Anda di halaman 1dari 17

PROPOSAL

PENGARUH FISIOTERAPI DADA TERHADAP BERSIHAN JALAN


NAFAS PADA ANAK USIA 1 – 5 TAHUN DENGAN GANGGUAN
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI PUSKESMAS CIMAHI

Diajukan sebagai ssyarat untuk mencapai gelar Sarjana Keperawatan

Disusun Oleh:

ROSA DWI APRIYANI

C.0105.15.057

PROGRAM PENDIDIKAN NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR


CIMAHI
2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Anak usia balita merupakan golongan usia yang paling rawan
terhadap penyakit, hal ini berkaitan dengan fungsi protektif atau
immunitas anak, salah satu penyakit yang sering diderita oleh anak adalah
gangguan pernafasan atau infeksi pernafasan (Wong, 2008).
ISPA merupakan masalah kesehatan yang penting karena penyakit
penyebab pertama kematian di Negara berkembang. Setiap tahun ada dua
juta kematian yang disebabkan oleh ISPA. WHO memperkirakan insiden
ISPA di Negara berkembang 0,29% (151 juta jiwa). ISPA menempati
urutan pertama penyakit yang diderita oleh bayi dan balita di indonesia.
Prevalensi ISPA di Indoneisa adalah 25,5% dengan morbiditas pneumonia
pada bayi 2,2% dan balita 3% sedangkan mortalitas pada bayi 23,8% dan
balita 15,5% (Markamah et al. 2012 dalam Marni 2014)
Menurut WHO (World Health Organization) memperkirakan
insiden ISPA di negara berkembang dengan angka kematian balita diatas
40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada usia balita.
ISPA selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada
kelompok bayi dan balita. Berdasarkan pervalensi ISPA tahun 2016 di
indonesia telah mencapai 25% dengan rentang kejadian yaitu sekitar
17,5% - 41,4% dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai pervalensi di
atas angka nasional. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10
penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh
subdit ISPA tahun 2016 menempatkan ISPA sebagai penyebab kematian
bayi terbesar di indonesia dengan presentase 32,10% dari seluruh kematian
balita.
Di Indonesia, ISPA menduduki peringkat pertama sebagai penyakit
yang paling banyak diderita masyarakat, khususnya anak-anak. Tercatat,
rata-rata balita di Indonesia mengalami sakit batuk pilek setidaknya tiga
hingga enam kali per tahunnya. Dari data WHO didapatkan bahwa angka
kejadian pneumonia pada balita di Indonesia cukup tinggi, yakni 10-20%
per tahun.
Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 insiden Jawa Barat tahun 2013
adalah 1,9 % (Nasional 1,8%) dan prevalensi pneumonia 4,9 % (Nasional
4,5%). Pada tahun 2016 menggunakan target sasaran sebesar 4,62% dari
jumlah balita sehingga angka pneumonia ditemukan sebesar 90,7% dengan
range antara 14,4%.
Pada tahun 2014 penyakit ISPA menempati urutan teratas pola
penyakit rawat jalan di puskesmas untuk golongan umur 1 – 4 tahun yaitu
sebesar 9.325 kasus (31.66%) di kota Cimahi. Hal tersebut menunjukan
bahwa penyakit-penyakit infeksi juga masih menjadi penyebab terjadinya
angka kesakitan pada golongan tersebut.
Kasus infeksi saluran pernafasan akut berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Kota Cimahi, pada tahun 2016 menunjukan jumlah pasien
infeksi saluran pernafasan akut berjumlah 76,902 kasus di kota Cimahi
Selatan (Dalam Skripsi Andi Rustandi)
Pada anak balita, gejala infeksi pernapasan bawah biasanya lebih
parah dibandingkan dengan penyakit pernapasan atas dan dapat mencakup
gejala gangguan respiratori yaitu batuk, disertai produksi secret berlebih,
sesak napas, retraksi dada, takipnea, dan lainlain. Hal ini membutuhkan
perhatian khusus oleh pemerintahan guna menurunkan angka kematian
anak. Kesiapan pemerintah dan instansi terkait seperti tenaga kesehatan
baik ditingkat pusat, provinsi ataupun kota dan kabupaten sangat berperan
penting dalam meminimalkan angka kejadian ISPA. Seperti kesiapan
pihak tenaga kesehatan terhadap pelayanan kesehatan, kesiapan petugas
kesehatan dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap
pneumonia, status gizi, lingkungan yang baik, cakupan imunisasi, asi
ekslusif dan meningkatkan upaya manajemen tatalaksana pneumonia
bagaimana perilaku masyarakat dalam pencarian pengobatan. Pada
akhirnya diharapkan upaya pengendalian penyakit ISPA dapat
dilaksanakan dengan optimal sehingga angka kematian ini dapat
diturunkan (Kemenkes RI, 2010).

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apa ada pengaruh
fisioterapi dada terhadap bersihan jalan nafas pada anak usia 1 – 5 tahun
pada penyakit ISPA di Puskesmas Cimahi?”

C. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Diketahuinya pengaruh fisioterapi dada terhadap bersihan jalan nafas
pada anak usia 1 – 5 tahun pada penyakit ISPA di Puskesmas Cimahi
Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui gambaran karakteristik pasien ISPA di Puskesmas
Cimahi.
b. Diketahui gambaran bersihan jalan nafas sebelum dan sesudah
pelaksanaan pemberian fisoterapi dada.
c. Diketahui gambaran pengaruh fisioterapi dada terhadap bersihan
jalan nafas pada anak usia 1 – 5 tahun pada penyakit ISPA di
Puskesmas Cimahi selatan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP BALITA
1. Definisi balita
Balita adalah anak dengan usia dibawah 5 tahun dengan
karakteristik pertumbuhan yakni pertumbuhan cepat pada usia 0-1 tahun
dimana umur 5 bulan BB naik 2x BB lahir dan 3x BB lahir pada umur 1
tahun dan menjadi 4x pada umur 2 tahun. Pertumbuhan mulai lambat pada
masa pra sekolah kenaikan BB kurang lebih 2 kg/ tahun, kemudian
pertumbuhan konstan mulai berakhir. (Soetjiningsih, 2001 dalam scribd)
Menurut Sutomo. B. dan Anggraeni. DY, (2010), Balita adalah
istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak prasekolah (3-5
tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang tua
untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan makan.
Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun
kemampuan lain masih terbatas.
Masa balita merupakan periode penting dalam proses tumbuh
kembang manusia. Perkembangan dan pertumbuhan di masa itu menjadi
penentu keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan anak di periode
selanjutnya. Masa tumbuh kembang di usia ini merupakan masa yang
berlangsung cepat dan tidak akan pernah terulang, karena itu sering
disebut golden age atau masa keemasan.
2. Karakteristik balita
Menurut karakteristik, balita terbagi dalam dua kategori yaitu anak
usia 1 – 3 tahun (batita) dan anak usia prasekolah (Uripi, 2004). Anak usia
1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan
dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih
besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan
yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan
jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil
dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang
diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering Pada usia pra-sekolah
anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan
yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya
atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan
dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes
sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan. Pada
masa ini berat badan anak cenderung mengalami penurunan, akibat dari
aktivitas yang mulai banyak dan pemilihan maupun penolakan terhadap
makanan. Diperkirakan pula bahwa anak perempuan relative lebih banyak
mengalami gangguan status gizi bila dibandingkan dengan anak laki-laki
(BPS, 1999).
3. Tumbuh Kembang Balita
Secara umum tumbuh kembang setiap anak berbeda-beda, namun
prosesnya senantiasa melalui tiga pola yang sama, yakni:
a. Pertumbuhan dimulai dari tubuh bagian atas menuju bagian bawah
(sefalokaudal). Pertumbuhannya dimulai dari kepala hingga ke ujung
kaki, anak akan berusaha menegakkan tubuhnya, lalu dilanjutkan
belajar menggunakan kakinya.
b. Perkembangan dimulai dari batang tubuh ke arah luar. Contohnya
adalah anak akan lebih dulu menguasai penggunaan telapak tangan
untuk menggenggam, sebelum ia mampu meraih benda dengan
jemarinya.
c. Setelah dua pola di atas dikuasai, barulah anak belajar
mengeksplorasi keterampilan-keterampilan lain. Seperti melempar,
menendang, berlari dan lain-lain.
Pertumbuhan pada bayi dan balita merupakan gejala kuantitatif.
Pada konteks ini, berlangsung perubahan ukuran dan jumlah sel, serta
jaringan intraseluler pada tubuh anak. Dengan kata lain, berlangsung
proses multiplikasi organ tubuh anak, disertai penambahan ukuran-
ukuran tubuhnya. Hal ini ditandai oleh:
a. Meningkatnya berat badan dan tinggi badan.
b. Bertambahnya ukuran lingkar kepala.
c. Muncul dan bertambahnya gigi dan geraham.
d. Menguatnya tulang dan membesarnya otot-otot.
e. Bertambahnya organ-organ tubuh lainnya, seperti rambut, kuku, dan
sebagainya.
4. Konsep Maturasi sistem
Sebagian besar sistem fisiologis relatif matur pada akhir masa
toodler. Volume saluran pernafasan dan pertumbuhan struktur yang
bersangkutan terus bertambah selama masa kanak-kanak awal. Struktur
internal telinga dan tenggorokan terus memendek dan melurus, dan
jaringan lomfoid tonsil dan adenoid terus bertambah besar. Akibatnya,
sering terjadi otitis media, tonsillitis, dan infeksi saluran nafas atas.
Kecepatan respirasi dan jantung melambat, dan tekanan darah meningkat.

B. KONSEP PENYAKIT ISPA


1. Pengertian ISPA
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan atas dan bawah yang
disebabkan infeksi jasad renik atau bakteri, virus maupun riketsia, tanpa
atau sering disertai radang parenkim (Alsagaff, 2010).
ISPA adalah imfeksi akut yang melibatkan organ saluran
pernapasan bagian atas dan saluran bagian bawah. Infeksi ini disebabkan
oleh virus, jamur dan bakteri (Markamah. Et al. 2012 dalam Marni, 2014)
Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran
pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing unsur adalah
sebagai berikut (Depkes, 2005) :
a. Infeksi adalah masuk kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh
manusia dan berkembangbiak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
b. Saluran pernafasan adalah organ yang dimulai dari hidung hingga
alveoli beserta organ adneksinya seperti sinus-sinus, rongga teling
tengah dan pleura. Secara anatomis ISPA mencakup saluran
pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bawah (termasuk jaringan
paru-paru) dengan bahasan ini maka jaringan paru termasuk dalam
saluran pernafasan.
c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangusng sampai dengan 14 hari.
Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukan proses akut meskipun
untuk beberapa penyakit yang dapat digolongan dalam ISPA proses ini
dapat berlangsung 14 hari (Depkes RI, 2012)

2. Etiologi
a. Etiologi ISPA
Etiologi ISPA adalah bakteri, virus dan riketsia. Infeksi bakteri
sering merupakan penyakit ISPA yang disebabkan oleh virus, terutama
bila ada epidemik dan pandemik. Hingga kini dikenal lebih dari 100
jenis virus penyebab ISPA, infeksi virus memberikan gambaran yang
hampir sama (Alsagaff, 2010)
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) dapat disebabkan oleh :
(Marni, 2014)
1) Bakteri : Escherichia Coli, Streptococcus Pneumonia, Chlamidya
Trachomatis, Clamidia Pneumonia, Mycoplasma pneumonia, dan
beberapa bakteri lain.
2) Virus : Mikrovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikomavirus, Virus
Influenza, Virus Parainfluenza, Rhinovirus, SRespiratorik Syncytal
virus, danbeberapa virus lain.
3. Manifestasi Klinis
Umumnya penyakit ISPA ditandai dengan keluhan dan gejala yang
ringan, namun seiring berjalannya waktu, keluhan dan gejala yang ringan
tersebut bisa menjadi berat kalau tidak segera diatasi. Oleh sebab itu, jika
anak/bayi sudah menunjukan gejala sakit ISPA, maka harus segera diobati
agar tidak menjadi berat yang bisa menyebabkan gagal napas atau bahkan
kematian. Gejala yang ringan biasanya diawali dengan demam, batuk,
hidung tersumbat dan sakit tengggorokan.
Menurut Rasmaliah (2004) dalam Marni (2014) bahwa tanda
bahaya bisa dilihat berdasarkan tand-tanda klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium. Secara klinis pada pemeriksaan respirasi akan terdapat tanda
gejala sebagai berikut: takikpnea, napas tidakteratur (apnea), retraksi
dinding thoraks, napas cuping hidung, sianosis, suara napas lemah atau
hulang, grunting expiratoir dan wheezing. Sedangakan pada sistem
kardiovaskulerakan menunjukan gejala takikardi, bradikardi, hypertensi,
hypotensi dan cardiacarrest. Sedangkan hasil pemeriksaan laboratorium
adalah jika ditemukan hipoksemia, hiperkapnea dan asidosis metabolik
maupun asidosis respiratorik.
4. Patofisiologi
ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) terjadi dapat karena
masuknya virus, bakteri atau riketsia dan jamur kedalam saluran
pernapasan atas, kemudian virus bereplika (membelah) pada sel epitel
kolumner bersilia (hidung, sinus, faring) menyebabkan radang pada tempat
tersebut. Peradangan itu merangsang pelepasan mediator histamin dalam
sekresi hidung sehingga permeabilitas vaskuler naik dan akibatnya terjadi
edema pada mukosa dan hidung menjadi tersumbat akibat akumulasi
mukus, dari kejadian itu menimbulkan masalah bersihan jalan nafas tidak
efektif. Perubanhan yang terjadi adalah edema pada mukosa, infiltrat sel
mononuler yang menyertai, kemudian fungsional silia mengakibatkan
pembersihan mukus terganggu. Pada infeksi berat sampai sedang epitel
mengelupas ada produksi mukus yang banyak sekali, mula-mula encer,
kemudian mengental dan biasanya purulen. Selain itu ada juga keterlibatan
anatomis saluran pernapasan atas, masuk oklusi dan kelainan rongga sinus.
5. Pencegahan ISPA
Menurut (Yusri, 2011) pencegahan ISPA sangat erat kaitannya
dengan sistem kekebalan tubuh yang dimiliki oleh seseorang. Seseorang
dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah akan sangat rentan terhadap
serangan sehingga pengobatan ISPA biasanya difokuskan kepada mereka
yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah. ISPA atau Infeksi
Saluran Pernapasan Akut sangat rentan kepada anak-anak, itulah mengapa
kasus ISPA sebagai penyakit dengan prevalensi sangat tinggi di dunia juga
menunjukan angka kematian anak yang sangat tinggi dibandingkan
penyakit lainya.
Pencegahan ISPA yang dilakukan adalah upaya yang dimaksudkan
agar seseorang terutama anak-anak dapat terhindar baik itu infeksinya,
maupun melawan dengan sistem kekebalan tubuh, karena vektor penyakit
ISPA telah sangat meluas didunia, sehingga perlu kewaspadaan diri untuk
menghadapi serangan infeksi, bukan hanya dalam hal pengobatan ISPA.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit
ISPA pada anak antara lain:
a. Mengusahakan agar anak memperoleh gizi yang baik, diantaranya
dengan cara memberikan makanan kepada anak yang mengandung
cukup gizi.
b. Memberikan imunisasi yang lengka[p keapda anak agar daya tahan
tubuh terhadap penyakit baik.
c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan agar tetap bersih.
d. Mencegah anak berhubungan dengan klien ISPA. Salah satunya adalah
memakai pelindung penutup hidung dan mulut ketika kontak langsung
dengan anggota keluarga atau orang yang sedang menderita penyakit
ISPA (Adhisty, 2013)

6. Penularan ISPA
Menurut (Alsagaff, 2010) menyebutkan dikenal 3 cara penyebaran
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) yaitu:
a. Melalui aerosol yang lembut, terutama oleh karena batuk
b. Melalui aerosol yang lebih kasar, terjadi pada waktu batuk dan bersin-
bersin
c. Melalui kontak langsung/tidak langsung dari benda yang telah
dicemari jasad renik (hand to hand transmission)

Pada infeksi virus, transisi diawali dengan penyebab virus ke daerah


sekitar terutama melalui bahan sekresi hidung. Virus yang menyebabkan
ISPA terdapat 10 – 100 kali lebih banyak di dalam mukosa hidung dari
pada mukosa faring. Dari beberapa penelitian klinis, laboratorium dan
penelitian lapangan, diperoleh kesimpulan bahwa sebenarnya kontak hand
to hand merupakan modus terbesar bila dibandingkan dengan cara
penularan aerogen (yang semula banyak diduga sebagai penyebab utama)
(Asagaff, 2010).

C. KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS


1. Ketidakefektipan bersihan jalan nafas merupakan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi atau obstruksi dan saluran pernafasan untuk
mempertahankan kebersihan jalan nafas (NADA NIC NOC. 2015).
Batasan karakteristik :
a. Suara nafas tambahan
b. Perubahan frekwensi napas
c. Perubahan irama napas
d. Batuk tidak efektif
e. Sesak
2. Kebersihan jalan napas adalah suatu kondisi dimana individu mampu
untuk batuk secara efektif, dan tidak ada penumpukan sekret. (Muttaqin,
2008).
Kriteria kebersihan jalan napas menurut Muttaqin (2008), antara lain:
a. Bunyi napas terdengar bersih
b. Ronkhi tidak terdengar
c. Menunjukkan batuk efektif
d. Tidak ada penumpukan sekret di saluran napas
e. Pernapasan klien normal (16-20 x/menit) tanpa penggunaan otot bantu
napas
3. Penatalaksanaan kebersihan jalan napas menurut Somantri (2009), antara
lain:
1. Humidifikasi, misalnya nebulizer
2. Fisioterapi dada (NANDA, NIC NOC. 2015)
3. Obat bronkodilator
4. Inhalasi mekanik
5. Latihan napas dalam
6. Batuk efektif

D. KONSEP FISOTERAPI DADA


1. Pengertian
Fisioterapi dada merupakan kelompok terapi yang digunakan
dengan kombinasi untuk memobilisasi sekresi pulmonar. Terapi ini terdiri
dari drainage postural, perkusi dada, dan vibrasi. Fisioterapi dada harus
diikuti dengan batuk produktif dan pengisapan pada klien yang mengalami
penurunan untuk batuk. (Potter dan Perry, 2006) Menurut Muttaqin
(2008), tujuan fisioterapi dada adalah membuang sekresi bronkial,
memperbaiki ventilasi, dan meningkatkan efisiensi otot-otot pernapasan.
2. Macam-macam Fisioterapi Dada
a. Perkusi dada : dengan memeriksa seluruh bagian dada yang
memerlukan drainase. Tangan diposisikan seperti membentuk cup,
ujung jari menyentuh ibu jari diperkusikan pada permukaan dada
dengan gelombang amplitude dan frekuensi yang bervariasi menurut
perubahan konsistensi dan lokasi sputum.
b. Vibrasi : tekanan bergetar yang dilakukan pada dada selama ekshalasi.
Teknik ini dapat meningkatkan turbulensi dan kecepatan ekshalasi
udara, sehingga secret dapat bergerak.
c. Postural drainase (PD) : intervensi untuk melepaskan sekresi dari
berbagai segmen paru dengan menggunakan pengaruh gaya gravitasi.
Mengingat kelainan pada paru bisa terjadi pada berbagai lokasi maka
PD dilakukan pada berbagai posisi disesuaikan dengan kelainan
parunya. Waktu yang terbaik untuk melakukan PD yaitu sekitar 1 jam
sebelum sarapan pagi dan sekitar 1 jam sebelum tidur pada malam
hari. Postural drainase dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya
sekret dalam saluran nafas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret
sehingga tidak terjadi atelektasis.
3. Indikasi dan kontraindikasi
Indikasi fisioterapi dada terdapat penumpukan sekret pada saluran
napas yang dibuktikan dengan pengkajian fisik, X Ray, dan data klinis
Sulit mengeluarkan atau membatukkan sekresi yang terdapat pada saluran
pernapasan.
Kontraindikasi fisioterapi dada ada yang bersifat mutlak seperti
kegagalan jantung, status asmatikus, renjatan dan perdarahan masif,
sedangkan kontraindikasi relatif seperti infeksi paru berat, patah tulang iga
atau luka baru bekas operasi, tumor paru dengan kemungkinan adanya
keganasan serta adanya kejang rangsang.
4. Teknik-teknik fisioterapi dada
a. Perkusi dada
1) Kaji kondisi klien/pasien (bunyi nafas dan jantung, pola
pernapasan, dan secret) dan tingkat kenyamanan.
2) Kaji riwayat kesehatan jantung, masalah dan kemungkinan
kontraindikasi untuk fisioterapi dada.
3) Tentukan area paru yang membutuhkan terapi.
4) Jelaskan prosedur dan tujuan.
5) Pastikan klien/pasien telah berkemih.
6) Anjurkan klien/pasien untuk mengemukakan bila terasa ingin
muntah.
7) Perawat berdiri bersebrangan dengan area yang akan di perkusi.
8) Tangan dan jari-jari dirapatkan dan membentuk cup lalu tepuk
diarea yang diperlukan selama 3menit.
9) Minta klien/pasien untuk batuk dan mengeluarkan sputum.
b. Vibrasi
1) Instuksikan klien/pasien untuk menghirup nafas dalam secara
lambat melalui hidung dan mengeluarkannya melalui mulut
2) Ratakan telapak tangan pada area dada yang mengalami
penumpukan secret.
3) Dengan hati-hati lakukan vibrasi saatklien/pasien menghembuskan
nafas.
4) Minta klien/pasien untuk batuk dan mengeluarkan sputum.
5) Setelah semua dilakukan kaji kembali kondisi klien/pasien.
6) Kembalikan ke posisi nomal dan berikan posisi yang nyaman.
7) Berikan keperawatan mulut, dan cuci tangan klien/pasien.
8) Cuci tangan dan dokumentasi hasil pengkajian status respiratori
dan respon klien/pasien (jumlah secret dan warna).
c. Postural drainase
1) Taruh tangan di bagian dada atau punggung klien/pasien.
2) Minta klien/pasien menarik nafas dalam-dalam lalu keluarkan
melalui mulut secara perlahan.
3) Dekatkan telinga kita ke tubuh klien/pasien dan dengarkan asal
bunyi lendir. Biasanya lendir yang mengumpul akan menimbulkan
suara. Atau, rasakan getarannya.
4) Setelah letak lendir berhasil ditemukan, atur posisi klien/pasien :
5) Bila lendir berada di paru-paru bawah maka letak kepala harus
lebih rendah dari dada agar lendir mengalir ke arah bronkhus
utama. Atur posisi klien/pasien dalam keadaan tengkurap.
6) Bila posisi lendir di paru-paru bagian atas maka kepala harus lebih
tinggi agar lendir mengalir ke cabang utama. Atur Posisi
klien/pasien dalam keadaan telentang.
7) Bila lendir di bagian paru-paru samping/lateral, maka posisikan
klien/pasien dengan miring ke samping, tangan lurus ke atas kepala
dan kaki seperti memeluk guling.
E. KONSEP KEPERAWATAN HENDERSON
Henderson dalam Asmadi (2008) melihat manusia sebagai individu yang
membutuhkan bantuan untuk meraih kesehatan, kebebasan, atau kematian
yang damai, serta bantuan untuk meraih kemandirian. Menurut Henderson,
kebutuhan dasar manusia terdiri atas 14 komponen yang merupakan
komponen penanganan perawatan. Keempat belas kebutuhan tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Bernafas secara normal
2. Makan dan minum dengan cukup
3. Membuang kotoran tubuh
4. Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan.
5. Tidur dan istirahat
6. Memilih pakaian yang sesuai
7. Menjaga suhu tubuh tetap dalam batas normal dengan menyesuaikan
pakaian dan mengubah lingkungan
8. Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat serta melindungi integument
9. Menghindari bahaya lingkungan yang bisa melukai
10. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan emosi,
kebutuhan rasa takut, atau pendapat.
11. Beribadah sesuia keyakinan
12. Bekerja dengan tata cara yang mengandung prestasi
13. Bermain atau terlibat dalam berbagai kegiatan rekreasi
14. Belajar mengetahui atau memuaskan atau rasa penasaran yang menuntun
pada perkembangan normal dan kesehatan serta menggunkan fasilitas
kesehatan yang tersedia.
F. KERANGKA TEORI

Pasien ISPA
Bersihan Teori
Jalan Nafas Henderson
Tanda gejala ISPA:
takikpnea, napas tidak
teratur, retraksi dinding
thoraks, napas cuping Diberikan
hidung, grunting fisioterapi
expiratoir dan wheezing. dada

14 Komponen
salah satunya :
Penatalaksanaan kebersihan jalan
1. Bernafas secara
napas menurut Somantri (2009),
normal
antara lain:
1. Humidifikasi, misalnya
nebulizer
2. Fisioterapi dada (NANDA,
NIC NOC. 2015)
3. Obat bronkodilator
4. Inhalasi mekanik
5. Latihan napas dalam
6. Batuk efektif

Gambar 2.1 Kerangka Teori Pengaruh fisioterapi dada terhadap bersihan


jalan nafas pada anak usia 1 – 5 tahun dengan gangguan infeksi
saluran pernafasan akut di puskesmas cimahi. Somantri (2009),
Rasmaliah (2004) dalam Marni (2014), dan Teori Henderson
(2008).

Daftar Pusataka

_____._____www.depkes.go.id/resources/download/profil/
PROFIL_KES_PROVINSI_2016/12_Jabar_2016.pdf. Diakses
tanggal 12 september 2018 pukul 21.00

Notoatmodjo, Soekidjo (2018), Metodologi Penelitian Kesehatan, Rinekan Cipta,


Jakarta.

Riduwan (2018).

Arisiati Dinar et al. (2014), Pengaruh pemberian fisioterapi dada terhadap


kebersihan jalan napas pada pasien ISPA di desa pucung eromoko
wonogiri, “KOSALA” JIK. Vol. 2 No. 2 September 2014.

Fitriani, Ai (2014) Faktor-faktor Apa Yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA


Pada Balita (1 – 4) di PuskesmasCitereup Kecamatan Cimahi Utara
2014. STIKes Budi Luhur Cimahi.

Rustandi, Andi (2017) Hubungan Masa Kerja dan Pemakaian Alat Pelindung Diri
Dengan Kejdian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada
Karyawan Perusahaan di Klinik Kasih Bunda 2017. STIKes Budi
Luhur Cimahi

Marni, 2014, Asuhan Keperawatan pada Anak Sakit Dengan Gangguan


Pernapasan, Goysen Publishing, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai