Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDIVIDU

MATA KULIAH BISNIS INTERNASIONAL

Nama : M Zufraiko Ihdal Umam F.


NIM : 12405193198
Kelas : MBS 3E

1. Sejarah Terjadinya Proses Perdagangan Bebas


a) Revolusi Industri dan Perang Dunia I
Perdagangan bebas dimulai pada masa revolusi industri yakni tahun 1846 ketika
Inggris mencabut Corn Law dan membebaskan tarif untuk impor produk benih
tanaman. Momen tersebut menandai penerimaan liberalisme ekonomi di Eropa
menggantikan merkantilisme. Pada tahun 1860, Perancis dan Inggris
menandatangani perjanjian dagang pertama yang bernama Cobden-Chevalier
Treaty. Perjanjian tersebut memberikan pengurangan tarif resiprokal untuk produk
manufaktur Inggris dan produk minuman anggur Perancis sehingga berhasil
meningkatkan perdagangan kedua negara dua kali lipat.
Situasi berubah ketika terjadi krisis ekonomi berkepanjangan (Long Depression)
pada periode 1873 – 1896. Perancis membatalkan perjanjian Cobden-Chevalier
guna menstabilkan neraca pembayaran akibat impor benih yang terlalu tinggi. Italia
menaikkan tarif sampai dengan 60% guna melindungi industri domestik dari
eksportir Perancis. Perancis membalas dengan mengeluarkan Meline Tariff Act
pada tahun 1892 yang akhirnya menimbulkan perang dagang Italia–Perancis.
Jerman mengalahkan Inggris juga menjadi korban kebijakan proteksionis Amerika
Serikat melalui McKinley Tariffs.
Perang dagang semakin buruk, mendorong Jerman, Italia dan Austria-Hungaria
untuk membentuk aliansi perdagangan yang akhirnya berubah menjadi Triple
Alliance dan melatarbelakangi terjadinya Perang Dunia I. Jerman sebagai negara
yang kalah diwajibkan untuk membayar ganti rugi perang kepada negara-negara
sekutu berdasarkan Treaty of Versailles. Total ganti rugi yang harus dibayarkan
Jerman sebesar US$ 442 milyar. Jerman tidak mampu membayar kemudian
mendapatkan pinjaman luar negeri dari Amerika Serikat dan beberapa negara
Eropa.

b) Great Depression dan Perang Dunia II


Pada tahun 1930, muncul kembali krisis ekonomi yang lebih dahsyat di Amerika
Serikat yang dikenal dengan Great Depression. Krisis yang bermula dari kejatuhan
bursa saham Wall Street akhirnya meluas pada penurunan daya beli masyarakat,
kehancuran sektor industri dan ritel, peningkatan pengangguran serta kredit macet
perbankan. Guna mengatasi krisis ekonomi, Amerika Serikat kembali mengeluarkan
kebijakan proteksionis pada tahun 1930 melalui Smoot-Hawley Tariff Act yang
menaikkan bea masuk impor sebesar 50%. Akan tetapi, kebijakan proteksionis itu
justru kembali memperburuk krisis ekonomi global, dan Jerman kembali menjadi
korbannya.
Ekonomi Jerman yang tadinya mengandalkan ekspor barang ke Amerika Serikat
untuk menutupi defisit impor bahan baku menjadi terhambat oleh keberadaan
Smoot-Hawley Tariff Act. Pada tahun 1931, hampir seluruh perbankan di Jerman
rontok, termasuk dua bank besar yaitu Creditanstalt dan Darmstädter. Kondisi ini
menyebabkan krisis ekonomi besar-besaran di Jerman yang ditandai dengan
hiperinflasi, angka pengangguran yang masif dan penurunan daya beli masyarakat.
Kepercayaan masyarakat Jerman terhadap pemerintahan incumbent Jerman saat itu
merosot tajam hingga akhirnya partai oposisi Nazi di bawah kepemimpinan Adolf
Hitler, berhasil memenangkan pemilu pada tahun 1933. Selanjutnya, sejarah
menyaksikan meletusnya Perang Dunia II.
c) Bretton Wood System, GATT dan WTO
Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara Eropa dan Amerika
menyadari bahwa untuk menghindari krisis ekonomi dan terulangnya perang dunia
adalah dengan melaksanakan perdagangan bebas serta menghindari kebijakan
‘beggar thy neighbor’ seperti proteksionisme dan devaluasi mata uang yang hanya
menguntungkan diri sendiri namun menghancurkan negara mitra dagang. Pada Juli
1944, negara-negara sekutu berkumpul di Bretton Woods, Amerika Serikat dan
menyepakati dibentuknya dua badan dunia yaitu;
 Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengawasi stabilitas nilai tukar dan
aliran dana finansial; dan
 Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) untuk
membantu pembiayaan rekonstruksi negara-negara Eropa pasca Perang Dunia
II.
Tidak lama setelah Perang Dunia II berakhir, 23 negara berkumpul di Jenewa,
Swiss pada tahun 1947 dan menyepakati penghapusan kebijakan proteksionisme
melalui perjanjian perdagangan multilateral yang dikenal dengan General Agreement
on Tariffs and Trade (GATT). GATT menerapkan aturan non-diskriminasi sehingga
negara anggota tidak boleh membedakan perlakuan tarif antara barang impor
dengan barang lokal (national treatment) maupun antara barang impor satu negara
dengan negara lain (most-favoured nation treatment).
Di sisi lain, Perang Dunia II juga melahirkan negara-negara baru, termasuk
Indonesia. Negara-negara baru ini bercita-cita membangun industri dalam negeri
yang dapat berkompetisi dengan industri negara maju. Setelah itu, negara-negara
membentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 sebagai
kelanjutan liberalisasi GATT. WTO beranggotakan lebih dari 164 negara dan saat ini
masih terdapat 22 negara yang sedang mengantri untuk menjadi anggota. Kehadiran
WTO berhasil menurunkan rata-rata tarif menjadi 9%. WTO juga berhasil
meningkatkan nilai perdagangan barang dunia secara signifikan dari USD 5 trilyun di
tahun 1996 menjadi US$ 19 trilyun di tahun 2013. Tidak hanya itu, WTO juga
memberikan keleluasaan bagi anggotanya untuk saling membuat perjanjian dagang
(PTA) yang lebih memberikan komitmen penurunan tarif dan perlakuan preferensi
lainnya. Hingga saat ini, telah terdapat 291 PTA yang dibuat negara anggota WTO
baik di tingkat bilateral maupun regional.

2. Analisis Perkembangan Perdagangan Bebas di Indonesia


Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan perdagangan bebas.
Perdagangan bebas Indonesia berada pada wilayah Indonesia bagian barat yang
berdekatan dengan negara Malaysia dan Singapura yaitu Kota Batam.  Perdagangan
bebas di Batam diberlakukan sejak tahun 2007. Batam ditetapkan sebagai kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang diberlakukan untuk jangka waktu 70
tahun. Kawasan yang menerapkan perdagangan bebas menjadikan barang-barang
dari luar negeri mendapatkan kebebasan masuk dan tidak dikenakan tarif pajak
impor maupun ekspor dan menjadikan barang-barang tersebut mempunyai harga
yang lebih ringan atau murah. Dengan berlakunya penerapan perdagangan bebas
tersebut menjadikan Batam sebagai kota bisnis yang sangat menguntungkan bagi
pengusaha-pengusaha tertentu.
Adanya kawasan perdagangan bebas di Indonesia dianggap menguntungkan
bagi negara Indonesia sendiri dikarenakan dapat meningkatkan jalur lalu lintas
perdagangan Internasional, meningkatkan devisa negara dan juga dianggap dapat
mensejahterakan masyarakat. Perjanjian Indonesia dengan WTO menimbulkan
adanya masalah non tarif, dan masalah non tarif tersebut menyebabkan semakin
berkembangnya barang impor dan mudahnya proses barang luar negeri masuk
dalam wilayah pasar dalam negeri. Selain itu dengan diterapkannya sistem
liberalisasi perjanjian WTO tesebut mampu meningkatkan produk ataupun sumber
daya manusia dan yang lainnya. Indonesia sendiri telah memliki PTA dengan Jepang
dan EFTA serta beberapa PTA dalam kerangka ASEAN. Tidak cukup dengan itu,
Indonesia saat ini tengah merundingkan PTA dengan Uni Eropa dan Australia guna
memperluas akses pasar.

3. Terjadinya Perdagangan Internasional di Era Covid-19


Pandemi Covid-19 sangat berdampak terhadap sektor ekonomi, seperti dalam
perdagangan internasional. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memutus
penyebaran rantai penularan Covid-19 menimbulkan disrupsi yang kuat pada tatanan
perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), kebijakan lockdown dan
working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam
aktifitas produksi. Kebijakan ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup
pelabuhan dan bandara yang menghambat distribusi barang antar Negara.
Keputusan pemerintah untuk menerapkan pembatasan ekspor (export restrictions)
demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan.
Dari sisi permintaan (demand), perubahan preferensi konsumsi akibat Covid-
19 menyebabkan mismatch antara penawaran dan permintaan. Disrupsi
perdagangan internasional juga membuat upaya pemerintah untuk menjaga daya
beli masyarakat di masa pandemi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih
sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa
pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan.
Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya
akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan,
jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’
penanganan pandemi menjadi semakin tinggi. Akan tetapi, pandemi Covid-19 ini
menunjukkan besarnya peran teknologi bagi keberlangsungan bisnis, mulai dari
produksi, distribusi hingga promosi. Pola perdagangan tidak lagi dapat
mengandalkan pola konvensional dan pola tradisional.

Anda mungkin juga menyukai