Anda di halaman 1dari 12

NASIKH MANSUKH

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Ulumul Qur’an

Dosen Pengampu: H. Muhammad Huseini, S.HI, M.E.I

KELOMPOK 3 :

1. Anthon SB (2121.101.031) 6. Safi’ul Wahida (2121.101.030)

2. Pitoyo (2121.101.032) 7. Fitri Purnamasari (2121.101.033)

3. M. Alfun Nadhir (2121.101.040) 8. Dyah Ayu C (2121.010.034)

4. Dyah Candara P. (2121.101.029) 9. Siti Miftahul S. (2121.010.037)

5. Anis Sholihah (2121.101.036

FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL MUHAMMAD

CEPU

2021
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai mu’jizat Nabi Muhammad merupakan panduan
dasar bagi umat Islam selain Hadis dalam menetapan hukum Islam. Diakui
atau tidak turunnya al-Qur’an secara bertahap adalah terkait dengan
problem masyarakat arab waktu itu. Dalam menetapkan dan menggali
hukum Islam yang tertuang dalam al-Qur’an, tentunya dibutuhkan alat
untuk mengupas dimensi hukumnya. Antara lain ilmu Qur’an yang
didalamnya terdapat kajian seperti tafsir, muhkam mutasyabih, Al-Nasakh
Wa al-Mansukh dan yang lainnya serta pemahaman kaidah ushuliyah dan
fiqhiyah.
Nasikh dan Mansukh sebagai salah satu bagian dalam kajian
ulumul Qur’an, memiliki kontribusi yang sangat penting, sebab dengan
memahaminya kita akan mampu memahami apakah hukum yang
termaktum dalam ayat-ayat Qur’an tersebut masih berlaku atau tidak.
Oleh karena itu, makalah ini mencoba menguraikan apa, dan
bagaimana sebenarnya Al-Nasakh Wa al-Mansukh. Namun demikian
harus dipahami bahwa makalah ini hanya merupakan acuan dasar yang
patut mendapatkan pembahasan dan kajian ulang.

B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana pengertian Nasikh Mansukh?
b. Apa saja dasar, rukun dan syarat Naskh?
c. Bagaimana pembagian dan macam naskh dalam Al Qur’an?
d. Bagaimana pendapat para ulama tentang Naskh?
e. Apa saja hikmah adanya Naskh?
C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian Nasikh Mansukh
b. Mengetahui dasar, rukun, dan syarat Naskh
c. Mengetahui pembagian dan macam naskh dalam Al Qur’an
d. Mengetahui pendapat para ulama’ tentang naskh
e. Mengetahui hikmah adanya naskh
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Nasikh dan Mansukh
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Nasikh menurut bahasa ialah
hukum syara’ yang menghapuskan, menghilangkan, atau memindahkan atau
juga yang mengutip serta mengubah dan mengganti. Adapun makna Nasikh
menurut para Ulama’ secara bahasa ada empat:
a. Bermakna izalah atau menghilangkan
b. Bermakna tabdil atau mengganti
c. Bermakna tahwil atau memalingkan
d. Bermakna menukil atau memindah dari satu tempat ke tempat lain
e. Bermakna takhsis atau mengkhususkan
Adapun dari segi terminologi, para ulama’ mendefinisikan
mendefinisikan naskh dengan “raf’u Al-hukm Al-syar’i “(menghapuskan
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain). Menghapuskan dalam definisi
tersebut adalah terputusnya hubungan hukum yang dihapus dari seorang
mukalaf, dan bukan terhapusnya substansi hukum itu sendiri.
Sedangkan, Mansuhk menurut bahasa ialah sesuatu yang di hapus atau
dihilangkan atau dipindah atau disalin atau dinukil. Sedangkan menurut
istilah para ulama’ ialah hukum syara’ yang diambil dari dalil syara’ yang
sama, yang belum diubah dengan di batalkan dan diganti dengan hukum
syara’ yang baru yang datang kemudian.

2. Rukun dan Syarat Naskh


Rukun Naskh:
a. Adat Naskh, adalah pernyataan yang menunujukkan adanya pembatalan
hukum yang telah ada.
b. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah karena Dialah yang membuat
hukum dan Dia pula yang menghapusnya.
c. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan dihapuskan atau dipindahkan.
d. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
Syarat-syarat Naskh:
a. Yang dibatalkan adalah hukum syara’
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’
c. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa
tidak berarti di naskh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d. Tuntutan yang mengandung Naskh harus datang kemudian.1

3. Dasar Dasar Penetapan Naskh dan Mansukh


Manna Al Qaththan menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu
ayat dikatakan naskh (menghapus) ayat lain mansukh (dihapus), antara lain:
a. Melalui pentransmisian yang jelas (an-Naql as-Sharih) dari nabi atau para
sahabatnya, seperti hadis: “kuntu nahaitukum ‘anziyarat al-qubur ala
fazuruha” (Aku (dulu) melarang kalian ziarah kubur, (sekarang)
berziarahlah).
b. Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini naskh dan ayat itu mansukh.
c. Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga
disebut naskh dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansukh.2

4. Ruang Lingkup Naskh


Naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita
(khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahi (larangan), jika hal
tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, yang berfokus kepada
zat Allah, sifat-sifatnya, kitab-kitabnya, rasul-rasulnya, dan hari kemudian,
serta tidak berkaitan pula dengan etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok
ibadah dan muamalah. Hal ini karena semua syariat ilahi tidak lepas dari
pokok-pokok tersebut. Sedang dalam masalah pokok (ushul) semua syari’at
adalah sama. Naskh tidak terjadi dalam berita, khabar yang jelas-jelas tidak

1
Rosihon anwar. Ulum Al Qur’an. CV Pustaka Setia. Bandung. 2013. Hal: 165-166
2
Opcit. Hal: 168-169
bermakna tholab (tuntutan; perintah atau larangan ), seperti janji (al-wa’d)
dan ancaman (al-wa’id).
5. Pembagian Naskh
Naskh ada 4 bagian :
1) Naskh al-qur’an dengan al-qur’an.
Bagian ini disepakati kebolehannya oleh ulama’ dan telah terjadi dalm
pandangan mereka yang mengatakan adanya naskh. Misalnya, ayat tentang
iddah 4 bulan 10 hari.
2) Naskh al-qur’an dengan as-sunnah.
Naskh ini ada 2 macam :
 Naskh Al Qur’an dengan hadis ahad.
Jumhur berpendapat Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadis ahad sebab
Qur’an adalah mutawatir dan menunjukkan yakin, sedang hadis ahad
zanni (bersifat dugaan). Disamping tidak sah pula menghapuskan
sesuatu yang ma’lum (jelas diketahui) dengan maznun (diduga).
 Naskh Qur’an dengan hadis mutawatir.
Naskh demikian diperbolehkan oleh imam Malik, Abu Hanifah, dan
Ahmad dalam satu riwayat sebab masing-masing keduanya adalah
wahyu. Namun dalam suatu riwayat lain, as Syafi’i, Ahli Zahir, dan
Ahmad menolak naskh seperti ini, berdasarkan firman Allah QS. Al
Baqarah: 106
H‫ماننسخ من اية اوننسهانأت بخيرمنهااومثلها‬
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding
dengannya.”
Sedang hadis tidak lebih baik dari atau sebanding dengan Al Qur’an.
3) Naskh Sunnah dengan Al Qur’an.
Ini dibolehkan oleh jumhur. Sebagai contoh ialah masalah menghadap ke
Baitul Maqdis yang ditetapkan dengan sunnah dan di dalam Al Qur’an
tidak terdapat dalil yang menunjukkannya.
4) Naskh Sunnah dengan Sunnah
Dalam kategori ini terdapat 4 bentuk:
1) Naskh mutawatir dengan mutawatir
2) Naskh ahad dengan ahad
3) Naskh ahad dengan mutawatir
4) Naskh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedang dalam bentuk keempat
terjadi silang pendapat seperti halnya naskh Qur’an dengan hadis ahad,
yang tidak diperbolehkan oleh jumhur.3

6. Macam-Macam Naskh dalam Al Qur’an


 Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, naskh dalam Al Qur’an dibagi
menjadi empat macam:
1) Naskh Sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang
terdapat pada ayat terdahulu. Misalnya ayat tentang perang pada QS.
An Nahl: 65 yang mengharuskan satu muslim melawan sepuluh kafir.
Ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin
melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama.
2) Naskh dzimmi, yaitu jika terdapat dua naskh yang saling bertentangan
dan tidak dikompromikan. Serta keduanya turun untuk sebuah
masalah yang sama, keduanya diketahui waktu turunnya, dan ayat
yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Cotohnya,
ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang
akan mati, yag terdapat dalam QS. Al baqarah: 180.
Ayat ini menurut pendukung naskh di-naskh oleh hadis la washiyyah
li waris (tidak ada wasiat bagi ahli waris).
3) Naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara
keseluruhan. Contohnya, ketentuan iddah empat bulan sepuluh hari
pada QS. Al Baqarah: 234 di naskh oleh ketentuan iddah satu tahun
pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4) Naskh juz’iy, yaitu menghapus hukum umum yang berlaku bagi
semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian
individu, atau menghapus hukum yang bersfat mutlaq dengan hukum
yang muqoyyad. Contohnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang

3
Manna khalil al-qattann. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.Litera Antarnusa. Rawamangun. 1992. Hal. 325-
334
menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An Nur ayat 4,
dihapus oleh ketentuan li’an, yaitu bersumpah empat kali dengan
nama Allah jika si penuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam
surat yang sama.
 Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh
tiga macam:
1) Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah)
sekaligus, yaitu bacaan dan tulisan ayatnya pun tidak ada lagi
termasuk hukum ajarannya telah terhapus dan diganti dengan hukum
yang baru. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan
dibaca dan diamalkan. Misalnya, penghapusan ayat tentang
keharaman kawin dengan saudara satu susuan karena sama-sama
menyusu kepada seorang ibu dengan 10 kali susuan dengan 5 kali
susuan saja.
2) Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedang bacaannya tetap ada.
Yaitu tulisan dan bacaannya tetap ada dan boleh dibaca, sedangkan isi
hukumnya sudah dihapus atau tidak boleh diamalkan. Misalnya, pada
surat Al Baqarah ayat 240 tentang istri-istri yang dicerai suaminya
harus beriddah 1 tahun dan masih berhak mendapat nafkah dan tempat
tinggal selama iddah. Kemudian dihapus ayat 234 surat Al Baqarah,
sehingga keharusan iddah 1 tahun tidak berlaku lagi.
3) Penghapusan terhadap bacaanya saja, sedangkan hukumnya tetap
berlaku. Sebagaimaa hadits Umar bin Khattab dan Ubay bin Ka’ab:
“Orang tua laki-laki dan perempuan yang berzina, maka rajamlah
keduanya itu dengan pasti sebagai siksaan dari Allah.....”

7. Pendapat tentang Naskh


Dalam masalah naskh, para ulama’ terbagi atas emapat golongan:
1) Orang Yahudi. Mereka tidak mengakui adanya naskh, karena menurutnya
naskh mengandung konsep al bada’, yakni nampak jelas setelah kabur
(tidak jelas). Naskh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi
Allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak
nampak. Ini berarti terdapat suatu kejelasan yang didahului oleh
ketidakjelasan dan ini pun mustahil bagiNya.
2) Orang Syi’ah Rafidah. Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan naskh
dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al bada’ sebagai suatu hal
yang mungkin terjadi bagi Allah. Dengan demikian, posisi mereka sangat
kontradiktif dengan orang Yahudi.
3) Abu Muslim al-Asfahani. Menurutnya, secara logika naskh dapat saja
terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa
ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam Al Qur’an, dengan pengertian
bahwa hukum-hukum Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selama-
lamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang naskh semuanya ia takhsiskan.
4) Jumhur ulama’. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat
diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’,
berdasarkan dalil-dalil:
a. Perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Dia boleh
saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada
waktu yang lain. Karena hanya Dialah yang lebih mengetahui
kepentingan hamba-hambaNya.
b. Nash-nash Kitab dan Sunnah menunjukkan kebolehan naskh dan
terjadinya, antara lain:
 QS. An Nahl: 101
H‫ماننسخ من اية اوننسهانأت بخيرمنهااومثلها‬
“Apa saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang
sebanding dengannya.”
 Dalam sebuah hadis Shahih, dari Ibn Abbas ra., Umar ra berkata:
“yang paling paham dan paling menguasai Qur’an diantara kami
adalah Ubai. Namun demikian kami pun meninggalkan sebagian
perkataanya, karena ia mengatakan: ‘aku tidak akan meninggalkan
sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah
saw.’ Padahal Allah telah berfirman: apa saja yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya.... ”.4
4
Opcit. Hal: 328-332
8. Hikmah Keberadaan Naskh
1) Memelihara kepentingan hamba.
2) Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan
seiring dengan perkembangan dakwah dan kondidsi umat manusia.
3) Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4) Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh ituu
beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan
pahala. Dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan.5

9. Klasifikasi Surat Al Qur’an Kaitannya dengan Naskh


Pertama, surat yang tidak terdapat naskh dan mansukh, yaitu 43 surat.
Kedua, surat yang mengandung nasikh mansukh, yaitu 25 surat.
Ketiga, surat yang mengandung mansukh saja, yaitu 40 surat.
Keempat, surat yang mengandung nasikh saja, yaitu 6 surat.6

10. Contoh-contoh Naskh


As suyuti menyebutkan dalam al Itqan sebanyak 21 ayat yang dipandang
terdapat naskh, diantaranya:
a. Firman Allah:

‫وهلل المشرق والمغرب فاين ماتولوافثم وجه هللا‬

“Dan kepunyaan Allahlah Timur dan Barat, maka kemanapun kamu


menghadap di situlah wajah Allah ” (QS. Al Baqarah: 115)

Dinasakh oleh:

‫فولوجهك شطرالمسجدالحرام‬

“maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.”(Al Baqarah: 144)

b. Firman Allah:
5
Ibid. Hal: 337
6
Acep Hermawan. Ulumul Qur’an. PT Remaja Rosdakarya Offset. Bandung. 2011. Hal: 170-173
‫كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيرا الوصية للوالدين واالقربين‬

“Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan


(tanda-tanda) maut, jika ia menunggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk bapak ibu dan karib kerabatnya.....”(QS. Al Baqarah: 180)

Dikatakan, ayat ini mansukh oleh ayat tentang kewarisan dan oleh
hadis ke: “Sesungguhnya Allah telah memberikan pada setiap orang yang
mempunyai hak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”

c. Firman Allah:

‫وعلى الذين يطيقونه فدية‬

“Dan wajib bagi mereka yang kuat menjalankan puasa (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah......”(Al Baqarah:184)

Ayat ini dinaskh oleh:

‫فمن شهدمنكم الشهرفاليصمه‬

“Maka barang siapa yang menyaksikan bulan ramadhan, hendaklah ia


berpuasa....”(Al Baqarah:185)

11. Naskh dengan Pengganti dan Tanpa Pengganti

Nasakh itu adakalanya disertai dengan badal (pengganti) dan ada pula
yang tanpa badal. Nasakh dengan badal terkadang badalnya itu lebih ringan,
sebanding dan terkadang pula lebih berat.

1) Nasakh tanpa badal. Misalnya penghapusan keharusan bersedekah


sebelum menghadap Rasulullah sebagaimana diperintahkan dalam firman
Allah surah al-Mujadilah ayat 12. Ketentuan ini dinasakh dengan firman-
Nya surat al-Mujadilah ayat 13.
2) Nasakh dengan badal yang lebih ringan. Misalnya surah al-Baqarah ayat
187. Ayat ini menasakh ayat 183 surah al-Baqarah. Karena maksud ayat
183 ini adalah agar puasa kita sesuai dengan ketentuan puasa orang-orang
terdahulu; yaitu diharamkan makan, minum dan becampur dengan istri
apabila mereka mengerjakan shalat petang atau telah tidur, sampai dengan
malam berikutnya, sebagaimana disebutkan oleh para ahli.
3) Nasakh dengan badal yang sepadan. Misalnya penghapusan kiblat shalat
menghadap ke Baitul Maqdis dengan menghadap ke Ka'bah.
Sebagaimana disebutkan dalam surah al-Baqarah ayat 144.
4) Nasakh dengan badal yang lebih berat. Seperti penghapusan hukuman
penahanan di rumah (terhadap wanita yang berzina) dalam ayat 15 surah
an-Nisa' dengan hukuman cambuk dalam surah an-Nuur ayat 2.

III. KESIMPULAN
Naskh ada dua perkara yakni nasikh dan mansukh. Nasikh adalah perkara
yang menghilangkan perkara lain, sedangkan Mansukh adalah perkara yang
dihilangkan oleh perkara lain dan diperbolehkan menaskhkan ayat Al-qur’an
dengan Al-qur’an, Al-qur’an dengan hadist, hadist dengan Al-qur’an dan
hadist dengan hadist. Dalam Naskh terdapat syarat dan rukun yang harus
dipenuhi. Banyak perbedaan pendapat dari para ulama’ mengenai nasikh
mansukh yang menimbulkan setuju tidaknya naskh diterapkan. Di sisi lain
juga banyak hikmah yang bisa kita ambil dari pengetahuan tentang naskh.

IV. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun Kami menyadari makalah ini
jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga makalah
ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna Khalil.1973.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.Jakarta:Litera Antar Nusa
Anwar, Rosihan.2013.Ulum Al-Qur’an Bandung:CV Pustaka Setia
Hamzah, Mukhotob.2003.Studi Al-Qur’an Komprehensif. Yogyakarta: Gama
Media
Hermawan, Acep.2011.‘Ulumul Qur’an. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Offset
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Zaid, Nasr Hamid Abu.2005. Tekstualitas Al Qur’an. Yogyakarta: PT LkiS
Pelangi Aksara

Anda mungkin juga menyukai