Anda di halaman 1dari 4

TEKS HIKAYAT TENTANG PENGEMBARA

Pada zaman dahulu, ada tiga teman yang berkeliaran, Ifan, Sigit dan Aldi. Selama perjalanan,
tiga orang membawa makanan seperti daging, susu, nasi dan buah-buahan. Ketika semua sudah
lelah, semuanyapun beristirahat memakan makanan yang dibawa.

Sampai suatu hari mereka tiba di hutan lebat. Mereka merasa lapar, namun tidak bisa
makan, karena makanan sudah habis, dan di sini mereka tidak dapat menemukan siapa pun untuk
meminta bantuan. Ketika semuanya sedang memikirkan solusi, mereka berhenti sejenak di pohon
yang begitu rindang. Kemudian Ifan berkata: “Jika ada nasi, aku akan memakannya sendiri.”
Sigit berkata, “Ketika saya sangat lapar, saya bisa menghabiskan 10 ayam goreng.”

Tidak seperti Aldi, Aldi hanya mengharapkan semangkuk nasi dan lauk yang cukup untuk
memuaskan rasa lapar. Tiba-tiba harapan mereka terdengar dari pohon ara magis. Kemudian pohon
itu menjatuhkan tiga daunnya, yang masing-masing berubah menjadi makanan yang ingin diterima
oleh tiga teman.

Ifan dan Sigit sangat senang menemukan makanan, dan kemudian bergegas memakannya.
Aldi juga bersyukur bisa makan, meski tidak seperti kedua temannya, yang cukup penting untuk
mengisi perutnya.

Setelah makan siang, pria ini memperhatikan dua sahabatnya yang masih makan. Meskipun
dia banyak makan dan kenyang, ternyata Ifan tidak bisa menghabiskan makanannya. Ternyata nasi
dapat berbicara dan meminta untuk segera diselesaikan.

Tetapi karena dia tidak lagi merasa mampu, dia tidak ingin menghabiskan apa pun. Akhirnya,
nasi menjadi marah, dan kemudian menggigit tubuh Ifan. Hal yang sama terjadi dengan Sigit, yang
hanya bisa memakan satu ayam goreng dan melemparkan sembilan ayam goreng lainnya ke semak-
semak.

Segera, sembilan ayam goreng tersebut menjadi ayam sungguhan, keluar dari semak-semak
dan menyerangnya. Ketika dia melihat apa yang terjadi pada temannya, Aldi tertegun dan merasa
bahwa dia memiliki mimpi. Ketika dia sadar, sayangnya, dia menemukan dua temannya mati.
Kemudian dia melanjutkan perjalanannya sendirian.
TEKS HIKAYAT TENTANG ABU NAWAS

Abu Nawas hanya tertunduk sedih mendengarkan penjelasan istrinya. Tadi pagi beberapa
pekerja kerajaan atas perintah Baginda Raja membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa
dicegah. Kata mereka tadi malam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam
emas dan permata yang harganya mahal. Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan
permata itu tidak ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas dan
mengganti kerugian rumahnya yang hancur. Hal inilah yang membuat Abu Nawas semakin marah
kepada Baginda.
Sekian lama Abu Nawas berpikir, namun belum juga ia menemukan solusi untuk membalas
Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya juga tidak dimakan karena nafsu makannya hilang.
Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak menemukan solusi. Keesokan hari Abu Nawas
melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi tersebut. la tiba-tiba tertawa
riang karena menemukan solusi. “Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang
besi.” Abu Nawas berkata kepada istrinya.
“Untuk apa?” tanya istrinya heran.
“Membalas Baginda Raja.” kata Abu Nawas singkat. Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat
menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata:
“Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu
yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan
makanan hamba.”
“Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?” sergap Baginda kasar.
“Lalat-lalat ini, Tuanku.” kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya.
“Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba mengadukan perlakuan
yang tidak adil ini.”
“Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?”
“Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa
menghukum lalat-lalat itu.” Baginda Raja tidak bisa mengelakkan diri menolak permintaan Abu
Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda
membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu di manapun
mereka hinggap.
Tanpa menunggu perintah Abu Nawas langsung mulai mengusir lalat-lalat di piringnya
hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi
dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di
kaca.
Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang
indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang
tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan
hinggap di tempat Baginda Raja.
Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan
terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Setelah merasa puas, Abu Nawas mohon izin pulang. Barang-
barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung
rasa malu. Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas yang
nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah menjadi garang dan ganas
serta mampu membalas dendam terhadap orang yang mengusiknya. Abu Nawas pulang dengan
perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa
dari istana.
Di suatu pagi yang cerah, Sultan Harun al-Rasyid memanggil Abu Nawas menghadap ke
Istana. Kali ini Sultan ingin menguji kecerdikan dari Abu Nawas. Sesampainya di hadapan Sultan,
Abu Nawas pun memberi penghormatan.
Dan Sultan berbicara, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu berjenggot
yang pandai bicara, bisakah engkau mendatangkan mereka dalam waktu seminggu? Kalau gagal, akan
aku penggal lehermu.
“Baiklah, tuanku Syah Alam, hamba junjung tinggi titah tuanku.”
Semua punggawa istana yang hadir pada saat itu, berkata dalam hati, “Mampuslah kau Abu Nawas!”
Abu Nawas bermohon diri dan pulang ke rumah. Begitu sampai di rumah, ia duduk berdiam
diri merenungkan keinginan Sultan. Seharian ia tidak keluar rumah, sehingga membuat tetangga
kebingungan. Ia baru keluar rumah setelah seminggu kemudian, yaitu ketika batas waktu yang
diberikan Sultan telah tiba.
Ia segera menuju kerumunan orang banyak, lalu berucap, “Hai orang-orang muda, hari ini hari apa?”
Orang-orang yang menjawab benar akan ia lepaskan, tetapi orang-orang yang menjawab
salah, akan ia tahan. Dan ternyata, tidak ada seorangpun yang menjawab dengan benar. Tak ayal, Abu
Nawas pun marah-marah kepada mereka, “Begitu saja kok enggak bisa jawab. Kalau begitu, mari kita
menghadap Sultan Harun Al-Rasyid, untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya.”
Keesokan harinya, balairung istana Baghdad dipenuhi warga masyarakat yang ingin tahu
kesanggupan Abu Nawas mambawa enam ekor Lembu berjenggot. Sampai di depan Sultan Harun Al-
Rasyid, ia pun menghaturkan sembah dan duduk dengan khidmat. Lalu, Sultan berkata, “Hai Abu
Nawas, mana lembu berjenggot yang pandai bicara itu?”
Tanpa banyak bicara, Abu Nawas pun menunjuk keenam orang yang dibawanya itu, “Inilah
mereka, tuanku Syah Alam.”
“Hai, Abu Nawas, apa yang kau tunjukkan kepadaku itu?”
“Ya, tuanku Syah Alam, tanyalah pada mereka hari apa sekarang,” jawab Abu Nawas.
Ketika Sultan bertanya, ternyata orang-orang itu memberikan jawaban berbeda-beda. Maka
berujarlah Abu Nawas, “Jika mereka manusia, tentunya tahu hari ini hari apa. Apalagi jika tuanku
menanyakan hari yang lain, akan tambah pusinglah mereka. Manusia atau hewan kah mereka ini?
“Inilah lembu berjenggot yang pandai bicara itu, Tuanku.”
Sultan heran melihat Abu Nawas pandai melepaskan diri dari ancaman hukuman. Maka
Sultan pun memberikan hadiah 5.000 dinar kepada Abu Nawas.

Anda mungkin juga menyukai