Anda di halaman 1dari 25

MODEL PEMBELAJARAN MELALUI PERUMPAMAAN DAN

KETELADANAN

Dosen Pengampu :
Dr. Suparta, M.Ag

Mata Kuliah:
Pengembangan Teknologi Pembelajaran PAI

Disusun Oleh:
Nama: Heri Anggara (2081161)
Nama: Fathur Rahman (2081157)

PROGRAM PASCA SARJANA

IAIN SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latal Belakang
Sebagai kitab suci yang berlaku untuk semua zaman dan tempat, dan agar
tidak kehilangan universalitasnya sehingga mampu berbicara dan memberikan
solusi dalam menjawab pelbagai problem kehidupan manusia yang bagaimana
pun, maka Al Qur’an melalui tafsirnya perlu selalu ditampilkan sebagai petunjuk
yang selalu dirasakan aktual, segar, dan up to date. Al Qur’an sendiri memberikan
peluang yang sebesar-besarnya kepada para mufassir.
Al Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesanya kepada manusia
menggunakan uslub yang beraneka ragam. Hal ini dimaksudkan agar petunjuk
dan bimbingannya dapat dengan mudah diterima dan merasuk ke dalam lubuk
hati sanubari manusia.Di antara keunikan al Qur’an dalam menyampaikan pesan-
pesan kehidupan ialah model penyampaian pesan yang singkat, mudah, dan jelas
untuk difahami.Dan salah satu metode tersebut adalah melalui ungkapan matsal
(perumpamaan).
Amtsal sebagai salah satu gaya bahasa al Qur’an dalam menyampaikan
pesan-pesannya, menggugah manusia agar selalu menggunakan akal fikiranya
secara jernih dan tepat. Berdasarkan hal tersebut, diantara para ulama banyak
yang berusaha memfokuskan perhatianya untuk mengkaji gaya bahasa dan
redaksi al Qur’an dalam bentuk amtsal tersebut serta mencari rahasia dibalik
ungkapan itu.
Amtsal dalam al Qur’an merupakan visualisasi yang abstrak yang
dituangkan dalam berbagai ragam kalimat dengan cara menganalogikan sesuatu
dengan hal yang serupa dan sebanding, maka untuk dapat memahaminya secara
baik dan benar memerlukan pemikiran yang cermat dan mendalam serta harus
ditopang dengan penguasaan stilitik (ilmu Balaghah). Nilai sastra yang tertuang di
dalam untaian bahasa al Qur’an yang berupa amtsal adalah merupakan salah satu
kemukjizatan dari sekian banyak segi kemukjizatan al Qur’an. Oleh karena itu
nilai kegunaan sastra al Qur’an tidak dapat ditandingi oleh siapa pun dan

2
kapanpun juga, karena memang al Qur’an bukan produk insani.1 Menurut Ahmad
Amin, pada dasarnya membuat perumpamaan- perumpamaan berupa ungkapan-
ungkapan singkat dan padat dalam memberikan wejangan nasihat sebagai hasil
perenungan yang cermat adalah merupakan tradisi orang-orang Arab pra Islam.2
Dari hasil kajian dan penelitian para ulama terhadap amtsal al Qur’an tersebut
telah melahirkan suatu disiplin ilmu yang disebut dengan Ilmu Amtsal Al
Qur’an, yang merupakan bagian dari ilmu-ilmu Al Qur’an. Tulisan ini akan
mencoba mengupas persoalan-persoalan yang perlu dijawab yang berkaitan
dengan obyek bahasan tersebut yaitu: pengertian amtsal al Qur’an dan macam-
macamnya; urgensi amtsal al Qur’an dan pengaruhnya terhadap pendidikan.

BAB II
1
Shalih, Shubhi, Mabahits fi Ulum al Qur’an, Beirut, Dar al Ilmi Li al Milayin,
1972, hal. 313.
2
Amin, Ahmad,Fajrul Islam, Kairo, Maktabah al Nahdhah al Mishriyah, 1975,…, hal.
60.

3
PEMBAHASAN

A. Amtsal Al-Qur’an dan Macam-Macamnya


Kata amtsal adalah bentuk jama’ dari kata mitsal. Bentuk tersebut
diungkapkan sebanyak sembilan belas kali dalam berbagai ayat dan surat.3
Sedangkan bentuk-bentuk lain diungkapkan sebanyak 146 kali dalam berbagai
ayat dan surat.4 Secara etimologi kata matsal, mitsal dan matsil berarti sama
dengan syabah, syibah dan syabih. Kata matsal juga dipergunakan untuk
menunjukan arti keadaan, sifat dan kisah yang mengagumkan. Hal ini dapat
dilihat dalam ayat-ayat al Qur’an antara lain: Qur’an surat al Baqarah ayat 17.
Kata matsal dalam ayat ini dapat berarti keadaan, dimana dalam ayat ini
kata matsal dipinjam untuk makna yang sesuai dengan keadaan orang-orang
munafiq yang tidak dapat menerima petunjuk yang datangnya dari Allah; Qur’an
surat al Fath ayat 29, Kata matsal dalam ayat ini dapat berarti kisah atau cerita
yang mengagumkan.5 Dalam kaitan ini al Zamakhsyary mengisyaratkan,
setidaknya ada dua makna dari kata matsal tersebut, yaitu : 1) matsal pada
dasarnya dapat berarti al mitsal dan al nadhir yang berarti serupa atau sebanding.
2) matsal termasuk isti’arah yakni kata pinjaman yangberguna untuk menunjuk
kepada keadaan sesuatu, sifat dan kisah, jika ketiganya dianggap penting dan
mempunyai keanehan.6
Sedangkan pendapat yang lain mengatakan, bahwa kata matsal sering
disebut oleh al Qur’an yang dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu:
1. Matsal yang menunjuk kepada makna sibih (serupa, sepadan, sama). Hal
ini seperti firman Allah surat al Baqarah ayat 228 yang artinya: “Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibanya
menurut cara yang ma’ruf.”
2. Matsal yang menunjuk kepada makna nadlir (padanan). Firman Allah
dalam surat al Jumu’ah ayat 5 yang artinya: “Perumpamaan orang
orang yang dipikulkan Taurat, kemudian tidak memikulnya seperti
keledai yang membawa kitab yang
tebal.”
3. Matsal yang menunjuk kepada makna mau’idzah (peringatan atau

3
Lihat. Q.S. 6 :38, 16-7 : 194 – 13 : 17 – 14 : 25, 45 – 16 : 74 – 17 : 48 – 24 : 35 - 25 : 9,
39 – 29 : 43 – 47 : 3, 10, 38 – 56 : 23, 61 – 59 : 21 – 76 : 26.
4
Lihat, Muhammad Fu’ad Abd. Baqi, al Mu’jam al Mufahras Li al Fazh al Qur’an al
Karim, (Kairo : Dar al Kutub, t.t.)
5
Badaruddin bin Abdullah al Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum al Qur’an, j.i., (Beirut Dar al
Fikr, 1988), hal. 574
6
Al Zamakhsyariy, Tafsir al Kasysyaf, j.ii., (Kairo : Dar Al Llai, t.t.), hal. 281

4
pelajaran). Firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 25 yang artinya:
“Dan Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia, supaya
mereka itu selalu ingat.”
Sementara itu, batasan pengertian amtsal al Qur’an secara terminologi
sebagaimana dikemukakan para ahli antara lain sebagai berikut : Menurut Ibn
Al Qayyim, amtsal adalah menyerupakan dengan sesuatu yang lain dalam hal
hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang bersifat abstrak dengan yang
bersifat indrawi atau mendekatkan salah satu dari dua yang kongkrit atas yang
lainya dan menganggap yang satu sebagai yang lain.7 Al Suyuthiy
mendefinisikan, amtsal adalah mendeskripsikan makna dengan gambaran yang
kongkrit karena lebih mengesankan di hati, seperti menyerupakan yang samar
dengan yang nampak, yang gaib dengan yang hadir.8 Manna’ al Qaththan
mengatakan, amtsal adalah menonjolkan makna dalam bentuk yang menarik
dan padat serta mempunyai pengaruh yang dalam terhadap jiwa, baik berupa
tasybih maupun dalam bentuk kalimat-kalimat bebas.9
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik
suatu pengertian bahwa amtsal al Qur’an adalah membuat perumpamaan-
perumpamaan mengenai keadaan sesuatu dengan sesuatu yang lainya baik dengan
menggunakan kalimat metaforis (isti’arah), dengan cara anthrofomorphism
(tasybih) atau dengan cara lainya. Dengan demikian, jika diperhatikan secara
seksama, bahwasannya perumpamaan-perumpamaan di dalam al Qur’an
menggunakan bentuk yang beragam, yang kira-kira denganya dapat diperoleh
pelajaran dan nasihat serta dapat ditangkap dan difahami oleh akal sehat.Baik
yang berkaitan dengan masalah metafisika, seperti gambaran keindahan syurga,
sikap orang-orang kafir dalam menghadapi petunjuk dan lain-lain.10

Selain itu juga, ketika Allah membuat perumpamaan- perumpamaan di


dalam al Qur’an bagi manusia, kadang-kadang menggunakan bentuk jama’
(amtsal) dan kadang-kadang menggunakan bentuk mufrad (matsal) dalam

7
Ibn Al Qayyim, A’lan al Munaqqi’in, j.i, (Beirut : Dar al Kutub al Ilaiyah, 1993), hal.
116
8
Jalaluddin al Suyuthiy, al Itqan fi Ulum al Qur’an,j.ii., (Beirut : Dar al Fikr, t.t.), hal.
131
9
Manna’ al Qaththan, Mabahits fi Ulum al Qur’an, (Beirut : al Syirkah al Mutthahidah li
al Tauzi, 1973), hal. 283
10
Muhammad Bakar Ismail, Dirasat fi Ulum al Qur’an, (Kairo : Dar al Manar, 1991),
hal. 344

5
beberapa ayat dan surat. Kedua bentuk tersebut kadang-kadang pula digunakan
secara bersamaan dalam satu ayat, yang tujuanya untuk menampilkan hal ihwal
kebenaran atau menunjukan betapa pentingnya pesan yang terkandung di
dalamnya.11Disamping itu juga matsal digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang
sangat mendasar dan bersifat abstrak.Cara seperti ini dapat ditemukan, misalnya,
ketika al Qur’an menjelaskan ke-Esaan Allah dan orang-orang yang meng-Esakan
Allah, tentang kemusyrikan dan orang-orang musyrik, serta tentang perbatan-
perbuatan mulia.
Masalah-masalah tersebut diungkapkan melalui perumpamaan yang
bersifat konkrit (hissi) yang dimaksudkan untuk menjelaskan dan menegaskan
makna pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan menggunakan perumpamaan
yang konkrit tersebut, para pendengar dan pembaca akan merasakan seolah-olah
pesan yang disampaikan terlihat langsung.
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bila diperhatikan dengan seksama
ayat-ayat matsal yang ditampilkan oleh Al Qur’an menggunakan lafal-lafal dan
redaksi-redaksi yang beragam, kadang- kadang berupa isti’arah, tasybih sharih
atau berupa ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik dengan redaksi
ringkas dan padat. Bahkan kadang-kadang dipergunakan lafl langsung mengenai
sesuatuyang berkenaan dengan yang diserupakan itu.

Adapun mengenai macam-macam amtsal dalam al Qur’an, para ulama


berbeda pendapat.Diantaranya al Suyuthiy membagi amtsal menjadi dua bagian,
yaitu amtsal al musharrahah dan amtsal al kaminah.12Sedangkan menurut
Manna’ al Qaththan dan Muhammad Bakar Ismail membagi amtsal menjadi tiga
macam, yaitu al Musharrahah atau al Qiyasiah, al kaminah dan al
Mursalah.13Dalam tulisan ini, akan diuraikan macam-macam amtsal menurut
Manna’ al Qaththan dan Muhammad Bakar Ismail, yaitu :

11
Ahmad Van Denfer, Pengenalan Ilmu-ilmu al Qur’an, terj. Nashir Budiman,
(Jakarta : Rajawali Press, 1988), hal. 84
12
Lihat al Suyuthiy, Op. Cit., hal. 132
13
Lihat. Manna’ al Qaththan., Op. Cit., hal. 284 dan Muhammad Bakar Ismail, Op. Cit.,
hal. 344-345

6
1. Amtsal al Musharrahah atau al Qiyasiyah ialah perumpamaan yang di dalamnya
menggunakan lafal matsal atau sesuatu yang menunjukkan kepada pengertian
lafal tersebut, tasybih dengan menggunakan huruf kaf (‫)ك‬. Amtsal semacam ini
banyak dijumpai dalam al Qur’an. Diantaranya firman Allah dalam surat al
Baqarah ayat 17 dan 19.
Di dalam kedua ayat tersebut, Allah membuat dua macam perumpamaan
(matsal) bagi orang-orang munafik, yaitu :
Pertama, perumpamaan yang berkenaan dengan nar yakni kalimat,
perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api...., karena di dalam api
itu sendiri terdapat unsur cahaya yang dapat dipergunakan untuk menerangi.
Kedua, perumpamaan yang berekenaan dengan ma’i, yakni kalimat, atau
seperti orang yang ditimpa hujan lebat dari langit..., karena di dalam air terdapat
unsur-unsur dan materi kehidupan.Artinya, bahwa kebenaran yang diturunkan
oleh Allah bermaksud hendak menerangi hati mereka (orang-orang munafik) dan
menghidupkannya.14
Selain ayat tersebut masih banyak lagi ayat-ayat yang termasuk ke dalam
jenis amtsal al Musharrahah tersebut.Misalnya firman Allah QS. Al Baqarah ayat
265 yang artinya

“Perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena


mencari ridha Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka seperti sebuah
kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka
kebun itu menghasilkan buah- buahan dua kali lipat, jika hujan lebat tidak
menyiraminya maka (embun pun memadai) Allah maha Melihat apa yang
kamu kerjakan”
Dalam ayat yang lain Allah juga menegaskan QS.Ar Ra’du ayat 35 yang artinya :
“Pempamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa
ialah seperti tanaman mengalir sungai-sungai di dalamnya…”
2. Amtsal al Kaminah adalah suatu perumpamaan yang di dalamnya tidak
disebutkan secara jelas, baik lafal tamstil (perumpamaan langsung), keadaan,
sifat-sifatnya, dan tidak pula dijelaskan secara pasti mengenai saat terjadinya
peristiwa, tetapi lafal yang digunakan adalah menunjuk kepada makna
tersiratnya yang indah dan menarik dalam susunan kata atau kalimat serta
mempunyai pengaruh tersendiri bila kalimat itu digunakan untuk makna yang
1414
Selain kedua ayat tersebut, masih banyak lagi ayat-ayat yang termasuk ke dalam
jenis amtsal al Musharrahah. Lihat Q.S. Al Baqarah : 265, Q.S. al Ra’du : 35, Q.S. al Nur : 35,
39 dan 40.

7
serupa denganya.15Amtsal semacam ini dapat dijumpai dalam beberapa ayat al
Qur’an, diantaranya :
a. Ayat yang senada dengan ungkapan agar berbuat bijak dan
sederhana, seperti :
Khairul umur ausathuha
“Sebaik-baik perkara adalah pertengahan” (Hadits). Atau ungkapan
dalam al Qur’an surat Al Baqarah ayat 68 yang artinya :
… Tidak tua dan tidak muda tetapi yang pertengahan diantara itu…

Al Qur’an juga menegaskan dalam QS. Al Furqan ayat 67 yang artinya:


“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta mereka tidak
berlebihan dan tidak pula kikir, dan adalah pembelanjaan itu di
tengah-tengah antara yang demikian.”
Dan firman-Nya dalam QS. Al Isra ayat 110 yang artinya:
“Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan
jangan pula kamu terlalu melunakannya dan carilah jalan tengah
diantara keduanya itu..”

Firman-Nya yang lain juga dalam QS. Al Isra ayat 29 yang artinya :
“Dan janganlah kamu menjadikan tanganmu terbelenggu pada
anlehermu, dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, karena itu
kamu menadi tercela dan menyesal.”

b. Ayat yang senada dengan perkataan untuk menekankan bahwa kebenaran


berita perlu diselidiki, seperti firman Allah Q.S. Al Baqarah: 260 yang
artinya :
c. Ayat yang senada dengan pernyataan untuk menegaskan bahwa sesuatu itu
akan dipertanggungjawabkan, seperti firman Allah Q.S. An Nisa: 123
yang artinya :
…Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi
pembalasan atas kejahatanya itu…
Wahyu Allah juga menegaskan dalam QS. Yusuf ayat 64 yang artinya:

15
Muhammad Bakar Ismail, Op. Cit., hal. 346. Lihat. Manna al Qaththan, Op. Cit., hal.
285-286.

8
“Nabi Ya’kub berkata: Bagaimana aku akan mempercayakan-nya
(Bunyamin) kepadamu seperti aku telah mempercayakan
saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu…”
d. Firman Allah yang senada dengan ungkapan untuk peringatan agar tidak
terjebak dalam kesalahan dua kali, seperti dalam QS. Al Hajj ayat 4 yang
artinya:
“Yang telah ditetapkan terhadap syetan itu, bahwa barang siapa yang
brkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkan dan membawanya ke
adzab neraka.”
3. Amtsal al Mursalah adalah kalimat-kalimat itu bebas, tidakmenggunakan lafal
tasybih secara jelas tetapi kalimat- kalimat itu berlaku atau berfungsi sebagai
matsal, yang mana di dalamnya terdapat peringatan dan pelajaran bagi
manusia.16Amtsal semacam ini banyak kita jumpai di dalam al Qur’an,
diantaranya adalah QS. Ali Imran ayat 92 yang artinya:
Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaikan yang
sempurna sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai….
Dalam QS.An Najm ayat 58 yang artinya :
“Tidak ada yang akan menyesatkan terjadinya hari itu selain Allah”

B. Peran Amtsal Al-Qur’an Dalam Pendidikan


Al Qur’an, dalam mengarahkan pendidikanya kepada manusia,
menghadapi dan memperlakukanya sejalan dengan unsur penciptaanya yaitu
jasmani, akal dan jiwa. Oleh karena itu, materi- materi pendidikan yang disajikan
al Qur’an hampir selalu mengarah kepada pendidikan jiwa, akal dan raga manusia
itu sendiri.Proses penyampaian suatu informasi dalam kegiatan proses belajar
mengajar, akan lebih menarik dan efisien jika dituangkan dalam sebuah cerita dan
ungkapan yang indah. Salah satu strateginya adalah menggunakantamtsil yang
secara etimologi berarti perumpamaan atau penyerupaan. Dalam konteks sastra
matsal adalah ungkapan yang disampaikan dengan maksud menyerupakan
keadaan yang terdapat dalam suatu ucapan dengan keadaan yang karenanya
perkataan itu diungkapkan.Sehingga matsal sering digunakan untuk menunjuk
kualitas hasil, yang diharapkan dapat diambil pelajaran bagi pendengarnya.17

16
Lihat. Baker Ismail, hal. 345
17
Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi Mengungkap Pesan Al Qur’an tentang Pendidikan,
(Yogyakarta: Teras, 2008), hal. 141

9
Dalam dunia pendidikan (Islam) amtsal yan ditampilkan al Qur’an sering
digunakan sebagai salah satu metode pendekatan yang efektif dalam proses
belajar mengajar.18Metode pendekatan ini digunakan untuk memperjelas sasaran
utama maksud dan tujuan pembicara dalam menyampaikan materi
pendidikan.19Hal ini mengandung makna komunikasi.Komunikasi tersebut tidak
dapat berlangsung dalam ruang hampa, melainkan dalam suasana mengandung
tujuan, juga harus diusahakan pencapaianya.20
Amtsal al Qur’an selain berisikan nasihat, peringatan dan menjelaskan
konsep-konsep abstrak dengan makna-makna yang kongkrit untuk difahami dan
direnungkan oleh manusia, yang dalam dunia pendidikan ia merupakan jembatan
berfikir dari yang kongkrit ke alam ide yang bersifat abstrak. Dengan demikian,
amtsal al Qur’an itu, manusia diajak berfikir dan merenung tentang sesuatu yan
berada diluar dirinya bahkan kadang-kadang di luar alam kongkrit agar ia dapat
difungsikan sebagai media pendidikan, yang pada akhirnya diharapkan dapat
ditransformasikan kepada anak didik. Dengan metode visual amtsal al Qur’an,
penyampaian materi pendidikan akan lebih berkesan, lebih berpengaruh kepada
jiwa dan juga lebih merasuk ke dalam relung hati sanubari
Keberadaan dan atau peranan amtsal al Qur’an terhadap
penafsiran dan dalam dunia pendidikan cukup jelas dan mudah difahami.
Artinya, bahwa para pendidik dan anak didik sangat mebutuhkanya, sebab
disamping memberikan informasi kepada penerimanya mengenai sesuatu yang
belum penah diketahuinya, juga dapat membantu memahmi apa yang dirasa
masih musykil (sulit) diterima oleh keterbatasan akal manusia. Dari berbagai
modelnya, matsal dalam pendidikan ada beberapa faktor yang dikehendaki,
diantaranya :
1. Untuk mengkonkritkan bentuk empiric agar mudah diterima indera,
karena sesuatu yang abstrak sulit ditanamkan dalam benak manusia. Hal
ini dapat dilihat dalam surat Al Baqarah ayat 264 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan
(pahala) sedekahmu dengan menyebut- nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena
kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari Kemudian.
Maka perumpamaan orang seperti itu, seperti batu licin yang di atasnya
ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia
bersih (tidak bertanah)”(QS. Al Baqarah:264)

18
Lihat, H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Angkasa, 1991), hal.77
19
Manna Al Qaththan,Op. Cit., hal.289
20
Umar Syihab, Al Qur’an dan Rekayasa Sosial, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1990),
hal.56

10
2. Untuk menghadirkan sesuatu yang ghaib, sehingga seolah- olah hadir. Hal
ini dapat dilihat dalam surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba. Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba…” (QS. Al Baqarah:275)
3. Untuk mendorong orang yang memberimau’idhah untuk bertindak sebagai
uswatun hasanah.Hal ini dapat dilihat dalam surat Al Baqarah ayat 261
yang artinya :

“Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang


menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih
yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir; seratus biji.Dan
Allah melipatgandakan kepada orang yang dikehendaki.Dan Allah sangat
luas rizkinya lagi maha Mengetahui”. (QS. Al Baqarah:261)
4. Untuk memuji orang tetapi orang yang dipuji tidak merasa berbangga
diri.Hal ini dapat dilihat dalam surat al Fath ayat 29 yang artinya:
“Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas
sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat- sifat
mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunas itu
menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di
atas pokoknya”… (QS. Al Fath:29)
5. Untuk menunjuk suatu kejahatan agar ditinggalkan.Hal ini dapat dilihat
dalam surat al A’raf ayat 176 yang artinya:

“Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan


(derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaanya
seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkanya lidahnya dan jika
kamu membiarkanya dia mengulurkan lidahnya (juga).Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami…” (QS. Al
A’raf:176)

6. Untuk memberikan nasihat yang mudah diresapi dan diterima. 21 Hal ini
dapat dilihat dalam surat Az Zumar ayat 27 yang artinya:

21
Ahmad Munir Op. Cit. hal. 145-147

11
“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam Al Qur’an ini
setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran”(QS. Al
Zumar:27)
Berdasarkan penjelasan beberapa ayat di atas, dapat dideskripsikan bahwa
proses pengajaran yang menggunakan metode perumpamaan, dimaksudkan untuk
membentuk berbagai premis yang diharapakan peserta didik mampu untuk
merumuskan istinbathnya secara logis. Sehingga dari matsal yang disampaikan
tersebut peserta didik mampu mengambil hikmahnya secara jernih dan seterusnya
dapat damalkan dalam kehidupan riilnya.
Di antara keunikan Al Qur’an dalam menyampaikan pesan- pesan
kehidupan menggunakan model penyampaian pesan yang singkat, mudah, dan
jelas, untuk dipahami. Dan salah satu metodenya adalah melalui ungkapan matsal
(perumpamaan).Matsal digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang sangat
mendasar dan bersifat abstrak.
Dari beberapa contoh yang telah disebutkan di atas, dapat dilihat
bagaimana hebatnya al Qur’an membuat perumpamaan yang sangat indah dan
sesuai dengan tipe-tipe hati manusia dengan tipe-tipe tanah. Demikian juga
kesesuaian perumpamaan antara wahyu dengan diturunkan air hujan dari langit.

C. PEMBELAJARAN MELALUI KETELADANAN


Dalam Bahasa Indonesia, kata “keteladanan” berasal dari kata “teladan”,
yang artinya patut ditiru atau dicontoh. Kata ini kemudian mendapat afiks “ke-’
dan “-an” menjadi “keteladanan” yang berarti hal-hal yang ditiru atau dicontoh. 22
Berdasar arti ini dapat dipahami bahwa kata keteladanan hanya tertuju pada
perbuatan yang patut untuk ditiru atau dicontoh saja, dalam arti tidak termasuk
pada perbuatan yang tidak patut ditiru.

Hal ini berbeda ketika arti keteladanan dinyatakan dalam Bahasa Arab.
Dalam bahasa Arab, istilah keteladanan diungkapkan dengan uswah. Kata
“uswah” ini berakar dari huruf hamzah, sin, dan waw, yang secara etimologi
berarti penyembuhan dan perbaikan.23Kata ini kemudian diartikan dengan sesuatu
yang diikuti oleh orang yang sedih. Sedangkan secara terminology, Al-Raghib Al-
Ashfahaani mengatakan bahwa uswah suatu keadaan ketika seseorang mengikuti

22
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hal. 917.
23
Abu al-Husayn Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Al-Maqayis fi al-Lughah, tahqiq oleh
Syihab al-Din Abu Amr (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hal. 78.

12
orang lain, dalam kebaikan, kejelekan atau kerusakan.24 Dengan berdasar pada
pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa kata uswah itu ada yang tertuju pada
kebaikan dan ada yang tertuju pada kejelekan. Akan tetapi, kata yang
dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang diikuti yang membawa kebaikan.

Pengungkapan kata uswah dalam Al-Qur’an dinyatakan sebanyak tiga


kali, yaitu dalam Q.S. Al-Ahzab/33:21, Q.S. Al-Mumtahanah/60:4 dan Q.S. al-
Mumtahanah/60:6. Kata uswah yang terdapat dalam Surat Al-Ahzab menerangkan
keteladanan Rasulullah s.a.w., dan dalam Surat Al-Mumtahanah ayat 4 dan 6
menerangkan keteladanan Nabi Ibrahim a.s. Dalam Q.S. Al- Ahzab/33:21
dinyatakan: Sesungguhnya telah ada pada( diri )Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu( yaitu )bagi orang yang mengharap( rahmat )Allah dan)
kedatangan )hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

Sedangkan keteladanan dalam Q.S. Al-Mumtahanah/60 ayat 4 yang


mengungkapkan keteladanan Nabi Ibrahim adalah sebagai berikut:

“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim
dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum
mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa
yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai
kamu beriman kepada Allah saja. kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya:
“Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat
menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan
kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah
kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali.”
Dan dalam Q.S. Al-Mumtahanah/60 ayat 6 artinya:

“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan


yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan
(keselamatan pada) hari kemudian. dan barangsiapa yang berpaling, maka
sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Dalam Q.S. Ahzab/33:21 dinyatakan bahwa Rasulullah s.a.w. sebagai
teladan yang harus diikuti oleh umat Islam. Keteladanan beliau diungkapkan
dengan uswah hasanah, yakni teladan yang baik. Ayat ini menjadi dasar bahwa
24
Al-Raghib Al-asfahani, Mufradat Alfadh Al-Qur’an (Beirut: Dar al-Qalam, 1992),
hal.76.

13
segala yang berasal dari beliau, hendaknya harus diikuti. Segala perkataan,
perbuatan, tindakan yang beliau lakukan, baik yang berkaitan dengan kehidupan
pribadi dalam keluarga, dalam masyarakat, dan dalam kehidupan yang
menyangkut kehidupan orang banyak (baca: bernegara) hendaknya dijadikan
contoh oleh umat Islam. Hal ini terlebih jika yang beliau lakukan berkaitan
dengan hukum-hukum syara’. Dalam hal ini, maka mengikutinya adalah suatu
kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Berbagai bentuk perilaku dan ucapan yang
berhubungan dengan pelaksanakan suatu ibadah mahdlah, suatu ibadah dalam
hubungan antara manusia dengan Allah harus dijadikan panutan.

1. Kebutuhan akan Suatu Keteladanan

Dalam pendidikan, seorang pendidik mungkin dapat menemukan suatu


sistem dengan mempertimbangkan berbagai hal yang terkait dalam proses
pendidikan dengan harapan agar tujuan pendidikan berhasil secara maksimal.
Namun, semua ini masih memerlukan realisasi edukatif yang dilaksanakan oleh
seorang pendidik. Pelaksanaannya itu memerlukan seperangkat metode dan
tindakan dalam rangka mewujudkan tujuan itu. Ini semua hendaknya ditata dalam
sistem pendidikan yang menyeluruh dan terbaca dalam perencanaan serta dapat
diterapkan dalam perilaku yang kongkrit.

Berdasar pada penjelasan di atas, Allah s.w.t. mengutus Nabi Muhammad


s.a.w. agar menjadi teladan dalam merealisikan sistem pendidikan tersebut. Hal
ini dikuatkan dengan hadis Nabi yang berasal dari Aisyah ketika ditanya tentang
akhlak beliau, ia menjawab bahwa akhlak beliau adalah Al- Quran. Dengan
kepribadian, sifat, tingkah laku dan pergaulannya bersama sahabat dan masyarakat
lainnya benar-benar merupakan interpretasi praktis dalam menghidupkan ajaran-
ajaran Al-Qur’an yang menjadi landasan pendidikan Islam dalam menerapkan
metode-metode Qur’ani yang terdapat dalam ajaran tersebut.

Selain itu, manusia memiliki kecenderungan untuk mencari suri teladan


yang menjadi pedoman yang akan menerangi jalan kebenaran dan dapat menjadi
contoh kehidupan dalam melaksanakan syari’at yang telah ditentukan oleh Allah

14
s.w.t. Karena itu, untuk merealisasikan risalahnya di bumi, Allah mengutus para
rasul-Nya yang menjelaskan kepada manusia tentang syari’at yang diturunkan
oleh Allah kepada mereka. Dalam hal ini, Allah berfirman dalam Q.S.
An-Nahl/16:43-44 yang artinya:

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki


yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. Keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”.
Kecenderungan manusia untuk meniru ini terutama dalam kondisi yang
lemah dan melihat sesuatu yang asing bagi mereka. Bisa jadi, bagi sebagian
mereka hal itu merupakan sesuatu yang asing, tapi bagi yang lain tidak. Hal ini
seperti pernah terjadi pada masa Rasulullah s.a.w., waktu Allah menghendaki
beliau agar menikah dengan mantan istri Zaid, anak angkat beliau. Allah
menghendaki demikian untuk menerangkan kepada manusia bahwa Zaid sebagai
anak angkat beliau, tidak memiliki hak-hak atau ketentuan-ketentuan yang sama
sebagaimana yang berlaku dalam anak kandung. Hal ini diterangkan dalam Q.S.
Al-Ahzab/33:37 yang artinya: “

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya


(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan
bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak- anak angkat mereka,
apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada
isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
Kecenderungan untuk meniru juga tampak dalam kondisi yang
Keteladanan dalam Pendidikan memerlukan pengorbanan, seperti dalam
berperang, berinfak, dan sebagainya. Dalam beberapa peperangan, Rasulullah
s.a.w. tampil bersama sahabat untuk menegakkan syari’at Islam. Beliau berperan
sebagai pemimpin untuk mengatur strategi agar menang dalam berperang. Tidak
hanya itu, beliau melaksanakan sendiri perbuatan yang diperintahkan kepada para
sahabat. Dalam perang Khandaq misalnya, beliau langsung turun tangan ikut
mengangkut batu, menggali parit bersama sahabat dengan pakaian yang kotor
terkena tanah seperti sahabat-sahabat lainnya. Dengan tindakannya itu, beliau

15
menjadi contoh bagi sahabat-sahabat untuk ikut serta dalam mempersiapkan
peperangan agar tercapai tujuan yang diharapkan. Dalam hal ini, tindakan beliau
sebagai teladan patut ditiru oleh pendidik untuk langsung turun tangan bersama
peserta didik ketika melakukan suatu perbuatan yang semestinya dilakukan oleh
terdidik.

2. Tipe-tipe Peneladanan

Dalam Pendidikan Tipe-tipe peneladanan yang penting adalah pertama,


pengaruh langsung yang tidak disengaja. Keberhasilan tipe peneladanan ini
banyak bergantung pada kualitas kesungguhan karakteristik yang dijadikan
teladan, seperti keilmuan, kepemimpinan, keikhlasan, dan sebagainya. Dalam
kondisi seperti ini, pengaruh teladan berjalan secara langsung tanpa disengaja. Ini
berarti bahwa setiap orang yang diharapkan dapat dijadikan teladan untuk
memelihara tingkah lakunya. Hal ini disertai kesadaran bahwa ia bertanggung
jawab di hadapan Allah dalam segala hal yang diikuti oleh orang lain, terlebih
pada para pengagumnya. Dan dalam Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud,
Rasulullah s.a.w. bersabda:“Barang siapa yang menunjukkan jalan kebaikan,
maka ia akan memperoleh pahala sebagaimana pahala yang diterima oleh
pelakunya” (H.R. Muslim)25

Termasuk dalam tipe ini, orang yang diharapkan dapat dijadikan teladan
terkadang tidak mengetahui bahwa dirinya menjadi teladan. Dalam hal ini, ia
hanya berusaha untuk berperilaku dan bertindak sebagaimana ketentuan-ketentuan
yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa ada keinginan untuk
diikuti orang lain. Dalam kaitan dengan pendidikan formal, seorang guru yang
baik hanya menjalankan tugasnya yang telah diberikan, atau ia hanya berusaha
secara maksimal untuk mematuhi semua ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan oleh sekolah, tanpa ada keinginan untuk dijadikan teladan bagi guru
yang lain atau peserta didik. Namun, dengan upaya yang ia lakukan secara

25
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Shaghir fi
Ahadis al-Basyir al-Nadzir (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz II, hal. 171

16
sungguh-sungguh, menjadikannya sebagai teladan yang akhirnya menjadi panutan
bagi lainnya.

Tipe peneladanan yang kedua adalah pengaruh yang sengaja. Dalam hal
ini, pengaruh peneladanan terkadang dilakukan dengan sengaja untuk diikuti yang
lain. Seorang ustadz memberikan contoh bagaimana membaca Al-Qur’an dengan
baik agar para terdidik menirunya. Seorang imam melaksanakan sholat dengan
baik untuk mengajarkan shalat yang sempurna kepada jama’ah. Orang tua makan
bersama anak-anaknya dengan membaca doa sebelumnya agar ditiru oleh mereka.
Semua contoh ini merupakan bentuk peneladanan yang disengaja dengan harapan
apa yang dilakukan diikuti oleh orang lain. Rasulullah s.a.w. telah banyak
memberikan contoh agar diikuti oleh para sahabat, terutama yang berkaitan
dengan urusan agama. Beliau sendiri bersabda yang artinya: ”Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihatku melaksanakan shalat” (H.R. Bukhari)”. Hal ini
menunjukkan bahwa Rasulullah s.a.w. telah memberikan contoh bagaimana cara
melaksanakan shalat yang baik dan benar. Dalam hal ibadah haji, beliau juga
bersabda yang artinya: “Ambillah dariku cara-cara mengerjakan ibadah haji
kalian”. (Al- Hadits). Berdasar hadis ini menunjukkan bahwa beliau telah
memberi contoh terhadap segala hal yang berkaitan dengan urusan agama untuk
dijadikan panutan bagi seluruh umat Islam

3. Nilai Edukatif Keteladanan

Dalam tinjauan pendidikan, keteladanan Rasulullah s.a.w. memiliki asas


pendidikan yang terdiri atas dua hal. Pertama, pendidikan Islam merupkan konsep
yang selalu menyeru pada jalan Allah S.W.T. Dengan asas ini, seorang pendidik
dituntut untuk menjadi teladan di hadapan anak didiknya. Ia hendaknya mengisi
dirinya dengan akhlak yang mulia dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tercela.
Dengan begitu, setiap anak didik akan meneladani pendidiknya, sehingga perilaku
ideal yang diharapkan merupakan tuntutan realistis dan dapat direalisasikan.

Pendidik dalam hal ini tidak hanya terbatas pada seorang guru dalam
lingkungan sekolah formal saja, tetapi juga orang tua sebagai pendidik dalam

17
lingkungan keluarga dituntut demikian halnya. Orang tua harus menjadikana
dirinya sebagai figur yang patut dicontoh dalam kehidupan keluarganya, sehingga
anak-anak sejak awal perkembangannya akan terarahkan pada tata nilai atau
konsep-konsep yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, para pendidik,
baik dalam pendidikan formal, informal atau non formal, diharuskan
menyempurnakan dirinya dengan akhlak mulia yang berasal dari Al-Qur’an yang
diwujudkan dalam perilaku Rasulullah s.a.w. Dengan begitu, para pendidik
muslim diupayakan secara maksimal untuk mengikuti seluruh kehidupan yang ada
pada diri Rasulullah s.a.w

Pernyataan di atas sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Yusuf


Murad. Ia mengatakan bahwa anak-anak sejak dilahirkan terpengaruh
Keteladanan dalam Pendidikan oleh lingkungannya sampai ia meninggal dunia.26
Oleh karena itu, lingkungan anak hendaklah diciptakan kondisi yang sebaik-
baiknya, karena akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya. Dalam hal ini,
lingkungan keluarga menempati posisi terpenting pada awal-awal pertumbuhan
anak, karena di lingkungan seperti inilah mereka menghabiskan waktu bersama
dengan keluarga.

Kedua, Islam menjadikan kepribadian Rasulullah s.a.w. sebagai teladan


abadi bagi pendidik, sehingga jika mereka membaca sejarah beliau, semakin
bertambah kecintaan dan keinginannya untuk meneladaninya.27 Ajaran Islam
menyajikan keteladanan ini agar manusia mengaplikasikan keteladanan itu kepada
dirinya sendiri. Setiap orang Islam harus mengambil keteladanan Rasulullah ini
sesuai dengan tingkat keanggupan dan kesabarannya, karena untuk meniru secara
keseluruhan kehidupan beliau, sebagai suatu hal yang sangat sulit diterapkan. Hal
yang demikian ini jika diterapkan dalam kehidupan akan mencapai puncak
keberhasilan dalam merealisasikan tujuan pendidikan Islam yang diharapkan

Keberhasilan dalam mentransfer keteladanan tidak terlepas dari peniruan


(taqlid, imitation) yang menjadi karakteristik manusia. Peniruan adalah
26
Yusuf Murad, Mabadi’ ‘ilm al-Nafs al-‘Am, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th.), Cet. IV, h.
101-102.
27
Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Tarbiyyat fi al-Islam (Kairo; Dar al-Ma’arif, t.th), hal. 129.

18
melakukan suatu tindakan sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain. Sifat ini
merupakan salah satu pembawaan dasar manusia. Peniruan ini pada dasarnya
berpusat pada tiga unsur . Pertama, kesenangan untuk meniru dan mencontoh.
Kesenangan ini tampak jelas terjadi pada anak-anak dan remaja. Anak-anak lebih
banyak meniru dibandingkan dengan melaksanakan nasehat atau petunjuk lisan.
Mereka terdorong oleh keinginan yang tanpa disadari membawa mereka pada
penirun gaya bicara, cara bergerak, meniru pakaian yang dikenakan atau perilaku-
perilaku lain dari orang yang dikagumi. Oleh karena itu, anak-anak biasa meniru
pemimpin, pembesar, orang tua dan guru. Anak kecil sangat suka meniru orang
yang lebih besar, karena ia merasa bahwa dengan meniru, ia akan menjadi seperti
dewasa dan cenderung berkuasa dan tumbuh

. Menurut Abdul Aziz al-Qusssy, pada anak berumur enam bulan, peniruan
dalam tertawa dan tersenyum sudah mulai muncul. Pada usia tersebut sampai
berumur satu tahun, ia sudah meniru dalam bentuk gerakan kepala, memberi
isyarat dengan dua tangan, dan mulai belajar berdiri.28Anak- anak pada umur
tersebut sudah mulai meniru gaya bicara orang tua mereka. Bahkan, berdasar
penelitian yang dilakukan oleh Field menunjukkan bahwa anak-anak yang baru
lahir sudah dapat meniru bahagia, sedih, dan ekspresi wajah yang
mengherankan.29

Pada masa awal anak-anak, pertumbuhan yang paling menonjol adalah


meniru pembicaraan dan tindakan orang lain. Oleh karena itu, Hurlock
menyebutnya pada periode ini dengan periode meniru. Pernyataan ini diperkuat
oleh Hasan Langgulung yang menyebutkan bahwa pada anak sampai berumur dua
tahun, ia sudah dapat meniru suara-suara atau irama- irama.Dengan demikian,
pada periode awal pertumbuhan anak, mereka sangat peka terhadap lingungan
sekitarnya. Bentuk-bentuk peniruan pada periode ini akan terus berkembang pada
periode selanjutnya. Ketika mereka menjadi remaja, bentuk peniruan berkembang
menjadi cara berpakaian, cara berbicara, dan sebagainya. Kondisi seperti ini akan
28
Abd. Al-Aziz al-Qussy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental, terj.Zakiah Darajat, Cet. I,
(Jakarta: Bulan bintang, 1974), hal. 109-110
29
E. Mavis Hetherington dan Ross D. Parke, Child Psychology, a Contemporary
Viewpoint, jilid III (Singapore: McCraw-Hill Book Co., 1986), hal. 179.

19
timbul masalah ketika mereka bukan hanya meniru hal-hal yang positif, tetapi
juga meniru perilaku-perilaku negatif yang tidak sesuai dengan norma-norma
agama. Berkaitan dengan hal tersebut, Rasulullah s.a.w. bersabda yang artinya:
“Barang siapa membuat contoh tradisi yang baik dalam Islam, kemudian
dikerjakan oleh orang lain, maka ia akan mendapat ganjaran seperti ganjaran
orang yang mengerjakannya, tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barang siapa
membuat contoh tradisi yang jelek dalam Islam, kemudian dikejakan oleh orang
lain, maka ia akan mendapatkan dosa seperti dosa orang yang mengerjakannya,
tanpa dikurangi sedikitpun”.30

Kedua, kesiapan untuk meniru. Dalam setiap pertumbuhan dan


perkembangan manusia, memiliki potensi-potensi yang terbatas pada periode-
periode yang dilalui. Pada usia anak-anak, mereka meniru orang dewasa
bagaimana cara berbicara, bergerak, dan perilaku-perilaku lain yang sesuai dengan
periodenya. Mereka lebih cepat terpangaruh terutama pada awal-awal
pertumbuhannya, karena pada masa ini masih dikuasai kelenturan dan
peniruannya. Dan pada usia remaja dan dewasa, bentuk peniruan telah meningkat
menjadi cara berpakaian, cara menyampaikan pendapat, dan sebagainya. Pada
umumnya, di antara berbagai kondisi yang menyebabkan kesiapan untuk meniru
adalah kondisi yang tidak baik dan lemah. Dalam menghadapi hal ini, orang
kehilangan pegangan dan arah, serta mudah mengikuti arus massa. Pada saat
seperti ini, biasanya muncul seorang pemimpin atau seorang tokoh yang dapat
ditiru, baik dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, maupun dalam pandangan dan
pendapatnya. Peniruan ini antara lain disebabkan tidak mampu dalam menghadapi
kekuatan. Orang yang lemah mengikuti orang yang kuat atau yang berkuasa.
Orang yang dipimpin akan meniru pemimpinnya. Anak akan mengikuti orang
tuanya

Ketiga, adanya tujuan. Setiap peniruan memiliki tujuan yang terkadang


diketahui oleh yang meniru dan terkadang tidak diketahui. Tujuan peniruan yang
pertama bersifat bilogis. Tujuan ini bersifat naluriah dan biasanya tidak disadari.
30
Abu al-Husain Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairi al-Naysaburi, Sahih Muslim bi Syarh
Nawawi, juz IV (Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.), hal. 1059-2060.

20
Hal ini tampak pada anak kecil yang masih belum memiliki perkembangan
berpikir yang cukup. Peniruan tahap ini masih dalam bentuk yang sederhana,
seperti makan. Dalam peniruan ini, mereka merasa dirinya lemah dan mencari
pelindungan berkaitan dengan eksistensinya. Peniru yang merasa dirinya lemah
menemukan dirinya dalam naungan seseorang yang dipandangnya kuat. Peniruan
tersebut berlangsung dengan harapan agar memperoleh kekuatan seperti yang
dimiliki orang yang dikaguminya. Dalam tahapan berikutnya, peniruan mengarah
pada bentuk yang sudah disadari dan sudah diketahui pula tujuannya. Peniruan
bentuk ini tidak hanya sekedar ikut-ikutan, tetapi sudah melalui pertimbangan.
Bentuk peniruan ini merupakan bentuk peniruan yang tinggi. Dalam hal ini,
peniru mengagumi seorang tokoh dalam cara pendapat-pendapatnya. Jika
kesadaran peniruan ini ditumbuhkan pada anak, maka ia akan mengetahui bahwa
meniru pemimpin Islam atau orang Islam yang menjadi anutan umat terdapat
kebahagiaan dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Model pembelajaran perumpamaan sangat berkaitan dengan keadaan
sesuatu dengan sesuatu yang lainya. Dengan demikian, model pembelajaran
dengan perumpamaan-perumpamaan sangat berkaitan dengan waktu tertentu dan
juga banyak di dalam al Qur’an menggunakan bentuk perumpamaan yang
beragam, yang kira-kira denganya dapat diperoleh pelajaran dan nasihat serta
dapat ditangkap dan difahami oleh akal sehat. Baik yang berkaitan dengan
masalah metafisika, seperti gambaran keindahan syurga, sikap orang-orang kafir
dalam menghadapi petunjuk dan lain-lain.

Selain itu juga, ketika Allah membuat perumpamaan- perumpamaan di


dalam al Qur’an bagi manusia, kadang-kadang menggunakan bentuk jama’
(amtsal) dan kadang-kadang menggunakan bentuk mufrad (matsal) dalam
beberapa ayat dan surat. Kedua bentuk tersebut kadang-kadang pula digunakan
secara bersamaan dalam satu ayat, yang tujuanya untuk menampilkan hal ihwal
kebenaran atau menunjukan betapa pentingnya pesan yang terkandung di
dalamnya.
Yang kedua yaitu dengan model pembelajaran ketaladanan.
Kecenderungan manusia untuk meniru maka model pembelajaran keteladanan
sangat penting untuk di terapkan. Dalam model pembelajaran keteladanan maka
perlu sosok teladan yang menjadi contoh yang dalam kondisi keteladanan tersebut
bisa di contoh dalam Pendidikan seperti pengorbanan dalam berperang, berinfak,
dan sebagainya. Dalam hal ini yang menjadi tauladan adalah Rasulullah
shallallahu’alaihi wassallam dalam menegakkan syari’at Islam Dengan
tindakannya itu, beliau menjadi contoh bagi sahabat-sahabat untuk ikut serta

22
dalam mempersiapkan peperangan agar tercapai tujuan yang diharapkan. Dalam
hal ini, tindakan beliau sebagai teladan patut ditiru oleh pendidik untuk langsung
turun tangan bersama peserta didik ketika melakukan suatu perbuatan yang
semestinya dilakukan oleh terdidik.

23
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qussy, Abd. Al-Aziz. 1974. Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental, terj.Zakiah


Darajat, Cet. I, Jakarta: Bulan bintang.
Abu al-Husain Muslim ibn Hajjaj al-Qusyairi al-Naysaburi, Sahih Muslim bi
Syarh Nawawi, juz IV Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.
Al Zamakhsyariy, Tafsir al Kasysyaf, j.ii. Kairo : Dar Al Llai, t.t.
Tim Penyusun. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Abu al-Husayn Ahmad ibn Faris ibn Zakariya. 1994. Al-Maqayis fi al-Lughah,
tahqiq oleh Syihab al-Din Abu Amr. Beirut: Dar al-Fikr.
Al-Raghib Al-asfahani. 1992. Mufradat Alfadh Al-Qur’an. Beirut: Dar al-Qalam.
Al-Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, Al-Jami’ al-
Shaghir fi Ahadis al-Basyir al-Nadzir. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Juz II

Amin, Ahmad. 1975. Fajrul Islam. Kairo: Maktabah al Nahdhah al Mishriyah


Arifin, H.M. 1991. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Badaruddin bin Abdullah al Zarkasyi. 1988. Al Burhan fi Ulum al Qur’an, j.i.


Beirut Dar al Fikr.
Denffer, Ahmad Von. 1988. Pengenalan Ilmu-ilmu Al Qur’an, Terj. Nashir
Budiman, Jakarta: Rajwali Press

Fu’ad, Abd, al Baqi Nuhammad, al Mu’jam al Mufahras Li Alfazh Al Qur’an


al Karim, (Kairo: Dar al Kutub, t.t.

Isma’il, Muhammad Bakar. 1991. Dirasat Fi Ulum al Qur’an. Kairo: Dar al


Manar

Munir, Ahmad. 2008. Tafsir Tarbawi mengungkap pesan al Qur’an tentang


Pendidikan. Yogyakarta: Teras

Qaththan, al, Manna. 1973. Mabahits Fi Ulum Al Qur’an. Beirut: al Syirkah


al Muttahidah Li al Tauzi

24
Qayyim, al. Ibnu. 1993. ‘A’lam al Muwaqqi’in, j.i. Beirut: Dar al Kutub al
Islamiyah

Shalih, al, Subhi. 1972. Mabahits Fi Ulum Al Qur’an. Beirut: Dar al Ilmi Li al
Malayin.

Suyuthiy, al, Jalaluddin, Al Itqan Fi Ulum Al Qur’an, j.ii, (Beirut: Dar al Fikr,
t.t.)

Syihab, Umar, Al Qur’an dan Rekayasa Sosial, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1990).

Parke, D. Parke dan E. Mavis Hetherington. 1986. Child Psychology, a


Contemporary Viewpoint, jilid III (Singapore: McCraw-Hill Book Co
Yusuf Murad. Mabadi’ ‘ilm al-Nafs al-‘Am. Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th. Cet. IV
Lihat, Muhammad Fu’ad Abd. Baqi, al Mu’jam al Mufahras Li al Fazh al
Qur’an al Karim, Kairo : Dar al Kutub, t.t.
Zamakhsyariy, al. 1988. Tafsir Al Kasysyaf, j.ii, (Kairo: Dar al Ilmi, t.t.)
Zarkasyi al, Badruddin bin Abdullah, Al Burhan Fi Ulum Al Qur’an, j.i.,
(Beirut: Dar Al Fikr.

25

Anda mungkin juga menyukai