Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH FIQH MUAMALAH

“Akad al-Rahn serta Aplikasi al-Rahn pada Pegadaian Syariah”

Dosen Pengampu :
Muhammad, M.A

Disusun Oleh :
Awfa Fatwa P.S (111920003)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DAARUT TAUHIID
2019/2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan


yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan,
kesempatan Atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Adapun isi makalah ini tentang Fiqh Muammalah
Gadai (Rahn).
Saya berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah
pengetahuan rekan-rekan siswa pada khususnya dan para pembaca umumnya
tentang pengalaman dan hikmah saya yang bisa diambil dari apa yang telah
dipaparkan.

Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil saya susun ini bisa
dengan mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya
meminta maaf bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang
berkenan. Serta tak lupa saya juga berharap adanya masukan serta kritikan yang
membangun dari Anda demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Bekasi, Maret 2021

1
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 3


1.1 Latar Belakang................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................. 4
2.1. Pengertian Al-Rahn ....................................................................... 4
2.2. Dasar Hukum Al-Rahn .................................................................. 4
2.3. Rukun Al-Rahn.............................................................................. 6
2.4. Waktu Berpindahnya Harta Al-Rahn ............................................ 6
2.5. Perbedaan Al-Rahn dan Al Qard ................................................... 7
2.6. Syarat-syarat Al-Rahn ................................................................... 7
2.7. Lahirnya Pegadaian Syariah Di Indonesia .................................... 8
2.8. Ketentuan Umum Pegadaian Syariah ............................................ 9
2.9. Pegaadaian Emas ......................................................................... 10
BAB III PENUTUP ................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 12

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Secara umum pengertian gadai adalah kegiatan menjaminkan barang-
barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan
barang yang akan dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara
nasabah dengan lembaga gadai. Ketika seorang membutuhkan dana sebenarnya
dapat diajukan ke berbagai sumber dana, seperti meminjam uang ke bank atau
lembaga keuangan lainnya. Akan tetapi karena prosedurnya yang rumit dan
memakan waktu yang relatif lebih lama. Kemudian persyaratan yang lebih sulit
untuk dipenuhi seperti dokumen yang harus lengkap. Begitu pula dengan jaminan
yang diberikan harus barang-barang tertentu, karena tidak semua barang dapat
dijadikan jaminan di bank, maka jasa gadai menjadi alternatif bagi masyarakat
untuk mendapatkan dana. Tugas dari pegadaian itu sendiri adalah memberikan
pinjaman kepada masyarakat atas dasar hukum gadai agar masyarakat tidak
dirugikan oleh kegiatan lembaga keuangan informal yang cenderung
memanfaatkan kebutuhan dana mendesak dari masyarakat.
Gadai diperbolehkan dalam Islam karena agama Islam merupakanagama
yang lengkap dan sempurna karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah dasar dan
aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah
(hubungan antar makhluk). Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya
untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka.
Keuniversalan Islam, mengajarkan kepada umatnya supaya hidup saling tolong-
menolong yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong
yang tidak mampu. Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan
bisa berupa pinjaman.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Al-Rahn


Definisi ar-rahn secara syara’ adalah menjaminkan utang dengan sesuatu
yang bisa menjadi pembayar utang utang tersebut, atau nilainya bisa membayar
utang tersebut. Artinya, menjadikan sesuatu yang bernilai uang sebagai jaminan
terhadap hutang. Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih, ulama
mazhab maliki mendifinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya dijadikan
jaminan utang yang bersifat mengikat.1

Ar-rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam atas pinjaman
yang diterimanya atau dapat juga kita sebut sebagai gadai. Objek barang yang di
tahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan
memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam
jaminan hutang atau gadai. Pemilik barang gadai disebut rahin dan orang yang
mengutangkan yaitu orang yang mengambil barang tersebut serta menahannya
disebut murtahin.2

2.2. Dasar Hukum Al-Rahn


 Al Qur‟an

Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad ar-rahn dibolehkan dalam islam
berdasarkan al-Qur‟an dan sunnah Rasul. Dalam surat al-Baqarah ayat 283 Allah
berfirman :

1
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta : Yayasan Adikarya IKAPI,2007), Cet. Ke-3, hal
76
2
https://www.kompasiana.com/adikurniasandy8065/5afd1cebdd0fa85d2c51be52/mengenal-
akad-ar-rahn-pengertian-dasar-hukum-rukun-dan-syarat

4
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah
kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya;
dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang tanggungan (borg)
itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.” (QS. Al-Baqarah :
283)

 Hadist

Kemudian dalam sebuah HR. Bukhari, Kitab Ar-Rahn dikatakan bahwa :

“Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi saw membeli makanan secara tidak tunai dari
seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya”. (HR. Bukhari)

 Ijma

5
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan. Kesepakatan
ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan
bantuan saudaranya. Berdasarkan fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No.
25/DSNMUI/III/2002, tanggal 26 Juni 2002 dinyatakan bahwa, pinjaman dengan
menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa rahn disyariatkan pada waktu tidak bepergian
maupun pada waktu bepergian.3

2.3. Rukun Al-Rahn


Rukun rahn ada empat, yaitu pemberi gadai (Raahin) , penerima gadai
(murtahin), barang jaminan (marhuun), dan utang (marhuun bih). Sementara rukun
rahn adalah dua pihak yang berakad, akad rahn, barang jaminan (marhuun), dan
utang (marhun bihi). Menurut Hanafiyah rukun rahn adalan ijab dan kabul dari
raahin dan murtahin.4

2.4. Waktu Berpindahnya Harta Al-Rahn


Harta yang diagunkan disebut al-marhûn (yang diagunkan). Harta agunan itu
harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan
akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah
kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-
pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah
terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima
agunan (al-murtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu,
yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin,
jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-
lain.5

3
Muhammad Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003), Cet.I, hal 52.
4
Maman Surahman, Panji Adam. Jurnal. Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad Rahn Di Lembaga
Pegadaian Syariah. hal 140.
5
Surepno. Jurnal. Studi Implementasi Akad Rahn (Gadai Syariah) Pada Lembaga Keuangan
Syariah. hal 180.

6
2.5. Perbedaan Al-Rahn dan Al Qard
Perbedaan antara al-rahn dan al-qard yaitu pada saat orang melakukan akad
Rahn ia harus mempunyai sesuatu yang dapat digadaikan, sehingga ia mendapatkan
pinjaman dari sesuatu yang ia gadaikan. Dan juga barang yang digadaikan tersebut
sekaligus menjadi jaminan apabila tidak dapat melunasi hutangnya. 6

2.6. Syarat-syarat Al-Rahn


1. Syarat Aqid

Syarat yang harus dipenuhi oleh „aqid dalam gadai yaitu rahin dan murtahin
adalah ahliyah (kecakapan). Kecakapan menurut Hanafiah adalah kecakapan
untuk melakukan jual beli. Sahnya gadai, pelaku disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz.

2. Syarat Shighat

Menurut Hanafiah, shighat gadai tidak boleh digantungkan dengan syarat, dan
tidak disandarkan kepada masa yang akan datang. Hal ini karena akad gadai
menyerupai akad jual beli, dilihat dari aspek pelunasan utang. Apabila akad gadai
digantungkan dengan syarat atau disandarkan kepada masa yang akan datang,
maka akad akan fasid seperti halnya jual beli. Syafi‟iyah berpendapat bahwa
syarat gadai sama dengan syarat jual beli, karena gadai merupakan akad maliyah.7

3. Syarat Marhun

Menurut ahli fiqh adalah harus dapat di jual dan nilainya seimbang dengan
besarnya utang, agunan harus bernilai dan dapat di manfaatkan menurut ketentuan
hukum islam, agunan harus jelas dan dapat di tunjukkan, agunan milik sah debitor,
agunan tidak terkait dengan pihak lain, agunan harus merupakan harta yang utuh

6
Andy Triyawan. Jurnal. Konsep Qard dan Rahn Menurut Fiqhalmadzhabib. hal 65.
7
Muhammad Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003), Cet.I, hal 52.

7
dan agunan dapat diserahterimakan kepada pihak lain, baik materi maupun
manfaatnya.

4. Syarat Marhun Bih (Hutang)

syarat dalam hal ini adalah wajib dikembalikan oleh debitor kepada kreditor, utang
itu dapat di lunasi dengan agunan tersebut, dan utang itu harus jelas dan tertentu
(spesifik).8

2.7. Lahirnya Pegadaian Syariah Di Indonesia


Tanggal 1 April 1901 merupakan waktu didirikanya Pegadaian Negara
pertama di Sukabumi (Jawa Barat), Terbitnya PP10 tanggal 1 April 1990 dapat
dikatakan menjadi tonggak awal kebangkitan Pegadaian, satu hal yang perlu
dicermati bahwa PP10 menegaskan misi yang harus diemban oleh Pegadaian untuk
mencegah praktik riba, misi ini tidak berubah hingga terbitnya PP103/2000 yang
dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum Pegadaian sampai sekarang.
Banyak pihak berpendapat bahwa operasionalisasi Pegadaian pra Fatwa MUI
tanggal 16 Desember 2003 tentang Bunga Bank, telah sesuai dengan konsep syariah
meskipun harus diakui belakangan bahwa terdapat beberapa aspek yang menepis
anggapan itu. Berkat Rahmat Allah SWT dan setelah melalui kajian panjang,
akhirnya disusunlah suatu konsep pendirian unit Layanan Gadai Syariah sebagai
langkah awal pembentukan divisi khusus yang menangani kegiatan usaha syariah.

Pegadaian Syariah pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit


Layanan Gadai Syariah (ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari tahun 2003.
Menyusul kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta,
dan Yogyakarta ditahun yang sama hingga September 2003. Masih di tahun yang
sama pula, 4 Kantor Cabang Pegadaian di Aceh dikonveksi menjadi Pegadaian
Syariah. Konsep operasi pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi

8
Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, cet 1, Yogyakarta: Safira Insani
Press, 2009 hal 109

8
modern yaitu azaz rasionalitas, efisiensi dan efektivitas yang diselaraskan dengan
nilai Islam.9

2.8. Ketentuan Umum Pegadaian Syariah


Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26
Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjam an dengan menggadaikan barang
sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai
berikut: ketentuan umum

a. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan man- hun


(barang) sampai semua utang radhin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
b. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik ráhin. Pada prinsipnya marhun
tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak
mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya
pemeliharaan pera watannya.
c. Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban
rahin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
d. Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman.
e. Penjualan marhun
1) Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan ráhin untuk
segera melunasi utangnya.
2) Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual
paksa/dieksekusi
3) Hasil Penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penjualan

9
Faridatun Sa'adah. Jurnal. Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah Dalam Upaya Menarik
Minat Nasabah Pada Pegadaian Syariah

9
4) Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya
menjadi kewajiban rahin10

2.9. Pegaadaian Emas


Gadai emas atau rahn emas menggunakan emas sebagai barang yang dijadikan
jaminan utang. Gadai Emas Syariah adalah penggadaian atau penyerahan hak
penguasa secara fisik atas harta atau barang berharga berupa emas, dari nasabah
(arraahin) kepada pemberi pinjaman (al-Murtahin) untuk dikelola dengan prinsip
ar-Rahnu yaitu sebagai jaminan (alMarhun) atas peminjaman atau utang (al-
Marhumbih) yang diberikan kepada nasabah atau peminjam tersebut. Pembiayaan
gadai emas syariah adalah produk pembiayaan dimana lembaga keuangan syariah
memberikan fasilitas pinjaman kepada nasabah dengan jaminan berupa emas
dengan mengikuti prinsip gadai syariah, emas tersebut ditempatkan dalam
penguasaan dan pemeliharaan pegadaian syariah dan atas pemeliharaan tersebut
lembaga keuangan syariah mengenakan biaya sewa atas dasar prinsip ijarah. Gadai
Emas Syariah di Indonesia diselenggarakan oleh PT Pegadaian dan Bank Umum
Syariah atau Unit Usaha Syariah.

Tujuan adanya praktik gadai emas syariah atau rahn emas adalah untuk
memberikan pinjaman atau pembiayaan dengan cara yang benar dan halal sehingga
menghindarkan masyarakat dari meminjam dana ke lintah darat, pegadaian gelap
atau pinjaman yang tidak wajar lainnya. 11

10
DSN MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta. PT. Interamasa, 2002
11
Arrum Mahmudahningtyas. Jurnal. Analisis Kesyariahan Transaksi Rahn Emas (Studi Pada
Pegadaian Syariah Cabang Landungsari Malang).2015.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Ar-rahn secara syara’ adalah menjaminkan utang dengan sesuatu yang bisa
menjadi pembayar utang utang tersebut, atau nilainya bisa membayar utang tersebut.
Artinya, menjadikan sesuatu yang bernilai uang sebagai jaminan terhadap hutang.
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih, ulama mazhab maliki
mendifinisikan rahn sebagai harta yang oleh pemiliknya dijadikan jaminan utang
yang bersifat mengikat.

Akad rahn bertujuan agar pemberi pinjaman lebih mempercayai pihak yang
berutang. Pemeliharaan dan penyimpanan barang gadaian pada hakekatnya adalah
kewajiban pihak yang menggadaikan (rahin). Namun dapat juga dilakukan oleh
pihak yang menerima barang gadai (murtahin) dan biayannya harus ditanggung
rahin. Perbedaan rahn syariah dan konvensional yaitu gadai syariah dilakukan
secara suka rela tanpa mecari keuntungan, seadangakn gadai konvensional
dilakukan dengan prinsip tolong- menolong tetapi juga menarik keuntungan. Dan
persamaan rahn dengan gadai yaitu adanya agunan (barang jaminan) sebagai
jaminan utang.

11
DAFTAR PUSTAKA

Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam, (Jakarta : Yayasan Adikarya


IKAPI,2007), Cet. Ke-3

https://www.kompasiana.com/adikurniasandy8065/5afd1cebdd0fa85d2c51be52/m
engenal-akad-ar-rahn-pengertian-dasar-hukum-rukun-dan-syarat

Muhammad Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003),


Cet.I

Maman Surahman, Panji Adam. Jurnal. Penerapan Prinsip Syariah Pada Akad
Rahn Di Lembaga Pegadaian Syariah.

Surepno. Jurnal. Studi Implementasi Akad Rahn (Gadai Syariah) Pada Lembaga
Keuangan Syariah.

Andy Triyawan. Jurnal. Konsep Qard dan Rahn Menurut Fiqhalmadzhabib.

Muhammad Sholekul Hadi, Pegadaian Syariah, (Jakarta: Selemba Diniyah, 2003),


Cet.I

Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari’ah, cet 1, Yogyakarta:


Safira Insani Press, 2009

Faridatun Sa'adah. Jurnal. Strategi Pemasaran Produk Gadai Syariah Dalam


Upaya Menarik Minat Nasabah Pada Pegadaian Syariah

DSN MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Jakarta. PT. Interamasa,
2002

Arrum Mahmudahningtyas. Jurnal. Analisis Kesyariahan Transaksi Rahn Emas


(Studi Pada Pegadaian Syariah Cabang Landungsari Malang).2015.

12

Anda mungkin juga menyukai