Anda di halaman 1dari 5

Ukhuwah, Hanya Manis Di ujung Lidah..

Kisah Kiriman dari Akh Marwan

Bismillahirrahmanirrahiim Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ini adalah perjalanan hidupku, yang aku goreskan lewat kata-kata, sebab bibir ini telah keluh
untuk berucap... Malam ini, kulihat jarum jam telah menunjukan pukul 02.00 dini hari,
namun aku masih belum bisa memejamkan mataku, bayang-bayang kepiluan selalu
mengganggu fikiranku, dan hari ini, adalah hari ke 4 dimana aku telah pergi meninggalkan
rumah dan segala kepiluan yang ada dilamannya. Hari ini juga adalah hari yang ke 4 dimana
aku telah terpisah dengan istri dan anak-anakku.

Kurasakan kerinduan ini teramat mendalam, aku ingin memeluk mereka, aku ingin
merengkuh mereka dalam dekapan kasih sayang, namun ternyata aku tak memiliki daya
untuk mewujudkannya. Aku terpaksa meninggalkan mereka dengan sebuah alasan yang jelas,
aku ingin berihtiar untuk sebuah urusan yang begitu menyesakkan dadaku, dan aku sendiri
tak tahu sampai kapan semua ini akan beroleh penyelesaian...aku bingung, hatiku kalut..., aku
seperti orang hina yang mengetuk pintu hati setiap insan untuk meminta pertolongan..., yah..,
pertolongan yang begitu sangat berarti buat hidupku dan keluargaku, namun hingga kini
pertolongan itu seolah masih jauh dari hidupku...

Al-kisah...:

Tujuh tahun yang lalu, ayahku telah meminjam dana sejumlah Rp. 15.000.000 pada seorang
dermawan, karena sebuah desakan kehidupan yang menyeretnya terpaksa harus meng-adakan
dana tersebut, dimana saudarku yang tua meminta segera dinikahkan dengan wanita pujaan
hatinya, padahal kondisi keluarga saat itu sanagat tidak mendukung, namun kondisi tersebut
tak dimengerti oleh kakakku, sehingga bila hasrat hatinya tak dikabulkan oleh ayah, maka
rumah kami yang akan menjadi sasaran kemarahannya, yah, dia berniat akan
membumihanguskan rumah dan seisinya bila nanti impiannya tak jadi nyata..., itulah
mengapa kedua orang tuaku terpaksa harus mengadakan uang tersebut dengan jalan
meminjam dari dermawan yang dapat terketuk pintu hatinya..., saat itu, karena aku masih
kuliah, sehingga aku tak dapat berkata apapun, selain berdoa semoga orang tuaku dapat
melunasi pinjaman tersebut. Waktu terus bergulir, hingga masalah itupun usai berlalu...,
bahkan aku sendiri telah lupa dengan masalah piutang tersebut, tahun 2006 aku menikah
dengan seorang muslimah yg taat, hari-hari kami lalui dengan kebahagiaan, berbagai cobaan
kami lalui bersama, hingga lahirlah 2 Jundi mungil dari rahimnya, Alhamdulillah, alangkah
bahagianya hatiku saat itu, hingga datanglah musibah ini.., dermawan tersebut datang
menemui kami dan menagih uang yang dipinjam ayah pada 7 tahun silam, saat itu aku shock,
aku tak menyangka kalau ternyata pinjaman itu selama 7 tahun belum dibayar oleh ayah,
hingga kondisi beliau saat ini tak memungkinkan lagi untuk membayar pitang tersebut, faktor
usia dan ekonomi yang pas-pasanlah yang menjadi alasannya, hatiku miris mendengarnya,
sakit..namun perlahan muncul rasa iba dalam hatiku..”Kasihan ayah..dia harus mengalami ini
dimasa tuanya, haruskah aku berlepas diri dari masalah ini?, sementara dia adalah ayahku..,
ya Allah..kuatkanlah hatiku...” itulah ujuarku saat itu.

Kucoba untuk bermusyawarah dengan kedua saudaraku, mencari solusi yang terbaik untuk
melepaskan beban ayah yang kini tengah merong-rong masa tuanya, namun kedua saudaraku
tidak memberi respon dan memilih untuk pergi menjauh dari kehidupan kami, karena tak
ingin menanggung malu dengan rong-rongan penagih yang setiap hari datang kerumah, aku
sangat terpukul, air mataku tak terbendung. Yang ada dalam benakku hanyalah “ayah”,
kasihan dia..., kuingat betul saat itu, ba’da jum’at aku bermusyawarah dengan istriku, kulihat
tak ada guratan sedih diwajahnya, ketegarannya membuat aku kuat dalam menghadapi
kemelut hidup ini, bahkan dari bibirnya terucap kata-kata yang begitu bijak, yang telah
membuatku lupa, bahwa aku sedang dalam masalah besar, Subhanallah...terima kasih ya
ALLAH, engkau mengujiku dengan maslaah ini, namun KAU pula telah mengutus
penawarnya yang saat ini tengah mendampingiku. Maha Suci Engkau ya Allah. Akhirnya,
dengan kesepakatan bersama (aku dan Istri), tabungan yang belum seberapa, yang telah
berbulan-bulan lamanya kami tabung untuk mewujudkan Rumah Mungil Impian, kami
ikhlaskan untuk membayar tagihan pinjaman tersebut meskipun belum sepenuhnya menutupi,
dan istriku telah rela menelan pahitnya kehidupan dengan memulai segalanya dari awal,
bahkan terkadang harus merelakan hasrat hati dalam perasaan lapar dan haus, begitu
tabahnya dia hingga kesyukuran tak pernah pupus dari bibirku. Hingga suatu hari, tepatnya
hari selasa 25 Agustus 2009, aku diundang oleh Saudaraku kesurabaya untuk sebuah urusan,
yah, Urusan Dakwah, saat undangan itu tiba, hatiku bimbang, aku tak tahu apakah aku harus
memenuhi undangan tersebut atau tidak, sementara aku di deadline harus menutupi sisa
piutang ayah pada tanggal 5 sepetember 2009, disisi yang lain, istriku tercinta baru 2 pekan
lamanya usai melahirkan putra kedua kami.

Dalam kebimbangan tersebut, lagi-lagi istriku memotifasi aku untuk memenuhi undangan
tersebut, Katanya padaku saat itu “aba, pergilah.., tak usah fikirkan umi, sebab Allah akan
menjaga kami, dan insya Allah aba selamat hingga pulang nanti, ini adalah bagian dari
dakwah, yakinlah bahwa BILA KITA MENOLONG AGAMA ALLAH, MAKA DIA PULA
AKAN MENOLONG KITA DARI KESULITAN DAN HIMPITAN HIDUP..”, kata-kata
lembutnya itu yang membuat hatiku yakin untuk memenuhi undangan tersebut, akhirnya aku
silaturahim kesurabaya dengan niat LILLAHI TA’ALAA.., hari-hari aku lalui dengan
semangat saat berada disana, ukhuwah yang begitu kental dan kemesraan yang indah bersama
saudara-saudara seaqidah telah membuatku melupakan masalah yang kutinggalkan di
Gorontalo, berbagai aktifitas aku tekuni disana, dan aku sangat menikmatinya, sebab aku
melakukan sebuah tugas mulia, hingga pada hari ahad malam tanggal 30 agustus 2009 aku
dikagetkan dengan dering handpone yang kupinjam dari sahabatku disana, kulihat ada sebuah
panggilan dari nomor yang kukenal, yah, nomor sahabatku dari makassar, perlahan telepon
itu aku jawab, kudengar suara diseberang, ternyata suara ayahku, dalam teleponya beliau
dengan tersedu dalam tangisannya mengingatkan aku agar segera pulang, karena deadline
waktu pelunasan sisa pinjaman tinggal 6 hari lamanya, mendengar hal tersebut aku jadi
panik, kemana lagi aku harus mencari dana sejumlah itu untuk menutupi sisa pinjaman
tersebut, akhirnya dengan menanggalkan rasa malu aku mulai berikhtiar pada saudara-
saudaraku diasna, dan berharap ada angin segar yang dapat membuat aku tersenyum kembali
setelah ketegangan dan rasa panik yang menggelayut dihatiku, tapi sepertinya kondisi pula
yang membuat mereka tak bisa berbuat banyak, hanya tatapan sedih dan ucapan doa yang
keluar dari bibir mereka, Ya ALLAH, lalu aku harus bagaimana?, haruskah aku
menyegerakan diri untuk pulang?, sementara masih ada tugas yang harus aku selesaikan
disurabaya ini.

Dengan perasaan sedih aku mengungkapkan niatku untuk segera pulang kemakasar, semua
terjadi begitu cepat, hingga hanya dalam hitungan jam aku telah kembali menginjakan kakiku
dimakassar, saat pertama kali menapakan kaki ditanah kelahiranku, berbagai perasaan
berkecamuk dihatiku, antara bahagia, cemas dan bingung, bahagia karena bisa berkumpul
bersama keluargaku, bersama istri dan anak-anakku, serta cemas dan bingung dengan
masalah yang sedang menantiku, namun aku berusaha untuk menjalani semuanya, karena ini
sudah merupakan garisan hidup yang harus aku lalui, Ya ALLAH..berikan aku petunjuk
untuk melalui semua ini.

Hari-hari mulai aku lewati, jarum jam tak mau kompromi, dia selalu berputar menunaikan
kewajibannya. Demi kehormatan keluarga, berbagai cara aku tempuh untuk mencari
pinjaman dana, aku bahkan rela berpasrah diri dengan cara mengetuk satu persatu pintu
rumah sahabat-sahabatku seiman dan seaqidah disini, namun karena kondisi ekonomi yang
pas-pasan, akhirnya hanya rasa simpatik yang terus mengalir untuk keluargaku tanpa ada
penyelesaian yang berarti, hingga tanggal 5 itupun tiba, sementara aku belum menemukan
pinjaman sepeserpun, bahkan tak ada kabar gembira dari pihak manapun untuk sekedar
melepaskan diriku dari himpitan beban ini, pukul 10 pagi kulihat wajah-wajah masam
mengetuk pintu rumahku, yah.., mereka adalah penagi-penagih yang diutus oleh sang rentenir
mengih sisa uangnya, ya Allah, kurasakan langit seolah mau runtuh, tak kala aku
mengabarkan bahwa aku belum memiliki uang tunai untuk membayar sisa pinjaman tersebut,
amarah, umpatan dan cacian mengalir untukku dihadapan puluhan masyarakat yang
kebetulan saat itu sedang bermain volly tak jauh dari rumahku, alanghkah malunya aku saat
itu, ada rasa benci mulai merayap dalam sum-sum nadiku, benci pada nasib, benci pada hidup
dan benci pada diriku sendiri yang tak becus mendapatkan dana itu, dengan perasaan
memelas aku memohon toleransi waktu pada mereka, akhirnya dengan berbekal kebijakan
dari big bos mereka, akupun diberikan toleransi waktu 5 hari kedepan, dan harus menepati
janjiku melunasi sisa pinajaman tersebut pada tanggal 10 september nanti. Jujur meskipun
harga diriku dan keluarga telah terinjak-injak, namun aku berusaha bangkit dan harus tertatih-
tatih kembali menengadahkan tanganku bak pengemis yang mengharap belas kasih dari
orang-orang kaya, air mataku selalu menetes deras mengiringi setiap langkahku, mengharap
ada secercah kebahagiaan yang dapat menyelamatkan aku dari masalah ini, aku mulai
memanfaatkan jasa telepon selulerku untuk menghubungi beberapa pengusaha kaya yang
kuanggap masih memiliki hati nurani dan belas kasih, kukirim pesan-pesan singatku pada
beberpa nomor yang kuanggap masih memiliki rasa sayang padaku dan keluarga, dengan
sebuah harapan, semoga ada satu dari sekian nomor tersebut yang akan iba pada deritaku ini,
namun lagi-lagi hanya rasa simpatik yang aku dapatkan, tanpa ada ujung peneyelesaian,
bahkan tanpa mereka mintapun aku menanggalkan rasa maluku dengan mengirimkan nomor
rekening ATM teman yang aku pinjam, juga dengan penuh harapa, agar saldo yang tersisa
10.000 didalamnya bisa bertambah menjadi 6 jutaan, dengan penuh harap aku selalu datang
kemesin ATM untuk sekedar mengecek apa telah ada keajaiban untuk solusi dari maslahku
ini, pagi, siang, sore, malam, bahkan tengah malampun aku selalu meluangkan waktuku
untuk mengecek rekening ATM tersebut, namun hasilnya masih tetap sama, saldonya tetap
Rp. 10.000. air mataku selalu tak bisa kubendung mengetahui kenyataan tersebut, sempat
terfikir olehku mengakhiri hidup ini, aku kalut, hatiku kecewa, , ANDAI BUNUH DIRI
TERSEBUT BUKALAH DOSA, MAKA MUNGKIN PILIHAN INILAH YANG TELAH
KUTEMPUH, aku juga mulai menyadari bahwa aku tak bisa berharap banyak dari mereka,
sebab mereka bukan siapa-siapaku, mereka juga bukan keluargaku, sehingga aku tak pantas
harus menaruh harapan pada mereka. hingga akhirnya hari jum’at 9 september 2009 pukul 02
dini hari, aku mulai mengemasi pakaianku, aku berniat untuk turun dari rumahku, karena tak
kuat menerima hinaan, cacian dan makian dari penagih yang selalu datang kerumah, perlahan
kukecup kening istriku yang tertidur pulas, kulihat ada air bening menetes dipipinya, kutatap
wajah sendunya, ada guratan-guratan sedih dan letih diwajahnya, perlahan juga aku
mengecup kening anak pertamaku ‘Ismail’ namanya, dia adalah anak penurut, yang selalu
merasa sedih dan menangis bila sehari tak melihatku, kurasakan air bening mengalir dipipiku,
“MAAFKAN PAPA SAYANG, PAPA TERPAKSA MENINGGALKAN KALIAN UNTUK
SEMENTARA WAKTU, ABA JANJI BILA NANTI MASALAH INI SELELSAI, PAPA
AKAN KEMBALI PADA KALIAN, PAPA AKAN MEMBAHAGIAKAN KALIAN, DAN
INSYA ALLAH TIDAK AKAN PERGI LAGI MENINGGALKAN KALIAM, MAAFKAN
PAPA NAK..”ujarku perlahan samabil memeluk erat anakku yang sementara tertidur pulas,
aku yakin, besok pagi ketika dia bangun dari tidurnya, pasti orang pertama yang akan
dicarinya adalah aku, kemudian perlahan pula aku medekap anak keduaku yang baru lahir
sebulan lalu, air mataku kembali tak bisa kubendung..., kasihan dia, seharusnya sebagai
seorang ayah aku berada disamping mereka saat ini, tapi apa boleh buat, semua harus
kujalani, tak ada pilihan lain lagi bagiku, kusisipkan sepucuk surat didekat istriku yang
terbaring letih..”MA, MAAFKAN PAPA SAYANG, PAPA JANJI INSYA ALLAH AKAN
KEMBALI.., JAGA ANAK-ANAK KITA YA.., JAGA DIRI KALIAN BAIK-BAIK YA..,
PAPA AKAN SELALU BERDOA BUAT KALIAN, SEMOGA KITA AKAN TERLEPAS
DARI BEBAN INI, DAN AKAN BERKUMPUL KEMBALI NANTI...”, akhirnya dengan
menenteng beberapa potong pakaian aku mulai melangkahkan kakiku meninggalkan rumah,
malam itu aku langgsung mendatangi mesin ATM untuk yang kesekian kalinya, tetapi
hasilnya masih sama.

Tanggal 10 akhirnya tiba juga, dan kenyataan pahit tak dapat dielakkan, ketika emosi tak
terbendung lagi, kudengar kabar bahwa satu persatu perabot isi rumahku telah dieksekusi,
dijemput sebagai jaminan, bagiku mungkin prabot itu tak berarti apa-apa, namun harga diri
kami yang telah terinjak-injak bagiku begitu sulit untuk kuterima, apalagi eksekusi itu
kembali terjadi pada siang hari dan dihadapan orang banyak, meski dari jarak yang sangat
jauh, namun rasa kecewa idan malu itu tak bisa aku sembunyikan, hari-hari aku lalui dengan
kesedihan, aku hanya berharap semoga istri dan anak-anakku dalam keadaan baik-baik
dirumah, dengan perasaan sedih aku kembali mendatangi mesin ATM untuk mengecek
kembali isi rekening itu, tetapi hasilnya masih sama, hingga akhirnya aku telah pasrah...,
mungkin inilah jalan hidup yang harus aku tempuh, dengan perasaan lunglai aku tersungkur
didekat mesin ATM, kulihat arloji ditanganku menunjukan pukul 23.00. beberapa saat
kemudian aku mendengar sebuah sapaan suara asing yang ternyata adalah seorang lelaki paro
baya, TOMMY namanya, pria ini ternyata sudah beberapa hari ini memperhatikan gelagatku,
rasa kalut yang menderaku, dan itu membuatnya terenyuh, disapanya aku dengan tuturnya
yang lembut,

Akhirnya percakapan singkatpun terjadi, aku mulai bertutur tentang masalah yang kuhadapi
saat itu, dengan seksama TOMMY mendengarkan kisahku, kulihat air matanya menetes,
keakrabanpun terjalin, hingga TOMMY mengakui bahwa dia adalah AKTIFIS GEREJA dan
siap membantuku keluar dari masalah yang kuhadapi tersebut, segala kebutuhanku akan
dipenuhinya, apapun yang aku mau akan diturutinya, namun dengan sebuah syarat, bahwa
aku harus ikut agamanya dan meyakini tuhannya.

gemetar tubuhku mendengar syarat tersebut, namun perasaan kecewa, marah, dan sakit telah
menguasai nalarku, hingga tanpa berfikir panjang aku mengiyakan syarat tersebut, aku telah
lemah, imanku goyah, hatiku mulai luluh, MENGAPA SAUDARAKU SEIMAN DAN
SEAQIDAH SEOLAH TAK SUDI MELEPASKAN AKU DARI BEBAN HIDUP INI,
SEMENTARA DIA, ORANG YANG BARU SAJA AKU KENAL DENGAN BEGITU
MUDAHNYA MEMBERI PENAWAR ATAS KELUKAAN YANG AKU RASAKAN...,
akhirnya kesepakatanpun terjadi, aku diminta datang kegerajanya hari ahad tanggal 13
september pukul 10.00 pagi untuk menandatangani sebuah kontrak yang masih kurang jelas
bagiku, sebagai langkah awal dan tanda bahwa aku telah menyepakati syarat tersebut, aku
mulai menanggalkan satu persatu simbol-simbol islam dalam diriku, dengan tangan gemetar,
dihadapannya aku meraih sebilah gunting dan mulai mencukur jenggotku, aku mulai
menanamkan pesan-pesan penting dalam diriku, bahwa yang menyelamatkan aku saat ini
bukan saudara dari agamaku, tetapi dari agama lain, aku mulai melalaikan satu persatu waktu
sholat yang selama ini tak pernah lepas dari aktifitasku, YA ALLAH...AKU CINTA
PADAMU, AKU CINTA AGAMAMU, AKU CINTA SELURUHNYA TENTANGMU,
TETAPI AKU TELAH KECEWA DENGAN SEMUA INI........, setelah kejadian itu, hari-
hari aku lalui dengan kehampaan dan kepedihan, aku bingung, aku malu pada diriku sendiri
yang telah picik menggadaikan agamaku demi sebuah kebahagiaan, tapi disisi lain apa yang
harus aku lakukan?,

berbagai ikhtiar telah aku lakukan, tapi tak ada satupun yang membuahkan hasil.., hingga
akhirnya hari ahad itupun tiba, pukul 09.00 pagi aku mulai bersiap-siap menuju ketempat
dimana pak tommy menunggu aku, perasaanku tak menentu…., air mataku menetes deras…,
YA ALLAH..,masih adakah pertolongan bagiku sebelum akhirnya segalanya terlepas dari
diriku?, lama aku terpaku dalam gejolak jiwa yang bergemuruh.., hingga akhirnya kulihat
jarum jam menunjukan pukul 09.45 menit, sementara aku masih belum beranjak.., kulihat 15
panggilan tak terjawab dari pak tommy….YA ALLAH…tolonglah aku…., saat itu
perasaanku semakin bergemuruh dan tak menentu…tiba-tiba kurasakan kepalaku pening dan
dunia kurasakan mulai gelap…semua gelap dan gelap…hingga aku tak ingat
apapun….semilir angin bertiup menerpa wajahku, kudengar suara azan berkumandang…aku
mencoba mengingat-ingat kembali beberapa peristiwa sebelum aku tersungkur pingsan…
kulirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku, pukul 12.30..ya ALLAH, berarti
telah masuk maktu sholat zhuhur, kuperhatikan kembali hpku…ada 45 panggilan takterjawab
dan 6 pesan singkat dari pak tommy..sepertinya dia kecewa dengan janji yang tidak
kutunaikan…, dan SUBHANALLAH…ada pesan ke 7 dari sebuah nomor yang tidak asing
lagi bagiku…, nomor salah seorang saudara yang mengabarkan bahwa dia memintaku untuk
dating kerumahnya ba’da zhuhur, katanya dia memiliki kelebihan materi dan siap
membantuku…, terima kasih ya ALLAH..engkau telah menolongku dari kesulitan hidup
ini…terima kasih…semoga semua ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi diriku…

Itulah sepenggal kisah yang baru saja aku lewati, sungguh begitu sulit, tapi aku hanyalah
manusia biasa yang tak memiliki daya, sulit dipercaya memang...tapi inilah realita yang
benar-benar terjadi dalam hidupku, Ya Allah...KAU ada dalam setiap helaan nafasku, KAU
ada dalam setiap detak jantungku, mungkin benar.., aku terlalu rapuh, imanku terlalu
lemah..., tapi...semua tak bisa kuelakkan, hanya ada satu sahabat yang padanya aku telah
menceritakan semua ini...IVAN namanya, dia sahabat yang baik..., kudoakan semoga kau tak
akan mengalami nasib pahit seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai