Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

TAFSIR DAN HADITS HUKUM KELUARGA


Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah yang dibina oleh
Dosen Pengampu : Dr. H. Abdullah Syamsul Arifin, S.Ag., M.H.I

Disusun Oleh :
AHMAD FARID ANAM (204102010095)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH ACHMAD SIDDIQ


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
JEMBER
OKTOBER 2021
RESUME 1

Nikah dalam bahasa Arab,secara etimologi berarti berkumpul. Sedangkan dalam istilah
fikih adalah akad yang melegalkan untuk berhubungan badan bersama lawan jenis dengan
menggunakan kalimat nikah atau tajwij atau terjemahannya.
Term-term yang semakna dengan nikah :
• Adh-dhammu yang berarti menyatukan
• Al-jam‟u yang berarti mengumpulkan
• Al-wath‟u yang berarti menindih/ hubungan suami istri

Dalil al-Qur‟an dan Hadits tentang pernikahan


Artinya: “Kawinkanlah bujangan-bujangan yang telah layak untuk kawin dari antara
budak laki-laki dan perempuan kamu. Jika mereka miskin, Allah kelak akan
memberikan kecukupan kepada mereka dari rizqinya dan Allah Maha luas (rizki-Nya)
dan Maha tahu”

“Wahai para pemuda,barang siapa dari kalian yang mampu menikah,maka


menikahlah,karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan (menundukkan)
pandangan dan lebih menjaga farji. Dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah
ia berpuasa,karena sesungguhnya puasa itu menjadi penahan syahwat baginya.” (HR
Bukhari)

Rukun-Rukun Nikah
Dalam terminologi fikih, rukun adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu
disiplin tertentu, dimana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri. Bagi umat
islam, pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut hukum pernikahan islam, Suatu akad
pernikahan dipandang sah apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga
keadaan akad itu diakui oleh hukum syara‟. Rukun-rukun nikah diantaranya:
1. Adanya calon suami.
2. Adanya calon istri.
3. Adanya wali.
4. Adanya dua orang saksi laki-laki.
5. Adanya Ijab dan Qabul
Sahnya suatu pernikahan terjadi apabila telah ditunaikan semua rukunnya, seperti yang
disabdakan nabi diriwayatkan oleh Ibnu Hibban:
1
“Dari Aisyah Radliyallahu „anha bahwa Rasulullah SAW bersabda: Tidak sah nikah,
kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil. Riwayat Ibnu Hibban”
Alasan mengapa nikah itu sangat penting karena nikah dapat dipandang sebagai satu
jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum yang lain, serta perkenalan itu akan menjadi
jalan buat bertolong-tolongan antara satu dengan yang lainnya.
Terdapat 3 kunci kesuksesan dumah tangga yang disampaikan oleh Allah dalam
firmannya di surah ar-rum (30) ayat 21, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang
ideal menurut islam, yaitu sakinah (as-sakinah), mawadah (al-mawaddah), dan rahmat (ar-
rahmah). Ulama tafsir menyatakan bahwa as-sakinah adalah suasana damai yang
melingkupi rumah tangga yang bersangkutan, masing-masing pihak menjalankan perintah
Allah SAW dengan tekun, saling menghormati, dan saling toleransi. Hikmah Nikah ialah:
1. Melaksanakan perintah allah taala
2. Mengikuti sunnah nabi dan meneladani petunjuk para rasul
3. menyalurkan syahwat dan menundukkan pandangan
4. Menjaga kemaluan dan kehormatan kaum wanita
5. Mencegah tersebarnya perbuatan keji diantaran kaum muslimin
6. Memperbanyak keturunan yang akan menjadi kebanggaan nabi.
7. mendapat pahala dari perbuatan jimak yang halal
8. Mencintai apa yang dicintai rosul

RESUME 2

A. Pengertian Mahram
Secara bahasa mahram bermakna haram, Artinya sesuatu yang terlarang dan tidak boleh
dilakukan. Di dalam kamus Al-Mu'jam Al- Wasith disebutkan bahwa al- mahram itu adalah
wanita yang haram dinikahi. Sering kali terjadi kesalahan antara mahram dan muhrim.
Muhrim itu adalah orang yang sedang yang mengerjakan ibadah ihram. Mahram adalah setiap
wanita yang haram dinikahi selamanya, disebabkan sesuatu yang mubah, dan karena status
yang haram.
Faktor yang menentukan boleh tidaknya pernikahan adalah status wanitanya yang
menjadi pengantin. Apabila wanita yang dinikahi termasuk yang haram untuk dinikahi, maka
hukum dari pernikahan tersebut adalah haram begitupun sebaliknya.
Wanita yang haram dinikahi tapi tidak selamanya bukan termasuk dalam mahram.

2
B. Macam-macam Mahram
Berdasarkan dalil pada Qs. An-Nissa 23 terdapat 13 wanita yang haram untuk dinikahi
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Ulama ahli fiqh membagi mahram menjadi 2
macam:
1. Mahram bersifat abadi, adalah pernikahan yang haram terjadi diantara laki-laki dan
perempuan untuk selamanya meskipun apapun terjadi hukumnya tetapdiharamkan.
yang termasuk dalam kategori ini ada tiga macam yaitu:
a. Haram dinikahi karena sebab hubungan kekerabatan antara lain :
1) Ibu Kandung, nenek, buyut dan terus keatasnya, juga berlaku pada jalur
ayah.
2) Anak kandung perempuan (cucu, cicit dan terus kebawah).
3) Saudara wanita (sekandung, seibu, atau saudara seayah).
4) Bibi pihak bapak
5) Bibi pihak ibu.
6) Keponakan wanita. Anak-anak perempaun dari saudar-saudara perempuan
Selain ke-7 jalur diatas, maka bukan mahram.
b. Haram dinikahi karena hubungan pernikahan. Adapun kategorinya adalah: Ibu
dari istri (mertua), Anak wanita dari istri (anak tiri), Istri dari anak laki- laki,
Istri dari ayah (ibu tiri)
c. Haram dinikahi karena hubungan persesusuan, Dalam Al-Qur‟an surah An-
Nissa: 23 disebutkan hanya 2 pihak wanita yang haram dinikahi karena
hubungan persusuan. Namun hadist Nabi disebutkan: “Persusuan itu
menyebabkan adanya hubungan mahram, sama seperti keturuanan.” (HR.
Bukhari dan Muslim). Para ulama mengambil kesimpulan wanita yang haram
dinikahi karena persusuan sama seperti wanita yang haram dinikahi karena
nasab. Yang termasuk mahram persesusuan adalah:
1) Wanita yang menyusuinya.
2) Anak wanita dari wanita yang menyusuinya.
3) Saudari wanita dari wanita yang disusuinya (bibi)
4) Ibu dari wanita yang menyusuinya (nenek)
5) Ibu dari suami yang menyusuinya (nenek dari ayah) 6) Saudari dari suami
yang menyusuinya (bibi dari ayah) 7) Bayi wanita yang juga menyusui pada
wanita yang sama.

3
Adapun yang terkait dalam susuan yang menjadikannya mahram, antara lain: Jumlah
lima kali isapan, Susuan yang mengenyangkan dan terjadi sebelum disapih.
2. Mahram yang bersifat sementara. Kemahraman semata-mata mengharamkan
pernikahannya tidak membuat seseorang boleh melihat aurat, berkhalwat dan
bepergian bersama. Wanita-wanita yang termasuk haram untuk dinikahi secara
sementara yaitu :
a. Istri yang ditalaq tiga hukumnya adalah haram sementara, jika dia telah dinikahi
oleh laki-laki lain, dan keduanya telah merasakan nikmatnya berhubungan
dengan pasangannya, lalu keduanya bercerai maka mantan suaminya boleh
menikahinya lagi.
b. Wanita yang masih mempunyai ikatan pernikahan yaitu : Wanita yang masih
bersuami, Wanita yang masih dalam masa iddah
c. Wanita yang berzina Laki-laki mukmin haram menikahi wanita yang berzina,
demikian juga sebaliknya karena mereka tidak sepadan.
d. Memadu dua orang wanita yang bersaudara (saudara ipar) hukumnya haram
kecuali salah satunya telah diceraikan, atau istrinya meninggal dunia maka
boleh ia menikahi saudara (kakak/adik) istrinya.
e. Istri yang dili‟an / bentuk penceraian, dimana seorang suami mendapati istrinya
berzina dan menjatuhkan tuduhan. Namun tidak memiliki saksi selain dirinya
senediri, dan disisi lain sang istri menolak unutk mengakuinya.
f. Wanita kafir selain ahli kitab Menikahi seorang non Muslim yang bukan
kitabiyah atau musrikiyah. Namun apabila masuk islam di halalkan bagi laki-
laki muslim untuk menikahinya.
C. Hikmah keharamannya menurut kedokteran, hikmahnya adalah dapat menghindari
adanya kelainan atau cacat fisik bawaan atau bahkan cacat intelektual parah. Semakin
banyak riwayat pernikahan sedarah bisa menimbulkan resiko yang sangat tinggi.
Penyakit yang akan timbul dalam pernikahan sedarah:
1) Albinisme (kondisi tubuh kekurangan melanin, zat pewarna rambut, mata
dan kulit)
2) Fumarase Deficiency (gangguan yang khususnya memengaruhi sistem saraf
otak
3) Habsburg Jaw (kondisi cacat fisik yang dapat dilihat dari ciri-ciri rahang
bawahnya yang menonjol keluar dan penabalan bibir bawah ekstrem, ukuran
lidahnya juga terlihat sangat besar, yang biasanya menyebabkan pengidapnya
ngiler berlebihan)
4
4) Hemofilia, tidak secara spesifik penyebab hasil dari perkawinan sedarah.
5) Philadelphoi (bayi yang lahir mati tergolong tinggi, dengan cacat lahir dan
kelainan genetik bawaan).

RESUME 3 PERNIKAHAN DENGAN NON MUSLIM

Pengertian dari nikah atau pernikahan ialah terdiri dari 3 huruf “ ٓ , ‫ ك‬, ٓ ” namun
diperhalus menjadi “‫ ”عق د‬yang memiliki makna yaitu menunjukkan sesuatu rakiban alaihi
(menaiki diatas). Namun menurut para ahli bahasa tidak ada makna yang paling tepat bagi
“nikah” kecuali “al-wad‟u” atau hubungan seksual. Pengertian secara etimologi menurut Abu
Hanifah yaitu akad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita,
yang dilakukan dengan sengaja.
Dilihat dari pengertian muslim dan mendapat kata imbuhan non yang berarti orang yang
tidak atau bukan beragama Islam. Islam merupakan agama yang dibawa Nabi Muhammad
sebagai penyempurna agama sebelumnya, maka agama Islam merupakan agama yang
terakhir. Pengertian non muslim adalah pemeluk selain agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad.
Dalam Agama Islam, tidak terdapat ajaran yang memaksakan seseorang manusia
menjadi muslim.
Seperti yang difirmankan oleh Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 256 Artinya : ” Tidak
ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari
pada jalan yang salah….”. dari ayat diatas sudah jelas namun diperkuat dengan ayat lain yaitu
Surat Yunus ayat 99 Artinya : “ Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”.
Dari ayat diatas sudah jelas bahwa non muslim adalah penganut agama-agama diluar
Islam, misalnya penganut agama kristen, katholik, hindu, budha dan lain sebagainya. Dalam
agama Islam tidak ada ajaran yang memaksa non muslim untuk menjadi muslim. Karena
dalam ajaran Islam, memeluk agama dengan paksaan akan membuat hati seseorang tertekan
dan dalam menjalankan ibadah tidak tulus dan ikhlas melainkan terpaksa.
Hak dan kewajiban yang sama antara muslim dan non muslim diantaranya yaitu : saling
menghormati, menciptakan rasa aman dan nyaman, tolong menolong, menghargai dan masih
banyak lagi. Hak dan kewajiban yang berbeda antara muslim dan non muslim diantaranya
yaitu :

5
1. Saling mendoakan, boleh dilakukan sesama muslim, apabila berbeda iman dan
agama dilarang meskipun mereka orang tua atau keluarga sendiri.
2. Menjadi saksi, hanya orang-orang yang seiman dan sesama muslim saja seperti
pada acara pernikahan.
3. Mengurus Jenazah, berhak dan berkewajiban membantu mengurus jenazah apabila
seiman dan seagama. Menikah, dalam Islam hanya yang seiman dan seagama saja
yang diperbolehkan.
4. Saling memberi salam, dalam islam diwajibkan apabila bertemu, berpisah dan
pergi.
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 221 Allah subhanahu wa ta‟ala melarang keras pernikahan
lakilaki Muslim dengan perempuan musyrik Artinya : “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang
musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mukmin lebih baik dari orang- orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat- Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.” (Q.S. al-Baqarah : 221).
Larangan Nikah dengan Pezina
Menurut Ibnu Rusyd, zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena
pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (budak).
Secara garis besar, pengertian ini telah disepakati para ulama Islam, meski mereka masih
berselisih pendapat tentang mana yang dikatakan syubhat yang menghindarkan had dan mana
pula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut.
Menurut Syeikh Muhammad bin Abdurrahman Ad-Dimasyqi, para imam mazhab
sepakat bahwa zina merupakan perbuatan keji yang besar, yang mewajibkan had atas
pelakunya. Hukuman had itu berbeda- beda menurut macam perzinaan itu sendiri, karena
perbuatan zina terkadang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, seperti jejaka atau
gadis,dan kadang-kadang dilakukan juga oleh muhsan, seperti orang yang sudah menikah,
duda, atau janda.
Pernikahan dengan pezina, baik antara laki-laki baik dengan perempuan pezina ataupun
perempuan baik dengan laki-laki pezina tidak dihalalkan. Kecuali setelah masing-masing
mengatakan bertaubat memohon ampun kepada Allah, menyesali perbuatannya di masa lalu
dan berjanji tidak akan mengulangi, diikuti dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan Allah
SWT.
6
Dalam surat al-Nûr ayat 3 yaitu Artinya : “Laki-laki yang berzina tidak mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang
berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”

RESUME 4 AYAT DAN HADIST TENTANG MAHAR

Kata “mahar” berasal dari bahasa Arab yang termasuk kata benda bentuk abstrak atau
mashdar, yakni “mahran” atau kata kerja. Ini berarti mahar adalah suatu benda yang
berbentuk abstrak yang sesuai dengan permintaan calon pasangan atau kesepakatan bersama.
Mahar dalam agama Islam dinilai dengan menggunakan nilai uang sebagai acuan, hal ini
disebabkan karena mahar merupakan harta dan bukan semata-mata sebagai sebuah simbol.
Wanita dapat meminta mahar dalam bentuk harta dengan nilai nominal tertentu seperti uang
tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, atau benda berharga lainnya. Mahar juga dapat berupa
seperangkat alat shalat. Agama Islam mengizinkan mahar diberikan oleh pihak lakilaki dalam
bentuk apa saja (cincin dari besi, sebutir kurma, ataupun jasa), tetapi demikian mempelai
wanita sebagai pihak penerima memiliki hak penuh untuk menerima ataupun menolak mahar
tersebut. Mahar merupakan pemberian yang dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki kepada
pihak mempelai perempuan yang hukumnya wajib. Mahar secara etimologi artinya
maskawin. Secara terminologi, mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon
istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri
kepada calon suaminya. Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada
calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dll).
Dalam bahasa Arab, termasuk mahar jarang digunakan. Kalangan ahli fiqih lebih
sering menggunakan kata “shidaq” dalam kitab-kitab fuqahanya. Sebaliknya, di Indonesia
termasuk yang sering digunakan adalah terma mahar dan maskawin. Para ulama menyatakan
bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara terma ashshidaq dan terma al-mahar. Ada
pendapat yang menegaskan bahwa shadaq merupakan sesuatu yang wajib karena nikah,
seperti wathi‟ seubhat, persusuan, dan menarik kesaksian.
Menurut ibnu Qayyim, istilah mahar dengan shidaq tidak berbeda fungsi jika yang
dimaksudkan merupakan pemberian sesuatu dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan dalam sebuah perkawinan. Hanya istilah mahar digunakan untuk perkawinan,
sedangkan iatilah shidaq dapat digunakan dalam hal selain perkawinan, karena istilahnya
bersifat umum sebagaimana shadaqah wajib dan shadaqah sunnah/ shadaqah wajib adalah
membayar zakat dan membayar mahar.
7
KEDUDUKAN MAHAR
Dalam Islam, disyari‟atkannya membayar mahar hanyalah sebagai hadiah yang
diberikan seorang lelaki kepada seorang perempuan yang dipinangnya ketika lelaki itu ingin
menjadi pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki atas kemanusiaan,
kemuliaan dan kehormatan perempuan. Karena itu, dalam al-Qur‟an Allah telah menegaskan
dalam surat an-Nisa ayat 4 :
“Berikanlah maskawin kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang
penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin)
itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”.
(QS. an-Nisa‟: 4) Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada
suami untuk membayar mahar kepada istrinya. Karena perintah itu tidak disertai dengan
qarinah yang menunjukkan kepada sunnah ataupun mubah, maka ia menghendaki kepada
makna wajib. Jadi mahar adalah wajib bagi suami terhadap istrinya, karena tidak ada qarinah
yang memalingkannya dari makna wajib kepada makna yang lain. Pemberian tersebut juga
sebagai pertanda eratnya hubungan dan cinta yang mendalam antara calon suami- istri, di
samping jalinan yang seharusnya menyelimuti rumah tangga yang mereka bangun. Mahar
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan, karena mahar sebagai
pemberian yang dapat melanggengkan cinta kasih, yang mengikat dan mengukuhkan
hubungan antara suami istri. Mahar yang harus dibayarkan ketika akad nikah hanyalah
sebagai wasilah (perantara), bukan sebagai ghayah (tujuan), karena itu islam
sangatmenganjurkan agar mahar atau mas kawin dalam perkawinan dipermudah ingin
menjadi pendampingnya, dan sebagai pengakuan dari seorang lelaki atas kemanusiaan,
kemuliaan dan kehormatan perempuan. Karena itu, dalam al-Qur‟an Allah telah menegaskan
dalam surat an-Nisa ayat 4 :
“Berikanlah maskawin kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberianyang
penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin)
itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.”.
(QS. an-Nisa‟: 4) Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah memerintahkan kepada
suami untuk membayar mahar kepada istrinya. Karena perintah itu tidak disertai dengan
qarinah yang menunjukkan kepada sunnah ataupun mubah, maka ia menghendaki kepada
makna wajib. Jadi mahar adalah wajib bagi suami terhadap istrinya, karena tidak ada qarinah
yang memalingkannya dari makna wajib kepada makna yang lain. Pemberian tersebut juga
sebagai pertanda eratnya hubungan dan cinta yang mendalam antara calon suami- istri, di
samping jalinan yang seharusnya menyelimuti rumah tangga yang mereka bangun. Mahar
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan, karena mahar sebagai
8
pemberian yang dapat melanggengkan cinta kasih, yang mengikat dan mengukuhkan
hubungan antara suami istri. Mahar yang harus dibayarkan ketika akad nikah hanyalah
sebagai wasilah (perantara), bukan sebagai ghayah (tujuan), karena itu islam
sangatmenganjurkan agar mahar atau mas kawin dalam perkawinan dipermudah.

RESUME 5 TALAK DALAM PENIKAHAN

A. Pengertian Talak
Talak merupakan salah satu sebab dan cara berakhirnya perkawinan yang terjadi atas
inisiatif suami. menurut arti bahasa, talak berarti melepaskan. Sedangkan menurut istilah talak
berarti melepas ikatan pernikahan, atau menghilangkan ikatan pernikahan pada saat itu juga
(melalui talak ba‟in) atau pada masa mendatang setelah iddah (melalui talak raj‟i) dengan
ucapan tertentu. Mengenai hukum talak, para ulama fikih berbeda pendapat. Di antara mereka
ada yang melarang melakukan talak kecuali jika disertai dengan alasan yang dibenarkan
(syari‟at). Bercerai merupakan bagian dari pengingkaran atas nikmat Allah SWT,
karena pernikahan adalah salah satu nikmat Allah SWT, sementara mengingkari nikmat Allah
SWT hukumnya adalah haram. Karena itu, bercerai hukumnya haram kecuali dalam kondisi
darurat.
Secara etimologis, talak berasal dari kata itlaq yang berarti melepaskan atau
meninggalkan 1 ikatan . Sedangkan secara istilah adalah perceraian atau putusnya ikatan atau
melepaskan ikatan suami isteri yang sah oleh pihak suami dengan lafad talak atau “Melepas
tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri”. Menurut Al Jaziry, talak adalah
“Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan
menggunakan kata kata tertentu”2. Talak hadir karena adanya dasar pembolehannya dalam
Alquran maupun hadis.
B. Hukum Talak
Menurut jumhur ulama talak itu mubah tetapi lebih baik dijauhi. Ulama
Syafi‟iyah dan hanabilah berpendapat bahwa hukum talak terkadang wajib, terkadang
haram dan Sunnah. Adapun beberapa hukum nya :
1. Wajib.
Apabila hakim tidak menemukan jalan lain, kecuali talak, yang bisa ditempuh untuk
meredakan pertikaian yang terjadi diantara suami dan istri. Dan Juga apabila seorang suami
bersumpah ila‟ (tidak akan mencampuri istri) sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau
membayar kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya.
2. Haram
9
Talak yang dilakukan bukan karena adanya tutuntan yang dapat dibenarkan
karena hal itu akan membawa mudhorot bagi diri sang suami dan juga istrinya serta
tidak memberikan kebaikan bagi keduanya . Diharamkan bagi suami menceraikan istrinya
pada saat haid, atau pada saat suci dan di masa suci itu sang suami telah berjimak dengan
istrinya. Sebaliknya, bagi istri tidak boleh (haram) meminta kepada suami untuk
menceraikannya tanpa ada sebab syar‟i.
Hal ini berdasarkan hadits:“Siapapun Wanita yang meminta cerai dari suaminya tanpa
ada alasan (syar‟i), maka haram baginya bau surga” (HR, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah,
dan Attirmidzi dimana beliau menghasankannya.)
3. Mubah
Jika seorang istri memiliki akhlak yang buruk, jelek tabiatnya dalam bermuamalah,
melalaikan hak suami, dan lain sebagainya. Sehingga tujuan pernikahan yang diinginkan tidak
tercapai sama sekali.
4. Sunnah
Apabila keadaan rumah tangga sudah sulit dipertahankan, dan apabila dipertahankan
akan lebih banyak bahayanya, misalnya seorang istri tidak mau atau lalai dalam menjalankan
hak-hak Allah swt seperti sholat, puasa, dan lain sebagainya. Setelah beberapa kali
diperintahkan agar jangan melalaikan perintah Allah Swt. Namun seorang istri tetap tidak
menghiraukannya, maka suami disunnahkan untuk menceraikannya.
5. Makruh
“Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqoroh: 227).
C. Etika Talak
Di era informasi global dan majunya teknologi serta pengaruh budaya memberikan
manfaat yang banyak dan dampak positif namun ada juga negatifnya terhadap kita jika tidak
dibekali oleh iman. Salah satu contoh adalah banyaknya pertengkaran rumah tangga yang
berhujung kepada perceraian, yang tidak lain dikarenakan:
1. Talak karena dipaksaTalak yang diucapkan seorang suami yang dipaksa
melakukannya adalah tidak sah, dan tidak mengakibatkan terjadinya perceraian.
Madzhab Syafi‟i termasuk dalam kelompok ini, hanya saja mereka membedakan
antara ada atau tidaknya niat didalamnya. Talak yang dipaksa dan dilandasi oleh niat
maka hukumnya sah. Sebaliknya, jika talak yang dipaksa tersebut tidak mengandung
unsur niat maka talaknya tidak sah.

10
2. Talak yang diucapkan oleh orang yang mabuk Talak yang diucapkan oleh orang
yang mabuk hukumnya sah. Alasannya, mabuk yang dialaminya adalah perbuatan
dan keinginan sendiri.
3. Talak yang diucapkan oleh orang yang sedang marah.
D. Dampak Talak
Perceraian orang tua merupakan problema yang cukup besar bagi anak-anaknya sebab
anak-anak pada usia ini masih sangat membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya.
Adapun dampak nya yaitu:
a) Perceraian mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
Jiwa dan pendidikan anak, diantaranya dapat menyebabkan anak bersikap
pendiam dan rendah diri, nakal yang berlebihan, prestasi belajar rendah dan
merasa kehilangan. Walaupun tidak pada semua kasus demikian tapi
sebagian besar menimbulkan dampak yang negatif terhadap perkembangan
jiwa anak.
b) Umumnya anak-anak yang keluarganya bercerai ikut bersama ibunya, dan
semua biaya hidupnya yang seharusnya menjadi tanggung jawab bapak
tetapi menjadi tanggung jawab si ibu. Anak-anak dari keluarga sempuma
memiliki prestasi lebih baik diban dingkan dengan anak-anak dari keluarga
tidak sempuma yang orang tua nya bercerai

RESUME 6

1. PENGERTIAN IDDAH
Menurut bahasa kata iddah berasal dari kata al-„adad. Sedangkan kata al adad
merupakan bentuk masdar dari kata kerja adda ya‟uddu yang berarti menghitung. Kata
al„adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama‟
dari kata al-adad adalah al-adad begitu pula bentuk jama‟ dari kata iddah adalah al- idad. Dan
dikatakan juga bahwa seorang perempuan telah beriddah karena kematian suaminya atau talak
suami kepadanya. Menurut Sayyid Sabiq Shahibul Fiqh Sunnah yang dimaksud dengan iddah
dari segi bahasa adalah perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.
Sementara al Jaziri Shohib Arba‟u Madzahib menyatakan bahwa kata iddah mutlak
digunakan untuk menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya. Dengan demikian
jika diringkas maka iddah dari segi bahasa dapat diartikan sebagai masa- masa haid atau
masa-masa suci. Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa definisi iddah yang
dikemukakan oleh para fuqaha.
11
2. Hukum dan Dasar Hukum Iddah
Iddah dinyatakan wajib dilakukan bagi istri yang suaminya wafat dengan tujuan
menyempurnakan penghormatan terhadap suami dan memelihara haknya. Adapun kewajiban
melakukan „iddah ini berlaku bagi wanita-wanita berikut:
1. Wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya setelah adanya akad nikah yang sah,
baik wanita tersebut sudah digauli maupun sebelum digauli.
2. Wanita yang berpisah dengan suami sahnya, baik sebab talak, khulu„, maupun
fasakh dan wanita tersebut telah digauli oleh suaminya
3. Wanita yang ditinggal mati suaminya, dan telah digauli akan tetapi dalam
perkawinan yang tidak sah atau sebab wat‟ishubhat. Masa „iddah dalam Kompilasi
Hukum Islam pasal 153 mempunyai beberapa macam yang diklasifikasikan
menjadi empat macam yaitu:
1. Putus perkawinan karena ditinggal mati suaminya
2. Putus perkawinan karena perceraian
3. Putus perkawinan karena khulu„, fasakh, dan li„an
4. Istri ditalak raj„i kemudian ditinggal mati suaminya pada masa „iddah. Selain
itu dijelaskan pula dalam KHI pasal 170 mengenai masa berkabung dalam masa
„iddah, bahwa ‚Istri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib melaksanakan
masa berkabung selama masa„iddah sebagai tanda turut berduka cita dan
sekaligus menjaga timbulnya fitnah; Suami yang ditinggal mati oleh istrinya,
melaksanakan masa berkabung menurut kepatutan.
3. Macam-macam Iddah
Berdasarkan penjelasan tentang Iddah yang terdapat Nash Al-Qur‟an dan As-sunnah
maka para Fuqaha dalam kitab-kitab Fiqih membagi Iddah menjadi Tiga dengan berdasarkan
pada masa Haid atau Suci, bilangan Bulan dan dengan melahirkan dan kalau dicermati lebih
dalam penentuan Iddah itu sendiri sebenarnya di sesuaikan dengan sebab putusnya
perkawinan, keadaan istri dan akad perkawinan.
Secara umum maka pembagian Iddah dapat dibedakan sebagaimana pembagian Sayydi
Sabiq dalam Fiqh Sunnah yakni sebagai berikut :
Iddah seorang istri yang masih mengalami Haid Apabila terjadi putus perkawinan
disebabkan karna talaq baik raji‟ maupun bain, baik bain Sughra maupun Kubra atau
karna fasak dan istri masih mengalami Haid, maka Iddahnya dengan tiga kali Haid,
akan tetapi hal tersebut berlaku bagi seorang istri yang memenuhi syarat-syarat di
antaranya :

12
a. Istri yang merdeka sedangkan bagi istri yang hamba sahaya Iddahnya selesai
dengan dua kali Haid.
b. Istri tersebut dalam keadaan tidak hamil
c. Istri tersebut telah dicampuri secara hakiki atau hukumi (khalwat) berdasarkan
akad yang shahih dan tidak ada perbedaan baik istri tersebut seorang muslim atau
kitabiyah. 2. Iddah seorang istri yang sudah tidak Haid (menopause) Apabila istri
merdeka dalam keadaan tidak hamil dan telah dicampuri baik secara hakiki atau
hukumi dalam bentuk perkawinan shahih dan dia tidak mengalami Haid karna
sebab apapun baik karna dia belum atau sudah dewasa akan tetapi telah menopause
yaitu sekitar umur 55 tahun atau mencapai umur 15 tahun maka Iddahnya adalah
tiga bulan penuh.
4. Tujuan Dan Hikmah Iddah
Diantara Hikmah yang ada di dalam konsep iddah adalah sebagai berikut:
1 Memberi kesempatan yang cukup bagi kedua belah pihak untuk kembali merajut
ikatan perkawinan yang sebelumnya terberai. Karena terkadang rasa sesal datang
dikemudian hari sehingga masa iddah menjadi ajang me-review keputusan
bercerai.
2 Terdapat nilai-nilai transendental berupa ajaran agama yang bernuansa ibadah
(ta‟abbudi).
3 Agar istri dapat merasakan kesedihan yang dialami oleh keluarga suaminya dan
juga anakanak mereka serta menepati permintaan suami. Hal ini jika iddah tersebut
dikarenakan oleh kematian suami.
4 Mengetahui dan menjaga keberadaan Rahim agar tidak terjadi campuran sperma
antara dua pria yang kelak dapat mengakibatkan kerancuan nasab sang anak.
5 Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan
terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian yang
lama.

13
RESUME 7

1. Pengertian Mu’asyarah
Secara etimologi Mu‟asyarah berasal dari kata bahasa arab yang berarti bergaul, saling
berinteraksi. Secara terminologi yaitu hubungan atau pergaulan sosial antara suami dan
istri dalam islam, dalam artian Mu‟asyarah adalah tuntunan menggauli istri dengan baik
sesuai aturan agama.
Pengartian mu‟asyarah sebagai suatu kesalingan diantara suami istri, maka Allah
menyebutkan musyarokah baina al-itsnain. Sehingga pada prosesnya persalingan itu harus
berlaku seimbang antara suami-istri. Mu‟asyarah itu kesalingan, dan Allah membahasakan
sebagai mu‟asyarokah baina istnaini, ini suatu hal yang progrsif dalam kehidupan keluarga,
dapat diparaktekkan dan dikembangkan, kemudian disesuaikan dengan kondisi serta tradisi
keluarga yang ada dimasyarakat dalam lingkungan tertentu.
2. Hukum Mu’asyarah
Begitu pentingnya konsep Mu‟asyarah bil Ma‟ruf dalam rumah tangga, maka Secara
formal dalam sighat ta‟lik buku nikah pun dicantumkan istilah ini dengan Kalimat
“mempergauli istri dengan baik (Mu‟asyarah bil Ma‟ruf) menurut ajaran Islam”. Di
masyarakat, istilah ini seringkali dimaknai sebagai pergaulan baik yang Harus dilakukan
suami istri bahkan lebih khususnya lagi hanya dipahami sebagai perintah Allah kepada para
suami untuk mempergauli istrinya dengan baik tidak Menyakitinya baik dengan ucapan
maupun perbuatan. Oleh karena itu, para ulama Menetapkan hukum melakukan Mu‟asyarah
bi al-ma‟ruf sebagai kewajiban yang harus Dilakukan oleh para suami agar mendapatkan
kebaikan dalam rumah tangga. Seperti penafsiran Imam Ath-Thabari dalam kitab Tafsirnya,
ketika Menafsirkan Alquran Surat An-Nisa ayat 19, mengatakan bahwa Mu‟asyarah bi al-
Ma‟ruf adalah kewajiban suami terhadap istri karena para istri telah taat kepada Allah Dan
suaminya. Imam Ath-Thabari menafsirkan ayat di atas, apabila para istri menaati Allah SWT
dan menaati suamisuami mereka, maka wajib bagi suami untuk Membaguskan pergaulannya
dengan istrinya, menahan dari memberikan Gangguan/menyakiti istrinya, dan memberikan
nafkah sesuai dengan kelapangannya
3. Tujuan Mu’asyarah
Tujuan utama dalam sebuah pernikahan adalah untuk menjadikan kehidupan rumah
tangga menjadi tentram. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur‟an Surah Ar-Ruum ayat 21 :
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran-Nya) ialah Dia menciptakan Pasangan-
pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa Tentram
kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh Yang demikian
14
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum Yang berfikir.(Q.S Ar-
Ruum : 21). Adapun tujuan daripada Mu‟asyarah
Bil Ma‟ruf adalah sebagai upaya agar Terjalinnya rumah tangga yang baik dan harmonis.
Demikianpula tujuannya adalah Untuk meneruskan dan melestarikan keturuan sebab dengan
adanya keturunan inilah Diharapkan dapat meneruskan dan mengambil alih tugas dan
mewujudkan ide dan cita-Cita yang ada dalam dua jiwa suami dan istri
4. Etika Mu’asyarah
Islam adalah agama yang paling baik bahkan dalam hal sekecil apapun Hukumnya ada
dalam hukum islam. Allah menuntut agar antara suami istri saling Memperlakukan dengan
sebaik-baiknya dan mengharamkan keduanya untuk Melakukan hal-hal yang menyusahkan
pasangannya. Dengan demikian, barangsiapa Yang menegakkan hal itu, maka ia berarti
seorang muslim yang menegakkan batasan-Batasan Allah dan barangsiapa yang menyusahkan
dan menyempitkan hati Pasangannya dengan perlakuan buruk dan kasar, maka hal itu tidak
Islami sama sekali. Selanjutnya Mahmud Muhammad Al-Jauhari dan Muhammad Abdul
Hakim Khayyal Memaparkan beberapa bentuk perlakuan baik yang harus dilakukan suami
kepada istri, Seperti:
1. Tidak mengabaikan hiburan yang bisa menyenangkan istri.
2. Berbaik sangka kepada istri, tidak memata-matainya, dan tidak mencari
Kesalahannya.
3. Menjaga rasa malunya sebagai sesuatu yang tercantik dalam kehidupan
perempuan, Serta memberikan haknya di tempat tidur.

RESUME 8

1. Makna Nafakah
Makna Nafkah disini adalah Anfaqal Maali yang berarti mengeluarkan atau
membelanjakan harta.Dari segi bahasa kata Nafakah berasal dari kata bahasa Arab yaitu ٓ
yang berarti belanja. Kata Nafakah ini berasal dari suku kata bahasa arab yaitu yang berarti
mengeluarkan, membiayai atau membelanjakan. Dari segi istilah Nafakah berarti segala
keperluan dan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan dan papan yang wajib diberikan atau
dibelanjakan oleh seorang suami kepada istri dan keluarganya.
Adapun syarat-syarat bagi seorang istri yang berhak mendapat dan menerima nafkah dari
suami2 adalah sebagai berikut :

15
 Adanya ikatan pernikahan yang sah. Syarat ini meruapakan syarat utama adanya
kewajiban suami untuk memberi nafkah kepada istri dan hak istri dalam menerima
dan mendapatkan nafkah darisuami.
 Taat kepada suami
 Melayani suami dengan baik secara lahir dan batin.
 Menerima dan mengerjakan segala perintah suami yang tidak keluar dari hukum
syara‟.
 Adanya kenyamanan dan ketenangan antara keduanya.
2. Dasar Hukum nafakah
Pada dasarnya hukum Nafkah adalah wajib bagi seorang laki-laki yang telah
menjadikan wanita sebagai istri atau pendamping hidupnya sebagaimana sebelummenikah
wanita itu diberi nafkah oleh ayahnya. Kewajiban nafkah ini hukumnya tetap walaupun
sang istri termasuk golongan orang yang kaya. Imam hanafi mengatakan bahwa setiap
keluarga sampai pada derajat atau tingkatan tertentu berhak untuk dinafkahi.
3. Macam-macam Nafakah.
Menurut ulama, nafkah dibagi menjadi dua macam yang diterapkan dalam keluarga,
yaitu :
 Nafkah dzhahiriah : Nafkah yang berupa materi (seperti pangan, sandang, papan
dan biaya hidup)
 Nafkah bathiniyah : Nafkah yang tidak berupa materi (seperti kasih
sayang,hubungan badan suami istri)
 Namun apabila dilihat dari segi objeknya, nafkah juga dibagi menjadi dua macam,
yaitu :
 Nafkah untuk diri sendiri, karena nafkah untuk diri sendiri adalah yang paling
utama.
 Nafkah untuk orang lain, karena adanya sebuah hubungan, seperti keluarga,
pernikahan, dan lain-lain.
4. Tujuan Nafakah
Nafkah bertujuan untuk memenuhi segala kebutuhan istri, anak, keluarga,kerabat
dan lainnya yang berhak menerima nafkah. Tujuan pemberian nafkah yaitu segala sesuatu
yang dikeluarkan oleh seseorang yang menjadi tangung jawab untuk memenuhi dan
mencukupi segala kebutuhan yang diperlukan. Tujuan lain daripada nafkah adalah sebagai
salah satu perantara dibolehkannya seorang suami menikmati istri.

16
5. Hikmah Nafakah
Manfaat nafkah bagi keluarga adalah merupakan sebuah bentuk tanggung jawab
seorang suami, memenuhi segala kebutuhan keluarga, keluarga terhindar dari kekurangan
serta terjaminnya pendidikan dan kesehatan keluarga. Hikmah nafkah kerabat.
 Menambah ketaatan kepada Allah SWT.
 Nafkah merupakan salah satu jalan dihalalkannya seorang suami menggauli atau
menikmati istrinya karena jika nafkah lahir dan batin istri tidak terpenuhi maka istri
akan enggan untuk mengikuti perintah suami, dengan demikian suami tidak akan
bisa menikmati istrinya secara kaffah.
 Pintu keberkahan dalam rumah tangga.
 Merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT
 Menumbuhkan rasa empati terhadap keluarga dan kerabat.
 Terjaganya kehormatan dan tali silaturrahmi yang baik dalam keluarga

RESUME
KELOMPOK 9
Illa’

1. Pengertian Illa’
Secara etimologis (bahasa), kata illa‟ bearti melarang diri dengan menggunakan
sumpah. Sedangkan menurut istilah (terminologis), kata illa‟ bearti sumpah untuk tidak
mencampuri lagi istri dalam waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka
waktunya. Illa‟ ialah sumpah seorang suami yang dapat melakukan persetubuhan untuk tidak
menyetubuhi istrinya tanpa batas waktu atau selama empat bulan lebih. Orang jahiliyah biasa
melakukan illa‟. Dan kebiasaan itu berlangsung terus sampai pada permulaan Islam. Karena
illa‟ ini menyebabkan kesengsaraan istri, dimana istri tidak disetubuhi dan tidak pula
diceraikan, maka Allah menurunkan firmanNya Q.S. al-Baqarah: ayat 226 dan 227:
Artinya:‟‟ kepada orang-orang yang meng-ilaa‟ isterinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan jika mereka ber‟azam (bertetap hati untuk)
talak, MakaSesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.‟‟ Meng-illa‟ isteri
Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. Maka suami setelah bulan harus
memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau
menceraikan. Jika suami bersumpah (melakukan illa‟) tidak akan bercampur dengan istrinya
17
hanya empat bulan atau kurang dari itu, kemudian ia bercampur sebelum waktu tersebut,
wajiblah ia membayar kafarat, yaitu dengan memerdekakan budak atau memberi makan dua
belas fakir miskin, atau berpuasa selama tiga hari.
2. Dalil Hukum Illa’
Jika seseorang bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya dalam waktu tertentu, baik
kurang atau lebih dari empat bulan. Jika kurang dari empat bulan, maka ia harus menunggu
berakhirnya masa yang telah ditentukan. Setelah itu ia dibolehkan mencampuri istrinya
kembali. Bagi si istri agar bersabar, dan ia tidak berhakmenuntutnya untuk rujuk pada masa
itu. Demikian itulah yang ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah bahwa Rosulullah
SAW pernah meng-Illa‟ (bersumpah untuk tidak mencampuri) istrinya selama satu bulan.
Kemudian beliau turun (dari biliknya pada hari kedua puluh sembilan). Dan beliau
bersabda.”Satu bulanitu adalah dua puluh Sembilan hari”
3. Akibat Hukum Illa’
Karena yang bertindak sebagai eksekutor atau yang bersumpah untuk tidak meniduri
istri adalah suami, maka akibat hukumannya adalah yang pertama tersiksanya seorang istri
karena tidak ditiduri dan tidak pula diceraikan, kemudian yang kedua adalah selama 4 bulan
suami tidak boleh meniduri istri atau membayar kafarat sumpah atau dengan menceraikannya
sang istri.
4. Syarat-Syarat Illa’
Ada beberapa syarat illa‟ yaitu:
a. Orang yang meng-illa‟ itu harus bersumpah dengan menyebut nama Allah atau
salah satu
b. Sifat-Nya.
c. Bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya lebih dari empat bulan.
d. Yang menjadi objek sumpah itu adalah istrinya.

Li’an
1. Pengertian Li’an.
Li‟an adalah mashdar dari kata kerja la‟ana, yulaa‟inu, li‟aanan terambil dari kata
alla‟nu yang berarti kutukan atau laknat. Suami istri yang saling berli‟an akan berakibat
saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-
lamanya. Li‟an mengakibatkan perceraian antara suami istri selama-lamanya. Li‟an terjadi
karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan
istrinya sebagai anaknya, sedangkan istrinya menolak tuduhan atau pengingkaran tersebut.

18
2. Dalil Hukum Li’an
Dalil Li‟an termaktub dalam Qs. An-Nur 6-10 :
Artinya:‟‟ Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat
kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang
benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la‟nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orangorang
yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama
Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta. Dan
(sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang
yang benar.
3. Akibat Hukum Li’an
Ada lima akibat hukum yang akan terjadi setelah terjadinya li‟an yaitu :
a. Suami terlepas dari ha
b. Kewajiban had bagi istri
c. Lepasnya ikatan perkawinan untuk selama-lamanya
d. Lepasnya hubungan nasab di antara anak dengan bapaknya
e. Haram bagi mantan suami menikah lagi dengan mantan istrinya.
Menurut H. Muhammad Anwar dijelaskan bahwa adakalanya tuduhan zina itu disertai
dengan anak yang baru lahir dari istrinya dengan alasan seperti, si suami yang belum pernah
menjima‟ istrinya tiba-tiba melahirkan anak, atau lahirnya bayi itu kurang dari waktu enam
bulan sejak menjima‟ istrinya sedang bayinya seperti bayi yang cukup umur, atau bisa juga
lahirnya bayi itu sesudah lebih dari empat tahun tidak jima‟. Tuduhan suami tersebut harus
disertai dengan 4 orang saksi yang membenarkan adanya suatu perzinaan, tetapi jika tidak
bisa mendapatkannya maka suami harus mengadakan tuduhan di depan hakim yang
menyatakan bahwa istrinya telah berzina dan tuduhannya adalah benar yang kemudian diikuti
dengan sumpah Demi Allah(Wallahi)Dan bagi si istri masih ada cara untuk membela diri agar
bisa terhindar dari had yaitu dengan cara melakukan li‟an juga. Sedangkan tata caranya
seperti halnya di atas, Cuma kalimat yang harus diucapkan yang berbeda. Adapun kalimat
yang diucapkan sebagai berikut : “Demi Allah suami saya itu berdusta”. Dan kemudian
berkata “Demi Allah kemurkaan Allah akan menimpa saya jika suami saya itu benar”. Namun
hanya saja dalam pernyataan ini tidak ada yang namanya Nafyul walad karena anak tersebut
jelas-jelas keluar dari rahimnya sendiri.
4. Hikmah Li’an
a. Tidak boleh menuduh istri yang berlebi-lebihan

19
b. Tidak boleh penuduhan yang tidak ada saksinya dan bisa dipertanggung
jawabkan.

Resume
Kelompok 10

A. Pengertian Wasiat
Wasiat dari bahasa Arab, yaitu wasiat, pesan, perintah, nasehat. Ulama fikih
mendefinisikan wasiat dengan “penyerahan harata secara sukarela dari sesoerang kepada
pihak lain yang berlaku setelah orang itu wafat baik harta itu berbentuk materi maupun
berbentuk manfaat.” Wasiat, sekalipun akadnya dibuat ketika orang yang berwasiat masih
hidup, hukumnya baru berlaku setelah orang yang berwasiat itu wafat. Sebelum itu akad
wasiat tersebut tidak mempunyai efek apa pun dari segi pemindahan hak milik orang yang
diberi wasiatBagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan
kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibubapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. Jika seseorang
meninggalkan satu dirham, maka tidak dikatakan bahwa ia meninggalkan kebaikan. Jadi kalau
harta itu sedikit, wasiat tidak pantas dan tidak wajar dikeluarkan. Sebelum diturunkannya ayat
waris yang menjadi nasikh bagi ayat wasiat ini, Allah telah menjelaskan bahwa wasiat itu
wajib, yaitu mewajibkan berwasiat untuk kedua orang tua dan kerabat dekat, akan tetapi
setelah turunya ayat tentang waris, maka ayat ini termansukh. Dengan ditetapkannya orang
tua sebagai ahli waris yang dalam setiap keadaan dalam bab waris mendapatkan bagian
warisan, maka mereka tidak boleh menerima wasiat. Sedangkan terhadap para kerabat, maka
ditetapkan dengan jalan kias. Maksudnya adalah sisa atas nas ini tetap berlaku keumumannya
bagi mereka yakni barang siapa yang tidak mewarisi (bukan temasuk ahli waris) maka
berlakulah nas wasiat ini untuk dirinya. Maksud dari (bil ma‟ruf) adalah wasiat itu dilakukan
dengan cara yang tidak menyusahkan ahli waris, yakni tidak berlebihan dan tidak pula terlalu
pelit. Pemberian wasiat itu harus adil dan tidak boleh melebihi sepertiga bagian dan juga tidak
boleh berwasiat kepada orang kaya sedangkan meninggalkan orang yang faqir.
B. Unsur-unsur Wasiat
Wasiat yang telah disyari‟atkan dalam ajaran Islam merupakan satu amalan yang
sangat dianjurkan. Dikarenakan dalam wasiat mengandung nilai ibadah yang akan
mendapatkan pahala dari Allah dan juga mengandung nilai sosial yang akan menghasilkan
kemaslahatan yang banyak di dunia. Agar wasiat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar
sesuai dengan kehendak syari‟at, maka dibutuhkan sebuah perangkat aturan yang di dalam
20
aturan tersebut mencakup unsur-unsur wasiat. Rukun dan syarat itu merupakan kumpulan
komponen yang penting sehingga turut menentukan sah atau tidaknya, serta batal atau
tidaknya suatu wasiat. Adapun unsurunsur wasiat itu adalah sebagai berikut :
1) Pemberi wasiat/pewasiat
2) Perkara/benda yang dijadikan wasiat.
3) Penerima wasiat (orang atau sesuatu).
4) Redaksi wasiat (Shighat)
C. Tujuan Wasiat
1) Menghindari terjadinya sengketa yang mungkin timbul setelah pemilik barang
(pemberi wasiat meninggal dunia)
2) Untuk memberikan manfaat.
3) Untuk menghindari terjadinya masalah atau perselisihan di kemudian hari.
4) Menambah kebaikan.
D. Hikmah Wasiat
1) Wasiat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah SWT.
2) Wasiat dapat menambah kebaikan pewasiat
3) Wasiat dapat menolong dan memberikan. Keluasan ekonomi kepada penerima Wasiat

RESUME 11

A. Pengertian Hibah
Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang berarti memberi. Menurut Abdul Rahman
Ghazaly Secara etimologi atau bahasa hibah berati pemberian atau hadiah Dan bangun
(bangkit). Pemberian ini dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan Diri kepada Allah
SWT, tanpa mengharapkan balasan apapun dan dimana orang yang Dibeti bebas
menggunakan harta tersebut. Berangkat dari beberapa pemaparan definisi para ulama ahli
hukum Islam Maka dapat disimpulkan bahwa hibah adalah suatu akad pemberian hak milik
oleh Seseorang kepada orang lain dikali ia masih hidup tanpa mengharapkan imbalan dan
Balas jasa, oleh sebab itu hibah merupakan pemberian yang murni.
B. Unsur-Unsur Hibah (Syarat Dan Rukun Hibah)
Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang
Tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu Itu
mengakibatkan tidak ada pula hukum dan sebaliknya. Yang dimaksudkan adalah Keberadaan
secara syara, yang menimbulkan efeknya. Apabila kita mengkaji pasalpasal yang mengatur
tentang hibah,maka dapat dikatakan bahwa unsur-unsur suatu Hibah ada tiga macam,yaitu :
21
1) Penghibah adalah pemilik harta yang akan memberikan sebagian hartanya Kepada
seseorang baik berupa ahli waris, kerabat maupun orang lain yang Telah dianggap
layak untuk diberikan hibah. Adapun penghibah itu Mempunyai persyaratan sebagai
berikut: harus sebagai pemilik harta yang Sempurna, harus baliqh dan berrakal, harus
melakukan perbuatan atas Kemauan sendiri dengan penuh kerelaan dan bukan dalam
keadaa terpaksa, Bukan orang yang dibatasi haknya disebabkan oleh sesuatu alasan.
2) Penerima hibah adalah orang yang menerima pemberian dalam hal ini tidak Ada
ketentuan tentang siapa yang berhak menerima hibah. Hanya saja Disyaratkan bagi
penerima hibah benar-benar ada, bila tidak ada atau Diperkirakan adanya misalnya
dalam bentuk janin, maka hibah itu tidak sah. Pihak penerima hibah tidak disyaratkan
baligh dan berakal, kalau sekiranya Belum maka diwakili oleh walinya.
3) Ijab Qobul adalah suatu traksaksi hibah yang dapat terjadi dengan adanya ijab Dan
kabul. Kepemilikan menjadi sempurna setelah barang hibah diterima oleh Penerima
hibah. Ijab kabul atau serah terima dikalangan ulama mahzab syafi‟I Meruapakan
syarat sahnya suatu hibah.
C. Macam-Macam Hibah
1. Al-Hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimiliki zatnya Tanpa
mengharapkan penggantian (balasan).
2. Shadaqah, yakni yang menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di Akhirat.
3. Washiat, adalah pemberian seseorang kepada yang lain yang diakadkan ketika
Hidup dan diberikan setelah yang mewasiatkan meninggal dunia.
4. Hadiah, ialah pemberian yang menuntut orang yang diberi hibah untuk Memberi
imbalan.58 Atau dalam redaksi lain yaitu pemberian dari seseorang Kepada orang
lain tanpa adanya penggantian dengan maksud memuliakan. Hibah merupakan suatu
pemberian yang diberikan kepada orang lain dengan Tanpa imbalan (sukarela).
Diantara macam-macam hibah adalah:
a) Hibah barang, hibah ada yang dimaksudkan untuk mencari pahala dan ada Juga
yang tidak dimaksudkan untuk mencari pahala.
b) Hibah manfaat bahwa orang yang diberi hibah memperoleh manfaatnya saja.
D. Hukum Hibah
Hibah diisyaratkan dan dihukumi sunnah dalam agama islam berdasarkan AlQuran,
Sunnah, dan ijma. Adapun hibah menurut islam adalah firman Allah SWT yang mengajurkan
kepada umat islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya.
Islam mengajurkan agar umatnya suka memberi lebih baik daripada menerima. Namun

22
pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah dan
memperat tali persaudaraan.:
E. HIKMAH HIBAH
a) Menghidupkan semangat kebersamaan dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
b) Menumbuhkan sifat kedermawanan dan mengikis sifat bakhil.
c) Menimbulkan sifat-sifat terpuji seperti saling sayang menyayangi antar sesama
manusia, ketulusan berkorban untuk kepentingan orang lain, dan menghilangkan
sifatsifat tercela seperti rakus, masa bodoh, kebencian, dan lain-lain.
d) Pemerataan pendapatan menuju terciptanya stabilitas sosial yang manta.
e) Mencapai keadilan dan kemakmuran yang merata

Resume
Kelompok 12

A. Pengertian Kewarisan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.1 Di dalam bahasa Arab kata waris
berasal dari kata ‫يرث –ورث‬- ‫ورثا‬yang artinya adalah Waris. Contoh, ‫ورث اباه‬yang artinya
Mewaris harta (ayahnya).2 Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang
peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi
para ahli warisnya. Beberapa istilah tentang waris yaitu:
1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan.
Ada ahli waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan kekerabatan yang
dekat akan tetapi tidak berhak menerima warisan
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau
melalui keputusan hakim
3. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah
diambiluntuk keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan
utang, serta pelaksanaan wasiat.
4. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda
dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi,
karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum
diambil untuk kepentingan pemeliharaan zenazah, pelunasan utang, dan
23
pelaksanaan wasiyat yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih
hidup.
B. Unsur-unsur Kewarisan
Pewarisan mempunyai unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat disebut peristiwa
Waris. Pewarisan harus ada tiga unsur yaitu:
1. Pewaris
Menurut sistem hukum waris Islam, pewaris adalah orang yang memiliki harta Semasa
hidupnya, telah meninggal dunia, dan beragama Islam. Baik yang Memariskan maupun yang
diwarisi harta warisan harus beragama Islam.
2. Harta warisan
Harta warisan menurut hukum waris Islam adalah harta bawaan dan harta Bersama
dikurangi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pewaris selama sakit dan Setelah meninggal
dunia.
3. Ahli waris
Orang yang pada saat pewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau
Hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena Hukum
untuk menjadi ahli waris
C. Prinsip Kewarisan
1. Prinsip ijbari, yaitu bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia
kepada yang masih hidup berlaku dengan sendirinya.
2. Prinsip bilateral, yaitu bahwa laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari
kedua belah pihak garis kekerabatan, atau dengan kata lain jenis kelamin bukan
merupakan penghalang untuk mewarisi atau diwarisi.
D. Sistem Kewarisan
Berdasarkan ajaran Islam, sistem kewarisan pada masa sebelum Islam sangat tidak
adil. Sebab, hak waris hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang sudah mampu
memanggul senjata untuk berperang, dan dengan itu dapat memperoleh rampasan perang.
Sementara laki-laki yang belum dewasa dan perempuan, tidak mendapatkan hak waris,
walaupun orang tuanya kaya raya. Dalam Islam, setiap pribadi, baik laki-laki atau perempuan,
berhak mendapatkan hak waris.

24
Resume
Kelompok 13

A. Pengertian Wakaf
Wakaf merupakan istilah dari bahasa Arab „waqaf‟. Istilah wakaf secara bahasa berarti
penahanan atau larangan atau menyebabkan sesuatu berhenti. Istilah wakaf secara istilah
diartikan berbeda-beda menurut pandangan ahli fiqih. Menurut Abu hanifah, wakaf adalah
menahan suatu benda sesuai hukum yang ada, dan menggunakan manfaatnya untuk hal-hal
kebaikan, bahkan harta yang sudah diwakafkan bisa ditarik kembali oleh si pemberi wakaf.
Secara umum wakaf harus memenuhi beberapa hal utama yaitu yang memberikan wakaf dan
pengelola harta wakaf harus mengalokasikan untuk amal kebaikan. Selain itu pemberian
wakaf harus bertujuan untuk beramal kepada penerima atau kelompok yang jelas.
B. Syarat dan Unsur Wakaf
1. Orang yang mewakafkan hartanya atau wakif
Orang yang ingin mewakfkan hartanya memiliki syarat seperti baligh, berakal dan
merdeka atau bukan hamba sahaya. Hal ini berarti orang yang bodoh tidak sah jika ingin
mewakafkan hartanya.
2. Penerima wakaf atau mauquf‟alaih
Penerima wakaf bisa satu orang saja. Syarat dari penerima wakaf adalah tidak
memiliki tujuan maksiat dalam penggunaan harta wakaf, dan dapat diserah terimakan. Selain
itu orang yang menerima wakaf juga harus berakal, karena orang yang tidak berakal tidak bisa
membelanjakan hartanya untuk tujuan yang baik.
3. Barang yang diwakafkan atau mauquf
Barang yang diwakafkan harus berupa barang yang sudah ditentukan. Selain itu
barang yang ingin diwakafkan bisa dialihkan hak miliknya. Barang yang harus diwakafkan
harus memiliki manfaat yang terus menerus.
4. Lafal dalam wakaf
Lafal atau ucapan dalam wakaf harus lah kekal. Ucapan yang memiliki batas tidak
akan sah tentunya. Ucapan dalam wakaf harus bisa terealisasi dan bersifat pasti serta tidak
memiliki syarat yang bisa membatalkan wakaf.
C. Macam-macam Wakaf
1. Wakaf Ahli
Wakaf ahli atau biasa disebut dengan wakaf keluarga adalah wakaf yang dilakukan
kepada keluarganya dan kerabatnya. Wakaf ahli dilakukan berdasarkan hubungan darah atau
nasab yang dimiliki antara wakif dan penerima wakaf.
25
2. Wakaf khairi
Wakaf khairi adalah wakaf yang diberikan untuk kepentingan umum. Wakaf khairi
adalah wakaf dimana pihak pewakaf memberikan syarat penggunaan wakafnya untuk
kebaikan-kebaikan yang terus menerus seperti pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit dan
lain-lain. Wakaf khairi adalah jenis wakaf untuk mereka yang tidak memiliki hubungan
seperti hubungan keluarga, pertemanan atau kekerabatan antara pewakaf dan orang penerima
wakaf.
3. Wakaf musytarak
Wakaf musytarak adalah wakaf yang mana penggunaan harta wakaf tersebut
digunakan secara bersama-sama dan dimiliki oleh kegerunan si pewakaf.
4. Wakaf Benda tidak bergerak
Selain wakaf di atas, wakaf juga dibagi menjadi wakaf berdasarkan jenis harta. Salah
satunya adalah wakaf benda tidak bergerak. Harta-harta yang dimaksud adalah bangunan, hak
tanah, tanaman dan benda-benda yang berhubungan dengan tanah.
5. Wakaf benda bergerak selain uang
Ada juga wakaf benda bergerak selain uang yaitu benda-benda yang bisa berpindah
seperti kendaraan. Selain itu ada juga benda yang bisa dihabiskan dan yang tidak, air, bahan
bakar, surat berharga, hak kekayaan intelektual dan lain-lain.
D. Hikmah Wakaf
1. Mendapatkan Amal jariah
2. Mempererat tali persaudaraan
3. Untuk pembangunan negara
4. Membangun jiwa sosial yang tinggi
E. Hukum Wakaf
Di dalam Al-Quran dan hadits ada beberapa dalil yang menjelaskan tentang wakaf,
meskipun tidak dijelaskan atau diterangkan secara jelas. Karena wakaf adalah termasuk infak
di jalan Allah, maka dalil dari wakaf didasarkan pada ayatayat Al-Quran yang menjelaskan
tentang infak di jalan Allah. Disebutkan dalam AL-Quran surat AlImran ayat 92. Selain itu,
infak di jalan Allah juga dijelaskan di dalam ayat Al-Quran surat AlBaqarah ayat 267. Selain
dari Al-Quran, ada juga hadits yang menerangkan tentang wakaf, seperti hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari.

26
Resume
Kelompok 14
A. Pengertian Peradilan
Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan
dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara. Sedangkan pengadilan adalah
badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara.
B. Unsur-Unsur Peradilan
1. Adanya aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan
pada suatu persoalan.
2. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit
3. Ada sekurang-kurangnya dua pihak
4. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan
5. Adanya kekuasaan Negara yang merdeka
C. Prinsip Peradilan Islam
Prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yaitu:
1. Istiqlal al-qodlo‟(kemerdekaan kehakiman)
2. Al-Musawah amamal qodlo‟ (kesamaan di hadapan hukum)
3. Majjaniyatul qodlo‟ (peradilan gratis).
4. At-taqodli „ala darojatain aw al-isti‟naf (upaya hukum naik banding).
5. Al-qodlo‟ fil Islam yaqumu „ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam
Menerapkan aturan hakim tunggal).
6. „Alaniyatu majlisil qodlo‟ (sidang peradilan yang terbuka)
7. Hushulul ijro‟at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang berselisih)
8. Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
D. Keberadaan Hakim & Saksi
1. Memutus demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
Hidup di dalam masyarakat.
3. Dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman, hakim wajib memberhatikan
pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Saksi juga mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a) Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan

27
yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya (Pasal 160 ayat (3)
KUHAP);
b) Saksi wajib untuk tetap hadir di sidang setelah memberikan keterangannya(Pasal
167 KUHAP);
c) Para saksi dilarang untuk bercakap-cakap (Pasal 167 ayat (3) KUHAP).
Sedangkan hak dari saksi antara lain:
1) Dipanggil sebagai saksi oleh penyidik dengan surat panggilan yang sah
serta
2) Berhak diberitahukan alasan pemanggilan tersebut (Pasal 112 ayat (1)
KUHAP);
3) Berhak untuk dilakukan pemeriksaan di tempat kediamannya jika memang
saksi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat
datang kepada penyidik (Pasal 113 KUHAP);
4) Berhak untuk memberikan keterangan tanpa tekanan dari siapapun atau
dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);
5) Saksi berhak menolak menandatangani berita acara yang memuat
keterangannya dengan memberikan alasan yang kuat (Pasal 118 KUHAP)
6) Berhak untuk tidak diajukan pertanyaan yang menjerat kepada saksi (Pasal
166 KUHAP);
7) Berhak atas juru bahasa jika saksi tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177
ayat (1) KUHAP);
8) Berhak atas seorang penerjemah jika saksi tersebut bisu dan/atau tuli serta
tidak dapat menulis (Pasal 178 ayat (1) KUHAP).
E. Wali Penentu Eksekusi
Pada dasarnya amar putusan meliputi pihak yang tidak ikut digugat, sehingga eksekusi
seperti penyerahan dan pengosongan dapat dijalankan (dipaksakan) kepada pihak ketiga,
sekalipun tidak menjadi pihak dalam perkara. Dengan kata lain, eksekusi dapat dijalankan
kepada pihak ketiga yang menguasai barang terperkara, sekalipun pihak ketiga tersebut tidak
ikut digugat (sebagai pihak) dalam perkara. Akan tetapi agar asas amar putusan dapat meliputi
pihak ketiga yang tidak ikut digugat, diperlukan beberapa syarat. Syarat-syaratnya adalah:
1. Barang sengketa berada di tangan pihak yang tidak ikut digugat;
2. Amar putusan harus dirangkai dengan rumusan yang menyatakan putusan berlaku
terhadap setiap orang (siapa saja) yang mendapat hak dari tergugat;
3. Adanya barang di tangan pihak yang tidak ikut digugat karena memperoleh hak dari
tergugat.
28
4. Kalau salah satu syarat tidak terpenuhi, asas amar putusan meliputi pihak yang tidak
ikut digugat tidak dapat diterapkan, sehingga eksekusi putusan tidak dapat
menjangkau pihak yang tidak ikut digugat sekalipun barang terperkara berada di
tangan orang itu

29

Anda mungkin juga menyukai