0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
7 tayangan5 halaman
Dokumen tersebut membahas sejarah perdagangan bebas mulai dari revolusi industri hingga terbentuknya WTO. Ia juga menjelaskan perkembangan perdagangan bebas di Indonesia khususnya di Batam serta dampak pandemi Covid-19 terhadap perdagangan internasional.
Dokumen tersebut membahas sejarah perdagangan bebas mulai dari revolusi industri hingga terbentuknya WTO. Ia juga menjelaskan perkembangan perdagangan bebas di Indonesia khususnya di Batam serta dampak pandemi Covid-19 terhadap perdagangan internasional.
Dokumen tersebut membahas sejarah perdagangan bebas mulai dari revolusi industri hingga terbentuknya WTO. Ia juga menjelaskan perkembangan perdagangan bebas di Indonesia khususnya di Batam serta dampak pandemi Covid-19 terhadap perdagangan internasional.
a) Revolusi Industri dan Perang Dunia I Perdagangan bebas dimulai pada masa revolusi industri yakni tahun 1846 ketika Inggris mencabut Corn Law dan membebaskan tarif untuk impor produk benih tanaman. Momen tersebut menandai penerimaan liberalisme ekonomi di Eropa menggantikan merkantilisme. Pada tahun 1860, Perancis dan Inggris menandatangani perjanjian dagang pertama yang bernama Cobden-Chevalier Treaty. Perjanjian tersebut memberikan pengurangan tarif resiprokal untuk produk manufaktur Inggris dan produk minuman anggur Perancis sehingga berhasil meningkatkan perdagangan kedua negara dua kali lipat. Situasi berubah ketika terjadi krisis ekonomi berkepanjangan (Long Depression) pada periode 1873 – 1896. Perancis membatalkan perjanjian Cobden-Chevalier guna menstabilkan neraca pembayaran akibat impor benih yang terlalu tinggi. Italia menaikkan tarif sampai dengan 60% guna melindungi industri domestik dari eksportir Perancis. Perancis membalas dengan mengeluarkan Meline Tariff Act pada tahun 1892 yang akhirnya menimbulkan perang dagang Italia–Perancis. Jerman mengalahkan Inggris juga menjadi korban kebijakan proteksionis Amerika Serikat melalui McKinley Tariffs. Perang dagang semakin buruk, mendorong Jerman, Italia dan Austria-Hungaria untuk membentuk aliansi perdagangan yang akhirnya berubah menjadi Triple Alliance dan melatarbelakangi terjadinya Perang Dunia I. Jerman sebagai negara yang kalah diwajibkan untuk membayar ganti rugi perang kepada negara-negara sekutu berdasarkan Treaty of Versailles. Total ganti rugi yang harus dibayarkan Jerman sebesar US$ 442 milyar. Jerman tidak mampu membayar kemudian mendapatkan pinjaman luar negeri dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.
b) Great Depression dan Perang Dunia II
Pada tahun 1930, muncul kembali krisis ekonomi yang lebih dahsyat di Amerika Serikat yang dikenal dengan Great Depression. Krisis yang bermula dari kejatuhan bursa saham Wall Street akhirnya meluas pada penurunan daya beli masyarakat, kehancuran sektor industri dan ritel, peningkatan pengangguran serta kredit macet perbankan. Guna mengatasi krisis ekonomi, Amerika Serikat kembali mengeluarkan kebijakan proteksionis pada tahun 1930 melalui Smoot-Hawley Tariff Act yang menaikkan bea masuk impor sebesar 50%. Akan tetapi, kebijakan proteksionis itu justru kembali memperburuk krisis ekonomi global, dan Jerman kembali menjadi korbannya. Ekonomi Jerman yang tadinya mengandalkan ekspor barang ke Amerika Serikat untuk menutupi defisit impor bahan baku menjadi terhambat oleh keberadaan Smoot-Hawley Tariff Act. Pada tahun 1931, hampir seluruh perbankan di Jerman rontok, termasuk dua bank besar yaitu Creditanstalt dan Darmstädter. Kondisi ini menyebabkan krisis ekonomi besar-besaran di Jerman yang ditandai dengan hiperinflasi, angka pengangguran yang masif dan penurunan daya beli masyarakat. Kepercayaan masyarakat Jerman terhadap pemerintahan incumbent Jerman saat itu merosot tajam hingga akhirnya partai oposisi Nazi di bawah kepemimpinan Adolf Hitler, berhasil memenangkan pemilu pada tahun 1933. Selanjutnya, sejarah menyaksikan meletusnya Perang Dunia II. c) Bretton Wood System, GATT dan WTO Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, negara-negara Eropa dan Amerika menyadari bahwa untuk menghindari krisis ekonomi dan terulangnya perang dunia adalah dengan melaksanakan perdagangan bebas serta menghindari kebijakan ‘beggar thy neighbor’ seperti proteksionisme dan devaluasi mata uang yang hanya menguntungkan diri sendiri namun menghancurkan negara mitra dagang. Pada Juli 1944, negara-negara sekutu berkumpul di Bretton Woods, Amerika Serikat dan menyepakati dibentuknya dua badan dunia yaitu; Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mengawasi stabilitas nilai tukar dan aliran dana finansial; dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (IBRD) untuk membantu pembiayaan rekonstruksi negara-negara Eropa pasca Perang Dunia II. Tidak lama setelah Perang Dunia II berakhir, 23 negara berkumpul di Jenewa, Swiss pada tahun 1947 dan menyepakati penghapusan kebijakan proteksionisme melalui perjanjian perdagangan multilateral yang dikenal dengan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). GATT menerapkan aturan non-diskriminasi sehingga negara anggota tidak boleh membedakan perlakuan tarif antara barang impor dengan barang lokal (national treatment) maupun antara barang impor satu negara dengan negara lain (most-favoured nation treatment). Di sisi lain, Perang Dunia II juga melahirkan negara-negara baru, termasuk Indonesia. Negara-negara baru ini bercita-cita membangun industri dalam negeri yang dapat berkompetisi dengan industri negara maju. Setelah itu, negara-negara membentuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1995 sebagai kelanjutan liberalisasi GATT. WTO beranggotakan lebih dari 164 negara dan saat ini masih terdapat 22 negara yang sedang mengantri untuk menjadi anggota. Kehadiran WTO berhasil menurunkan rata-rata tarif menjadi 9%. WTO juga berhasil meningkatkan nilai perdagangan barang dunia secara signifikan dari USD 5 trilyun di tahun 1996 menjadi US$ 19 trilyun di tahun 2013. Tidak hanya itu, WTO juga memberikan keleluasaan bagi anggotanya untuk saling membuat perjanjian dagang (PTA) yang lebih memberikan komitmen penurunan tarif dan perlakuan preferensi lainnya. Hingga saat ini, telah terdapat 291 PTA yang dibuat negara anggota WTO baik di tingkat bilateral maupun regional.
2. Analisis Perkembangan Perdagangan Bebas di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan perdagangan bebas. Perdagangan bebas Indonesia berada pada wilayah Indonesia bagian barat yang berdekatan dengan negara Malaysia dan Singapura yaitu Kota Batam. Perdagangan bebas di Batam diberlakukan sejak tahun 2007. Batam ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang diberlakukan untuk jangka waktu 70 tahun. Kawasan yang menerapkan perdagangan bebas menjadikan barang-barang dari luar negeri mendapatkan kebebasan masuk dan tidak dikenakan tarif pajak impor maupun ekspor dan menjadikan barang-barang tersebut mempunyai harga yang lebih ringan atau murah. Dengan berlakunya penerapan perdagangan bebas tersebut menjadikan Batam sebagai kota bisnis yang sangat menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha tertentu. Adanya kawasan perdagangan bebas di Indonesia dianggap menguntungkan bagi negara Indonesia sendiri dikarenakan dapat meningkatkan jalur lalu lintas perdagangan Internasional, meningkatkan devisa negara dan juga dianggap dapat mensejahterakan masyarakat. Perjanjian Indonesia dengan WTO menimbulkan adanya masalah non tarif, dan masalah non tarif tersebut menyebabkan semakin berkembangnya barang impor dan mudahnya proses barang luar negeri masuk dalam wilayah pasar dalam negeri. Selain itu dengan diterapkannya sistem liberalisasi perjanjian WTO tesebut mampu meningkatkan produk ataupun sumber daya manusia dan yang lainnya. Indonesia sendiri telah memliki PTA dengan Jepang dan EFTA serta beberapa PTA dalam kerangka ASEAN. Tidak cukup dengan itu, Indonesia saat ini tengah merundingkan PTA dengan Uni Eropa dan Australia guna memperluas akses pasar.
3. Terjadinya Perdagangan Internasional di Era Covid-19
Pandemi Covid-19 sangat berdampak terhadap sektor ekonomi, seperti dalam perdagangan internasional. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memutus penyebaran rantai penularan Covid-19 menimbulkan disrupsi yang kuat pada tatanan perdagangan internasional. Dari sisi penawaran (supply), kebijakan lockdown dan working from home mengakibatkan berkurangnya tenaga kerja yang terlibat dalam aktifitas produksi. Kebijakan ini juga mengharuskan pemerintah untuk menutup pelabuhan dan bandara yang menghambat distribusi barang antar Negara. Keputusan pemerintah untuk menerapkan pembatasan ekspor (export restrictions) demi melindungi pasokan domestik turut menambah kompleksitas permasalahan. Dari sisi permintaan (demand), perubahan preferensi konsumsi akibat Covid- 19 menyebabkan mismatch antara penawaran dan permintaan. Disrupsi perdagangan internasional juga membuat upaya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat di masa pandemi menjadi problematik. Harus diakui Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan yang esensial di masa pandemi seperti pangan, energi, obat-obatan, dan perlengkapan kesehatan. Kelangkaan barang esensial di pasar domestik akibat terganggunya impor tentunya akan memicu supply-push inflations yang memukul daya beli masyarakat. Bahkan, jika berkelanjutan, masalah ini dapat memicu konflik sosial yang membuat ‘ongkos’ penanganan pandemi menjadi semakin tinggi. Akan tetapi, pandemi Covid-19 ini menunjukkan besarnya peran teknologi bagi keberlangsungan bisnis, mulai dari produksi, distribusi hingga promosi. Pola perdagangan tidak lagi dapat mengandalkan pola konvensional dan pola tradisional.