1. Stimulus atau situasi yang hadir. Awal terjadinya persepsi diawali ketika seseorang
dihadapkan dengan suatu situasi atau stimulasi. Situasi yang dihadapi itu mungkin
bisa berupa stimulasi penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk
lingkungan sosiokultur dan fisik yang menyeluruh.
2. Registrasi. Proses selanjutnya adalah registrasi. Dalam masa ini suatu gejala yang
nampak ialah mekanismen fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang
mempengaruhi persepsi.
3. Interprestasi. Proses ini merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang amat
penting. Proses interpretasi ini tergantung pada cara pendalaman (learning), motivasi,
dan kepribadian seseorang. Pendalaman, motivasi dan kepribadian seseorang akan
berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, interpretasi terhadap suatu informasi yang
sama, akan berbeda antara satu orang dengan orang lain.
4. Umpan balik (feedback). Proses ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang.
Sebagai contoh, seseorang karyawan yang melaporkan hasil kerjanya kepada
atasannya, kemudian mendapat umpan balik dengan melihat raut muka atasannya.
Menurut Twentinio (2013), seseorang dapat memiliki persepsi yang berbeda atas objek yang
sama karena tiga proses persepsi, yaitu sebagai berikut:
1. Perhatian Selektif. Orang mengalami sangat bayak rangsangan setiap hari,
kebanyakan orang dapat dibanjiri oleh lebih dari 1.500 iklan per hari.
2. Distorsi Selektif. Kecenderungan menafsirkan informasi sehingga sesuai dengan
prakonsepsi kita. Konsumen akan sering memelintir informasi sehingga menjadi
konsisten dengan keyakinan awal mereka atas merek dan produk (pandangan
mengenai produk).
3. Ingatan Selektif. Orang akan melupakan banyak hal yang mereka pelajari, tapi
karena adanya ingatan selektif, orang akan cenderung mengingat hal-hal baik yang
disebutkan tentang produk pesaing.
Menurut Robbins dan Judge (2009: 127-128) menyatakan kepribadian dihasilkan oleh faktor
keturunan dan lingkungan. Keturunan menunjukkan pada faktor genetik seorang individu,
tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan reflex, tingkat energi, dan
irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, apakah sepenuhnya atau
secara substansial dipengaruhi oleh siapa orang tua anda, yaitu komposisi biologis psikologis
dan psikologis bawaan mereka. Pendekatan keturunan berpendapat bahwa penjelasan pokok
mengenai kepribadian seseorang adalah struktur molekul dari gen yang terdapat dalam
kromosom. Terdapat tiga dasar penelitian berbeda yang memberikan sejumlah krebidilitas
terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan
kepribadian seseorang. Dasar pertama berpokus pada penyokom genetic dari prilaku dan
temperamen anak-anak. Dasar kedua berpokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak
lahir. Dasar ketiga meneliti konsintensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam
berbagai situasi. Faktor lain yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap pembentukan
karakter kita adalah lingkungan dimana kita tumbuh dibesarkan, norma, keluarga, teman-
teman, kelompok sosial, dan pengaruh-pengaruh lain yang kita alami. Faktor-faktor
lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian kita. Sebagai contoh, budaya
membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu geerasi kegenerasi berikutnya
dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu. Ideologi yang secara intens berakar
disuatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pegaruh pada kultur yang lain, misalnya,
orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi,
kebebasan, dan etika kerja protestan tertanam dalam diri mereka melalui buku, system
sekolah, keluarga, teman. Ada cara lain dimana lingkungan relevan untuk membentuk
kepribadian. Kepribadian seseorang, meskipun pada umumnya stabil dan konsistensi, dapat
berubah bergantung pada situasi yang diahadapinya. Meskipun kita belum mampu
mengembangkan pola klasifikasi yang akurat untuk situasi-situasi ini, kita tahu bahwa ada
bebrapa situasi, mislnya, tempat ibadah atau cara pekerjaan membatasi banyak perilaku,
sementara situasi lainnya. Misalnya, piknik ditaman umum membatasi relatif lebih sedikit
perilaku dengan perkataan lain, tuntutan yang berbeda dari situasi yang berbeda
memunculkan aspek yang berbeda dari kepribdian seseorang. Oleh karena itu, kita tidak
boleh melihat pola-pola kepribadian secara terpisah.
Di samping memberikan suatu kerangka kepribadian yang terpadu, penelitian tentang lima
besar juga menemukan hubungan yang penting antara dimensi kepribadian ini dengan
prestasi kerja. Lima kategori pekerjaan yang diamati: para profesional (termasuk insinyur,
arsitek, akuntan, pengacara), polisi, manajer, wiraniaga, serta karyawan yang setengah
terampil dan terampil. Prestasi kerja dinilai berdasarkan pemberian rating kinerja, kecakapan
pelatihan (kinerja selama program pelatihan), dan data personal, seperti tingkat gaji. Hasilnya
menunjukan bahwa dimeni kehati-hatian adalah yang mampu memprediksi prestasi kerja
untuk kelima kelompok pekerjaan. Untuk dimensi kepribadian lainnya, kemungkinan dapat
diprediksi tergantung pada kriteria kinerja serta kelompok pekerjaan. Contohnya, dimensi
keekstrovertan mampu memprediksi kinerja pada posisi manajerial dan penjualan. Hasil ini
masuk akal karena pekerjaan-pekerjaan ini meliputi interaksi sosial yang tinggi. Sama halnya,
keterbukaan terhadap pengalaman adalah penting dalam memprediksi kecakapan pelatihan;
yang juga, kelihatan logis. Apa yang terlihat tidak begitu jelas adalah mengapa kestabilan
emosional tidak berkaitan dengan prestasi kerja. Secara intuitif, tampak bahwa orang yang
tenang dan kokoh akan lebih baik dalam melakukan hampir semua pekerjaan dari pada orang
yang cemas dan tidak aman. Para peneliti memberi kesan bahwa jawabannya mungkin hanya
orang-orang yang skornya cukup tinggi pada kestabilan emosional yang mempertahankan
pekerjaannya. Jika hal itu benar, maka rentang diantara orang-orang yang diteliti, semua dari
yang bekerja, akan cenderung menjadi kecil skor kestabilan emosionalnya. Lima atribut
kepribadian tambahan telah diindentifikasikan mempunyai kaitan yang lebih langsung dalam
menjelaskan dan meramalkan perilaku dalam organisasi. Kelima atribut tersebut adalah
tempat kendali, otoritarisme, machiavellianisme, pemantauan diri, dan kecenderungan resiko.
Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir mereka sendiri. Sebagian
lainnya melihat diri mereka sebagai korban dari takdir mereka; percaya bahwa apa yang
terjadi pada diri mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan. Tempat kendali
(locus of control) pada kasus yang pertama adalah internal; orang-orang ini percaya bahwa
mereka sendiri yang mengendalikan tujuan mereka. Orang-orang yang melihat hidup mereka
dikendalikan dari luar adalah eksternal. Fakta memperlihatkan bahwa karyawan yang diberi
rating tinggi dalam eksternalitas kurang puas dengan pekerjaannya, lebih terasing dari
susunan kerja, dan kurang terlibat dalam pekerjaan mereka daripada mereka yang internal.
Seorang manajer mungkin akan mendapatkan orang eksternal menyalahkan hasil evaluasi
kinerja mereka yang buruk sebagai akibat dari prasangka buruk bos mereka, rekan kerja
mereka, atau kejadian-kejadian lain diluar kendali mereka. Orang internal akan menjelaskan
evaluasi kinerja yang buruk sebagai akibat dari tindakan mereka sendiri. Otoritarisme
(authoritarianism) adalah kepercayaan bahwa harus ada perbedaan status dan kekuasaan
diantara para individu dalam organisasi. Kepribadian otoritarian yang sangat ekstrem
biasanya kaku secara intelektual, selalu menilai orang lain, mempertuan atasan dan eksploitif
terhadap bawahan, pencuriga, dan menentang perubahan. Tentu saja, hanya sedikit orang
yang ekstrem otoritarian, jadi dalam menyimpulkan harus hati-hati. Meskipun demikian,
kelihatannya masuk akal untuk menerima dalil bahwa memiliki kepribadian otoritarian yang
tinggi akan berpengaruh negatif terhadap kinerja, jika pekerjaannya menuntut kepekaan
terhadap perasaan orang lain, kebijaksanaan, dan kemampuan beradaptasi terhadap situasi-
situasi yang kompleks dan selalu berubah. Sebaliknya, pada pekerjaan yang sangat terstruktur
di mana kesuksesan tergantung pada kepatuhan terhadap peraturan dan undang-undang,
karyawan yang sangat otoritarian tentu akan memiliki kinerja yang sangat baik. Yang sangat
terkait dengan otoritarianisme adalah Machiavellianisme (Mach), dinamai seperti Niccolo
Machiavelli, yang menulis pada abad keenam belas tentang bagaimana memperoleh dan
menggunakan kekuasaan. Seorang individu yang memperlihatkan kecenderungan
Machiavellian yang kuat adalah pragmatis, menjaga jarak emosi, dan percaya bahwa
mencapai tujuan dapat menghalalkan segala cara. “Jika berfungsi, gunakanlah” adalah
konsisten dengan sudut pandang seseorang yang sangat Mach. Apakah orang yang sangat
Mach dapat menjadi karyawan yang baik? Jawabannya tergantung pada jenis pekerjaan dan
apakah anda mempertimbangkan implikasi etis dalam mengevaluasi kinerja. Dalam pekerjaan
yang membutuhkan ketrampilan tawar menawar (seperti negosiator buruh) atau dimana
terdapat imbalan yang besar sekali untuk kemenangan (seperti dalam penjualan dengan
komisi), orang yang sangat Mach akan sangat produktif. Tetapi jika mencapai tujuan tidak
dapat menghalalkan segala cara atau tidak terdapat standar kinerja yang absolut, kemampuan
kita untuk meramalkan kinerja seseorang yang sangat Mach akan terbatas sama sekali.
Apakah anda pernah milihat bahwa sebagian orang lebih baik dari yang lain dalam
menyesuaikan perilaku mereka terhadap situasi yang berubah? Hal ini terjadi karena mereka
memiliki skor yang tinggi dalam pemantauan diri (self monitoring). Orang-orang yang pandai
memantau diri biasanya peka terhadap isyarat-isyarat eksternal dan bisa berperilaku berbeda
dalam situasi-situasi yang berbeda. Mereka adalah bunglon yang dapat berubah untuk
menyesuaikan dengan situasi dengan menyembunyikan diri mereka yang sesungguhnya.
Sebaliknya, orang-orang dengan pemantauan diri yang rendah tidak akan berubah. Mereka
memperlihatkan watak dan sikap mereka yang sesungguhnya dalam setiap situasi. Bukti
menunjukan bahwa orang yang pandai memantau diri cenderung sangat memperhatikan
perilaku orang lain dan lebih mampu menyesuaikan diri dari pada orang-orang dengan
pemantauan diri yang rendah. Orang yang pandai memantau diri juga cenderung lebih baik
dalam memainkan politik organisasi karena mereka peka terhadap isyarat-isyarat dan dapat
mengunakan “wajah” yang berbeda untuk rekan yang berbeda. Setiap orang memiliki
kesediaan yang berbeda dalam menggunakan kesempatan. Individu dengan kecenderungan
resiko (risk propensity) yang tinggi lebih cepat membuat keputusan dan menggunakan lebih
sedikit informasi dalam membuat pilihan-pilihan mereka, dari pada individu dengan
kecenderungan risiko yang rendah. Para manajer mungkin mengunakan informasi ini untuk
memadukan karyawan pengambil resiko dengan tuntutan pekerjaan yang spesifik.
Contohnya, seorang pengambil resiko dapat menghasilkan kinerja yang lebih efektif bila
menjadi seorang pialang saham dalam perusahaan sekuritas. Jenis pekerjaan ini menuntut
pengambilan keputusan yang cepat. Sebaliknya, karakteristik kepribadian ini bisa menjadi
suatu halangan utama bagi seorang akuntan yang melakukan kegiatan-kegiatan pengauditan.
Pekerjaan yang terahkir ini mungkin lebih baik diisi oleh seorang pengambil resiko yang
rendah.