenuhi sendiri. 1 Untuk

itu dibutuhkan bantuan dari pihak lain yang bersedia menyediakan dana sesuai

dengan tingkat kebutuhan dengan cara meminjam kepada pihak lain atau dengan

kata lain “berutang.”

Perusahaan sebagai pihak yang membutuhkan dana merupakan suatu badan

usaha/lembaga yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus-

menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara

Indonesia dengan tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba. Keuntungan atau

laba tersebut diperoleh dengan menjalankan dan mengembangkan perusahaan

sesuai dengan bentuk dan kegiatan usahanya.2

1
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnnya, (Jakarta: Raja Grapindo Persada,
2010), hlm. 269
2
Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, (Jakarta:
Salemba Empat, 2008), hlm. 222

1
Kebutuhan perusahaan akan dana tambahan dapat diperoleh dengan

melakukan perjanjian peminjaman dana dengan pemilik dana. Pihak yang

memberikan pinjaman dana disebut kreditor atau si berpiutang sedangkan pihak

yang menerima pinjaman dana disebut dengan debitor atau si berutang. Pemberian

pinjaman oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena adanya kepercayaan

bahwa debitor dapat mengembalikan pinjaman tersebut kepada kreditor tepat

pada waktunya. Kreditor tidaklah mungkin mau memberikan pinjaman kepada

debitor tanpa adanya kepercayaan dari kreditor.3

Kegiatan pinjam-meminjam pada umumnya sering dipersyaratkan adanya

penyerahan jaminan utang oleh pihak debitor kepada kreditor. Jaminan utang

dapat berupa barang (benda) yang disebut jaminan kebendaan dan dapat berupa

janji penanggungan utang yang disebut jaminan perorangan. 4 Jaminan perorangan

atau yang disebut Personal Guarantor merupakan pernyataan kesanggupan yang

diberikan oleh pihak ketiga untuk menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban

debitor kepada kreditor apabila debitor yang bersangkutan wanprestasi.5

Dalam perkembangannya sebuah perusahaan atau badan hukum

memberikan garansi kepada kreditor tidak hanya Personal Guarantor melainkan

pula berupa corporate guarantee. Jaminan immaterial terdiri dari corporate

guarantee (jaminan perusahaan) atau Personal Guarantor (jaminan perorangan)

sebagai penanggung untuk menjamin kepada kreditor dalam pelunasan utang

3
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2010), hlm. 2.
4
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 2.
5
Supianto, Hukum Jaminan Fidusia – Prinsip Publisitas pada Jaminan Fidusia,
(Yogyakarta: Garudhawaca, 2015), hlm. 71.

2
debitor. Jaminan perorangan atau Personal Guarantor diatur dalam Buku III Bab

17 Pasal 1820-1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Selanjutnya disingkat

KUH Perdata).6

Menurut ketentuan Pasal 1831 dan 1837 KUH Perdata, penjamin atau yang

disebut dengan Personal Guarantor berhak untuk menuntut agar debitor ditagih

terlebih dahulu, bilamana ada kekurangan barulah kekurangan tersebut ditagih

kepada penjamin. Jika ada penjamin lainnya, utang tersebut dipecah-pecah atau

dibagi di antara para penjamin.7 Kreditor dapat memberikan peringatan tertulis

kepada debitor apabila pada waktu yang telah ditentukan debitor tidak dapat

membayar dan melunasi pinjamannya. Peringatan tertulis atau yang disebut

sommatie berisi pernyataan bahwa debitor wajib memenuhi prestasi dalam waktu

yang ditentukan dan jika dalam waktu tersebut debitor tidak dapat memenuhinya,

maka debitor dinyatakan telah lalai atau wanprestasi.8 Dalam hal debitor lalai atau

wanprestasi, maka kreditor dapat menuntut penjamin dengan dasar Pasal 1831 dan

1837 KUH Perdata.

Dalam hal setelah ditagih debitor tidak dapat memenuhi kewajibannya,

maka kreditor dapat menempuh upaya lain, yaitu dengan menuntut pelunasan

kepada penjamin. Jika debitor dan penjamin tidak pula memenuhi kewajibannya,

maka kreditor dapat mengajukan upaya hukum gugatan ganti kerugian kepada

debitor dan penjamin. Dalam hal debitor dan penjamin memiliki utang kepada dua

kreditor atau lebih dan salah satunya telah jatuh tempo, maka cukup alasan bagi
6
Siti Anisah, “Personal Guarantor Corporate Guarantee dalam Putusan Peradilan
Niaga”, Jurnal Hukum, Februari Vo. 9 No.19 tahun 2002, hlm. 51.
7
Thomas Suyatno, dkk, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2007), hlm. 94.
8
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2010), hlm. 242.

3
kreditor mengajukan upaya permohonan pailit kepada pengadilan niaga. 9

Kepailitan diatur dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat

UUK-PKPU).

Pailit merupakan suatu keadaan di mana debitur tidak mampu untuk

melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para krediturnya.

Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi

keuangan dan usaha debitur yang telah mengalami kemunduran. 10 Sedangkan

kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas

seluruh kekayaan debitur pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di

kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di

bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil

penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitur pailit

tersebut secara proporsional dan sesuai dengan struktur kreditur.

Kepailitan akan membawa dampak yang besar dan penting terhadap

perekonomian suatu negara yang dapat mengancam kerugian perekonomian

negara yang bersangkutan. Kerugian tersebut ditimbulkan akibat banyaknya

perusahaan-perusahaan yang menghadapi ancaman kesulitan membayar utang-

utangnya terhadap para krediturnya. Untuk menghindari terjadinya penetapan

kepailitan oleh pengadilan dengan suatu keputusan hakim yang tetap, maka akan

dilakukan suatu upaya hukum yang dapat menyeimbangi keberadaan dan fungsi

hukum kepailitan itu sendiri, yaitu dengan dilakukannya Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (selanjutnya disebut PKPU). PKPU dapat diajukan oleh

9
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Jakarta : PT. Sofmedia, 2010), hlm. 205
10
Ibid.

4
debitur maupun kreditur yang memiliki itikad baik, dimana permohonan

pengajuan PKPU harus diajukan sebelum diucapkannya putusan pernyataan

pailit.11

Berdasarkan Pasal 222 ayat 2 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004

(selanjutnya disebut UUK dan PKPU), debitur yang tidak dapat atau

memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-

utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan

kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana

perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang

kepada kreditur.

Istilah lain dari PKPU ini adalah suspension of payment atau Surseance van

Betaling, maksudnya adalah suatu masa yang diberikan oleh undang-undang

melalui putusan hakim niaga di mana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur

dan debitur diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran

utangnya dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian

utangnya, termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi utangnya tersebut.12

PKPU adalah penawaran rencana perdamaian oleh debitur yang merupakan

pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-

utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utangnya

kepada kreditur.13

PKPU akan membawa akibat hukum terhadap segala kekayaan debitur,

dimana selama berlangsungnya PKPU, debitur tidak dapat dipaksakan untuk

11
Hartini Rahayu, Hukum Kepailitan Edisi Revisi Berdasarkan UU No 37 tahun 2004,
(Malang: UPT Percetakan Universitas Muhammadiyah, 2008), hlm. 221.
12
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Bandung : Citra Aditya Bakti,
1999), hlm. 15.
13
Ibid.

5
membayar utang-utangnya, dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk

memperoleh pelunasan utang harus ditangguhkan.

Hal ini menjadi penting karena Personal Guarantor sebagai pihak ketiga

selaku penjamin utang beperan sebagai debitur yang mempunyai kedudukan

istimewa dalam hal dikabulkannya permohonan PKPU serta akibat hukum

terhadap Personal Guarantor ketika permohonan PKPU diterima. Berdasarkan

uraian di atas, maka penulis mengkaji masalah tersebut dengan mengambil judul

“Akibat Hukum Terhadap Personal Guarantor Dalam Hal Dikabulkannya

Permohonan PKPU (Studi Putusan No.

165/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst)”

B. Perumusan Masalah

Adapun permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Bagaimana Proses Pengajuan Permohonan PKPU di Pengadilan Niaga?

2. Bagaimana Kewajiban Personal Guarantor Sebagai Utang yang Dapat

Dimohonkan Pailit?

3. Bagaimana Akibat Hukum Terhadap Personal Guarantor dalam Hal

Dikabulkannya Permohonan PKPU ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas

maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

6
1. Untuk mengetahui proses pengajuan permohonan PKPU di Pengadilan

Niaga.

2. Untuk mengetahui kewajiban Personal Guarantor sebagai utang yang

dapat dimohonkan pailit.

3. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap Personal Guarantor dalam hal

dikabulkannya permohonan PKPU.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penulisan yang diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut :

1. Secara Teori

Secara teoritis, pembahasan mengenai Akibat Hukum Terhadap

Personal Guarantor Dalam Hal Dikabulkannya Permohonan PKPU

(Studi Putusan No. 165/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst) ini akan

memberikan pemahaman dan pengetahuan baru bagi para pembaca

mengenai akibat hukum dikabulkannya permohonan PKPU terhadap

Personal Guarantor.

2. Secara Praktik

Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi siapa

saja yang ingin mengetahui lebih jauh PKPU dan Personal Guarantor,

khususnya tentang akibat hukum dikabulkannya permohonan PKPU,

termasuk praktisi hukum.

7
E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik dari

hasil penelitian yang masih ada maupun yang sedang dilakukan di lingkungan

Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Akibat Hukum Terhadap

Personal Guarantor Dalam Hal Dikabulkannya Permohonan PKPU (Studi

Putusan No. 165/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst) belum pernah dilakukan

oleh peneliti lain sebelumnya. Sehubungan dengan keaslian Judul ini, peneliti

telah melakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi ini belum pernah diteliti

oleh orang lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara dalam berbagai tingkat

kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat, maka peneliti akan bertanggung jawab

sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Istilah dan Pengertian Jaminan Perorangan

Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht. Ada juga yang

menyebutkan dengan istilah jaminan immateril. Pengertian jaminan

perorangan dapat dilihat dari berbagai pandangan dan pendapat para ahli.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengartikan jaminan immateril

(perorangan) adalah: Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada

perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu,

terhadap harta kekayaan debitur umumnya.14

14
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan Dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm. 77.

8
Unsur jaminan perorangan, yaitu:

a. Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu;

b. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;

c. Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.

Soebekti mengartikan jaminan perorangan adalah: “suatu perjanjian

antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin

dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di

luar (tanpa) si berhutang tersebut”. 15

Soebekti mengkaji jaminan perorangan dari dimensi kontraktual antara

kreditur dengan pihak ketiga.16 Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa

maksud adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si

berhutang, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu

bagian tertentu, harta benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan

dilelang menurut ketentuan perihal pelaksanaan eksekusi putusan

pengadilan.

2. Jenis jaminan perorangan

Jaminan perorangan dapat dibagi menjadi 4 macam, yaitu:17

a. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih;

b. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng;

dan

c. Akibat hak dari tanggung renteng pasif:

1) Hubungan hak yang bersifat ekstern: hubungan hak antara

para debitur dengan pihak lain (kreditur).

15
R. Soebekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 163.
16
Ibid.
17
Ibid.

9
2) Hubungan hak yang bersifat intern: hubungan hak antara

sesama debitur itu satu dengan yang lainnya.

d. Perjanjian garansi (Pasal 1316 KUHPerdata), yaitu

bertanggungjawab guna kepentingan pihak ketiga.

3. Pengertian dan sifat penanggungan utang

Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal 1820 sampai

dengan Pasal 1850 KUHPerdata. Yang diartikan dengan penanggungan

adalah:18 “Suatu perjanjian, di mana pihak ketiga, demi kepentingan

kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila

debitur itu tidak memenuhi perikatannya” (Pasal 1820 KUHPerdata).

Apabila diperhatikan defenisi tersebut, maka jelaslah bahwa ada 3 pihak

yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur,

debitur, dan pihak ketiga. Kreditur disini berkedudukan sebagai pemberi

kredit atau orang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang

mendapat pinjaman uang atau kredit dari kreditur. Pihak ketiga adalah orang

yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur, manakala

debitur tidak memenuhi prestasinya.

Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat accesoir

(tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian pinjam uang

antara debitur dengan kreditur19. Juga dari beberapa ketentuan Undang-

Undang dapat disimpulkan bahwa perjanjian penanggungan adalah bersifat

accesoir, dalam arti senantiasa dikaitkan dengan perjanjian pokok :

a. Tak ada penanggungan tanpa adanya perutangan pokok yang sah.

18
Pasal 1820 KUH Perdata
19
H. Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), hlm. 217.

10
b. Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya perutangan

pokok.

c. Penanggungan berhak mengajukan tangkisan-tangkisan yang

bersangkutan dengan perutangan pokok.

d. Beban pembuktian yang tertuju pada si berhutang dalam batas-batas

tertentu mengikat juga sipenanggung.

e. Penanggungan pada umumnya akan hapus dengan hapusnya

perutangan pokok.20

Seorang penanggung (borg, guarantor) tidak dapat mengikatkan diri

untuk lebih, maupun dengan syarat-syarat yang lebih berat daripada

perikatannya si berutang. Adapun penanggungan boleh diadakan untuk

hanya sebagian saja dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang kurang.

Jika penanggungan dilakukan lebih dari utangnya, atau dengan syarat-syarat

yang lebih berat, maka perikatannya itu tidak sama sekali batal, melainkan

ia adalah sah hanya untuk apa yang diliputi oleh perikatan pokoknya. 21

Demikianlah bunyi Pasal 1822 KUH Perdata. Apa yang ditetapkannya itu

hanyalah suatu konsekuensi yang logis lagi dari sifatnya sebagai

penanggungan sebagai suatu perjanjian accessoir. Perikatan-perikatan

dalam suatu perjanjian yang sifatnya mengabdi kepada suatu perjanjian

pokok, tidak bisa melebihi perikatan-perikatan yang diterbitkan oleh


22
perjanjian pokok itu.

Penanggungan utang tidak dipersangkakan, tetapi harus diadakan

dengan pernyataan yang tegas, tidaklah diperbolehkan untuk memperluas

20
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hlm. 82.
21
Ibid.
22
Ibid., hlm. 83

11
penanggungan hingga melebihi ketentuan-ketentuan yang menjadi syarat

sewaktu mengadakannya (Pasal 1824 KUHPerdata). Ketentuan Pasal ini

tidaklah mengandung arti bahwa penanggungan harus diadakan secara

tertulis. Ia boleh diadakan secara lisan; adalah beban dari kreditor untuk

membuktikan sampai dimana kesanggupan si penanggung. Kewajiban si

penanggung tidak boleh diperluas hingga melebihi apa yang menjadi

kesanggupannya.

G. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian dilakukan sebagai berikut:

1. Spesifikasi penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini

adalah penelitian hukum normatif. Jenis penelitian hukum normatif

adalah penelitian yang ditujukan untuk mengkaji kualitas dari norma

hukum itu sendiri berdasarkan pada peraturan-peraturan tertulis atau

bahan-bahan hukum yang lain.23 Sebagai penelitian normatif atau

perpustakaan disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap

data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. Penelitian ini dikaji

berdasarkan peraturan perundang-undangan antara lain : Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang

Perseroan terbatas, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.24

23
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2011), hlm. 111
24
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002),
hlm. 13.

12
Pendekatan penelitian dalam menyusun skripsi ini adalah

pendekatan Yuridis dengan menganalisis permasalahan dalam penelitian

melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, pendekatan terhadap

sistematika hukum, pendekatan sinkronisasi hukum, sejarah hukum, serta

perbandingan hukum.25

2. Data Penelitian

Materi dalam penelitian ini diambil dari data data sekunder yang

diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang bertujuan

untuk mendapatkan konsep, teori-teori dan informasi serta pemikiran

konseptual baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah

lainnya. Adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah:26

a. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang

terkait antara lain :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas

3) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

4) Putusan No. 165/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst

b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan

judul skripsi, artikel-artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,

sebagainya yang diperoleh melalui media cetak maupun media

elektonik.

25
Ibid, hlm. 14.
26
Bambang Sunggono, Op.Cit., hlm. 113.

13
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang memberi petunjuk-

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum perimer dan bahan

hukum sekunder, seperti : kamus hukum, dan bahan-bahan lain yang

relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang

dibutuhkan dalam menyusun skripsi ini.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dari skripsi ini dilakukan melalui teknik studi

pustaka (library research), yaitu penelitian dengan mengumpulkan data

dan meneliti melalui sumber bacaan yang berhubungan dengan judul

skripsi ini, yang bersifat ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar

dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.

Teknik ini dipergunakan untuk mengumpulkan data sekunder.

Penelitian yang dilakukan dengan membaca serta menganalisa

peraturan Perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti

karya ilmiah para sarjana, internet, maupun sumber teoritis lainnya

yang berkaitan dengan materi skripsi yang penulis ajukan.

4. Analisis data

Metode analisis data yang digunakan penulis adalah metode

kualitatif dimana data yang diperoleh kemudian disusun secara

sistematis selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai

kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan

dalam bentuk skripsi. Penggunaan metode kualitatif akan menghasilkan

data yang bersifat deskriptif analitis. Pengertian analisis disini

dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara

14
logis, sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara berfikir deduktif-

induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan-laporan

penelitian ilmiah. Setelah dianalisis data selesai maka hasilnya akan

disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan

menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

Spesifikasi penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian

hukum ini adalah dekriptif analitis. Deskriptif yaitu bahwa penelitian

ini dilakukan dengan melukiskan obyek penelitian berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan bertujuan memberikan gambaran

suatu obyek yang menjadi masalah dalam penelitian. 27 Dari hasil

tersebut kemudian ditarik suatu kesimpulan yang merupakan jawaban

atas permasalahan ini. Mempergunakan metode kualitatif tidak semata-

mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran saja, tetapi juga

memahami kebenaran tersebut.28

H. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus

disusun secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka

diperlukan adanya penguraian dalam bab per bab secara teratur dan berkaitan satu

sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang pada pokoknya menguraikan

27
Sukardi, Metodelogi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2003), hlm. 14.
28
H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II , (Surakarta: UNS Press, 1998),
hlm. 24.

15
tentang latar belakang pengangkatan judul skripsi,

perumusan masalah yang menjadi pokok pembahasan

dalam bab pembahasan, tujuan dan manfaat penulisan,

keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode

penalitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAAN

KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA

PENGADILAN NIAGA

Berisikan tentang Pengertian PKPU dan Perbedaannya

dengan Kepailitan, Syarat Permohonan PKPU, Prosedur

Pengajuan PKPU, PKPU Sementara dan PKPU Tetap,

Perdamaian dalam PKPU, Berakhirnya PKPU dan Akibat

PKPU terhadap Harta Kekayaan.

BAB III KEWAJIBAN PERSONAL GUARANTOR SEBAGAI

UTANG YANG DAPAT DIMOHONKAN PAILIT

Bab ini berisikan definisi Personal Guarantor menurut

Undang-Undang dan Para Ahli, hubungan Keperdataan

Kreditur, Debitur, dan Personal Guarantor, Pihak yang

Dapat Menjadi Personal Guarantor, Sifat dari Personal

Guarantor

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP PERSONAL

GUARANTOR DALAM HAL DIKABULKANNYA

PERMOHONAN PKPU PADA PUTUSAN NO.

165/PDT.SUS-PKPU/2018/PN.NIAGA.JKT.PST.

16
Berisikan tentang penjelasan Legal Standing dalam

Permohonan Pailit terhadap Personal Guarantor, Posisi

Kasus, Akibat Hukum Terhadap Personal Guarantor dalam

Hal Dikabulkannya Permohonan PKPU Pada Putusan No.

165/PDT.SUS-PKPU/2018/PN.NIAGA.JKT.PST.

BAB V Bagian penutup yang sekaligus merupakan bab terakhir

dalam penulisan skripsi ini yang mengemukakan mengenai

kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan pembahasan

yang sebelumnya dalam skripsi ini.

17
BAB II

PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA

A. Pengertian PKPU dan Perbedaannya dengan Kepailitan

Dalam hukum kepailitan dikenal 2 macam perdamaian yaitu perdamaian

yang diajukan dalam proses kepailitan dan perdamaian dalam proses PKPU.

Dalam proses kepailitan, permohonan perdamaian diajukan pada saat

verifikasi. Sedangkan dalam PKPU diajukan sebelum Debitor dinyatakan

pailit. Bila Debitor dalam proses PKPU menawarkan perdamaian dan ditolak

oleh Kreditor, maka perdamaian tersebut tidak dapat ditawarkan lagi dalam

proses kepailitan.29

Debitor dalam melaksanakan kewajibannya terhadap kreditor terkadang

melakukan kelalaian yang mungkin disebabkan oleh faktor kesengajaan

(ketidakmauan) juga dapat disebabkan oleh keterpaksaan (ketidakmampuan).

Untuk menghadapi permasalahan tersebut, hukum di Indonesia menyiapkan

dua cara penyelesaiannya yaitu dengan cara:30

1. Melalui Kepailitan

29
Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hlm. 21
30
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, (Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2001), hlm. 101.

18
2. Melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

3. Gugatan Perdata biasa

4. Arbitrase dan Mediasi

Menurut Man S. Sastrawidjaja terdapat beberapa upaya yang dapat

dilakukan debitor untuk menyelesaikan masalah perutangannya yakni dengan

cara:31

1. Mengadakan perdamaian di luar pengadilan dengan para

kreditornya

2. Mengadakan perdamaian di dalam Pengadilan apabila debitor tersebut

digugat secara perdata

3. Mengajukan permohonan PKPU

4. Mengajukan perdamaian dalam PKPU

5. Mengajukan penetapan agar dirinya dinyatakan pailit oleh

pengadilan

6. Mengajukan perdamaian dalam kepailitan

PKPU adalah wahana yuridis-ekonomis yang disediakan bagi debitor

untuk menyelesaikan kesulitan finansialnya agar dapat melanjutkan

kehidupannya. Pada dasarnya PKPU merupakan suatu cara untuk menghindari

kepailitan yang biasanya berujung pada likuidasi harta kekayaan debitor.32

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 222 ayat 2 Undang-Undang No. 37

Tahun 2004, debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat

31
Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, Edisi I, (Bandung: Alumni, 2006), hlm. 201-202
32
Fred B. G. Tumbuan, Ciri-Ciri Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Sebagaimana Dimaksud dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan, terdapat dalam Rudhy A.
Lontoh, et.al., Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, (Bandung: Alumni, 2001), hlm. 243.

19
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan

maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi

tawaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren.

Permohonan PKPU tidak hanya untuk kepentingan debitor semata, namun

juga merupakan kepentingan bagi kreditor. Terjadinya kepailitan terhadap

debitor akan mengakibatkan berkurangnya nilai perusahaan yang berujung pada

kerugian kreditor.33 Dengan diberinya waktu dan kesempatan kepada debitor,

maka dengan cara reorganisasi ataupun restrukturisasi utang-utangnya debitor

dapat kembali melanjutkan usahanya.

Terdapat beberapa perbedaan antara PKPU dengan Kepailitan, yakni:

1. Upaya Hukum

a. Kepailitan

Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit dapat

diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat (1) UUK dan

PKPU). Selain itu terhadap putusan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap dapat diajukan peninjauan kembali ke

Mahkamah Agung (Pasal 14 UUK dan PKPU).

b. PKPU

Tidak dapat diajukan upaya hukum (Pasal 235 ayat (1) UUK dan

PKPU).

2. Yang melakukan pengurusan harta debitor

a. Kepailitan

Kurator (Pasal 1 angka 5, Pasal 15 ayat (1) UUK dan PKPU)


33
Ibid.

20
b. PKPU

Pengurus (Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) UUK dan PKPU)

3. Kewenangan Debitor

a. Kepailitan

Sejak tanggal putusan pailit diucapkan, debitor kehilangan hak untuk

menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta

pailit (Pasal 24 ayat (1) UUK dan PKPU)

b. PKPU

Debitor masih dapat melakukan pengurusan terhadap hartanya

selama mendapatkan persetujuan dari pengurus (Pasal 240 UUK dan

PKPU)

4. Jangka waktu penyelesaian

a. Kepailitan

Setelah putusan pailit oleh pengadilan niaga tidak ada batas waktu

tertentu untuk penyelesaian seluruh proses kepailitan.

b. PKPU

PKPU dan perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 hari setelah

putusan PKPU sementara diucapkan (Pasal 228 ayat (5) UUK dan

PKPU).

B. Syarat Permohonan PKPU

Pengajuan PKPU ditujukan kepada pengadilan niaga dengan melengkapi

persyaratan berikut:34

34
Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip,Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:
Kencana, 2015), hlm. 148.

21
1. Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua pengadilan

niaga setempat yang ditandatangani oleh debitor dan penasihat hukumnya;

2. Surat kuasa khusus asli untuk mengajukan permohonan (penunjukan kuasa

pada orangnya bukan pada law-firm-nya);

3. Izin advokat yang dilegalisir;

4. Alamat dan identitas lengkap para kreditor konkuren disertai jumlah

tagihannya masing-masing pada debitor;

5. Financial report; dan

6. Lampirkan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh

atau sebagian tagihan utang kepada para kreditor konkuren

Menurut Rahayu Hartini ada beberapa surat dan dokumen yang harus

dipenuhi atau dilampirkan dalam mengajukan PKPU:35

1. Surat permohonan bermaterai yang diajukan kepada ketua pengadilan niaga

Jakarta Pusat;

2. Identitas debitor;

3. Permohonan harus ditandatangani oleh pemohon dan advokatnya;

4. Surat kuasa khusus dan penunjukkan kuasa kepada orangnya bukan kepada

law firmnya;

5. Izin pengacara/kartu pengacara;

6. Nama serta tempat tinggal atau kedudukan para kreditor konkuren diseretai

jumlah tagihannya masing-masing kepada debitor;

35
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan Edisi Revisi Berdasarkan UU No.37 Tahun 2004
tentangKepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Malang: Percetakan
Universitas Muhammadiyah, 2008), hlm. 196.

22
7. Rencana pembukuan terakhir dari debitor;

8. Rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau

sebagian utang kepada kreditor konkuren (jika ada).

Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan penundaan kewajiban

pembayaran utang (PKPU) tertera dalam UUK dan PKPU pada Pasal 222-226,

meliputi:36

a. PKPU dapat diajukan oleh debitor yang memiliki lebih dari 1 kreditor atau

oleh kreditor

b. Permohonan PKPU harus diajukan kepada Pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor dengan

ditandatangani oleh pemohon dan advokatnya.

c. Pihak-pihak yang dapat memohon PKPU yakni:

a. Debitor sendiri yang memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan

membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat

ditagih.

b. Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat

melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat

ditagih.

c. Dalam hal debitornya adalah bank yang dapat mengajukan

permohonan PKPU adalah Bank Indonesia

d. Apabila debitornya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga

kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian

maka yang dapat mengajukan permohonan PKPU adalah Badan

36
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 170.

23
Pengawas Pasar Modal (sekarang adalah Otoritas Jasa Keuangan)

e. Sedangkan bila debitornya adalah perusahaan asuransi, perusahaan

reasuransi, dana pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang

bergerak di bidang kepentingan publik yang dapat mengajukan

PKPU adalah Menteri Keuangan.

d. Jika pemohonnya adalah debitor, permohonan PKPU harus disertai daftar

yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta surat bukti

secukupnya

e. Jika pemohonnya adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor

melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum

sidang

f. Pada sidang tersebut, Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah

piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada,

rencana perdamaian.

g. Pada surat permohonan dapat dilampirkan rencana perdamaian.

h. Tata Cara Pengajuan Permohonan PKPU

a. Permohonan pernyataan PKPU diajukan kepada Ketua Pengadilan.

b. Panitera mendaftarkan permohonan PKPU pada tanggal

permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon

diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat

yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal

pendaftaran.

c. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan PKPU bagi:

1) Bank karena permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh

24
Bank Indonesia

2) Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan

Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, karena

permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Badan

Pengawas Pasar Modal (sekarang OJK)

3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,

atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang

kepentingan publik, karena permohonan PKPU hanya dapat

diajukan oleh Menteri Keuangan.

d. Panitera menyampaikan permohonan PKPU kepada Ketua

Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan

didaftarkan.

e. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal

permohonan PKPU didaftarkan, Pengadilan mempelajari

permohonan dan menetapkan hari sidang.

C. Prosedur Pengajuan PKPU

Secara khusus, UUK-PKPU menentukan tata cara (prosedur) yang harus

ditempuh untuk mengajukan permohonan PKPU. Prosedur tersebut terdapat

dalam ketentuan Pasal 224 UUK-PKPU yang berbunyi:37

1. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh

advokatnya.
37
Pasal 224 UUK-PKPU

25
2. Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban

pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang,

dan utang Debitorbeserta surat bukti secukupnya.

3. Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil

Debitormelalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh)

hari sebelum sidang.

4. Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Debitormengajukan

daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitorbeserta surat

bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.

5. Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222.

6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3),

ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara pengajuan

permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1)

Menurut Pasal 224 ayat (1) UUK-PKPU permohonan PKPU sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada pengadilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh

advokatnya. Pengajuan dilakukan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan

kedudukan hukum debitur, dengan ketentuan:38

1. Dalam hal debitur telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia,

pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan

pernyataaan PKPU adalah pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat kedudukan hukum terakhir debitur.


38
Pasal 3 UUK-PKPU

26
2. Dalam hal Debitur adalah pesero atau firma, maka pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang

memutuskan.

3. Dalam hal debitur tidak berkedudukan di wilayah Negara Republik

Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara

Republik Indonesia, pengadilan yang berwenang memutuskan adalah

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor

pusat debitur menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik

Indonesia.

4. Dalam hal debitur merupakan badan hukum, tempat kedudukannya adalah

sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.

Pasal 224 ayat (2) UUK-PKPU menentukan bahwa dalam hal pemohon

adalah debitur, permohonan PKPU harus disertai daftar yang memuat sifat,

jumlah piutang, dan utang debitur beserta surat bukti secukupnya. Pasal 224

ayat (3) UUK-PKPU menyatakan, dalam hal pemohon adalah kreditur,

pengadilan wajib memanggil debitur melalui juru sita dengan surat kilat tercatat

paling lambat tujuh hari sebelum sidang. Selanjutnya, Pasal 224 ayat (4) UUK-

PKPU menyatakan, pada saat sidang sebagaimana dimaksud ayat (3), debitur

mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur

beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada rencana perdamaian.

Daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitur beserta

surat bukti secukupnya sebagaimana yang dikatakan Pasal 224 ayat (2) dan

Pasal 224 ayat (4) harus dipenuhi. Hal ini perlu dilakukan agar dari surat-surat

tersebut dapat diketahui apakah ada harapan bahwa debitur di kemudian hari

27
dapat memuaskan kreditur-krediturnya. Disamping itu informasi mengenai

nama dan tempat kedudukan atau domisili para kreditur diperlukan untuk

dilakukan pemanggilan kreditur.39

Pasal 224 ayat (5) UUK-PKPU menyatakan, pada surat permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana perdamaian

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222. Klausula dapat disini berarti tidak

diwajibkan untuk melampirkan rencana perdamaian pada surat permohonan.

Namun seyogianya apabila pengajuan permohonan PKPU sekaligus

dilampirkan rencana perdamaian,agar para kreditur dapat mengambil sikap

untuk menerima atau menolak permohonan PKPU tersebut, sebagaimana tujuan


40
dari PKPU adalah untuk mencapai perdamaian. Ketentuan sebagaimanan

dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5),

menurut Pasal 224 ayat (6) UUK-PKPU berlaku mutatis mutandissebagai tata

cara pengajuan permohonan PKPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Permohonan PKPU tersebut dapat diajukan oleh debitur baik sebelum

permohonan pernyataan pailit diajukan maupun setelah permohonan pernyataan

pailit diajukan. Hal ini sehubungan dengan ketentuan Pasal 222 joPasal 229

ayat (4) UUK-PKPU.41Dalam hal permohonan PKPU yang diajukan setelah

Pengadilan Niaga menerima permohonan pernyataan pailit, maka dapat terjadi

kemungkinan:42

1. Permohonan pernyataan pailit telah diterima oleh Pengadilan Niaga tetapi

belum diperiksa, dan sementara permohonan pernyataan pailit itu belum

39
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-undang No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan, (Jakarta: Grafiti, 2008), hlm. 341.
40
Ibid. hal . 338
41
Ibid.
42
Ibid.

28
diperiksa, Pengadilan Niaga menerima pula permohonan PKPU dari

debitur atau dari kreditur yang bukan pemohon kepailitan.

2. Permohonan pernyataan pailit telah diterima oleh pengadilan niaga, dan

sementara permohonan pernyataan pailit sedang diperiksa oleh pengadilan

niaga, debitur atau kreditur (yang bukan pemohon kepailitan) mengajukan

PKPU.Sesuai ketentuan Pasal 229 ayat (3) UUK-PKPU,dalam hal terjadi

keadaan tersebut, maka permohonan PKPU harus diperiksa terlebih dahulu

sebelum permohonan pernyataan pailit. Apabila permohonan pernyataan

pailit sedang diperiksa dan kemudian diajukan permohonan PKPU oleh

debitur atau salah satu kreditur yang bukan pemohon, maka pemeriksaan

permohonan pailit tersebut harus ditunda.

D. PKPU Sementara dan PKPU Tetap

1. PKPU Sementara

PKPU sementara diatur pada Pasal 225 Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 di mana pihak debitor maupun kreditor masing- masing dapat

melakukan permohonan untuk melakukan PKPU.

PKPU sementara yang dimohonkan oleh debitor harus dikabulkan

paling lambat 3 hari setelahnya oleh pengadilan, dan juga pihak

pengadilan saat itu juga harus menunjuk hakim pengawas serta

mengangkat satu pengurus untuk mengurus harta debitor. 43 Sedangkan

jika pemohon adalah kreditor, pengadilan memiliki waktu selambat-

lambatnya 20 hari sejak permohonan didaftarkan harus dikabulkan oleh

43
Pasal 225 ayat (2) UUK-PKPU

29
Pengadilan Niaga dan mengangkat hakim pengawas serta seorang

pengurus untuk mengurus harta debitor.44

Setelah putusan PKPU sementara diucapkan, pengadilan melalui

pengurus wajib memanggil Debitor dan Kreditor yang dikenal dengan

surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang

diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung

sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara

diucapkan.45

Pada waktu penundaan kewajiban pembayaran utang sementara

diucapkan sudah diajukan rencana perdamaian oleh debitor, hal ini harus

disebutkan dalam pengumuman tersebut, dan pengumuman tersebut harus

dilakukan dalam jangka waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari

sebelum tanggal sidang yang direncanakan.46

Apabila debitor tidak hadir dalam sidang, PKPU sementara berakhir

dan Pengadilan wajib menyatakan Debitor Pailit dalam sidang yang sama.

Selain itu PKPU sementara berakhir apabila kreditor tidak menyetujui

pemberian PKPU Tetap dan tidak terjadinya kesepakatan antara debitor

dengan pada kreditor dalam rencana perdamaian yang diusulkan oleh

debitor pada batas waktu perpanjangan PKPU telah berakhir.

Pengadilan memberikan putusan atas PKPU sementara sebelum

memberikan keputusan atas PKPU tetap karena hal tersebut menyangkut

kepentingan para pihak. Dengan adanya putusan PKPU sementara, dapat

segera terjadi keadaan diam (stay atau standstill) sehingga kesepakatan

44
Pasal 225 ayat (3) UUK-PKPU
45
Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU
46
Pasal 226 ayat (2) UUK-PKPU

30
mengenai rencana perdamaian oleh debitor dan para kreditornya berjalan

efektif.47 Maka dari itu, apabila debitor telah memenuhi persyaratan maka

pengadilan harus memberikan PKPU sementara sebelum akhirnya

memberi keputusan PKPU tetap.

2. PKPU Tetap

PKPU tetap terjadi setelah proses sidang PKPU sementara berakhir.

PKPU tetap harus ditetapkan oleh pengadilan niaga dalam waktu 45 hari

sejak PKPU sementara diputuskan. Namun bila belum ditetapkan maka

debitor dinyatakan pailit. Permohonan PKPU tetap dikabulkan apabila:48

a. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren

yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili

paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang

diakui atau yang sementara diakui dari kreditor konkuren atau

kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut; dan

b. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang

piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan

mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan

kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut.

PKPU tetap yang disetujui oleh hakim pengadilan niaga berikut beserta

perpanjangannya tidak dapat melebihi dari 270 hari setelah putusan

PKPU sementara diucapkan.49 Jangka waktu tersebut dipergunakan untuk

47
Sutan Remy Sjahdaeni, Loc. Cit.
48
Pasal 229 ayat (1) UUK-PKPU
49
Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU

31
membahas rencana perdamaian antara debitor dengan para kreditornya, di

mana tujuan dari rencana perdamaian itu adalah terjadinya penjadwalan

pembayaran utang kembali (restrukturisasi) atau cara-cara pembayaran

utang kepada kreditor secara sebagian atau pun seluruhnya. Pada

hakikatnya PKPU diterima apabila para kreditor dapat menyepakati

rencana pembayaran yang ditawarkan oleh debitor.

E. Perdamaian dalam PKPU

Permohonan PKPU pada dasarnya diadakan dengan tujuan untuk

mencapai suatu perdamaian antara debitor dengan para kreditornya dan

perdamaian itu untuk mengakhiri utang-utang debitor kepada para kreditornya.

Maka dari itu, substansi dari diadakannya PKPU adalah tercapainya

kesepakatan suatu perjanjian perdamaian. Rencana perdamaian dapat diajukan

oleh debitor pada waktu mengajukan permohonan PKPU atau setelahnya untuk

menawarkan suatu rencana perdamaian kepada kreditor. 50 Apabila diajukan

setelah melakukan permohonan PKPU dapat diajukan sewaktu-waktu, asalkan

jangka waktu tersebut tidak melebihi 270 hari.51

Rencana perdamaian dalam PKPU dapat diajukan dengan cara-cara yang

tertera dalam UUK dan PKPU, yakni:

1. Rencana perdamaian dapat diajukan bersamaan dengan pengajuan

permohonan PKPU atau setelahnya.52

2. Apabila rencana perdamaian tidak disediakan di kepaniteraan pada saat

mengajukan permohonan PKPU maka rencana perdamaian harus diajukan


50
Jono, Op.Cit., hlm 182.
51
Ibid.
52
Pasal 265 UUK-PKPU

32
sebelum hari sidang yang merupakan rapat permusyawaratan hakim atau

pada tanggal kemudian dengan tetap memperhatikan Pasal 228 ayat(4)

UUK dan PKU.53

3. Kemudian salinan jika rencana perdamaian telah disusun dan disepakati,

maka harus segera disampaikan kepada Hakim Pengawas, pengurus, dan

ahli, bila ada.

4. Apabila rencana perdamaian telah diajukan kepada panitera, maka hakim

pengawas harus menentukan:

a. Hari terakhir tagihan harus disampaikan kepada pengurus

b. Tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diusulkan akan

dibicarakan dan diputuskan dalam rapat kreditor yang dipimpin oleh

hakim pengawas

5. Jangka waktu antara hari terakhir tagihan yang harus disampaikan kepada

pengurus dengan tanggal dan waktu rencana perdamaian yang diputuskan

dalam rapat kreditor tersebut setidaknya harus 14 hari.

6. Pengurus wajib mengumumkan hal-hal yang berhubungan dengan

rencana perdamaian kepada semua kreditor melalui surat ataupun kurir.

7. Dalam rapat rencana perdamaian, baik pengurus maupun ahli, apabila

telah diangkat, harus secara tertulis memberikan laporan seputar rencana

perdamaian yang ditawarkan oleh debitor.

8. Debitor berhak memberikan keterangan mengenai rencana perdamaian

dan membela dirinya serta berhak mengubah rencana perdamaian tersebut

selama berlangsungnya perundingan.

9. Kemudian salinan jika rencana perdamaian telah disusun dan disepakati,


53
Pasal 266 ayat (1) UUK-PKPU

33
maka harus segera disampaikan kepada Hakim Pengawas, pengurus, dan

ahli, bila ada.

10. Pengadilan dapat mengundurkan dan menetapkan tanggal sidang untuk

pengesahan perdamaian yang harus diselenggarakan paling lambat 14

(empat belas) hari setelah tanggal sidang.

11. Apabila putusan pengadilan menyatakan bahwa PKPU berakhir dan

belum ada putusan pengesahan perdamaian yang berkekuatan hukum

tetap, maka gugurlah rencana perdamaian tersebut.

Namun jika rencana perdamaian ditolak, maka hakim pengawas wajib

memberitahukan penolakan itu kepada pengadilan dengan menyerahkan

salinan rencana perdamaian serta berita acara rapat dan kemudian

pengadilan harus menyatakan debitor pailit setelah pengadilan menerima

pemberitahuan penolakan dari hakim pengawas dengan memperhatikan

ketentuan dalam Pasal 283 ayat UUK dan PKPU.54

12. Apabila Pengadilan telah menyatakan Debitor Pailit maka terhadap

putusan pernyataan pailit tersebut berlaku ketentuan tentang kepailitan

sebagaimana dimaksud dalam Bab II, kecuali Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13,

dan Pasal 14.

13. Selain itu apabila terjadi pembatalan perdamaian maka debitor juga harus

dinyatakan pailit dan ketentuan dalam Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku

mutatis mutandis terhadap pembatalan perdamaian.

Perdamaian dalam PKPU berbeda dengan perdamaian dalam kepailitan,

adapun perbedaan perdamaian tersebut antara lain:55


54
Jono, Op.Cit., hlm. 185.
55
Umar Haris Sanjaya, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam Hukum

34
1. Berdasarkan waktunya, perdamaian dalam PKPU diajukan pada saat atau

setelah permohonan PKPU sedangkan dalam kepailitan diajukan setelah

adanya putusan hakim.

2. Berdasarkan penyelesaiannya, perdamaian dalam PKPU dilakukan pada

sidang pengadilan yang memeriksa permohonan PKPU sedangkan dalam

kepailitan dibicarakan pada saat verifikasi setelah putusan kepailitan.

3. Berdasarkan syarat penerimaan perdamaian, pada PKPU rencana

perdamaian harus disetujui lebih dari 1/2 jumlah kreditor konkuren yang

haknya diakui dalam rapat musyawarah hakim, yang diakui bersama-

sama dan mewakili 3/4 dari jumlah piutang yang diakui. Sedangkan

dalam kepailitan harus disetujui 2/3 dari kreditor konkuren yang mewakili

3/4 jumlah tagihan yang tidak mempunyai tagihan istimewa.

4. Berdasarkan kekuatan mengikat, perdamaian pada PKPU berlaku bagi

semua kreditor sedangkan dalam kepailitan hanya berlaku bagi kreditor

konkuren. Pihak yang dapat mengajukan perdamaian dalam PKPU adalah

debitor.

Pemungutan suara dalam rencana perdamaian PKPU hanya dapat

dilakukan oleh kreditor konkuren, sedangkan kreditor separatis dan kreditor

dengan hak istimewa tidak dapat memberikan suara dalam rencana perdamaian.

Kreditor yang tidak dapat memberikan suaranya dalam rencana perdamaian

adalah kreditor yang memegang jaminan hak gadai, jaminan fidusia, jaminan

hak hipotek, ataupun hak agunan atas kebendaan lainnya. Selain itu juga

kreditor dengan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah

harus dibayar dan Hakim Pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang
Kepailitan, Ctk. Pertama, (Yogyakarta: NFP Publishing, 2014), hlm. 47.

35
sudah ada dan belum dibayar sebelum PKPU yang bukan merupakan tagihan

dengan hak untuk diistimewakan. Selain itu juga termasuk kreditor yang

tagihannya diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun

terhadap seluruh harta debitor selain dari kreditor-kreditor yang telah

disebutkan.

Kreditor-kreditor tersebut dapat ikut melakukan pemungutan suara dalam

rencana perdamaian. Hal itu dapat terjadi apabila mereka melepaskan haknya

untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit. Dengan demikian mereka

menerima konsekuensi dengan menjadi kreditor konkuren.

Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:56

1. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang

haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama- sama mewakili paling sedikit

2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara

diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat

tersebut; dan

2. Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya

dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak

agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3

(dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau

kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.

Kreditor separatis atau dengan hak istimewa yang tidak menyetujui

rencana perdamaian diberikan kompensasi sebesar nilai terendah di antara nilai


56
Pasal 281 ayat (1) UUK-PKPU

36
jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak

agunan atas kebendaan.57

Apabila lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang hadir pada rapat

Kreditor dan mewakili paling sedikit 1/2 (satu perdua) dari jumlah piutang

Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana

perdamaian maka dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah

pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua,

tanpa diperlukan pemanggilan. Pada pemungutan suara kedua, Kreditor tidak

terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama. 58

Perubahan yang terjadi kemudian, baik mengenai jumlah kreditor maupun

jumlah piutang, tidak mempengaruhi sahnya penerimaan atau penolakan

perdamaian.59

Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila:60

1. Harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk

menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam

perdamaian;

2. Pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;

3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu

atau lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan

tanpa menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal

ini; dan/atau

4. Imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum

57
Pasal 281 ayat (2) UUK-PKPU
58
Pasal 152 UUK-PKPU
59
Pasal 153 UUK-PKPU
60
Pasal 285 ayat (2) UUK-PKPU

37
dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya.

Kemungkinan isi dari rencana perdamaian dapat berupa pembayaran

utang secara sebagian, pembayaran utang dengan cicilan, pembayaran utang

sebagian dengan cicilan, atau pembayaran utang sebagian kemudian sisanya

dicicil.61 Disisi lain, menurut Munir Fuady yang di kutip dalam buku Rachmadi

Usman, yang termasuk dalam perdamaian adalah proses restrukturisasi utang

antara debitor dengan kreditor.62 Biasanya program restrukturisasi utang terdiri

atas:63

1. Moratorium, yang merupakan penundaan pembayaran yang sudah jatuh

tempo

2. Haircut, yang tidak lain adalah pemotongan/ pengurangan pokok pinjaman

dan bunga

3. Pengurangan tingkat suku bunga

4. Perpanjangan jangka waktu pelunasan

5. Konversi utang kepada saham

6. Debt forgiveness (pembebasan utang)

7. Bailout, yakni pengambilalihan utang-utang, misalnya

pengambilalihan utang-utang swasta oleh pemerintah

8. Write-off, yakni penghapusbukuan utang-utang

F. Berakhirnya PKPU

PKPU berakhir dapat atas permintaan pengurus, kreditor, hakim

61
Jono, Op.Cit., hlm. 46.
62
Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan, Ctk. Pertama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008). hlm. 1222.
63
Ibid.

38
pengawas, atau atas prakasa pengadillan dengan alasan-alasan sebagai berikut:64

1. Debitor selama waktu PKPU bertindak dengan itikad buruk dalam

melakukan terhadap harta bendanya

2. Debitor mencoba atau telah merugikan para kreditornya

3. Debitor melakukan pelanggaran Pasal 240 ayat (1) UUK dan PKPU

4. Debitor lalai melakukan kewajiban yang ditentukan oleh pengadilan pada

saat atau setelah PKPU diberikan, atau lalai melaksanakan persyaratan

dari pengurus demi kepentingan harta debitor

5. Selama PKPU berlangsung, ternyata tidak memungkinkan dilanjutkannya

PKPU karena keadaaan harta debitor

6. Keadaan debitor tidak dapat diharapkan untuk memenuhi kewajibannya

terhadap kreditor pada waktunya

Berdasarkan peristiwa diatas maka demi hukum debitor harus dinyatakan

pailit dalam putusan yang sama. Putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan

pengakhiran PKPU harus diumumkan sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (4)

UUK dan PKPU.65

G. Akibat PKPU terhadap Harta Kekayaan Debitur

Selama berlangsungnya PKPU, menurut Pasal 242 ayat 1 Pasal 240 ayat 1

UU Kepailitan dan PKPU debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-

utangnya. Selain itu, semua tindakan eksekusi yang telah dimulai dalam rangka

pelunasan utang harus ditangguhkan. Dapat diartikan keadaan ini berlangsung

baik selama PKPU sementara maupun selama PKPU tetap.66 Ketentuan Pasal 242

64
Jono, Op.Cit., hlm. 181.
65
Ibid.
66
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 357.

39
ayat 1 dan 2 Pasal 240 ayat 1 UU Kepailitan dan PKPU berlaku juga terhadap

eksekusi dan sita yang telah dimulai atas benda yang tidak dibebani, sekalipun

eksekusi dan sita tersebut berkenaan dengan tagihan kreditur yang dijamin dengan

gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau

dengan hak yang diistimewakan berkaitan dengankekayaan tertentu.67

Selain itu, akibat-akibat hukum PKPU terhadap harta persatuan. PKPU akan

membawa akibat hukum terhadap segala harta kekayaan debitur. Untuk itu UU

Kepailitan dan PKPU membedakan antara debitur yang telah menikah dengan

persatuan harta dan yang menikah tanpa persatuan harta. Apabila debitur telah

menikah dalam persatuan harta, harta debitur mencakup semua aktiva dan pasiva

persatuan (Pasal 241 UU Kepailitan dan PKPU). Dan penjelasan Pasal 241

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan aktiva adalah seluruh kekayaan

debitur, sedangkan pasiva adalah seluruh utang debitur.68

Berdasarkan pembahasan di atas, syarat-syarat pengajuan permohonan

PKPU diatur dalam Pasal 222-226 UUK-PKPU yakni :

1. PKPU dapat diajukan oleh debitor yang memiliki lebih dari 1 kreditor

atau oleh kreditor

2. Permohonan PKPU harus diajukan kepada Pengadilan yang daerah

hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor dengan

ditandatangani oleh pemohon dan advokatnya.

3. Pihak-pihak yang dapat memohon PKPU yakni:

a. Debitor sendiri yang memperkirakan tidak akan dapat

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo

67
Ibid. hlm. 358
68
Sunarmi, Op.Cit., hlm. 213.

40
dan dapat ditagih.

b. Kreditor yang memperkirakan bahwa debitor tidak dapat

melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan

dapat ditagih.

c. Dalam hal debitornya adalah bank yang dapat mengajukan

permohonan PKPU adalah Bank Indonesia

d. Apabila debitornya adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga

kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian

maka yang dapat mengajukan permohonan PKPU adalah Badan

Pengawas Pasar Modal (sekarang adalah Otoritas Jasa

Keuangan)

e. Sedangkan bila debitornya adalah perusahaan asuransi,

perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan Badan Usaha Milik

Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik yang dapat

mengajukan PKPU adalah Menteri Keuangan.

4. Jika pemohonnya adalah debitor, permohonan PKPU harus disertai

daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang debitor beserta

surat bukti secukupnya

5. Jika pemohonnya adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil debitor

melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum

sidang

6. Pada sidang tersebut, Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat,

jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan,

bila ada, rencana perdamaian.

41
7. Pada surat permohonan dapat dilampirkan rencana perdamaian.

8. Tata Cara Pengajuan Permohonan PKPU

a. Permohonan pernyataan PKPU diajukan kepada Ketua

Pengadilan.

b. Panitera mendaftarkan permohonan PKPU pada tanggal

permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon

diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat

yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal

pendaftaran.

c. Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan PKPU bagi:

1) Bank karena permohonan PKPU hanya dapat diajukan

oleh Bank Indonesia

2) Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan

Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian,

karena permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh

Badan Pengawas Pasar Modal (sekarang OJK)

3) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana

Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang

bergerak di bidang kepentingan publik, karena

permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh Menteri

Keuangan.

d. Panitera menyampaikan permohonan PKPU kepada Ketua

Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal

permohonan didaftarkan.

42
e. Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal

permohonan PKPU didaftarkan, Pengadilan mempelajari

permohonan dan menetapkan hari sidang.

Prosedur pengajuan PKPU diatur dalam Pasal 224 pada UUK-PKPU :

1. Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada Pengadilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dengan ditandatangani oleh

pemohon dan oleh advokatnya.

2. Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban

pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah

piutang, dan utang Debitorbeserta surat bukti secukupnya.

3. Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil

Debitormelalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7

(tujuh) hari sebelum sidang.

4. Pada sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Debitormengajukan

daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitorbeserta

surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.

5. Pada surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat

dilampirkan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal

222.

6. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat

(3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara

pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

43
BAB III

KEWAJIBAN PERSONAL GUARANTOR SEBAGAI UTANG YANG

44
DAPAT DIMOHONKAN PAILIT

A. Definisi Personal Guarantor Menurut Undang-Undang dan Para Ahli

a. Menurut Undang-Undang

Perjanjian penanggungan utang diatur di dalam Pasal 1820 sampai

dengan Pasal 1850 KUHPerdata. Yang diartikan dengan penanggungan

adalah:69 “Suatu perjanjian dimana pihak ketiga demi kepentingan kreditur,

mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu

tidak memenuhi perikatannnya”.

Demikianlah defenisi yang diberikan oleh Pasal 1820 KUHPerdata

tentang penanggungan utang. Apabila diperhatikan defenisi tersebut, maka

jelaslah bahwa ada 3 pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan

utang, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur disini

berkedudukan sebagai pemberi kredit atau orang yang berpiutang,

sedangkan debitur adalah orang yang yang mendapat pinjaman uang atau

kredit atau kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi

penanggung utang debitur kepada kreditur manakala debitur tidak

memenuhi prestasinya.70

Tiada penanggungan, jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah.

Namun dapatlah seorang mengajukan diri sebagai penanggung untuk suatu

perikatan, biarpun perikatan itu dapat dibatalkan dengan suatu tangkisan

yang hanya mengenai dirinya si berutang, misalnya dalam halnya kebelum

dewasaan (Pasal 1821 KUHPerdata). Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan

69
Pasal 1820 KUH Perdata
70
H.Salim Hs, Op.Cit, hlm. 219.

45
bahwa penanggungan itu adalah suatu “perjanjian accesoir” seperti halnya

dengan perjanjian hipotik, yaitu perjanjian yang pemenuhannya ditanggung

atau dijamin dengan perjanjian penanggungan itu. Kemudian dapat dilihat

dengan adanya kemungkinan (artinya diperbolehkan) diadakannya suatu

perjanjian penanggungan terhadap suatu perjanjian pokok, yang dapat

dimintakan pembatalannya (vernietigbaar, voidable) misalnya suatu suatu

perjanjian (pokok) yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa. Hal itu

dapat diterima dengan pengertian, bahwa apabila perjanjian pokok itu

dikemudian hari dibatalkan, maka perjanjian penanggungan juga ikut

batal.71

b. Menurut Para ahli

Istilah jaminan perseorangan berasal dari kata bortgtoch. Ada juga yang

menyebutkan dengan istilah jaminan immateril. Pengertian jaminan

perorangan dapat dilihat dari berbagai pandangan dan pendapat para ahli.

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengartikan jaminan immateril

(perorangan) adalah:

Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan

tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta

kekayaan debitur utamanya.

Unsur jaminan perorangan, yaitu:

a. Mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu;

b. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu;

c. Terhadap harta kekayaan debitur umumnya.72

71
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hlm. 82.
72
H. Salim HS, Op.Cit, hlm. 217.

46
Soebekti mengartikan jaminan perorangan adalah:

Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang

ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Ia

bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) si berhutang tesebut”.73

Soebekti mengkaji jaminan perorangan dari dimensi kontraktual antara

kreditur dengan pihak ketiga. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa maksud

adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang

dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta

benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut

ketentuan perihal pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.74

Menurut J. Satrio, jaminan perorangan adalah hak yang memberikan

kepada kreditur suatu kedudukan yang lebih baik, karena adanya lebih dari

seorang debitur yang dapat ditagih. Lebih baik disini adalah lebih baik

daripada kreditur yang tidak mempunyai hak jaminan (khusus), atau lebih

baik dari jaminan umum.75

Adanya lebih dari seorang debitur, bisa karena ada debitur serta tanggung

menanggung atau karena adanya orang pihak ketiga yang mengikatkan

dirinya sebagai borg. Hak jaminan tampak sekali mempunyai arti

pentingnya, kalau kekayaan yang dimiliki oleh debitur tidak mencukupi

guna melunasi semua hutangnya atau dengan perkataan lain passivanya

melebihi aktivanya.76

Kalau kekayaan debitur cukup untuk menutup semua hutangnya maka

73
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 164.
74
Ibid.
75
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan kebendaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2007), hlm. 13.
76
Ibid.

47
berdasarkan Pasal 1131 semua kreditur akan menerima pelunasan, karena

pada prinsipnya semua kekayaan debitor dapat diambil untuk pelunasan

hutang. Paling-paling dalam hal seperti itu ada kreditur yang lebih muda

dalam mengambil pelunasannya, tetapi semuanya mempunyai kesempatan

untuk terpenuhi.

Sutarno dalam bukunya menjelaskan bahwa penjamin ialah cadangan

artinya penjamin baru membayar hutang debitur jika debitur tidak memiliki

kemampuan lagi atau debitur sama sekali tidak mempunyai harta benda

yang dapat disita. Kalau pendapatan lelang sita atas harta benda debitur

tidak mencukupi untuk melunasi utangnya, barulah tiba gilirannya untuk

menyita harta benda penjamin. Tegasnya apabila seorang penjamin dituntut

untuk membayar utang debitur (yang ditanggung olehnya), ia berhak untuk

menuntut supaya dilakukan lelang sita lebih dahulu terhadap kekayaan

debitur.77 Jaminan perorangan atau yang disebut Personal Guarantore

merupakan pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh pihak ketiga untuk

menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitor kepada kreditor apabila

debitor yang bersangkutan wanprestasi.78

Suatu perjanjian jaminan harus secara tegas diberikan atau dinyatakan,

dan tidak boleh secara ragu-ragu. Pada perjanjian ini pihak penjamin harus

membuat pernyataan tegas bahwa ia akan menanggung apabila yang dijamin

tidak membayar hutangnya tepat pada waktunya, maka penjamin akan

melunasinya, dan penjamin berubah kedudukannya menjadi orang yang

77
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm.
239.
78
M. Bahsan, Op.Cit., hlm. 2.

48
berpiutang.79

B. Hubungan Keperdataan Kreditor, Debitor dan Personal Guarantor

Suatu “penanggungan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang pihak

ketiga, guna kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi

perikatannnya debitor manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”,

demikianlah rumusan Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 80 Dari

rumusan yang diberikan tersebut dapat kita ketahui bahwa suatu penanggungan

utang meliputi beberapa unsur, yaitu:

1. Penanggungan utang adalah suatu bentuk perjanjian, berarti sahnya

penanggungan utang tidak terlepas dari sahnya perjanjian yang diatur dalam

Pasal 1320 KUHPerdata;

2. Penanggungan utang melibatkan keberadaan utang yang terlebih dahulu ada.

Hal ini berarti tanpa keberadaan utang yang ditanggung tersebut, maka

penanggungan utang tidak pernah ada;

3. Penanggungan utang dibuat semata-mata untuk kepentingan kreditor, dan

bukan untuk kepentingan debitor;

4. Penangungan utang hanya mewajibkan penanggung memenuhi kewajiban

kreditor manakala debitor telah terbukti tidak memenuhi kewajiban atau

prestasi atau kewajibannya.81

Penanggungan utang merupakan perjanjian, yaitu perjanjian yang dibuat

oleh seorang pihak ketiga (jadi bukan debitor yang berkewajiban untuk memenuhi

79
Wan Sadjaruddin Baros, Beberapa Sendi Hukum Perikatan, (Medan: USU Press,
1992), hlm. 77.
80
Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Penanggungan Utang Dan Perikatan Tanggung
Menanggung, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.13.
81
Ibid.

49
suatu perikatan yang telah ada) dengan kreditor (yang berhak atas pemenuhan

perikatan oleh debitor). Sebagai suatu bentuk perjanjian, penanggungan utang

harus dibuat sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan

bahwa:

Untuk sahnya suatu perjanjian-perjanjian, diperlukan 4 syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.82

Keempat unsur yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, dalam

doktrin ilmu hukum digolongkan ke dalam:

1. Unsur subyektif, yang meliputi dua unsur pertama berhubungan dengan

subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian. Unsur subyektif sahnya

perjanjian, digantungkan pada dua macam keadaan:

a. Terjadinya kesepakatan secara bebas di antara para pihak yang

mengadakan atau melangsungkan perjanjian;

Kesepakatan bebas di antara para pihak merupakan perwujudan asas

konsensualitas, yang berarti bahwa segera setelah para pihak mencapai

kesepakatan tentang apa yang menjadi pokok perjanjian, yang menjadi

unsur esensialia dari penanggungan utang, maka sudah terbentuklah

perjanjian di antara para pihak yang berjanji tersebut.83

1) Unsur Esensialia dalam penanggungan utang

Pasal 1820 memberikan defenisi penanggungan utang adalah suatu

82
Ibid, hlm. 14.
83
Ibid.

50
persetujuan dengan mana seorang pihak ketiga, guna kepentingan

kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya debitor

manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya.84 Dapat diketahui bahwa

unsur esensialia dari suatu penanggungan utang meliputi tiga hal berikut

di bawah ini:

1. Penanggungan utang diberikan untuk kepentingan kreditor;

2. Utang yang ditanggung tersebut haruslah suatu kewajiban, prestasi,

atau perikatan yang sah demi hukum;

3. Kewajiban penanggung untuk memenuhi atau melaksanakan

kewajiban debitor baru ada segera setelah debitor wanprestasi;

Unsur esensialia dari kepentingan kreditor di sini adalah mutlak untuk

membedakannya dari kepentingan debitor itu sendiri. Dalam suatu

perikatan yang melibatkan lebih dari satu debitor, jadi untuk melindungi

kepentingan di antara para debitor, yang terjadi adalah perikatan

tanggung menanggung pasif. Esensi penanggungan utang untuk

kepentingan kreditor dipertegas kembali oleh ketentuan Pasal 1823 ayat

(1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:85 “Seorang dapat memajukan

diri sebagai penanggung dengan tidak telah diminta untuk itu oleh yang

untuk siapa ia mengikatkan dirinya, bahkan diluar pengetahuan orang

itu”.

Dalam rumusan selanjutnya pada Pasal 1823 ayat (2) KUHPerdata

dinyatakan lebih lanjut bahwa:86 “adalah diperbolehkan juga untuk

menjadi penanggung tidak saja untuk pihak debitor utama, tetapi juga

84
Ibid.
85
Pasal 1823 ayat 1 KUH Perdata
86
Pasal 1823 ayat 2 KUH Perdata

51
untuk seorang penanggungnya orang itu”.

Jelas bahwa penanggung tidak harus menanggung kewajiban dari

seorang debitor semata-mata, melainkan juga seorang penanggung utang

lainnya, selama penanggungan tersebut diberikan untuk kepentingan dari

kreditor.

Penangungan utang hanya dapat diberikan jika terlebih dahulu suatu

utang yang harus dijamin pelunasan atau pemenuhannya oleh

penanggung. Dengan demikian jelaslah unsur kedua dari penanggungan

utang adalah bahwa utang yang ditanggung tersebut haruslah suatu

kewajiban, prestasi, atau perikatan yang sah demi hukum. Ketentuan

Pasal 1821 ayat (1) KUHPerdata menentukan lebih jauh bahwa “tiada

penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah”.87

Unsur ini membedahkannya dari perikatan tanggung menanggung

(pasif) yang eksistensinya tidak bergantung pada keabsahan suatu

perikatan lain. Perikatan tanggung menanggung sebagimana defenisi

yang diberikan adalah suatu perikatan yang berdiri sendiri dan tidak

bersifat assesoir sebagaimana halnya penanggungan utang yang diatur

dalam Pasal 1820 KUHPerdata. Dalam hal ini perlu diperhatikan

ketentuan Pasal 1316 KUHPerdata yang menyatakan bahwa:

“Meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau

menjamin seorang pihak ketiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini

akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran

ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ketiga tersebut

atau yang telah berjanji untuk menyuruh pihak ketiga tersebut


87
Pasal 1821 KUH Perdata

52
menguatkan sesuatu, jika pihak ketiga tersebut menolak untuk memenuhi

perikatannya itu”.88

Walaupun adalah larangan untuk membuat perjanjian dengan

mengatasnamakan orang lain, diperbolehkan membuat perjanjian untuk

menjamin pihak ketiga bahwa pihak ketiga tersebut akan berbuat sesuatu,

dengan konsekuensi apabila pihak ketiga itu menolak melakukan sesuatu,

kreditor berhak menuntut ganti kerugian dari pihak yang telah

menanggung pihak ketiga tersebut dalam perjanjian yang dibuatnya.89

Perikatan yang lahir dari perjanjian, meski sepintas tampak adanya

hubungan sub-ordinasi dan keterkaitan antara suatu perikatan pokok yang

harus dipenuhi oleh seorang debitur terhadap seorang kreditor, dengan

hubungan hukum antara pihak yang menjamin dengan kreditor yang

sama, namun hubungan tersebut adalah suatu hubungan hukum yang

dalam KUHPerdata merupakan hubungan antara dua pihak yang

berkedudukan sebagai debitor (secara tanggung renteng) dan satu pihak

sebagai kreditor (yang berhak atas pemenuhan kewajiban oleh masing-

masing debitor).90

Unsur esensialia ketiga, yang menyatakan bahwa penanggungan

hanya diwajibkan untuk memenuhi perikatan atau kewajiban atau

prestasinya kepada kreditor berdasarkan perjanjian penanggungan utang,

jika telah telah terbukti debitor tidak memenuhi kewajiban, prestasi atau

perikatannya terhadap kreditor. Hal ini yang membedahkan

88
Pasal 1316 KUH Perdata
89
Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit, hlm. 18.
90
Ibid.

53
penanggungan utang dari suatu perikatan tangung-menanggung.91

Dalam penanggungan utang, kreditor tidak dapat langsung menuntut

penanggung untuk memenuhi atau melunasi kewajiban atau prestasi atau

perikatan debitor, jika belum terbukti bahwa debitor telah cidera janji

atau wanprestasi.

2) Unsur naturalia dalam penanggungan utang

Unsur naturalia dalam penanggungan utang meliputi:

1. Besarnya jumlah uang yang ditanggung.

Sehubungan dengan besarnya utang yang ditanggung oleh

penanggung, ketentuan Pasal 1822 KUHPerdata menyatakan bahwa: 92

“Seorang penanggung tidak dapat mengikatkan diri untuk lebih, maupun

dengan syarat-syarat yang lebih berat, dari perikatannya debitor”.

Adapun penanggungan boleh diadakan untuk hanya sebagian saja dari

utangnya atau dengan syarat-syarat yang kurang. Jika penanggungan

diadakan untuk lebih dari utangnya, atau dengan syarat-syarat yang lebih

berat, maka perikatan itu tidak sama sekali batal, melainkan ia adalah sah

hanya untuk apa yang diliputi oleh perikatan pokoknya.93

Dengan rumusan yang demikian jelaslah bahwa besarnya nilai

penanggungan dapat ditentukan secara bebas oleh para pihak, selama

sepanjang ketentuan penangungan itu sendiri tidak jauh lebih berat, atau

besarnya penanggungan itu tidak lebih besar dari utangnya debitor

pokok. Hal ini adalah konsekuensi dari sifat ikutan penanggungan utang

91
Ahmadi Miru, Sakka Pati, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 KUHPerdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 65.
92
Pasal 1822 KUH Perdata
93
Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit, hlm. 70.

54
terhadap perikatan pokok. Tidak mungkin seorang penanggung dapat

menanggung utang yang tidak pernah ada, ataupun untuk sesuatu yang

oleh debitor pokok sendiri tidak telah diperjanjikan. Walau demikian

oleh karena ketentuan ini bukanlah unsur esensialia, maka pelanggaran

terhadap ketentuan ini hanyalah dibatasi pada sejumlah atau menurut

ketentuan yang diperkenankan oleh Undang-undang. Dengan demikian

berarti penanggungan utang tidaklah batal demi hukum, melainkan hanya

sebatas tidak berlakunya ketentuan yang lebih berat tersebut.94

2. Tempat pemenuhan perikatan manakala debitor cidera janji.

Dalam hal ini berlakulah ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal

1393 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Pembayaran harus dlakukan

di tempat yang ditetapkan dalam persetujuan, jika dalam persetujuan

tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran mengenai suatu barang

yang sudah ditentukan, harus terjadi di tempat mana barang itu berada

sewaktu persetujuannya dibuat. Diluar kedua hal tersebut, pembayaran

harus dilakukan di tempat tinggal kreditor, selama orang ini terus

menerus berdiam sewaktu persetujuan dibuat dan dalam hal-hal lainnya

di tempat tinggal debitor.95

3. Biaya-biaya yang harus dipenuhi sehubungan dengan pemenuhan

perikatan oleh penanggung tersebut.

Yang dalam hal ini harus diperhatikan ketentuan Pasal 1395

KUHPerdata yang berbunyi:96 “Biaya yang harus dikeluarkan untuk

menyelenggarakan pembayaran, ditanggung oleh debitor”.

94
Ibid, hlm. 80
95
Ibid.
96
Pasal 1395 KUH Perdata

55
4. Saat penanggung mulai diwajibkan untuk memenuhi perikatannya

berdasarkan perjanjian penanggungan utang

Menurut pengertian dan defenisi yang diberikan dalam Pasal 1820

KUHPerdata. Yang berbunyi:97 “Penanggungan adalah suatu perjanjian

dengan mana seorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang,

mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang

ini sendiri tidak memenuhinya”.

3) Unsur aksidentalia

Bagian ini merupakan sifat yang melekat pada perjanjiian dalam hal

secara tegas diperjanjikan oleh para pihak, seperti ketentuan-ketentuan

mengenai domisili para pihak.98

b. Adanya kecakapan dari pihak-pihak yang berjanji.

c. Perlunya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan

syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian, dalam hal ini suatu

penanggungan utang, yang sah antara penanggu

g dan kreditor. Kecakapan bertindak ini dalam prakteknya

berhubungan erat dengan masalah kewenangan bertindak dalam

hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang

berbunyi:99 “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-

perikatan jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tidak cakap”.

97
Pasal 1820 KUH Perdata
98
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2001), hlm. 75.
99
Pasal 1329 KUH Perdata

56
2. Unsur Obyektif, unsur yang disebutkan terakhir dalam Pasal 1320

KUHPerdata, yang berkaitan langsung dengan obyek perjanjian yang

dibuat.

a. Tentang hal tertentu dalam penanggungan utang

Seorang penanggung yang menanggung utang debitor, harus

mencantumkan secara jelas utang mana yang ditanggungnya, berapa

besarnya, serta sampai seberapa jauh ia dapat dan baru diwajibkan untuk

memenuhi perikatannya kepada kreditor, atas kelalaian atau wanprestasi

dari pihak debitor. Dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, kewajiban penanggungan yang diberkan oleh penanggung

adalah penanggungan utang terhadap hak tagih kreditor kepada debitor,

dimana penanggung akan memenuhi kewajiban debitor, yaitu untuk

membayar hak tagih kreditor manakalah debitor cidera janji.100

b. Tentang Sebab yang Halal dalam Penanggungan Utang

Tentang sebab yang halal, secara umum hal tersebut diatur dalam Pasal

1335 hingga Pasal 1337 KUHPerdata. Dalam rumusan Pasal 1336

KUHPerdata dapat dilihat bahwa undang-undang tidak pernah

mempersoalkan apa yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya

perjanjian tertentu, yang ada diantara para pihak.Undang-undang hanya

memperhatikan apakah prestasi yang disebutkan dalam perjanjian yang

dibuat tersebut merupakan prestasi yang tidak dilarang oleh hukum, dan

oleh karenanya maka dapat dipaksakan keberlakuannya oleh para pihak

dalam perjanjian tersebut. Jadi dalam perjanjian tersebut harus ada pihak

yang dapat dimintakan pertanggungjawabannya, dan bahwa harus ada


100
Gunawan Widjaja, Kartini Muljadi, Op.Cit, hlm. 82.

57
harta kekayaan yang dapat dituntut agar perikatan yang terbentuk dari

perjanjian tersebut dapat dilaksanakan.101

Dengan demikian berarti unsur subyektif mencakup adanya unsur

kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-

pihak yang membuat perjanjian, sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan

dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari

obyek yang berupa kewajiban atau prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan

tersebut, yang harus merupakan sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan

menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari keempat unsur tersebut

menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan

kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (dalam hal terdapat pelanggaran

terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum, dengan pengertian bahwa

perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaanya oleh kreditor (jika unsur

obyektif tidak terpenuhi).102

Sehubungan dengan penanggungan utang, causa yang menjadi penyebab

lahirnya penanggungan utang adalah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1820

KUHPerdata yaitu, kepentingan kreditor atas pemenuhan kewajiban oleh debitor,

yang dalam hal debitor cidera janji harus dipenuhi oleh penanggung tersebut.

Kepentingan kreditor tersebut merupakan suatu hal yang mutlak ada.

Penanggungan adalah perjanjian yang berbentuk bebas dan biasanya bersifat

sepihak, tetapi lebih ditekankan kepada kewajiban penanggung. Pada umumnya

penanggungan adalah merupakan perjanjian sepihak, namun mungkin juga bahwa

101
Umar Haris Sanjaya, Op.Cit., hlm. 45
102
Ibid.

58
kreditur menjanjikan suatu prestasi hingga prestasi datang dari kedua belah pihak.

Perjanjian penanggungan sering dikacaukan dengan asuransi kredit

(kredietverzekering). Kedudukan dari penanggung (borg) adalah berbeda dengan

“versekeraar”, pada perjanjian asuransi. Karena pada perjanjian asuransi pihak

yang menanggung mempunyai kewajiban untuk mengganti kerugian yang diderita

si tertanggung, kewajiban mana adalah bersifat berdiri sendiri. Sedangkan pada

perjanjian penanggungan kewajiban untuk memenuhi prestasi itu adalah bersifat

subsidair yaitu kewajiban untuk memenuhi prestasi dalam hal debitur tidak dapat

memenuhinya.103

Perjanjian penanggungan juga mirip dengan perjanjian garansi (Pasal 1316

KUHPerdata) yaitu sama-sama adanya pihak ketiga yang berkewajiban memenuhi

prestasi. Hanya perbedaannya ialah bahwa pada perjanjian garansi adanya

kewajiban demikian tercantum dalam perjanjian pokok yang berdiri sendiri,

dimana seorang berjanji untuk menanggung kerugian yang akan diderita pihak

lawannya, manakala pihak ketiga tidak memenuhinya. Sedangkan perjanjian

penanggungan (borgtocht) adanya kewajiban untuk memenuhi prestasi dari si

penanggung (manakala debitur wanprestasi) tercantum dalam perjanjian yang

accessoir. Perbedaan yang lain bahwa pada perjanjian garansi kewajiban yang

harus dipenuhi guna pihak ketiga itu berwujud kewajiban penggantian kerugian,

sedangkan kewajiban pada penanggungan berupa kewajiban memenuhi

perutangan/prestasi.104

Mengenai sifatnya perjanjian penanggungan selain bersifat accessoir,

ditinjau dari sudut cara pemenuhannya adalah bersifat subsidair. Hal ini demikian

103
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hlm. 83.
104
R. Soebekti, Op.Cit., hlm. 221

59
disimpulkan dari ketentuan Pasal 1820 KUHPerdata yang menentukan bahwa

“penanggung mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan debitur, manakala

debitur sendiri tidak memenuhinya”.

Jadi dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bawa penanggung hanya

terikat secara subsidair manakala debitur tidak memenuhinya, dan pada tingkat

terakhir hanya debitur yang berkewajiban atas pemenuhan hutang tersebut. Hal

demikian terbukti dari adanya hak regres dari si penanggung kepada debitur,

setelah penanggung memenuhi prestasi.105

Perjanjian penanggungan tidak dipersangkakan melainkan harus dinyatakan

secara tegas. Jadi perlu adanya pernyataan kehendak secara tegas dari

penanggung. Adanya pernyataan kehendak secara tegas dari penanggung adalah

demi perlindungan bagi penanggung itu sendiri, agar dia tidak

dipertanggungjawabkan terhadap hal-hal lainnya, selain atas dasar pernyataan

kehendaknya yang telah dinyatakan secara tegas. Adanya pernyataan kehendak

tidak perlu memberikan persetujuannya secara tegas. Cukup bahwa kreditur itu

menerima akta borgtocht tersebut, dan meminta pemenuhan perjanjian.

Pada umumnya penanggungan itu dapat diberikan untuk menjamin

perutangan yang timbul dari segala macam hubungan hukum, lazimnya hubungan

hukum yang bersifat keperdataan. Namun dimungkinkan juga bahwa

penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan prestasi yang lahir dari

hubungan hukum yang bersifat publik, asal prestasi tersebut dapat dinilai dalam

bentuk uang. Penanggungan yang diadakan untuk pemenuhan piutang dari

hubungan hukum keperdataan, dapat timbul dari perutangan yang lahir dari

perjanjian, perbuatan melawan hukum, perutangan wajar pengurusan kepentingan


105
Ibid.

60
orang lain dan pembayaran tak terutang.

Pada asasnya dalam perjanjian penanggungan, sipenanggung itu hanya

mengikatkan diri untuk pemenuhan pembayaran sejumlah uang. Ini merupakan

bentuk lazim dalam perjanjian penanggungan. Seandainya penanggungan itu

diberikan untuk perutangan yang tidak berwujud dalam jumlah uang, maka jika

kreditur menuntut pemenuhan dari penanggung, harus dapat diwujudkan dalam

jumlah uang. Prinsip yang demikian kiranya sesuai dengan asas yang berlaku pada

hukum eksekusi, dimana pada pelaksanaan eksekusi, pelaksanaan uitwinning,

semua perutangan harus diwujudkan dalam pembayaran sejumlah uang.106

Segala persetujuan membutuhkan pelaksanaan oleh pihak yang mengikat

diri untuk memenuhi suatu kewajiban. Seringkali dibutuhkan suatu jaminan,

bahwa kewajiban betul-betul akan dipenuhi.

Suatu jaminan yang yang diberikan oleh pihak ketiga suatu pernyataan

bahwa ia menanggung pelaksanaan perjanjian sedemikian rupa, bahwa apabila si

berwajib tidak memenuhi janji, dialah yang akan melaksanakan perjanjian itu.

Jadi disamping perjanjian pokok (hoofdverbintenis) ada perjanjian baru antara

para pihak berhak (schuldeiser) dan seorang ketiga itu. Maka perjanjian jaminan

itu bersifat “accessoir” atau membuntut pada perjanjian pokok dalam arti bahwa

kalau perjanjian pokok ini sudah dilaksanakan, maka perjanjian jaminan dengan

sendirinya lenyap juga.

Persetujuan jaminan ini dikenalkan dalam hukum adat, sedang KUHPerdata

mengaturnya dalam buku III (Pasal 1820-1850). Pasal 1820 mulai dengan

mengatakan arti kata dari persetujuan ini.107

106
Wan Sadjaruddin Baros, Op.Cit., hlm. 84
107
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan, (Bandung:
Sumur Bandung, 1987), hlm.163.

61
Pasal 1821 ayat 1 menekankan sifat accessoir dari persetujuan jaminan ini

yaitu bahwa syarat mutlak dari kemungkinan adanya suatu persetujuan jaminan

adalah bahwa harus ada perjanjian pokok yang sah (wettige hoofdverbintennis).

Jadi, apabila perjanjian pokok adalah batal juga.

Menurut Pasal 1821 ayat 2 apabila perjanjian pokok dibatalkan berhubung

dengan kedudukan tertentu dari salah satu pihak, misalnya pihak itu adalah belum

dewasa, maka persetujuan jaminan dianggap tetap berlaku, artinya tidak dengan

sendirinya batal. Ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Pasal 1847 KUHPerdata

yang menentukan, bahwa seorang penjamin dapat mempergunakan tangkisan-

tangkisan (exepties) yang masuk hak pihak berwajib (schuldenaar) dan yang

mengenai kewajibannya itu sendiri kecuali apabila tangkisan-tangkisan itu

melekat pada orang perseorangan pihak yang berwajib. Dan dalam belakangan ini

termasukalah tangkisan yang dapat dikemukakan oleh seseorang, yang belum

dewasa pada waktu membuat perjanjian. Dengan demikian si penjamin leluasa

untuk menuntut pembatalan juga dari persetujuan jaminan.108

Pasal 1822 KUHPerdata juga memperlihatkan sifat accessoir dari

persetujuan jaminan ini, yaitu disebutkan bahwa pengikatan seorang penjamin

dapat kurang tetapi tidak dapat lebih daripada pengikatan pihak yang ditanggung.

Kalau pengikatan ini ternyata lebih maka pengikatan hanya dianggap berlaku bagi

apa saja yang dijanjikan oleh pihak berwajib yang dijanjikan oleh pihak berwajib

yang ditanggung saja.109

Kalau tentang hal sesuatu yang dijamin ada keragu-raguan, maka jaminan

tentang hal itu harus dianggap tidak ada. Ini dapat disimpulkan dari bunyi Pasal

108
Ibid.
109
Umar Haris Sanjaya, Op.Cit., hlm. 57

62
1824 KUHPerdata, bahwa suatu jaminan tidak dianggap menurut persangkaan

saja melainkan harus secara (uitdrukkerlijk) diberikan. Tetapi cara mengadakan

jaminan tidak ditentukan, jadi segala cara dperbolehkan, yaitu secara akta, surat

biasa atau lisan.

Oleh karena persetujuan jaminan pada hakikatnya adalah suatu persetujuan

antara pihak berhak dari persetujuan pokok dan si penjamin, maka adalah layak

apabila dalam Pasal 1823 ayat 1 dikatakan bahwa jaminan ini dapat diadakan

tanpa permintaan pihak berwajib (schuldenaar), malahan juga dapat dapat

diadakan secara bertentangan dengan kemauan pihak berwajib.

Menurut Pasal 1823 ayat 2 KUHPerdata, kewajiban si penjamin dapat

ditanggung lagi oleh orang keempat. Jadi yang ditanggung ini bukanlah

pelaksanaan janji dari pihak berwajib dalam perjanjian pokok, melainkan

pelaksanaan janji si penjamin itu.

Pasal 1825 KUHPerdata menyebutkan hal jaminan tak terbatas (onbepaalde

borgtocht) yang berarti, bahwa jaminan itu meliputi semua akibat dari adanya

perjanjian pokok, yaitu sampai meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan sesudah

penjamin ditegur untuk melaksanakan janjinya.110

Pasal 1826 KUHPerdata menentukan, bahwa janji-janji dari penjamin pada

waktu ia meninggal dunia, adalah beralih pada ahli warisnya, ketentuan mana

sebetulnya tidak perlu, oleh karena yang dikatakan itu, sudah dengan sendirinya

berlkau menurut peraturan-peraturan umum dari hukum perjanjian dari

KUHPerdata.111

Menurut Pasal 1827 KUHPerdata, kalau seorang berwajib dalam suatu

110
Wan Sadjaruddin Baros, Op.Cit., hlm. 89
111
Ibid.

63
perjanjian pokok mengikat diri untuk menunjuk seorang penjamin, maka ia harus

menunjuk seorang yang mampu untuk mengikat diri, yang cukup kaya untuk

dapat melaksanakan kewajibannya, dan yang berdiam diri di Indonesia. Jika sudah

ada penjamin ditunjuk dan penunjukan ini sudah diterima baik oleh pihak yang

berhak dalam perjanjian pokok, dan kemudian si penjamin menjadi miskin, maka

harus ditunjuk seorang penjamin baru, kecuali menurut perjanjian pokok semula

seorang penjamin tertentu itu sudah ditunjuk oleh pihak berhak sendiri (Pasal

1829).

Pasal 1830 KUHPerdata pada akhirnya menentukan, bahwa apabila seorang

pihak berwajib oleh undang-undang atau putusan hakim diwajibkan menunjuk

seorang penjamin, tetapi ternyata tidak mungkin menunjuk seorang penjamin itu,

maka ia dapat memberikan lain jenis jaminan, yaitu yang berwujud barang yang

digadaikan atau yang dimasukkan hipotik.112

Ketentuan yang mengatur tentang penjaminan diatur dalam Pasal 1820

sampai Pasal 1850 KUHPerdata. Pasal 1820 KUHPerdata menyebutkan bahwa:

“Penjamin atau penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang pihak

ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi

perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya”. Maka ada 3

pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur,

debitur, dan pihak ketiga. Kreditur disini berkedudukan sebagai pemberi kredit

atau orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang yang mendapat

pinjaman uang atau kredit atau kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan

menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur manakala debitur tidak

memenuhi prestasinya
112
Umar Haris Sanjaya, Op.Cit., hlm. 70

64
Sementara dalam Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang mengatur penjaminan dengan istilah penanggungan, yaitu

dalam Pasal 141, 164 dan Pasal 165.113

C. Pihak yang Dapat Menjadi Personal Guarantor (Penjamin Pribadi)

Pengertian “orang” dalam hukum jaminan perorangan ialah selain manusia

juga badan hukum, yaitu yang merupakan subyek hukum.114 Pada umumnya

penangungan itu timbul sebagai akibat adanya perjanjian pokok yang

menyebutkan secara khusus adanya penanggungan tersebut. Karena dalam banyak

hal ternyata bahwa seorang kreditur baru mau mengadakan hubungan perutangan

jika pihak lawannya itu dapat mengajukan penanggung, yang akan menanggung

pemenuhan hutang manakala debitur wanprestasi. Bahkan kreditur dapat

menunjuk seorang penanggung untuk memenuhi perutangan debitur tanpa

persetujuan dan tanpa sepengatuan debitur.

Di samping itu penanggungan dapat juga timbul karena penetapan undang-

undang. Karena dalam beberapa hal Undang-Undang mewajibkan adanya seorang

penanggung untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tertentu (keadaan tidak hadir,

hak pakai hasil, pewarisan).115

Penanggungan juga dapat timbul karena adanya keputusan hakim atau

ketetapan (beschikking) yang memutuskan perlu adanya penanggungan yang

menanggung dipenuhinya perutangan. Si debitur yang mewajibkan memberikan

seorang penanggung harus mengajukan seorang penanggung yang memenuhi

113
Pasal 141 UUK-PKPU
114
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Hukum Jaminan,
(Yogyakarta: Binacipta, 1978), hlm. 130.
115
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hlm. 86.

65
syarat-syarat tertentu, yaitu:116

1. Harus mempunyai kecakapan bertindak untuk mengikatkan diri.

2. Cukup mampu (kemampuan ekonomis) untuk dapat memenuhi perutangan

yang bersangkutan. Kemampuan ini harus ditinjau secara khusus menurut

keadaanya di mana hakim bebas untuk menentukan penilainnya.

3. Harus berdiam di wilayah Republik Indonesia.

Bagi penanggungan yang timbul karena perjanjian pokok yang menunjuk

secara khusus seorang penanggung (meghendaki seorang tertentu sebagai

penanggung) kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur untuk mengajukan

seorang penanggung yang memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana

ditentukan oleh Undang-Undang dengan demikian dianggap telah terpenuhi. Si

kreditur kemudian tidak dapat menggugat jika kemudian ternyata penanggung

tidak mampu atau tidak berdiam di wilayah Indonesia.

Jika si penanggung yang telah diterima oleh si kreditur, baik secara

sukarela maupun berdasarkan putusan hakim, kemudian ternyata menjadi tidak

mampu , maka harus ditunjuk seorang penanggung baru.

Si debitur berdasarkan ketentuan Undang-Undang atau berdasarkan

keputusan hakim diwajibkan memberikan seorang penanggung jika kemudian

tidak berhasil mendapatkannya, diperkenankan sebagai gantinya memberikan

jaminan gadai atau hipotik.

Saat ini penanggungan, sebagai lembaga jaminan banyak digunakan dalam

praktek karena alasan-alasan sebagai berikut:

116
Ibid.

66
1. Si penanggung mempunyai persamaan kepentingan ekonomi di dalam sudah

dari si peminjam (ada hubungan antara penjamin dan peminjam) misalnya

dalam keadaan-keadaan:

a. Si penjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang saham

terbanyak dari perusahaan tersebut, secara pribadi ikut menjamin

hutang-hutang dari perusahaan.

b. Perusahaan induk ikut menjamin hutang-hutang perusahaan cabang/

anak cabangnya.

c. Penanggungan memegang peranan penting dan banyak terjadi dalam

bentuk bank garansi, di mana bertindak sebagai penanggung/ borg

adalah bank. Dengan ketetentuan bahwa :

1) Bank mensyaratkan adanya provisi dari debitur untuk perutangan

siapa ia mengikatkan diri sebagai borg.

2) Bank mensyaratkan adanya sejumlah uang/deposito yang disetorkan

pada bank.

2. Penanggungan juga mempunyai peranan penting karena dewasa ini

lembaga-lembaga pemerintah lazim mensyaratkan adanya penanggungan

untuk kepentingan pengusaha-pengusaha kecil, misalnya untuk pertanian

(institutionele borgtoch).117

Dalam hal penjaminnya adalah pribadi, maka yang perlu diperhatikan

adalah status sosial dan status ekonomi guarantor itu. Bonafilitas guarantor

secara ekonomi dan status sosialnya di dalam masyarakat, menjadi syarat penentu

dan dapat dijadikan alasan, dapat tidaknya guarantor itu diterima kreditor.

Berkaitan dengan guarantor pribadi ini, apabila perjanjian kredit jatuh tempo, dan
117
Ibid.

67
debitor tidak dapat membayar utang-utangnya, maka debitor dapat dimohonkan

pailit. Setelah debitor dinyatakan pailit, lalu semua hartanya dijual oleh kurator

untuk membayar utang-utangnya. Apabila hasil penjualan itu tidak mencukupi

untuk melunasi utang-utangnya, maka kurator dapat menjual harta guarantor

untuk menutupi kekurangannya. Jadi, guarantor baru tampil memenuhi

kewajibannya apabila debitor (utama) sudah kehabisan harta untuk membayar

utang-utangnya.118

D. Sifat dari Personal Guarantor

Dalam perjanjian jaminan perorangan yang diutamakan adalah hubungan

antara kreditor dengan debitor utama.119 Peranan penjamin perorangan baru

muncul ketika debitor utama tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian

pokoknya sebagaimana yang telah diperjanjikan. Posisi penjamin perorangan

bersifat sebagai pengganti dari apa yang seharusnya dipenuhi oleh debitor

utama.

Ketika debitor tidak dapat memenuhi utangnya secara sebagian maupun

seluruhnya maka penjamin hadir dan melakukan pemenuhan atas utang debitor

tersebut. Pemenuhan utang debitor dilakukan secara sebagian ataupun

seluruhnya sesuai dengan jumlah yang belum dibayarkan oleh debitor utama.

Sehingga dengan demikian jaminan perorangan memiliki sifat subsidair yang

mana peran penjamin hadir ketika debitor melakukan wanprestasi.

Dapat dilihat peran penjamin perorangan merupakan suatu “cadangan”

dalam halnya harta benda debitor tidak mencukupi untuk melunasi utangnya

118
Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm. 140.
119
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 122

68
atau debitor sama sekali tidak memiliki harta yang dapat disita.120 Namun ketika

kreditor melakukan penagihan kepada penjamin perorangan, ia dapat menuntut

kreditor untuk menyita dan menjual harta benda debitor terlebih dahulu dan

diwajibkan untuk menunjukkan kepada kreditor atas harta benda milik debitor.

Penjamin perorangan tidak diperkenankan menunjukkan harta benda debitor

yang telah dibebani hak jaminan lain ataupun yang sedang dipersengketakan di

muka hakim.

Akan tetapi, peran penjamin yang muncul manakala debitor melakukan

wanprestasi merupakan hukum pelengkap (aanvulen recht) bukan hukum yang

mewajibkan (mandatory law) sehingga pemberlakuannya dapat

dikesampingkan.113 Sesuai dengan Pasal 1832 KUH Perdata hak penjamin

perorangan tersebut dapat dikesampingkan apabila:

1) Penjamin telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya

benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual.

2) Penjamin telah mengikatkan dirinya bersama dengan debitor secara

tanggung-menanggung yang berakibat perikatannya diatur menurut asas

untuk utang tanggung menanggung.

3) Jika debitor dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai

dirinya sendiri secara pribadi.

4) Jika debitor dalam keadaan pailit.

5) Apabila penjaminan diperintahkan oleh hakim.

E. Akibat Hukum Personal Guarantor

Adapun akibat hukum Personal Guarantor adalah diatur dalam


120
Subekti, Op. Cit., hlm. 53

69
Pasal 1831 KUH Perdata, yakni “penanggung tidak wajib membayar

kepada kreditur kecuali debitur lalai membayar utangnya, dalam hal

itupun barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu

untuk melunasi utangnya”.

Pernyataan ini diperkuat berdasarkan Pasal 1832 KUH Perdata, si

penanggung tidak dapat menuntut supaya benda-benda si berutang lebih

dahulu untuk melunasi utangnya :121

a. Apabila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya

benda-benda siberutang lebih dahulu disita dan dijual;

b. Apabila ia mengikatkan dirinya bersama-sama dengan si berutang

utama secara tanggung menanggung; dalam hal mana akibat-akibat

perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-

utang tanggung menanggung;

c. Jika si berutang dapat memajukan suatu tangkisan yang hanya

mengenai dirinya sendiri secara pribadi;

d. Jika si berutang berada di dalam pailit;

e. Dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh hakim

Berdasarkan pembahasan di atas jaminan perorangan adalah suatu

perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga,

yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Unsur

jaminan perorangan, yaitu mempunyai hubungan langsung pada orang

tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap

harta kekayaan debitur umumnya. Dalam pengajuan permohonan PKPU

Personal Guarantor memiliki kewajiban yakni ikut bertanggung jawab


121
Pasal 1832 KUH Perdata

70
atas pembayaran utang debitur, karena Personal Guarantor telah

menyetujui kewajiban untuk membayar utang ataupun ganti rugi kepada

kreditur, bila debitur wanprestasi mengakibatkan debitur tersebut

dipailitkan tetapi hal ini dapat dipenuhi oleh Personal Guarantor,

bertanggung jawab harus menunjuk pengganti dirinya baik itu secara

sukarela atau berdasarkan putusan hakim, bila tidak mampu menjamin

pembayaran utang debitur, bertanggung jawab sebagai cadangan dalam hal

harta debitor tidak mencukupi untuk melunasi utangnya. Namun dalam Pasal

1832 KUH Perdata terdapat pengecualian dari ketentuan Pasal 1831 KUH

Perdata yang membuat kreditor memiliki peluang untuk langsung dapat

menuntut kepada guarantor untuk melaksanakan kewajibannya melunasi utang-

utang debitor yang telah dilimpahkan kepadanya secara keseluruhan tanpa harus

menjual harta benda debitor terlebih dahulu.

BAB IV

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERSONAL GUARANTOR DALAM HAL

DIKABULKANNYA PERMOHONAN PKPU

PADA PUTUSAN NO. 165/PDT.SUS-PKPU/2018/PN.NIAGA.JKT.PST

A. Personal Guarantor dalam Permohonan Pailit

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa

dan mengadili perkara PKPU pada tingkat pertama yang diajukan oleh :

PT. SMFL LEASING INDONESIA, suatu perseroan terbatas berkedudukan di

Menara BTPN, Lantai 31, Jalan Dr. Ide Anak Agung Gde Agung Kav. 5.5 – 5.6,

71
Kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan 12950 (“Perseroan”) dalam hal ini

diwakili oleh TOSHIYUKI SEKI dalam kedudukannya selaku Presiden Direktur

Perseroan; Dan; TEDDY SOEMANTRY, S.H., LAMO H.T SORMIN, S.H.,

HADI IRWANTO, S.H., dan A. BRYAN FAU, S.H., Advokat-Advokat pada

Kantor Advokat TEDDY & TITI, beralamat di Jl. Cimandiri No. 1 A, Jakarta

Pusat - 10330, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 01 November 2018,

selanjutnya disebut “PEMOHON PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG atau Pemohon PKPU”,

Pemohon PKPU merupakan suatu perseroan terbatas yang bergerak dalam bidang

pembiayaan yang didirikan menurut hukum Indonesia berdasarkan Anggaran

Dasar yang termuat dalam Akta Pendirian tanggal 23 Desember 2009, Nomor :

09, yang dibuat dihadapan Sri Hasmiyarti,S.H., Notaris di Jakarta, yang telah

memperoleh Pengesahan dari Menteri Hukum Dan Perundang-undangan Republik

Indonesia, dengan Surat Keputusannya, tertanggal 25 Januari 2010 Nomor AHU-

04023.AH.01.01.Tahun 2010, dan telah diumumkan dalam Berita Negara

Republik Indonesia tanggal 15 Oktober 2010, Nomor: 83, Tambahan- Nomor :

31763, Anggaran Dasar mana telah beberapa kali diubah dan yang terakhir

mengenai Susunan Direksi dengan Akta Pernyataan Keputusan Para Pemegang

Saham Nomor 22 tertanggal 9 Agustus 2018, yang dibuat dihadapan Indah Prastiti

Extensia, S.H., Notaris di Jakarta, dantelah memperoleh Surat Penerimaan

Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan dari Kementerian Hukum Dan Hak

Asasi Manusia tertanggal 20 Agustus 2018 Nomor AHU-AH.01.03-0234025.

Pemohon PKPU selaku Pihak yang berpiutang atas Termohon PKPU I dan

Termohon PKPU II yang masing-masing disebut sebagai pihak yang berutang atas

72
beberapa Perjanjian Sewa Guna Usaha sebagai berikut :

1. AKTA PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA No. 22, yang dibuat

dihadapan Indah Prastiti Extensia, S.H, Notaris di Jakarta tanggal 19

April 2013 Jo Addendum Perjanjian Sewa Guna Usaha No.

DLJKT130121-I tanggal 5 September 2013 yang dibuat dibawah tangan

dan telah diregister (warmerking) oleh Indah Prastiti Extensia, S.H.,

Notaris di Jakarta dengan Nomor W.1107/X/IPE/2013 tanggal 23

Oktober 2013 dan Addendum Perjanjian Sewa Guna Usaha No.

DLJKT130121-2 (berikut lampiran-Iampiran, turutan-turutan,

perubahan-perubahan, dan/atau penambahan-penambahannya) (“Akta

Perjanjian Sewa Guna Usaha 1”).

2. LEASE AGREEMENT - PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA –

Contract No./Kontrak No. DLJKT150048Date/tanggal 4 Maret 2015

yang dibuat dibawah tangan dan telah diregister (warmerking) oleh Indah

Prastiti Extensia, S.H., Notaris di Jakarta, dengan Nomor

W.294/III/IPE/2015 tanggal 30 Maret 2015 Jo. Addendum Perjanjian

Sewa Guna Usaha No. DLJKT150048-I yang dibuat dibawah tangan

tanggal 27 Maret 2015 dan telah diregister (warmerking) oleh Indah

Prastiti Extensia, S.H., Notaris di Jakarta dengan Nomor

W.374/IV/IPE/2015 tanggal 17 April 2015 (berikut lampiran-Iampiran,

turutan-turutan, perubahanperubahan, dan/atau penambahan-

penambahannya) (“Perjanjian Sewa Guna Usaha 2”);

3. LEASE AGREEMENT - PERJANJIAN SEWA GUNA USAHA –

Contract No./Kontrak No. DLJKT150049 Date/tanggal 4 Maret 2015

73
yang dibuat dibawah tangan dan telah dilegalisasi oleh Indah Prastiti

Extensia, S.H., Notaris di Jakarta, dengan Nomor L-42/III/IPE/2015

tanggal 04 Maret 2015 (berikut lampiran-Iampiran, turutan-turutan,

perubahanperubahan, dan/atau penambahan-penambahannya)

(“Perjanjian Sewa Guna Usaha 3”)

TERHADAP

1. PT. MALACCA ELAB, berkedudukan di Gedung Krakatau Steel Lantai

9, Jl. Gatot Subroto Kav. 54, Jakarta 12950, selanjutnya disebut

“TERMOHON PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN

UTANG I” atau Termohon PKPU I;

Termohon PKPU I merupakan suatu perseroan terbatas yang bergerak

dalam bidang Kehutanan membutuhkan fasilitas pembiayaan barang

modal berupa 11 (sebelas) unit Kobelco Excavator (“Barang Modal”).

2. IKHWAN ANDI MANSYUR, beralamat di Jl. Mandala V, No. 38, RT.

10 RW 002, Kelurahan Menteng Dalam, Kecamatan Tebet – Jakarta

Selatan, selanjutnya disebut “TERMOHON PENUNDAAN

KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG II atauTermohon PKPU II”.

Termohon PKPU II merupakan Penjamin Pribadi (Personal Guarantor)

atas utang Termohon PKPUII sesuai dengan Akta Jaminan Pribadi

dengan No. 23 tanggal 19 April 2013, Akta Jaminan Pribadi tanggal 4

Maret 2015 dan telah diregister dengan No. W.296/IIIIPE/2015 tanggal

30 Maret 2015, Akta Jaminan Pribadi tertanggal 4 Maret 2015 dengan

No. L.44/II/IPE/2015.

74
B. Posisi Kasus

1. Duduk Perkara

Dalam permohonan PKPU, Pemohon PKPU berdasarkan

Perjanjian Sewa Guna Usaha atas seluruh barang modal yang diterima

oleh Termohon PKPU I telah dibiayai sepenuhnya oleh Pemohon

PKPU dengan Total Pembiayaan sebesar Rp 8.093.056.676 ( delapan

milyar sembilan puluh tiga juta lima puluh enam ribu enam ratus tujuh

puluh enam rupiah) dan USD 373,120.00 (tiga ratus tujuh puluh tiga

ribu seratus dua puluh Dollar AS).

Dalam menjamin kepastian pembayaran Uang Sewa Guna Usaha

Termohon PKPU I kepada Pemohon PKPU secara tertib dan teratur

berdasarkan Perjanjian Sewa Guna Usaha, maka Termohon PKPU II

telah membuat dan menandatangani Perjanjian Pemberi Jaminan

Pribadi yang membuatnya ikut menanggung utang Termohon PKPU I.

Termohon PKPU II selaku penjamin secara tegas telah

mengenyampingkan dan melepaskan hak-hak khusus/istimewa

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1430, Pasa 1811, Pasal

1831, Pasal 1833, Pasal 1837, Pasal 1843, Pasal 1847, Pasal 1848,

Pasal 1849 dan Pasal 1850 KUH Perdata.

Termohon PKPU I dan II tidak dapat memenuhi kewajibannya

sebagaimana yang ditentukan dalam Perjanjian Sewa Guna Usaha,

sehingga Pemohon PKPU mengirimkan surat peringatan pertama

tetapi tidak ditanggapi oleh Termohon PKPU I.

Berdasarkan catatan pembukuan Pemohon PKPU, jumlah seluruh

75
tunggakan pembayaran uang sewa guna usaha, sisa utang pokok,

denda keterlambatan, bunga dan biaya lainnya setelah dikurangi

dengan hasil penjualan barang modal sampai tanggal 31 Juli 2018

adalah sebesar Rp 11.558.194.689,00 dan USD 443,026.00.

Tunggakan kewajiban sewa guna usaha baik Pemohon PKPU I

maupun Kuasanya dengan itikad baik telah berusaha memberikan

surat-surat teguran kepada para Termohon agar bersedia

menyelesaikan secara sukarela dan musyawarah, namun tidak

ditanggapi dengan baik. Maka berdasarkan Pasal 16 Perjanjian Sewa

Gua Usaha maupun Perjanjian Jaminan Pribadi, para Termohon

PKPU sudah dapat dinyatakan LALAI dan akibat hukumnya menurut

Pasal 19 Perjanjian Sewa Guna Usaha maupun Perjanjian Jaminan

Pribadi, kewajiban Uang Sewa Guna Usaha menjadi Jatuh Tempo

sehingga para Termohon PKPU baik sendiri-sendiri maupn secara

bersama-sama harus segera membayar lunas secara seketika dan

sekaligus kewajiban Uang Sewa Guna Usaha dan kewajiban lainnya

yang masih terutang berdasarkan Perjanjian Sewa Guna Usaha ini.

Pada 28 Agustus 2018 para Termohon PKPU mengakui tidak

mampu membayar dan mengakui sedang mengalami kesulitan

keuangan. Oleh karena itu, Pemohon PKPU memberikan kesempatan

terkahir kepada para termohon PKPU melalui Permohonan PKPU ke

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar para

Termohon PKPU dapat mengajukan Rencana Perdamaian untuk

membayar sebagian atau seluruh kewajiban utangnya.

76
Termohon PKPU I dan Termohon PKPU II juga mempunyai

utang kepada kreditur lain, yaitu PT. INTAN BARUPRANA

FINANCE Tbk. dengan jumlah tagihan sebesar Rp 2.383.511.403,19.

Maka berdasarkan permohonan PKPU, Pemohon PKPU menganggap

bahwa secara hukum syarat-syarat untuk diajukannya Permohonan

PKPU sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 222 ayat 1 dan ayat

3 UU Kepailitan dan PKPU telah terpenuhi. Sesuai dengan fakta-fakta

yang diuraikan diatas telah terbukti kewajiban atau utang para

Termohon PKPU telah terbukti secara sederhana.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Majelis Hakim Pengadilan

Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan

Permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemohon PKPU terhadap para

Termohon PKPU dan menetapkan PKPU Sementara yaitu selama 45

hari terhitung sejak putusan diucapkan.

2. Pertimbangan Hukum

Terhadap persoalan tersebut, Majelis Hakim mempertimbangkan

sebagai berikut :

Majelis Hakim dalam mengabulkan permohonan PKPU harus

memeriksa syarat materil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal

222 UU Kepailitan dan PKPU.

a. PKPU diajukan oleh debitur yang mempunyai lebih dari 1

kreditur atau oleh kreditur;

Pertimbangan Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam

77
pemeriksaan para Termohon PKPU selain mempunyai utang

terhadap Pemohon PKPU, juga memiliki utang kepada PT.

INTAN BARUPRANA FINANCE TBK dengan jumlah

tagihan sebesar Rp 2.383.511.403,19. Hal ini sesuai dengan

surat Akta nomor ; 11 Pernyataan keputusan rapat umum

pemegang saham tahunan PT Intan Baruprana Finance

tertanggal 10 Agustus 2018 (Bukti K- 1B), surat Akta Nomor

: 064/IMB/VI/13 Akad Ijarah Muntahiyyah Bittamlik

(perjanjian Sewa Guna Usaha PT Malca Elab (termohon

PKPU) tertanggal 26 Juni 2013 (Bukti K-1B), surat

Amandeman I/ merektrukturisasi akad Ijarah Muntahiyya

Bittamrik No. 064/IMB/VI/13, (Bukti K-3), surat

Amandeman II/ merektrukturisasi akad Ijarah Muntahiyya

Bittamrik No. 064/IMB/VI/13, (Bukti K-4), surat Akad Ijarah

Muntahiyya Bittamrik No. 068/IMB/VI/13, beserta

amandemennya (Bukti K-5), surat Akta Pernyataan dan

Pengakuan Utang Nomor : 069/PU/XI/15 PT Malaca Elab,

tertanggal 30 Desember 2015, (Bukti K- 6) dan surat Jaminan

Pribadi (Personal Guarantore) Bpk. Ikhwan Andi Mansyur,

(Bukti K – 7); Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan

sebagaimana tersebut di atas, menurut Majelis Hakim baik

Pemohon PKPU maupun Kreditor lain sama-sama

mempunyai kapasitas sendiri-sendiri sebagai Kreditor

terhadap Para Termohon PKPU selaku Debitor, karenanya

78
syarat adanya lebih dari satu Kreditor dalam hal ini juga telah

terpenuhi;

b. Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan

dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah

jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon PKPU,

dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang

meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang

kepada kreditur;

c. Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat

melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan

dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi

penundaan kewaiban pembayaran utang, untuk

memungkinkan Debitor Debitor mengajukan rencana

perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau

seluruh utang kepada Kreditornya;

Menimbang, bahwa bunyi Pasal 222 ayat (3) Undang-

Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyebutkan

bahwa Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak

dapat melanjutkan pembayaran utangnya yang sudah jatuh

waktu dan dapat ditagih dapat memohon agar kepada Debitor

diberi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang untuk

memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian

yang meliputi tawaran sebagian atau seluruh utang kepada

79
Kreditornya ;

Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (4) UU

Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa : “Permohonan

pernyataan Pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau

keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan

untuk dinyatakan Pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

ayat (1) telah dipenuhi”. Dalam Penjelasan atas Pasal 84 ayat

(4) UU Kepailitan dan PKPU tersebut, bahwa : “Yang

dimaksud dengan ‘fakta atau keadaan yang terbukti secara

sederhana’ adalah adanya fakta dua atau lebih Kreditor dan

fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.

Sedangkan perbedaaan besarnya jumlah utang yang dialihkan

oleh Pemohon Pailit dan Termohon Pailit tidak menghalangi

dijatuhkannya Putusan pernyataan Pailit” .

Menimbang, bahwa berdasarkan surat Perjanjian Sewa Guna

Usaha (bukti P- 11, P- 12, dan P- 13) terbukti bahwa

Pemohon PKPU dan Termohon I PKPU telah mengikatkan

diri pada perjanjian sewa guna Usaha dan berdasarkan

Perjanjian Sewa Guna Usaha tersebut, seluruh Barang Modal

yang diterima oleh Termohon PKPU I telah dibiayai

sepenuhnya oleh Pemohon PKPU dengan Total Nilai

Pembiayaan sebesar Rp. 8.093.056.676,- (delapan milyar

sembilan puluh tiga juta lima puluh enam ribu enam ratus

tujuh enam Rupiah) dan USD 373,120.00 (tiga ratus tujuh

80
puluh tiga ribu seratus dua puluh Dollar Amerika Serikat);

Menimbang, bahwa berdasarkan catatan pembukuan

Pemohon PKPU, jumlah seluruh tunggakan pembayaran

Uang Sewa Guna Usaha, Sisa Hutang Pokok, Bunga, Denda

Keterlambatan, dan Biaya-Biaya lainnya setelah dikurangi

dengan hasil Penjualan Barang Modal sampai tanggal 31 Juli

2018 adalah sebesar Rp.11.558.194.689,- (sebelas belas

milyar lima ratus lima puluh delapan juta seratus sembilan

puluh empat ribu enam ratus delapan puluh sembilan Rupiah)

dan USD 443,026.00 (empat ratus empat puluh tiga ribu dua

puluh enam Dollar Amerika Serikat);

Menimbang, bahwa Perjanjian Penanggungan tanggal 5

Januari 2016 (vide Bukti P-14, dan P-15) Termohon PKPU II

(Ikhwan Andi Mansur) telah mengikatkan diri secara

tanggung renteng selaku penjamin pribadi dari Termohon

PKPU I untuk membayar seluruh utang Termohon PKPU I;

Menimbang, bahwa Pasal 1, dalam surat Jaminan Pribadi

(vide Bukti P-14) tersebut di atas, menentukan bahwa

Termohon PKPU II, selaku Penjamin Pribadi dari Termohon

PKPU I telah melepaskan hak istimewanya

(mengesampingkan Pasal 1831 KUH Perdata) untuk meminta

agar aset milik Termohon PKPU I disita dan dijual terlebih

dahulu untuk melunasi utang-utang Termohon PKPU I.

Menimbang, bahwa konsekuensi hukum yang wajib

81
ditanggung oleh Termohon PKPU II selaku Penjamin Pribadi

yang telah melepaskan hak istimewanya (mengesampingkan

Pasal 1831 KUH Perdata) adalah Termohon PKPU II, adalah

juga selaku debitor utama dari Pemohon PKPU yang wajib

melunasi seluruh utang Termohon PKPU I kepada Pemohon

PKPU tanpa adanya keharusan bagi Pemohon PKPU untuk

menagih terlebih dahulu kepada Termohon PKPU I,

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1832 KUH Perdata.

3. Putusan Hakim

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas Permohonan Pemohon

PKPU yang mengajukan PKPU terhadap para Termohon PKPU,

adalah cukup beralasan menurut hukum dan undang-undang untuk

patut dikabulkan karena telah sesuai dengan Pasal 222, Pasal 224,

Pasal 225, Pasal 227 dan Pasal 228 UU Kepailitan dan PKPU.

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah

memberikan putusan dengan amar sebagai berikut :

MENGADILI

Mengabulkan Pemohonan Pemohon Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh Pemohon PKPU

terhadap Termohon PKPU I : PT Malacca Elab, dan Termohon PKPU

II : Ikhwan Andi Mansyur untuk seluruhnya dengan segala akibat

hukumnya ;

Menetapkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

82
Sementara yaitu selama 45 (empat puluh lima) hari terhitung sejak

Putusan ini diucapkan;

a. Menunjuk Saudara MAKMUR, S.H., M.H., Hakim Niaga pada

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas ;

b. Mengangkat:

1) Sdr. RAJA MADA SILALAHI, S.H., M.Phil., LL.M,

Kurator dan Pengurus yang terdaftar di Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dengan Surat Bukti

Pendaftaran Kurator dan Pengurus No. AHU.92

AH.04.03-2017 tanggal 14 Juni 2017 berkantor di

RAJAMADA & PARTNERS, Menara Rajawali Lantai 8,

Komplek Mega Kuningan, Lot 5.1. Jl. DR. Ide Anak

Agung Gde Agung, Kuningan - Jakarta Selatan 12950;

2) Sdr. EDY HALOMOAN GURNING, S.H., M.SI, Kurator

dan Pengurus yang terdaftar di Departemen Hukum dan

Hak Asasi Manusia RI dengan Surat Bukti Pendaftaran

Kurator dan Pengurus No. AHU. 249 AH.04.03- 2018

tanggal 06 September 2018 berkantor di EDY GURNING

& PARTNERS, Ariobimo Central Lantai 5, Jl. H.R.

Rasuna Said Blok X-2 Kav. 5 - Jakarta Selatan – 12950;

dan

3) Sdr. KIAGUS AHMAD BELLA SATI, S.H, Kurator dan

Pengurus yang terdaftar di Departemen Hukum dan Hak

Asasi Manusia RIdengan Surat Bukti Pendaftaran Kurator

83
dan Pengurus No. AHU.AH.04.03-104 tanggal 19 Agustus

2015 berkantor di DAFI MUNIR & PARTNERS,

EQUITY Tower Lantai 17C, Sudirman Central Business

District SCBD Lot.9, Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53,

Jakarta Selatan sebagai Pengurus dalam hal Termohon

PKPU I dan Termohon PKPU II

Menetapkan hari persidangan berikutnya pada hari : Senin, tanggal

21 Januari 2019 Pukul 09.00 WIB, bertempat di ruang sidang

Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ;

Memerintahkan Tim Pengurus untuk memanggil para Termohon

PKPU dan Para Kreditor yang dikenal dengan surat tercatat atau

melalui Kurir untuk menghadap dalam sidang-sidang yang

ditentukan;

Menetapkan biaya pengurusan dan imbalan jasa Pengurus akan

ditetapkan kemudian setelah Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (PKPU) berakhir;

Menangguhkan biaya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang (PKPU) ini sampai dengan PKPU dinyatakan selesai.

C. Akibat Hukum Terhadap Personal Guarantor dalam Hal

Dikabulkannya Permohonan PKPU Pada Putusan No. 165/PDT.SUS-

PKPU/2018/PN.NIAGA.JKT.PST

Berdasarkan amar putusan, permohonan PKPU yang diajukan oleh

Pemohon PKPU telah berdasarkan atas hukum dan patut untuk dikabulkan.

84
Maka akibat hukum terhadap Personal Guarantor yakni IHKWAN ANDI

MANSYUR sekaligus sebagai Termohon PKPU II dengan dikesampingkannya

Pasal 1831 KUH Perdata juga merupakan debitur utama dari Pemohon PKPU

yang wajib melunasi seluruh utang Termohon PKPU I kepada Pemohon PKPU

tanpa adanya keharusan bagi Pemohon PKPU untuk menagih terlebih dahulu

kepada Termohon PKPU I, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1832 KUH

Perdata. Dengan demikian, Pemohon PKPU berhak mengajukan permohonan

PKPU ini terhadap Termohon PKPU II selaku penjamin pribadi dari Termohon

PKPU I.

Berdasarkan Pasal 1831 KUH Perdata yang telah dikesampingkan oleh

penjamin pribadi, penjamin pribadi wajib membayar kepada Pemohon PKPU

kecuali Termohon PKPU II lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang

kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi

utangnya.

Berdasarkan Pasal 1833 KUH Perdata yang dikesampingkan oleh penjamin

pribadi, maka Pemohon PKPU dapat wajib menyita dan menjual lebih dahulu

barang kepunyaan debitur, kecuali bila pada waktu pertama kalinya dituntut di

muka hakim, penjamin pribadi mengajukan permohonan itu.

Berdasarkan Pasal 1837 KUH Perdata yang dikesampingkan oleh penjamin

pribadi, maka penjamin pribadi tidak dapat menuntut supaya Pemohon PKPU

lebih dahulu membagi piutangnya, dan mengurangi sebatas bagian masing-masing

penanggung utang yang terikat secara sah.

Berdasarkan Pasal 1843 KUH Perdata yang dikesampingkan oleh penjamin

pribadi, maka penjamin pribadi tidak dapat menuntut Termohon PKPU I untuk

85
diberi ganti rugi atau dibebaskan dari perikatannya, bahkan sebelum ia membayar

utangnya.

Berdasarkan Pasal 1847 KUH Perdata yang dikesampingkan oleh penjamin

pribadi, maka penjamin pribadi tidak dapat menggunakan segala tangkisan yang

dapat dipakai oleh Termohon PKPU I dan mengenai utang yang ditanggungnya

sendiri. Akan tetapi, ia tida boleh mengajukan tangkisan yang semata-mata

mengenai pribadi Termohon PKPU I tersebut.

Berdasarkan Pasal 1848 KUH Perdata yang dikesampingkan oleh penjamin

pribadi, maka penjamin pribadi tidak dibebaskan dari kewajibannya bila atas

kesalahan Pemohon PKPU I, ia tidak dapat lagi memperoleh hak hipotek dan hak

istimewa Pemohon PKPU selaku kreditur itu sebagai penggantinya.

Berdasarkan Pasal 1849 KUH Perdata yang dikesampingkan oleh penjamin

pribadi, maka meskipun Pemohon PKPU secara sukarela menerima suatu barang

tak bergerak atau barang lain sebagai pembayaran utang pokok, maka penjamin

pribadi tidak dibebaskan dari tanggungannya, sekalipun barang itu kemudian

harus diserahkan oleh Pemohon PKPU kepada orang lain berdasarkan putusan

Hakim untuk kepentingan pembayaran utang tersebut.

Berdasarkan Pasal 1850 KUH Perdata yang dikesampingkan oleh penjamin

pribadi, maka penjamin pribadi tidak dapat memaksakan Termohon PKPU I untuk

membayar utangnya atau membebaskan penjamin pribadi dari tanggungannya itu.

Berdasarkan uraian hak-hak istimewa yang dikesampingkan oleh

perjanjian penanggungan maka dengan demikian antara Personal Guarantor

dan Termohon PKPU I (Debitur utama) memiliki kedudukan yang sama di

dalam permohonan PKPU.

86
Berdasarkan pembahasan di atas, akibat hukum terhadap Personal

Guarantor dalam dikabulkannya permohonan PKPU adalah maka antara

Personal Guarantor dan Termohon PKPU I (Debitur utama) memiliki

kedudukan yang sama di dalam permohonan PKPU, karena hak-hak istimewa

yang seharusnya dimiliki oleh Personal Guarantor dikesampingkan dalam

perjanjian penanggungan yang dibuat oleh kedua belah pihak, yakni Pasal 1832,

Pasal 1831, Pasal 1833, Pasal 1837, Pasal 1850, Pasal 1849, Pasal 1848, Pasal

1847, Pasal 1843 KUH Perdata.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proses pengajuan PKPU secara khusus, UUK-PKPU menentukan tata cara

(prosedur) yang harus ditempuh untuk mengajukan permohonan PKPU.

Prosedur tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 224 UUK-PKPU yang

yakni permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 harus diajukan kepada

Pengadilan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus

87
disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor

beserta surat bukti secukupnya, dalam hal pemohon adalah Kreditor,

Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat

tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang, pada sidang

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), debitor mengajukan daftar yang

memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti

secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian, pada surat permohonan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilampirkan rencana

perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 UUK-PKPU.

2. Kewajiban Personal Guarantor terhadap utang yang dapat dimohonkan

pailit adalah ikut turut serta membayar utang yang diikatkan kepadanya

namun dengan memperhatikan semua hak istimewa Personal Guarantor

itu sendiri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1831, Pasal 1837, Pasal

1847, Pasal 1848, Pasal 1849 KUH Perdata.

3. Akibat Hukum Terhadap Personal Guarantor dalam hal dikabulkannya

Permohonan PKPU adalah Personal Guarantor wajib untuk turut serta

membayar utang debitur utama dengan memperhatikan semua hak

istimewanya dan tidak berhak lagi untuk mengurus harta kekayaannya,

kecuali dengan persetujuan pengurus.

B. Saran

1. Dalam UUK-PKPU sebaiknya diatur tentang batasan kesanggupan

pembayaran utang sebelum diajukannya permohoan PKPU dan

Kepailitan agar itikad baik Debitur dan Personal Guarantor tetap

dilindungi.

88
2. Dalam regulasi sebaiknya Personal Garantor dan Debitur Utama

dibedakan dari segi kewajiban pembayarannya, tidak hanya dibedakan

dari segi eksekusi harta kekayaan kedua belah pihak saja, karena

sebenarnya yang mempunyai utang adalah Debitur Utama, untuk itu

perlu diatur batasan Personal Guarantor dalam membayar utang yang

diikatkan kepadanya.

3. Dalam keadaan tidak mampu membayar utang maka sebagai Personal

Guarantor, seharusnya membicarakan kelanjutan mengenai proses

pembayaran utang tanpa harus melalui proses PKPU, dapat diselesaikan

dengan membuat perjanjian kesanggupan pembayaran utang sebagai

bentuk itikad baik Debitur dalam penyelesaian utang.

89

Anda mungkin juga menyukai