JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH PEMINATAN PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020 RESUME
A. Indonesia Bagian Timur, 1630-1800
Sekitar Tahun 1630, Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam
meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perdagangan atas perniagaan laut di Indonesia. Tahap penama dimulai di lndonesia bagian timur, yakni di kepulauan rempah-rempah Maluku. Belanda sudah berada di sana untuk beberapa waktu lamanya, tapi usaha-usaha mereka memaksakan monopoli atas produksi pala, bunga pala. dan. yang terpenting, cengkeh, baru mencapai sedikit keberhasilan. Kini muncul sebuah persekutuan lokal untuk menentang mereka, yang terutama terdiri atas kaum Muslim Hitu (Ambon bagian utara) dan pasukan-pasukan Persekutuan anti~VOC tersebut dipimpin oleh seorang Hitu yang beragama Islam, yang bernama Kakiali yang semasa muda memadi salah seorang murid Sunan Giri di Jawa. Pada tahun 1633, dia menggantikan ayahnya sebagai 'Kapitein Hitoe, pemimpin masyarakat Hitu di bawah naungan VOC. Pada tahun 1634, VOC memper daya Kakiali di atas sebuah kapal VOC dan menawannya. Yang menyebabkan larinya orang-orang Httu ke benteng benteng mereka dan bersiap menghadapi peperangan. Perlawanan terhadap VOC makin besar dan, bahkan, diduga mulai merembes di antara masyarakat Kristen. Pada tahun 1637, Van Diemen ikut melancarkan serangan terhadap pasukan- pasukan Ternate di Hoamoal dengan kekuatan yang besar dan berhasil mengusir pasukan tersebut dari benteng-benteng mereka. Pada tahun 1638, Van Dremen kembali ke Maluku, dan berusaha mencapai suatu persetujuan dengan Raja Ternate. dengan imbalan sebuah kesepakatan bahwa 'penyelundupan' cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de facto di Maluku Selatan. Tampak jelas bahwa Raja 'l'ernate tidak memiliki wewenang untuk memenuhi permintaan VOC. Dan pada Pada tahun l641, Kakiali melepas kedok persahabatannya. Ia menyerang sebuah desa yang bersahabat dengan VOC, dan kemudian sebuah benteng VOC. Memang Kakiali dan para sekutunya memilih waktu yang salah untuk merebut kekuasaan. Karena, dengan jatuhnya Malaka ke tangan VOC pada tahun 1641, pihak Belanda kini dapat mengerahkan lebih banyak pasukannya untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka di Indonesia bagian timur. Pada tahun 1645, tiga buah ekspedisi VOC tidak berhasil menumpas perlawanan rakyat Hitu. Namun, pada Juli 1646, Kapaha akhimya dapat direbut. Pemimpin tahap terakhir perlawanan masyarakat Hitu, 'Telukabesi, menyerah dan bersedia memeluk agama Kristen. Meskipun demikian, VOC menghukumnya dengan hukuman mati di Ambon pada September l646. Inilah akhir perlawanan yang efektif terhadap VOC di Hitu. Masih dilakukan berbagai usaha membentuk komplotan- komplolan anti-VOC pada tahun-tahun sesudah itu, tapi tak satu komplotan pun yang meniadi ancaman nyata bagi VOC seperti yang pernah ditunjukkan masyarakat Hilu sebelum tahun 1646. Meskipun demikian, kedudukan VOC di Maluku Selatan masih belum benar-benar aman, karena orang-orang Makasar dan Ternate tetap giat berdagang rempah-rempah dengan melanggar monopoli VOC. Di bawah pimpinan Arnold de Vlaming van Outshoom, yang menjadi Gubernur Ambon dari tahun 1647 sampai 1650 dan Inspektur atas Ambon, Banda, dan Ternate dari tahun 1652 sampai 1656, masalah Ternate tersebut segera dapat ditemukan solusinya. Selama masa pemerintahannya sebagai Gubernur Ambon, dia melakukan pemberantasan tindak korupsi yang tersebar luas di kalangan para pedagang VOC, dan mengembangkan agama Kristen di antara penduduk Indonesia. Pada tahun 1650, Raja Ternate, Mandar Syah, diturunkan dari tahta dalam suatu kudeta istana. Dia melarikan diri ke benteng VOC di Ternate dan meminta bantuan VOC. De Vlaming diutus untuk mengatasi keadaan itu, dan setelah kedatangannya para pengkudeta menyerah dan Mandar Syah didudukkan kembali diatas singgasananya. Dalam situasi ini, de Vlaming melihat kesempatan untuk akhimya mengatasi masalah kelebihan produksi cengkeh. Selanjutnya de Vlaming bergerak menentang perlawanan orang-orang 'I'ernate yang berpangkalan di Hoamoal serta sekutu-sekutu mereka orang- orang Makasar dan Melayu, dalam satu di antara rangkaian kampanye paling berdarah dalam sejarah VOC. Di pihak VOC terdapat orang-orang Ambon yang beragama Kristen dalam perahu perang mereka. Perang itu berlangsung dari tahun 1652 sampai 1658 di sekitar Hoamoal yang berakhir dengan kernenangan pihak VOC. Pada tahun 1656, penduduk yang masih tersisa dibuang ke Ambon. Sultan Saifuddin dari Tidore (m. 1657-89) meminta bantuan VOC untuk mengusir Spanyol dari wilayahnya pada tahun 1662. Pada saat itu telah berkembang rumor tentang akan segera ditarinknya pasukan Spanyol, karena pendukung Ming di Taiwan, Koxmga (Cheng Ch'eng kung. Zheng Chenggong), mengancam markas utama Pada tahun 1657, ia menerima pakta dengan VOC yang mencakup kebiiakan pemusnahan tanaman rempah yang tidak sah dengan imbalan mendapat kompensasi moneter dari VOC. Kebijakan VOC membayar tunai penguasa Maluku sebagai kompensasi sekaligus meraih dukungan mereka untuk memusnahkan rempah-rempah justru memperkuat para penguasa itu. Sekarang dukungan militer dan finansial VOC yang ditujukan hanya kepada raja-raja memberi mereka kemandirian lebih besar atas bawahan-bawahan mereka. Untuk mengakui kenyataan ini ia menamakan putra mahkotanya 'Sultan Amsterdam' (m. 1675-90) putranya yang lain ia namakan 'Rotterdam'. Hasil dari pen dekatan ini untuk VOC bermacam-macam. VOC memiliki negara-negara lokal yang lebih tersentralisir untuk dihadapi dan kebijakan pemusnahan dapat dicapai dengan lebih efektif. namun pemusnahan itu tidak pernah benar-benar berhasil. Rakyat setempat masih menemukan sarana untuk menanam rempah-rempah di daerah daerah yang jauh yang tidak diketahui VOC. Dukungan VOC pada kristenisasi menyakitkan hati orang-orang Temate dan menimbulkan pemiusuhan antara VOC dan Ternate pada tahun 1680. Karena Sultan Saifuddin dari Tidore mendukung VOC melawan Ternate. Persekutuan ini terbukti manjur dan Sultan Amsterdam terpaksa menyerah pada VOC di tahun 1681. Pada akhir abad XVIII, ancaman interferensi terhadap Belanda oleh kekuatan Eropa lainnya muncul kembali di Indonesia bagian timur dalam bentuk East India Company milik Inggris dan para pedagang swasta Inggris lainnya. Ditemukannya rute pelayaran superior menuju Cina via Selat Dampier atau Selat Pitt. Mengakibatkan meningkatnya pelayaran Inggris di wilayah tersebut dari tahun 1760-an, dan bersamaan dengan itu datanglah ancaman gangguan politik. VOC mencurigai Tidore ikut terlibat. Pada tahun 1779, VOC menurunkan Sultan Tidore dan tidak menunjuk pengganti sampai tahun 1781. Pada tahun 1783 merupakan bencana bagi orang Eropa komandan Belanda dan orang-orangnya terbunuh dan sisa armada lainnya dibawa sebagai hadiah untuk Nuku. Pada Oktober 1783, Sultan Tidore mengakui kekuasaan superior Nuku. Hal ini mempercepat datangnya respon dalam bentuk persaingan berkelanjutan Ternate-Ttdore Ternate bergabung dengan VOC dalam sebuah ekspedisi menentang Tidore pada November 1783 yang menimbulkan banyak korban dan kerusakan. Pada akhir abad XVII, musuh utama yang menentang hegemoni militer dan perdagangan VOC di timur adalah Kesultanan Gowa di Sulawesi Selatan. Gowa memiliki sebuah sistem wewenang ganda yang timbul akibat aliansi politik antara Kesultanan Gowa dan Tallo pada pertengahan abad XVI. Dan Pada pertengahan abad XVII Gowa masih menjadi pusat utama dari apa yang dianggap pihak Belanda sebagai perdagangan liar rempah-rempah. Orang-orang Portugis aktif di sana khususnya sejak mereka kehilangan Malaka pada tahun 1641. Namun, lelah terjadi peristiwa-peristiwa di Sulawesi Selatan sendiri yang memungkinkan Gowa ditaklukkan. Seperti yang selalu terjadi dalam berbagai peperangan VOC. Kekuasaan Gowa atas negara-negara Sulawesi Selatan lain memang masih menyisakan otonomi yang luas untuk mereka namun, tetap menimbulkan rasa benci. Telah terjadi banyak pertempuran antara Gowa dan negara bawahan Bugis, Bone. Pada tahun 1660, Arung Palakka adalah satu di antara sekitar 10.000 orang Bugis dari Bone yang memberontak, tapi berhasil ditumpas pihak Makasar. Arung Palakka dan praiurit-praiurit Bugisnya kini menjad satu bagian yang penting dari rencana VOC untuk menaklukkan Gowa. Konflik antara VOC dan Gowa berlanjut hampir tak terputus sejak tahun 1615. Sebuah armada VOC yang terdiri atas 31 kapal menyerang Gowa pada tahun I660, menghancurkan kapal-kapal Portugis yang ada di pelabuhan, dan memaksa Sultan Hasanuddin T'umenanga n' Balla'pangkana (m. 1653-69) menerima kesepakatan damai Agustus_Desember 1660. Tapi, kesepakatan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan. Desember 1666, armada VOC itu tiba di Makasar. Seperti yang diharapkan pihak Belanda, kembalinya Arung Palakka ke kampung halamannya setelah menjalani masa pengasingan seIama enam tahun telah mendorong rakyat Bugis di Bone dan Soppeng untuk bangkil melakukan pemberontakan melawan kekuasaan Makasar. Perang melawan Gowa ini meliputi pertempuran sengit di darat maupun di lautan yang memakan waktu hampir satu tahun lamanya. Akhirnya VOC dan sekutu-sekutu Bugisnya keluar sebagai pemenang. Dan Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bungaya (18 November 1667). Namun, perjanjian ini pun pada awalnya terbukti tak berati. Namun kini, Perjanjian Bungaya benar-benar dilaksanakan. Sehingga menimbulkan perubahan besal terhadap politik Sulawesi Selatan. Bone dan negara-negar aBugis lainnya terbebas dari belenggu kekuasaan Gowa. Benteng pihak Makasar di Ujung pandang diserahkan kepada VOC, dan Speelman memberinya nama baru yang sesuai dengan nama tempat kelahirannya, 'Rotterdam'. Kini kekuasaan Gowa runtuh, dan Bone muncul menggantikan kedudukannya sebagai negara yang paling kuat di Sulawesi Selatan. Hak kekuasaan Makasar atas daerah-daerah di sekitamya Minahasa, Bulung, dan Sumbawa_terlepas, dan pedagang-pedagang Eropa selain VOC diusir. Di akhir abad XVII, VOC telah berhasil mengonsolidasikan kedudukannya di Indonesia Timur. Pihak Belanda masih tetap menghadapi intrik-intrik dan perlawanan, tapi tak ada lagi kekuatan besar di Indonesia yang menentang mereka. Oleh karena itu. sering sekali terjadi pembahan-perubahan besar dalam kebijakan ketika pohon ditanam, kemudian ditebangi, sesudah itu ditanam lagi dalam usaha mendapatkan jumlah yang tepat.. Dalam kenyataannya peperangan yang terjadi di Indonesia Timur bukan semata- mata dilancarkan demi kepentingan perdagangan. VOC sedang dalam perjalanan menjadi kekuasaan imperial. Baik keuntungan maupun kerugian sesungguhnya yang tercakup dalam proses ini tidak jelas, akibat sistem akuntansi VOC, dan karena hal itu hanya merupakan kepentingan nomor dua bagi para pendiri imperium dan para petualang yang menetapkan kebijakan VOC di Indonesia, yang tampaknya memandang keuntungan pribadi sebagai hal yang lebih penting VOC pada abad XVII mempunyai dua pusat perhatian.