OLEH :
GDE DIPTA DHIATMIKA
2190127684
2. Epidemiologi
Kematian neonatus masih menjadi masalah global yang penting.
Setiap tahun diperkirakan 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama
dengan 85% kematian terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan. Terkait
masalah ini, World Health Organization (WHO) menetapkan penurunan
angka kematian bayi baru lahir dan anak di bawah usia 5 tahun (balita),
sebagai salah satu sasaran Sustainable Development goals. Target untuk
menurunkan angka kematian hingga sebesar 12 kematian bayi per 1000
kelahiran hidup dan kematian dibawah 5 tahun hingga setidaknya
25/1000 kelahiran hidup diharapkan dapat tercapai pada tahun 2030.
Namun, angka kematian bayi berdasarkan Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 masih cukup tinggi dibandingkankan
target tersebut, yaitu 34 per 1000 kelahiran hidup. WHO melaporkan
komplikasi intrapartum, termasuk asfiksia, sebagai penyebab tertinggi
kedua kematian neonatus (23,9%) setelah prematuritas dan berkontribusi
sebagai 11% penyebab kematian balita di seluruh dunia. Di Asia
Tenggara, asfiksia merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga (23%)
setelah infeksi neonatal (36%) dan prematuritas / bayi berat lahir rendah
(BBLR) (27%). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 di
Indonesia turut melaporkan asfiksia sebagai 27% penyebab kematian
bayi baru lahir. Selain itu, asfiksia juga berkaitan dengan morbiditas
jangka panjang berupa palsi serebral, retardasi mental, dan gangguan
belajar pada kurang lebih 1 juta bayi yang bertahan hidup. Berbagai
morbiditas ini berkaitan dengan gangguan tumbuh kembang dan kualitas
hidup yang buruk dikemudian hari (Kemenkes, 2019)
3. Etiologi
Menurut (Nurarif, 2013) asfiksia dapat terjadi karena beberapa
faktor, diantaranya yaitu :
1) Faktor Maternal
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu
melalui plasenta berkurang. Akibatnya, aliran oksigen ke janin juga
berkurang dan dapat menyebabkan gawat janin dan akhirnya
terjadilah asfiksia. Berikut merupakan keadaan-keadaan yang dapat
menyebabkan asfiksia pada bayi baru lahir (Nurarif, 2013) :
a. Preeklamsia dan eklamsia
b. Demam selama persalinan
c. Kehamilan postmatur
d. Hipoksia ibu
e. Gangguan aliran darah fetus, meliputi : gangguan kontraksi uterus
pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri. Hipotensi mendadak pada
ibu karena perdarahan. Hipertensi pada penyakit toksemia
f. Primi tua, DM, anemia, riwayat lahir mati, dan ketuban pecah dini
2) Faktor plasenta
Keadaan berikut ini berakibat pada penurunan aliran darah dan
oksigen melalui tali pusat ke bayi, sehingga bayi mungkin mengalami
asfiksia (Nurarif, 2013) :
a. Abruptio plasenta/solutio plasenta (lepasnya plasenta dari dinding
rahim, bagian dalam sebelum proses persalinan, kondisi ini dapat
menyebabkan pasokan nutrisi dan oksigen pada bayi menurun
atau terhambat)
b. Plasenta previa (kondisi ketika ari-ari ada di bagian bawah rahim,
kondisi ini bisa membuat jalan lahir tertutup)
3) Faktor fetus
Pada keadaan berikut bayi mungkin mengalami asfiksia walaupun
tanpa didahului tanda gawat janin (Nurarif, 2013) :
a. Air ketuban bercampur dengan mekonium
b. Lilitan tali pusat
c. Tali pusat pendek atau layu
d. Prolapsus tali pusat
4) Faktor persalinan
Keadaan yang dapat menyebabkan asfiksia yaitu (Nurarif, 2013):
a. Persalinan kala II lama
b. Pemberian analgetik dan anastesi pada operasi caesar yang
berlebihan sehingga menyebabkan depresi pernapasan pada bayi
5) Faktor neonatus
Berikut merupakan kondisi bayi yang mungkin mengalami asfiksia
(Nurarif, 2013) :
a. Bayi preterm (belum genap 37 minggu kehamilan) dan bayi
posterm
b. Persalinan sulit (letak sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, forsep)
c. Kelainan konginetal seperti hernia diafragmatika, atresia/stenosis
saluran pernapasan, hipoplasi paru, dll.
d. Trauma lahir sehingga mengakibatkan perdarahan intracranial
4. Pathofisiologi
Segera setelah lahir bayi akan menarik napas yang pertama kali
(menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk resoirasi.
Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan cairan yang ada
didalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara bertahap. Bersamaan
dengan ini arteriol paru akan mengembang dan aliran darah ke dalam
paru meningkat secara memadai.
Bila janin kekurangan O₂ dan kadar CO₂ bertambah, maka
timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut
jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurangan O₂ terus berlangsung
maka nervus vagus tidak dapat di pengaruhi lagi. Kemudian akan timbul
rangsangan dari nervu simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih cepat dan
akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan mengadakan pernapasan
intrauterine dan bila kita periksa kemudian terdapat banyak air ketuban
dan mekonium dalam paru, bronkus tersumbat dan terjadi atelektasis.
Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang.
Jika berlanjut, bayi akan menunjukkan pernapasan yang dalam,
denyut jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun
dan bayi akan terlihat lemas. Pernapasan makin lama makin lemah
sampai bayi memasuki periode apneu sekunder. Selama apneu sekunder,
denyut jantung, tekanan darah dan kadar O₂ dalam darah (PaO₂) terus
menurun. Bayi sekarang tidak dapat bereaksi terhadap rangsangan dan
tidak akan menunjukkan upaya pernapasan secara spontan (Sudarti dan
Fauziah 2012).
PATHWAY :
Faktor Maternal : Faktor Plasenta : Faktor Fetus/Janin : Faktor Persalinan : Faktor Neonatus :
Preeklamsia dan eklamsia Abruptio Air ketuban Persalinan kala Bayi preterm dan
Postmatur plasenta/solutio bercampur dengan II lama posterm
Hipoksia ibu plasenta mekonium Pemberian Persalinan sulit
Gangguan aliran darah fetus Plasenta previa Lilitan tali pusat analgetik dan Kelainan
Metabolisme anaerob
Asfiksia
Janin kekurangan O2
Usaha nafas lemah Suplai O2 keparu-paru menurun Suplai O2 dalam darah Paru-paru terisi cairan
menurun seperti mekonium, air
ketuban
Pola nafas abnormal Asidosis respiratorik
O2 dalam jaringan
menurun Sumbatan jalan napas
Gangguan perfusi ventilasi
DJJ & TD menurun MK : Pola Napas
Tidak Efektif Kerusakan otak Dispnea
MK : Gangguan
Janin tidak bereaksi
Pertukaran Gas
terhadap rangsangan MK : Risiko Cedera MK : Bersihan
Jalan Napas Tidak
Kematian Efektif
5. Klasifikasi
1) Asfiksia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu asfiksia pallida dan
asfiksia livida dengan masing-masing manifestasi klinis sebagai
berikut (Nurarif, 2013) :
Perbedaan Asfiksia Pallida Asfiksia Livida
Warna Kulit Pucat Kebiru-biruan
Tonus Otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi Rangsangan Negatif Positif
Bunyi Jantung Tidak teratur Masih teratur
Prognosis Jelek Lebih baik
2) Klasifikasi asfiksia dapat ditentukan berdasarkan nilai APGAR
(Nurarif, 2013) :
a. Asfiksia berat (Severe asphyksia) jika APGAR score berada pada
rentang 0-3
b. Asfiksia sedang (Mild- moderate asphyksia) dengan nilai APGAR
4-6
c. Bayi normal atau dengan asfiksia ringan (Virgorous baby) jika
APGAR score berada pada rentang 7-10. dalam hal ini bayi dianggap
sehat, tidak memerlukan tindakan istimewa
Tanda Nilai
0 1 2
A : Appearance Biru/pucat Tubuh kemerahan, Tubuh dan
(color/warna ekstremitas biru ekstremitas
kulit) kemerahan
P : Pulse (heart Tidak ada < 100x per menit >100x per menit
rate/denyut nadi)
G : Grimance Tidak ada Gerakan sedikit Menangis
(reflek)
A : Activity Lumpuh Fleksi lemah Aktif
(tonus otot)
R : Respiration Tidak ada Lemah, merintih Tangisan kuat
(usaha bernapas)
6. Gejala Klinis
Tanda dan gejala pada bayi baru lahir dengan asfiksia menurut
Sukarni & Sudarti (2012), antara lain :
1) Tidak bernafas atau napas megap-megap atau pernapasan cepat,
pernapasan cuping hidung
2) Pernapasan tidak teratur atau adanya retraksi dinding dada
3) Tangisan lemah atau merintih
4) Warna kulit pucat atau biru
5) Tonus otot lemas atau ekstremitas terkulai
6) Denyut jantung tidak ada atau lambat (bradikardia) kurang dari 100
kali permenit
7) Nilai APGAR kurang dari 7
7. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan diagnostik adanya asfiksia pada bayi
(Sudarti dan Fauziah, 2013 ) yaitu :
1) Pemeriksaan analisa gas darah (AGD)
2) Pemeriksaan elektrolit darah
3) Berat badan bayi
4) Pemeriksaan EGC dan CT-Scan, jika sudah timbul komplikasi
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada afiksia yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Pemantauan gas darah, denyut nadi, fungsi sitem jantung dan paru
dengan melaukukan resusitasi, memberikan oksigen yang cukup, serta
memantau perfusi jaringan tiap 2-4 jam
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap baik, sehingga proses
oksigenasi cukup agar sirkulasi darah tetap baik
c. Asfiksia ringan APGAR skor (7-10)
- Bayi dibungkus dengan kain hangat
- Bersihkan jalan nafas dengan menghisap lendir pada hidung
kemudian mulut
- Bersihkan badan dan tali pusat
- Lakukan observasi tanda tanda vital, pantau APGAR skor dan
masukkan ke dalam inkubator
d. Asfiksia sedang APGAR skor (4-6)
- Bersihkan jalan nafas
- Berikan oksigen 2 liter permenit
- Rangsang pernafasan dengan menepuk telapak kaki, apabila belum
ada reaksi, bantu pernafasan dengan masker (ambubag)
e. Asfiksia berat APGAR skor (0-3)
- Bersihkan jalan nafas sambil pompa melalui ambubag
- Berikan oksigen 4-5 liter permenit
- Bila tidak berhasil, lakukan pemasangan ETT (endrotracheal tube)
- Bersihkan jalan nafas melalui ETT
- Apabila bayi sudah mulai bernafas tetapi masih sianosis berikan
natrium bikarbonat sebanyak 6 cc selanjutnya berikan dekstosan
40% sebanyak 4cc
f. Terapi oksigen yang diberikan kepada bayi yang memiliki konsentrasi
oksigen yang baik, penggunaan alat alat seperti pemakaian ventilator,
headbox, nasal kanul dan modifikasi penggunaan alat CPAP.
g. Menurut (Silvia, 2015) Pencegahan hipotermi pada bayi premature
dengan dapat menggunakan metode kanguru, dalam penelitiannya
perawatan metode kanguru dapat meningkatkan suhu tubuh,
menstabilkan pernafasan dan dapat meningkatkan berat badan bayi.
h. Jika bayi menderita hipoglikemia penanganan pertama adalah periksa
Dextrostix dan true glucose darah, hindari bayi kedinginan, beri
minum ASI atau pengganti ASI sebanyak 10-15 ml/kg BB. Ulangi
pemeriksaan dextrostix sesudah 1 jam. Bila kadar gula masih dibawah
45 mg/dl harus dipersiapkan untuk pemberian larutan glukosa.
Selanjunya bila kadar gula darah menunjukan lebih dari 45 mg/dl pada
3-4 kali pemeriksaan maka bayi cukup diberi minimal per oral
(Ngastiyah, 2014)
9. Komplikasi
Dampak yang akan terjadi jika bayi baru lahir dengan asfiksia tidak
di tangani dengan cepat maka akan terjadi hal-hal sebagai berikut antara
lain:
1) Perdarahan otak
Pada penderita asfiksia dengan gangguan fungsi jantung yang telah
berlarut sehingga terjadi renjatan neonatus, sehingga aliran darah ke
otak pun akan menurun, keadaaan ini akan menyebabkan hipoksia
dan iskemik otak yang berakibat terjadinya edema otak, hal ini juga
dapat menimbulkan perdarahan otak
2) Anuragia dan onoksia
Disfungsi ventrikel jantung dapat pula terjadi pada penderita asfiksia,
keadaan ini dikenal istilah disfungsi miokardium pada saat terjadinya,
yang disertai dengan perubahan sirkulasi. Pada keadaan ini curah
jantung akan lebih banyak mengalir ke organ seperti mesentrium dan
ginjal. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya hipoksemia pada
pembuluh darah mesentrium dan ginjal yang menyebabkan
pengeluaran urine sedikit
3) Hyperbilirubinemia
Bayi yang mengalami asfiksia, ikatan bilirubin dengan protein
menjadi terganggu, hal ini menyebabkan gangguan pemecahan
bilirubin plasma sehingga menimbulkan peningkatan kadar bilirubin
dalam tubuh bayi.
4) Kejang
Pada bayi yang mengalami asfiksia akan mengalami gangguan
pertukaran gas dan transport O2 sehingga penderita kekurangan
persediaan O2 dan kesulitan pengeluaran CO2 hal ini dapat
menyebabkan kejang pada anak tersebut karena perfusi jaringan tidak
efektif.
5) Koma
Apabila pada pasien asfiksia berat segera tidak ditangani akan
menyebabkan koma karena beberapa hal diantaranya hipoksemia dan
perdarahan pada otak. Komplikasi tersebut akan mengakibatkan
gangguan pertumbuhan bahkan kematian pada bayi (Surasmi, 2013)
3. Intervensi Keperawatan
4. Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana untuk mencapai
tujuan yang spesifik yang ditujukan untuk membantu klien dalam hal
mencegah penyakit, peningkatkan derajat kesehatan dan pemulihan
kesehatan.
5. Evaluasi
Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai
tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui
pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses
keperawatan yang dilakukan dengan Format SOAP.
DAFTAR PUSTAKA
Legawati. (2018). Asuhan Persalinan dan Bayi Baru Lahir. Malang : Wineka
Media.
Sudarti dan Fauziah. A. (2013). Asuhan Kebidanan Neonatus Risiko Tinggi dan
Kegawatan. Yogyakarta : Nuha Medika. Hal 4
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Indikator Diagnostik). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia