Anda di halaman 1dari 4

Tugas: 1

FILSAFAT SOSIAL

“Filososfi Hidup Masyarakat Nelayan”

OLEH

YUNINGSIH

A1N1 17 112

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH PEMINATAN PENDIDIKAN SOSIOLGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2021
Filososfi Hidup Masyarakat Nelayan

Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan. Orang yang hanya melakukan pekerjaan, seperti membuat jaring,
mengangkut alat-alat perlengkapan kedalam perahu/kapal, mengangkut ikan dari
perahu/kapal tidak dimasukkan sebagai nelayan. Tetapi ahli mesin, juru masak yang bekerja
diatas kapal penangkap ikan dimasukkan sebagai nelayan. Dari pengertian itu tersirat jelas,
nelayan dipandang tidak lebih sebagai kelompok kerja yang tempat bekerjanya di air laut.
Karena mereka dipandang sebagai pekerja, maka kegiatan-kegiatannya hanya refleksi dari
kerja itu sendiri dan terlepas dari filosofi kehidupan nelayan, bahwa sumber penghi dupannya
terletak dan berada dilautan. Sumber kehidupan yang berada di laut mempunyai makna
bahwa manusia yang akan memanfaatkan sumber hidup yang tersedia dilaut tidak
mempertentangkan dirinya dengan hukum-hukum alam kelautan yang telah terbentuk dan
terpola seperti yang mereka lihat dan rasakan. Tindakan yang harus dilakukan dan perlu
dilaksanakan adalah mempelajari melalui penglihatan, pengalaman sendiri atau orang lain
guna melakukan penyesuaian alat-alat pembantu penghidupan sehingga sumber penghidupan
itu dapat berguna dan berdaya guna bagi kehidupan selanjutnya.
Keyakinan mereka tersebut terpatri dalam ungkapan filosofi yang berbuyi “Mbo kita
ne lino baka isi-isina, kita neje manusiana mamikker iyya batingga kole’ta mengelola iyya”
artinya nenek kita dulu telah memberika dunia/laut ini dengan segala isinya kepada manusia,
tinggal kita yang memikirkannya dan mengelolahnya dengan baik dan bijaksana. Oleh karena
itu nelaya senantiasa memerlukan laut secara baik dan bijaksana. Laut sebagai tumpuan hidup
mereka senangtiasa mereka maknai sebagai sehe (teman). Nelayan menganggap laut sebagi
sahabat karena itulah tidak ada sedikitpun rasa takut ketika mereka berlayar mengarungi laut.
Selain itu nelayan juga memandang laut sebagai tempat mataa pencaharian nelayan juga
menyadari pula bahwa sumber daya yang disediakan oleh laut juga terbatas dan pada suatu
saat akan habis atau berkurang. Oleh karenanya, mereka dalam mengelolah sumber daya laut
adalah ajaran etika Suku Bajo yakni dalam berkerja mengeksplorasi hasil alam nelayan
memengang prinsip empat diri, yakni tahu diri, tahan diri, harga diri dan percaya diri. Etika
ini mengandung makna agar nelayan tidak boleh rakus, termasuk dalam mengumpulkan
hasil-hasil laut.
Nelayan juga memandang laut sebagai tabar (obat). Dalam pandangan orang Bajo air
laut itu sendiri adalah obat dan di dalam laut juga terdapat bebagai jenis bahan obat yang
dapat diramu untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Pemahaman yang demikian ini
pulalah yang mendasari kebiasaan orang Bajo dimana setiap ada bayi yang lahir senantiasa
diceburkan ke dalam air laut. Hal ini dimaksudkan selain sebagai pengenalan terhadap dunia
laut juga sebagai model imunisasi alami sehingga bayi memiliki kekebalan tubuh dari
berbagai penyakit yang dapat merusak atau mengganngu pertumbuhan.
Nelayan memandang laut sebagai lalang (penghubung atau jalan). Dalam kosmologi
nelayan, laut bukan penghalang atau pemisah satu tempat dengan tempat yang lain atau satu
masyarakat nelayan dengan masyarakat nelayan lainnya. Tetapi laut merupakan media
lalulintas dalam melakukan aktivitasi melaut, penghubung antar satu tempat dengan tempat
yang lain, media perjumpaan dan interaksi mereka dengan masyarakat lain.
Seorang nelayan memperlakukan laut sebagai patambanagang (tempat tinggal). Sejak
dahulu, nenek moyang nelayan menjadikan laut sebagai tempat tinggal. Mereka membangun
tempat tinggal di atas perahu yang dilengkapi dengan dapur dan tempat tidur, layaknya
sebuah ruamah. Mereka hidup dan berpindah pindah dengan perahu tersebut, mengikuti arah
angin. Hal ini pulalah yang menyebabkan para nelayan sering dijuluki sebagai manusia
perahu. Dalam perkembangan nalayan Bajo mulai hidup menetap di atas perairan luat denagn
pola pemukiman mengelompok dan menetap dalam suatu lokasi tetentu. Mereka mendirikan
rumah-rumah penggung dengan tiang-tiang ditancapkan ke dasar laut. Selain itu nelayan juga
berkeyakinan bahwa leluhur mereka berasal dari laut, hidup di laut, dan sebagai
Mbombangana lao (penguasa di laut) yang dapat memberika rezeki, kebaikan, kesehatan, dan
melindungi manusia dari bencana.
Sehingga seorang nelayan memberikan perhatian sangat serius terhadap lingkungan
laut, karna laut merupakan urat nadi perekonomian mereka. Laut dipandang sebagai sumber
kehidupan dan penghidupan seorang nelayan, yang berperan membantu upaya peningkatan
perekonomian nelayan. Laut dipandang sebagai tempat mencari nafkah dipandang sebagai
tempat yang disakralkan, sehingga tidak boleh berlaku semena-mena. Oleh karena itu seorang
nelayan melestarikan sumber daya laut melalui aturan-aturan adat berupa pamalii dan aksi
peduli lingkukangan seperti menanam bakau di kawasan pesisir pantai.
Bagai seoarang nelayan laut merupak neluhur orang Bajo mengapresiasikannya dalam
ungkapan filosofi yang berbuyi “kadampaanu kampo maiga-iga, pugal allau mabunda
ana’umputa”. Artinya cintailah lingkungan laut demi masa dapak anak cucu kita. Ungkapan
tersebut merupakan refleksi betapa tingginya rasa memiliki seorang nelayan terhadap laut,
sehingga mereka senantiasa menjaga dan melestarika sumber daya kehidupan yang sangat
berharga tersebut. Dalam menjalankan kehidupan di laut, nelayan memiliki prinsip sama di
lao “ Artinya senasib dan sepenanggungan di laut dan memahami bahwa orang Bajo/nelayan
yang satu adalah saudara nelayan yang lainnya. Pandangan tersebut mengandung spirit
solidaritas dan kesetia kawanan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan yang berat, dan tidak diragukan lagi.
Mereka yang menjadi nelayan tidak dapat membayangkan pekerjan lain yang lebih mudah,
sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Ketermpilan sebagai nelaya bersifat amat
sederhana dan hampir sepenuhnya dapat dipelajari dari orang tau mereka saja mereka masih
kanak-kanak. Apabila orang tua mampu, mereka pasti akan berusaha menyekolahkan anak
setinggi mungkin sehingga tidak harus menjadi nelayan seperti oaring tua mereka. Tetapi dari
kasus-kasus kaluarga yang ternyata kebayakan mereka tidak mampu membebaskan dari dari
profesi nelayan, turun temurun mereka adalah nelyan.
Semakin jelas bagi kita, maka nelayan tidak hanya berdiri sendiri, tetapi adalah
merupakan system sosial yang menata khusus kehidupan masyarakat yang sumber mata
pencaharian hidupanya dari lautan. Jadi masyarakat nelayan adalah fakta, bukan hanya
sebagai segerombolan tenaga kerja yang menangkap ikan di laut, tetapi sebuah bentuk
kehidupan orang Bajo yang basis kehidupannya bertumpuh pada laut dan hasil-hasil laut yang
ada didalamnya, yang bersosial, beradab, berbudaya dan berfikir tentang keberlanjutan masa
depannya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai