Anda di halaman 1dari 5

EMPATI

Ibrani 4:15 Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut
merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya
tidak berbuat dosa.

Empati, berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya
dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain;

Empati berasal kata dari bahasa Yunani Empatheia yang memiliki arti ‘ikut merasakan’. Empati
adalah sebuah keadaan mental, dimana seseorang merasakan pikiran, perasaan, atau keadaan
yang sama dengan orang lain.

Ada contoh yang baik yang bisa kita pelajari untuk memahami tentang Empati dalam dua kisah
Alkitab yang akan kita bandingkan.

1Raja-Raja 3:16-28
16 Pada waktu itu masuklah dua orang perempuan sundal menghadap raja, lalu mereka
berdiri di depannya.
17 Kata perempuan yang satu: "Ya tuanku! aku dan perempuan ini diam dalam satu rumah,
dan aku melahirkan anak, pada waktu dia ada di rumah itu.
18 Kemudian pada hari ketiga sesudah aku, perempuan inipun melahirkan anak; kami
sendirian, tidak ada orang luar bersama-sama kami dalam rumah, hanya kami berdua saja
dalam rumah.
19 Pada waktu malam anak perempuan ini mati, karena ia menidurinya.
20 Pada waktu tengah malam ia bangun, lalu mengambil anakku dari sampingku; sementara
hambamu ini tidur, dibaringkannya anakku itu di pangkuannya, sedang anaknya yang mati itu
dibaringkannya di pangkuanku.
21 Ketika aku bangun pada waktu pagi untuk menyusui anakku, tampaklah anak itu sudah
mati, tetapi ketika aku mengamat-amati dia pada waktu pagi itu, tampaklah bukan dia anak
yang kulahirkan."
22 Kata perempuan yang lain itu: "Bukan! anakkulah yang hidup dan anakmulah yang mati."
Tetapi perempuan yang pertama berkata pula: "Bukan! anakmulah yang mati dan anakkulah
yang hidup." Begitulah mereka bertengkar di depan raja.
23 Lalu berkatalah raja: "Yang seorang berkata: Anakkulah yang hidup ini dan anakmulah
yang mati. Yang lain berkata: Bukan! Anakmulah yang mati dan anakkulah yang hidup."
24 Sesudah itu raja berkata: "Ambilkan aku pedang," lalu dibawalah pedang ke depan raja.
25 Kata raja: "Penggallah anak yang hidup itu menjadi dua dan berikanlah setengah kepada
yang satu dan yang setengah lagi kepada yang lain."
26 Maka kata perempuan yang empunya anak yang hidup itu kepada raja, sebab timbullah
belas kasihannya terhadap anaknya itu, katanya: "Ya tuanku! Berikanlah kepadanya bayi yang
hidup itu, jangan sekali-kali membunuh dia." Tetapi yang lain itu berkata: "Supaya jangan
untukku ataupun untukmu, penggallah!"
27 Tetapi raja menjawab, katanya: "Berikanlah kepadanya bayi yang hidup itu, jangan sekali-
kali membunuh dia; dia itulah ibunya."
28 Ketika seluruh orang Israel mendengar keputusan hukum yang diberikan raja, maka
takutlah mereka kepada raja, sebab mereka melihat, bahwa hikmat dari pada Allah ada dalam
hatinya untuk melakukan keadilan.

Perempuan yang anaknya mati, sangat egois.


Dia tidak peduli dengan kerugian orang lain, dan menginginkan keadilan jika orang lain yang
sebetulnya baik-baik saja merasakan kehilangan sama seperti dirinya.
Dia juga tega mengorbankan orang lain asalkan orang lain bisa merasakan kesedihannya.

Tindakan perempuan yang bayinya mati itu disebut tindakan antipati, lawan kata dari empati.

Dia ingin kesetaraan, keadilan, dengan dasar kebencian.


Dia tega membuat orang lain rugi karena dia sudah rugi.
Dia puas jika kerugiannya juga dirasakan orang lain, bahkan tidak peduli jika mengorbankan apapun
juga dari orang lain.

Berbeda dengan Ibu bayi yang hidup itu, dia menunjukkan kasih yang sesungguhnya.
Dia rela ‘kehilangan’ hak asuh bayinya tersebut asal anak itu tetap hidup.
Cintanya rela berkorban demi kehidupan anaknya.

Mari kita lihat kisah yang kedua.


Yohanes 5:1-16
1 Sesudah itu ada hari raya orang Yahudi, dan Yesus berangkat ke Yerusalem.
2 Di Yerusalem dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam, yang dalam bahasa Ibrani
disebut Betesda; ada lima serambinya
3 dan di serambi-serambi itu berbaring sejumlah besar orang sakit: orang-orang buta, orang-
orang timpang dan orang-orang lumpuh, yang menantikan goncangan air kolam itu.
4 Sebab sewaktu-waktu turun malaikat Tuhan ke kolam itu dan menggoncangkan air itu;
barangsiapa yang terdahulu masuk ke dalamnya sesudah goncangan air itu, menjadi sembuh,
apapun juga penyakitnya.
5 Di situ ada seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun lamanya sakit.
6 Ketika Yesus melihat orang itu berbaring di situ dan karena Ia tahu, bahwa ia telah lama
dalam keadaan itu, berkatalah Ia kepadanya: "Maukah engkau sembuh?"
7 Jawab orang sakit itu kepada-Nya: "Tuhan, tidak ada orang yang menurunkan aku ke dalam
kolam itu apabila airnya mulai goncang, dan sementara aku menuju ke kolam itu, orang lain
sudah turun mendahului aku."
8 Kata Yesus kepadanya: "Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah."
9 Dan pada saat itu juga sembuhlah orang itu lalu ia mengangkat tilamnya dan berjalan.
Tetapi hari itu hari Sabat.
10 Karena itu orang-orang Yahudi berkata kepada orang yang baru sembuh itu: "Hari ini hari
Sabat dan tidak boleh engkau memikul tilammu."
11 Akan tetapi ia menjawab mereka: "Orang yang telah menyembuhkan aku, dia yang
mengatakan kepadaku: Angkatlah tilammu dan berjalanlah."
12 Mereka bertanya kepadanya: "Siapakah orang itu yang berkata kepadamu: Angkatlah
tilammu dan berjalanlah?"
13 Tetapi orang yang baru sembuh itu tidak tahu siapa orang itu, sebab Yesus telah
menghilang ke tengah-tengah orang banyak di tempat itu.
14 Kemudian Yesus bertemu dengan dia dalam Bait Allah lalu berkata kepadanya: "Engkau
telah sembuh; jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk."
15 Orang itu keluar, lalu menceriterakan kepada orang-orang Yahudi, bahwa Yesuslah yang
telah menyembuhkan dia.
16 Dan karena itu orang-orang Yahudi berusaha menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-
hal itu pada hari Sabat.

Dalam contoh yang kedua, kita dihadapkan pada kisah seorang lumpuh yang sudah terbaring
selama 38 tahun di kolam Betesda, tanpa seorangpun yang memperhatikan dia.

Tuhan Yesus datang dan menyembuhkan dia tanpa perlu dia dimasukkan ke kolam Betesda.

Mari kita fokus dengan kondisi di kolam Betesda itu.


Selama 38 tahun, tidak ada satupun yang perhatian dan peduli kepada orang lumpuh itu. Tidak ada
satupun yang menunggui dia, tidak satupun dari yang pernah sakit kemudian sembuh berempati
untuk membantu dia kemudian, dan sebagainya. Tidak ada senioritas, tidak ada perhatian khusus
semua dalam kondisi yang sama, ingin sembuh dan setelah sembuh, pergi dari kolam Betesda
begitu saja dan menikmati kesembuhannya. Tanpa perlu lagi peduli dengan yang sakit-sakit di kolam
itu. Tidak ada manajemen, tidak ada keteraturan yang kelihatannya bisa dibangun untuk saling bantu
mencemplungkan orang ke kolam Betesda ketika air kolam itu tergoncang.

Gambaran sifat yang memprihatinkan, dan sangat duniawi.

Muncullah Yesus, yang perlu untuk menanyakan kembali idealisme dari orang lumpuh itu, apakah
dia mau sembuh?

Ternyata memang dia masih mau sembuh, dan Yesus menyembuhkannya.


Yesus menunjukkan empati kepada orang lumpuh itu, walaupun DIA tahu akan ada resiko atas
tindakan-Nya.

Saat Yesus menyembuhkan orang lumpuh itu adalah di hari Sabat.


Sehingga orang-orang Yahudi berusaha membunuh Yesus atas dasar pemikiran bahwa Yesus
melanggar hukum Taurat. Kita diperlihatkan sifat mengerikan dari manusia yang kehilangan empati.
Jadi, orang-orang Yahudi menganggap menjaga aturan Taurat, menunjukkan kesalehan agama,
adat istiadat, gengsi dan sebagainya, lebih tinggi nilainya daripada menyembuhkan orang yang
lumpuh selama 38 tahun – bahkan bukan hanya tersinggung, mereka malah bersiap untuk
membunuh Yesus.

Kita selesaikan saja pembahasan contoh tentang empati di dalam Kisah Alkitab yang tentu masih
sangat banyak di dalam Alkitab.

Lihatlah betapa mengerikan dan menyedihkannya sifat manusia yang sudah kehilangan empati.
Kehilangan rasa atas hidup dan kasih kepada orang lain.

Matius 24:12 Dan karena makin bertambahnya kedurhakaan, maka kasih kebanyakan orang
akan menjadi dingin.

Setelah melihat ngerinya jika manusia kehilangan empati, tentu kita harus belajar untuk
mengantisipasinya.

Jangan sampai kehilangan kemanusiaan kita yang memiliki hati nurani, logika dan kecerdasan yang
dianungerahkan Tuhan untuk hidup lebih baik.

Matius 7:12 "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu,
perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.

Bagaimana cara membangun empati?

Belajar Lebih Peka


Roma 12:15-16
15 Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang
menangis!
16 Hendaklah kamu sehati sepikir dalam hidupmu bersama; janganlah kamu memikirkan
perkara-perkara yang tinggi, tetapi arahkanlah dirimu kepada perkara-perkara yang
sederhana. Janganlah menganggap dirimu pandai!

Peka terhadap hal-hal yang terjadi di sekitar. Faktor ini sangatlah penting untuk membangun rasa
empati yang baik. Jangan berharap hal yang besar jika hal kecil saja belum dapat dilakukan.

Dimulai dengan lingkungan yang paling dekat, yakni keluarga. Bagaimana berempati dengan ayah,
ibu, atau saudara terdekat. Setelah berhasil, praktekan di lingkungan masyarakat, seperti tetangga,
teman sekolah, dan masyarakat.

Empati bisa muncul jika ditanamkan pada diri sendiri. Dengan membayangkan bahwa orang yang
sedang merasakan sesuatu adalah diri sendiri, rasa syukur akan dirasa menjadi hal yang paling
penting dalam hidup. Empati bukan sekedar merasakan atau menolong orang lain, tetapi
memperhatikan detail, dan melatih segala indera kita untuk mendeteksi kondisi orang lain.

Keluaran 2:23-25
23 Lama sesudah itu matilah raja Mesir. Tetapi orang Israel masih mengeluh karena
perbudakan, dan mereka berseru-seru, sehingga teriak mereka minta tolong karena
perbudakan itu sampai kepada Allah.
24 Allah mendengar mereka mengerang, lalu Ia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan
Abraham, Ishak dan Yakub.
25 Maka Allah melihat orang Israel itu, dan Allah memperhatikan mereka.
Kepekaan ini bisa dilatih dan dimunculkan dalam persekutuan kita di gereja.
Kita belajar untuk menghargai pemimpin, belajar untuk menghargai atmosfer dan budaya bergereja
dan bersekutu.

Dalam contoh sederhana dalam persekutuan di gereja, kita dilatih untuk memimpin dan dipimpin.
Ada saatnya kita yang tampil memimpin, ada saatnya orang lain yang memimpin. Jangan semangat
hanya saat muncul sebagai pemimpin, dan loyo ketika orang lain yang memimpin.
Kita bisa menunjukkan empati dari kehadiran kita dalam ibadah wadah atau Komsel.
Hanya sekedar hadir saja, sudah memberikan arti tersendiri pada orang yang menggelar acara
tersebut.

Berikan respon yang baik dan kelihatan antusias dalam ibadah, tunjukkan kesungguhan dalam
memperhatikan pengkhotbah yang sedang menyampaikan Firman Tuhan.

Belajar dan berlatih untuk merasakan apa yang orang lain rasakan.
Bukan hanya sekedar merasa, tetapi belajar untuk masuk dalam posisinya. Benar-benar menyerap
perasaannya dalam kondisi tersebut.

Belajar untuk mengikuti kegiatan gereja dengan baik. Apalagi dalam level pemimpin, ada aturan
untuk berlatih dan berdoa. Ikutilah aturan itu. Mana empati kita ketika kita muncul hanya saat latihan,
padahal teman yang lain sudah berdoa dari tadi? Mana empati kita ketika muncul hanya untuk tampil
sedangkan yang lain mempersiapkan segala sesuatu? Apakah kita lebih sibuk daripada orang lain?
Apakah kita lebih penting daripada orang lain? Bukankah kita semua sama? Semua orang juga
punya kesibukan, tetapi mereka bisa memprioritaskan.

Belajar untuk menjaga bahasa dan kata-kata yang keluar dari mulut kita.
Belajar untuk menjaga dan mengontrol aktivitas media sosial kita.

Apapun tingkah laku kita, lakukan dengan pertimbangan yang panjang.

GPdI Filadelfia menjaga protokol kesehatan dengan ketat, tetap memakai masker baik untuk
pemimpin pujian ataupun pengkhotbah dan seluruh jemaat selama ibadah. Pintu gereja dibuka saat
ibadah berlangsung untuk menjaga sirkulasi udara. Mengeluarkan biaya ekstra untuk
mempersiapkan perlengkapan hand sanitizer dan menempatkannya di setiap deretan kursi,
membangun washtafel yang permanen, menjaga jarak dan tidak bersalaman, tidak menumpangkan
tangan dan sebagainya yang kelihatan berlebihan dibandingkan dengan gereja lain yang bisa saja
tidak seperti itu.

Untuk apa?

Ada yang mencap ketakutan, berlebihan dan sebagainya.


Tidak ada masalah.
Karena tujuan kita tidak seperti itu.
GPdI Filadelfia tidak mau menurunkan standar – baik standar kewaspadaan ataupun standar empati
atas pandemi yang terjadi.

Kita tidak melupakan bahwa di dalam keluarga besar kita ada Tenaga Kesehatan, Dokter, Perawat,
petugas-petugas yang berhubungan dengan kedaruratan, yang merupakan ujung tombak dalam
perjuangan selama pandemi ini. Mereka yang harus menggunakan hazmat seharian, mereka yang
harus diisolasi dan tidak bisa berjumpa dengan keluarga, untuk berjuang menolong korban pandemi.

Kita juga tidak melupakan bahwa di dalam keluarga besar kita ada yang pernah kehilangan orang-
orang yang dikasihi pada masa pandemi ini.

Sampai dinyatakan bahwa pandemi ini berakhir atau ada peraturan resmi dari pemerintah untuk
menurunkan standar protokol kesehatan atau skala kewaspadaan kita atas pandemi, GPdI Filadelfia
harus menunjukkan empati bahwa kita setuju dan mendukung pemerintah dalam menghadapi
pandemi ini, bahwa kita berempati atas usaha petugas kesehatan yang berjuang, bahwa kita
berempati atas keluarga-keluarga yang pernah kehilangan orang yang dikasihi karena pandemi ini.

Kita belajar untuk berempati dari hal kecil yang kita bisa. Hanya menggunakan masker selama
ibadah, atau mengikuti protokol kesehatan.

Tetapi itu merupakan simbol bahwa kita menunjukkan empati kepada sesama kita dalam masa
pandemi ini.
Kita mengadakan gerakan-gerakan sosial dan sebagainya bagi yang terdampak ekonomi.

Dan seterusnya, semua itu untuk menunjukkan bahwa kita bukan hanya sekedar tahu atau
bersimpati, tetapi kita berempati.
Dengan latihan-latihan sederhana, kita bisa mendidik diri kita untuk menjadi karakter yang lebih baik.
Belajar untuk antre, belajar untuk parkir dengan baik.
Belajar menjaga bahasa dan ungkapan-ungkapan yang bijak.
Tidak arogan dan merasa diri sendiri paling benar.

Jika sudah terbiasa dan terlatih menunjukkan empati dalam hal-hal sederhana, barulah bisa
melangkah untuk menunjukkan empati dalam hal yang lebih besar.

Tidak menghakimi.
Put yourself in their shoes.

Kegunaan kita untuk belajar empati adalah untuk menghargai apa yang Tuhan Yesus sudah lakukan
dalam hidup kita.

Anda mungkin juga menyukai