Anda di halaman 1dari 14

-Tugas Perilaku Organisasi

Karakteristik, Presepsi, dan Kepribadian


Pertemuan Ke-2

Muhammad Nur Hidayat


SMX-1
2010212112
2.1. Karakteristik Biografi
Perilaku organisasi sebagaimana telah diberikan pengertiannya di muka, pada dasarnya
dibentuk oleh perilaku individual para anggota organisasi yang meliputi karakteristik
biografis, kemampuan individu, kepribadian, serta pembelajaran. Salah satu faktor yang
paling mudah untuk dianalisis atau dinilai seseorang adalah karakteristik biografisnya. Data
pribadi seperti usia, jenis kelamin, status perkawinan, maupun masa kerja yangdimiliki
seseorang sangat umum dipakai dan mudah diperoleh untuk kemudian dihubungkannya
dengan tingkat produktivitas kerjanya. Faktor usia dihubungkan dengan kinerja (job
performance) menjadi issu yang semakin penting. Robbins dalam Ratmawati dan Herachwati
(2007), memberikan beberapa alasan mengapa hubungan ini penting, yaitu pertama, sudah
menjadi kepercayaan yang umum bahwa penurunan produktivitas kerja seseorang terjadi
seiring dengan usianya yang semakin bertambah. Benar atau tidaknya kepercayaan ini perlu
investigasi lebih lanjut. Kedua, adanya realitas bahwa angkatan kerja semakin tua/menua
(workforce is aging). Ketiga, adanya peraturan perundangan (di Amerika dengan US
(legislation) yang menyatakan bahwa pensiun yang bersifat perintah dianggap sebagai
melanggar hukum. Oleh karena itu, para pekerja disana tidak lagi pensiun pada usia 70 tahun.
Di Indonesia sendiri saat ini yang mempunyai peraturan untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS)
harus pensiun pada usia 56 tahun dan PNS tenaga edukatif gologan IV pensiun pada usia 65
tahun, masih perlu dievaluasi lebih lanjut mengingat pada usia-usia tersebut orang yang sehat
masih mampu bekerja dengan baik. Tentu saja hal ini juga membutuhkan
investigasi/penelitian lebih lanjut. Dalam hal ini yang perlu menjadi fokus perhatian adalah
dampak apakah yang ditimbulkan oleh faktor usia pada produktivitas kerja, loyalitas, tingkat
absensi, penggantian karyawan (replacement), atau kepuasan kerja. Selain faktor usia, faktor
yang sering dianalisis adalah jenis kelamin (gender). Faktor ini banyak menjadi perdebatan
sehubungan dengan pertanyaan tentang apakah ada kesamaan kinerja antara karyawan wanita
dan karyawan pria. Untuk masalah ini seharusnya dilihat bukti-bukti berdasarkan penelitian
yang dilakukan para peneliti terdahulu. Robbins (2000) memberikan gambaran tentang
adanya penelitian yang ditinjau ulang, dimana hasilnya menyatakan adanya perbedaan yang
sangat tipis/sedikit antara kinerja wanita dibandingkan dengan pria. Berdasarkan studi secara
psikologis dijumpai bahwa wanita lebih mematuhi otoritas, sementara pria lebih agresif dan
lebih besar kemungkinan memiliki ekspektasj. Pada dasarnya wanita maupun pria yang
konsisten sama-sama memiliki kemampuan dalam hal memecahkan masalah, keterampilan
analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosialilitas, ataupun kemampuan belajar. Selain hal
tersebut perlu pula pembuktian apakah ada perbedaan yang signifikan pada tingkat absensi
maupun”turn over” antara karyawan wanita dan pria. Kalaupun ada penelitian yang
membuktikan adanya perbedaan tersebut, maka tentunya tidak dapat dijadikan generalisasi
bahwa perbedaan tersebut juga berlaku ditempat kerja lain serta di negara-negara lain pula.
Selanjutnya bagaimana dengan faktor status perkawinan? Apakah faktor ini secara individu
juga mempengaruhi efektivitas kerja seseorang? Untuk hal ini Robbins (2000) menyatakan
tidak cukup studi guna menarik kesimpulannya. Meski demikian dijelaskan adanya riset yang
menemukan hasil bahwa karyawan yang menikah lebih sedikit tingkat absensinya
dibandingkan dengan karyawan yang belum/tidak menikah. Secara logis, seseorang yang
telah menikah akan lebih mempunyai tanggung jawab sehingga mereka akan lebih mantap
dan teratur dalam pekerjaannya. Namun demikian informasi lebih lanjut tentang sebab-akibat
yang berhubungan dengan masalah ini sangat diperlukan. Faktor terakhir yang menyangkut
masalah produktivitas adalah faktor masa kerja. Riset/studi terdahulu menyatakan bahwa
senioritas, yang diperoleh seseorang dari pengalaman kerjanya, sangat berhubungan erat
dengan tingkat produktivitas. Orang-orang yang mempunyai pengalaman/ masa kerja lebih
lama akan lebih produktif dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang yunior. Bukti juga
menunjukkan bahwa senioritas berkaitan secara negatif dengan ketidakhadiran. Masa kerja
juga disebutkan sebagai variabel yang andal dalam menjelaskan “turn over” karyawan.
2.2. Kemampuan Individu
Pengertian kemampuan menurut George & Jones dalam Ratmawati dan Herachwati (2007)
adalah kapasitas mental maupun fisik untuk mengerjakan sesuatu. Konsep kemampuan, yang
meliputi kemampuan kognitif dan fisikal, perlu dipelajari dan sangat penting implikasinya
untuk memahami dan mengelola perilaku orang-orang dalam organisasi. Faktor nature (dari
keturunan orang tua) dan nurture (dari pendidikan dan pengalaman) merupakan determinan
dari kemampuan kognitif maupun fisikal. Bagi para manajer, pengetahuan tentang
kemampuan seseorang dapat diperoleh pada saat melakukan seleksi, penempatan, maupun
pelatihan. Robbins dalam Ratmawati dan Herachwati (2007), mengartikan kemampuan
sebagai kapasitas yang dimiliki individu untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaannya.
Kemampuan dalam hal ini dibedakan menjadi kemampuan intelektual dan fisikal.
Kemampuan intelektual diartikan sebagai kemampuan yang dibutuhkan guna mengerjakan
aktivitas-aktivitas mental. Lebih lanjut Robbins menyatakan bahwa ada tujuh dimensi yang
sering digunakan untuk menyusun kecakapan intelektual yaitu:
(1) number aptitude,
(2) verbal comprehensien,
(3) perceptual speed,
(4) inductive reasoning,
(5) deductive reasoning,
(6) spatial visualization, dan
(7) memory.
Sedangkan kemampuan fisik disebutkan sebagai kemampuan yang dibutuhkan guna
melakukan tugas-tugas yang memerlukan stamina, kecekatan, kekuatan, serta keterampilan
yang similar. Disamping itu Robbins menyajikan tentang “basic physical abilities” yang
terdiri atas tiga faktor yang masing-masing dirinci sebagai berikut :
1. Strength factor yang meliputi dynamic, strength, trunk strength, static strength,
explosive strength.
2. Flexibility factor yang meliputi extent flexibility dan dynamic flexibility.
3. Other factors yang meliputi body coordination, balance, dan stamina.
2.3. Pengertian dan Proses Presepsi
Persepsi adalah suatu proses kognitif yang dialami oleh setiap individu dalam pemilihan,
pengorganisasian, penginterprestasian dan penafsiran masukan-masukan informasi dan
sensasi yang diterima melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan, perasaan dan
penghayatan sehingga menghasilkan suatu gambaran yang bermakna tentang dunia.
Persepsi merupakan kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian
dianalisa (diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut
memperoleh makna. Persepsi sesungguhnya memerlukan proses belajar dan pengalaman.
Persepsi dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan sekitar. Persepsi seseorang timbul
sejak kecil melalui interaksi dengan manusia lain. Berikut definisi dan pengertian persepsi
dari beberapa sumber buku :
 Menurut Kotler (2009), persepsi adalah proses seorang individu memilih,
mengorganisasikan dan menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan
suatu gambaran yang bermakna tentang dunia.
 Menurut Sugihartono (2007), persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan
stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera
manusia. 
 Menurut Asrori (2009), persepsi adalah proses individu dalam menginterprestasikan,
mengorganisasikan dan memberi makna terhadap stimulus yang berasal dari
lingkungan di mana individu itu berada yang merupakan hasil dari proses belajar dan
pengalaman. 
 Menurut Thoha (1999), persepsi adalah proses kognitif yang dialami oleh setiap orang
dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya baik melalui penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. 
 Menurut Fadila dan Lestari (2013), persepsi adalah segala proses pemilihan,
pengorganisasian dan penginterprestasian masukan informasi, sensasi yang diterima
melalui penglihatan, perasaan, pendengaran, penciuman dan sentuhan untuk
menghasilkan makna.

Proses Terjadinya Persepi


Menurut Walgito (1989), terbentuknya persepsi melalui suatu alur proses, yaitu sebagai
berikut: berawal dari objek yang menimbulkan rangsangan dan rangsangan tersebut mengenai
alat indra atau reseptor. Proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Kemudian rangsangan
yang diterima oleh alat indra dilanjutkan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini dinamakan
proses fisiologis. Selanjutnya terjadilah suatu proses di otak, sehingga individu dapat
menyadari apa yang ia terima dengan reseptor itu, sebagai suatu rangsangan yang
diterimanya. Proses yang terjadi dalam otak/pusat kesadaran itulah dinamakan dengan proses
psikologis. Pada taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang apa yang
diterima melalui alat indra (reseptor). Terdapat beberapa proses dalam persepsi yang dapat
digunakan sebagai bukti bahwa sifat persepsi itu merupakan hal yang komplek dan interaktif.
Adapun proses-proses terjadinya persepsi adalah sebagai berikut:

1. Stimulus atau situasi yang hadir. Awal terjadinya persepsi diawali ketika seseorang
dihadapkan dengan suatu situasi atau stimulasi. Situasi yang dihadapi itu mungkin
bisa berupa stimulasi penginderaan dekat dan langsung atau berupa bentuk
lingkungan sosiokultur dan fisik yang menyeluruh.
2. Registrasi. Proses selanjutnya adalah registrasi. Dalam masa ini suatu gejala yang
nampak ialah mekanismen fisik yang berupa penginderaan dan syaraf seseorang
mempengaruhi persepsi. 
3. Interprestasi. Proses ini merupakan suatu aspek kognitif dari persepsi yang amat
penting. Proses interpretasi ini tergantung pada cara pendalaman (learning), motivasi,
dan kepribadian seseorang. Pendalaman, motivasi dan kepribadian seseorang akan
berbeda dengan orang lain. Oleh karena itu, interpretasi terhadap suatu informasi yang
sama, akan berbeda antara satu orang dengan orang lain.
4. Umpan balik (feedback). Proses ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang.
Sebagai contoh, seseorang karyawan yang melaporkan hasil kerjanya kepada
atasannya, kemudian mendapat umpan balik dengan melihat raut muka atasannya.

Menurut Twentinio (2013), seseorang dapat memiliki persepsi yang berbeda atas objek yang
sama karena tiga proses persepsi, yaitu sebagai berikut:
1. Perhatian Selektif. Orang mengalami sangat bayak rangsangan setiap hari,
kebanyakan orang dapat dibanjiri oleh lebih dari 1.500 iklan per hari. 
2. Distorsi Selektif. Kecenderungan menafsirkan informasi sehingga sesuai dengan
prakonsepsi kita. Konsumen akan sering memelintir informasi sehingga menjadi
konsisten dengan keyakinan awal mereka atas merek dan produk (pandangan
mengenai produk).
3. Ingatan Selektif. Orang akan melupakan banyak hal yang mereka pelajari, tapi
karena adanya ingatan selektif, orang akan cenderung mengingat hal-hal baik yang
disebutkan tentang produk pesaing.

2.4. Persepsi dan Perilaku

Persepsi adalah suatu proses dimana individu mengorganisasikan dan menginterprestasikan


kesan sensori mereka untuk memberi arti pada lingkungan mereka. Riset tentang persepsi
secara konsisten menunjukan bahwa individu yang berbeda dapat melihat hal yang sama
tetapi memahaminya secara berbeda. Kenyataannya adalah bahwa tak seorang pun dari kita
melihat realitas. Yang kita lakukan adalah menginterpretasikan apa yang kita lihat dan
menyebutnya sebagai realitas.

1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi


Bagaimana kita menjelaskan sesuatu kenyataan bahwa individu memiliki
pemahaman yang berbeda pada hal yang sama? Sejumlah faktor bekerja untuk
membentuk persepsi dan kadangkala membiaskan persepsi. Faktor-faktor tersebut
dapat terletak pada orang yang mempersepsikannya, objek atau yang
dipersepsikan, atau konteks dimana persepsi itu dibuat. Ketika seorang individu
melihat suatu sasaran dan berusaha menginterpretasikan apa yang ia lihat,
interpretasi itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu yang
melihat. Karakteristik yang mempengaruhi persepsi meliputi sikap, kepribadian,
motif, kepentingan, pengalaman masa lalu, dan harapan. Karakteristik sasaran
yang diobservasi dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan. Orang yang ceria
lebih menonjol dalam suatu kelompok dari pada orang yang pendiam. Begitu pula
pada yang secara ekstrem menarik atau tidak menarik. Karena sasaran tidak
dipahami secara terisolasi, latar belakang sasaran dapat mempengaruhi persepsi,
seperti kecenderungan kita untuk mengelompokkan hal-hal yang berdekatan dan
hal-hal yang mirip dalam suatu tempat. Konteks dimana kita melihat suatu objek
atau peristiwa dapat mempengaruhi pemahaman, seperti juga lokasi, cahaya,
panas, atau sejumlah faktor-faktor situasional lainnya.
2. Teori Atribusi
Banyak penelitian tentang persepsi yang dilakukan pada benda mati. Tetapi
perilaku organisasi mencurahkan perhatiannya pada manusia, sehingga
pembahasan persepsi harus difokuskan pada persepsi manusia, kita terhadap
orang berbeda dengan persepsi kita tehadap benda mati seperti meja, mesin atau
bangunan, karena kita perlu menyimpulkan tindakan seseorang. Hal tersebut
tidak kita lakukan pada benda mati. Benda mati tunduk pada hukum alam, tetapi
tidak memiliki kepercayaan, motif, atau keinginan. Individu memilikinya.
Akibatnya adalah ketika kita mengobservasi individu, kita berusaha untuk
mengembangkan penjelasan-penjelasan tentang mengapa mereka melakukan
sesuatu dengan cara-cara tertentu. Persepsi dan pendapat kita tentang tindakan
seseorang, oleh karenanya, akan dipengaruhi secara signifikan oleh asumsi-
asumsi yang kita buat tentang keadaan internal orang tersebut. Teori atribusi
diajukan untuk mengembangkan penjelasan bahwa perbedaan penilaian kita
terhadap individu tergantung pada atribusi yang kita berikan pada perilaku
tertentu. Pada dasarnya, teori tersebut menunjukan bahwa ketika kita
mengobservasi perilaku seseorang, kita berusaha untuk menentukan apakah
penilaian ini disebabkan oleh faktor internal atau eksternal. Penentuan tersebut
tergantung pada tiga faktor: (1) kekhasan tertentu, (2) kesepakatan bersama, dan
(3) konsistensi. Pertama mari kita perjelas perbedaan antara penyebab internal
dan eksternal, kemudian kita uraikan masing-masing faktor penentu tersebut.
Perilaku yang disebabkan oleh faktor internal adalah perilaku yang kita percaya
berada dibawah kendali perilaku individu. Perilaku yang disebabkan oleh faktor
eksternal dihasilkan oleh penyebab dari luar; yaitu perilaku seseorang dilihat
sebagai akibat dari tekanan situasi. Jika salah satu karyawan anda terlambat
datang ketempat kerja, anda mungkin akan menghubungkan keterlambatannya
dengan pestanya yang hingga larut malam, dan ia bangun kesiangan. Hal ini
merupakan interpretasi internal. Tetapi jika anda menghubungkan
keterlambatannya dengan kecelakaan mobil yang membuat kemacetan jalan yang
bisa ia lewati, maka anda sedang membuat suatu atribusi eksternal. Sebagai
pengamat, kita memiliki kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa perilaku
orang lain dikendalikan secara internal. Sementara kita cenderung membesar-
besarkan penyebab, dimana perilaku kita sendiri ditentukan secara eksternal.
Tetapi hal ini tidak merupakan suatu generalisasi. Masih banyak sekali distorsi
dalam artribusi, yang tergantung pada konsistensi dari tindakan-tindakan tersebut.
Kekhasan mengacu pada apakah seseorang individu memperlihatkan perilaku
yang berbeda dalam situasi berbeda. Apakah karyawan yang datang terlambat
pada hari ini juga merupakan sumber keluhan bagi rekan kerjanya karena menjadi
“penyia-nyia waktu”? Sebenarnya yang ingin kita ketahui adalah apakah perilaku
terlambat tersebut merupakan suatu kebiasaan. Jika tidak, pengamat akan menilai
perilaku tersebut sebagai atribusi eksternal. Namun, jika tindakan ini merupakan
kebiasaan, pengamat akan menilai sebagai atribusi internal. Bila setiap orang
yang dihadapkan pada situasi yang sama merespons dengan cara yang sama, kita
dapat mengatakan bahwa perilaku tersebut memperlihatkan suatu kesepakatan
bersama. Perilaku karyawan yang terlambat itu akan memenuhi kriteria ini jika
semua karyawan yang mengambil rute yang sama ketempat kerja juga datang
terlambat. Dari sudut pandang atribusi, jika kesepakatan bersama tersebut tinggi
anda diharapkan untuk memberikan atribusi eksternal pada keterlambatan
karyawan tersebut. Namun, jika karyawan lain yang mengambil rute yang sama
bisa datang ketempat kerja dengan tepat waktu, kesimpulan anda bagi penyebab
keterlambatan itu menjadi internal. Akhirnya, seorang pengamat mencari
konsistensi dalam tindakan-tindakan seseorang. Apakah orang tersebut memberi
respon yang sama sepanjang waktu? Datang terlambat sepuluh menit ke tempat
kerja tidak dipahami sebagai suatu kebiasaan jika karyawan tersebut mewakili
suatu kasus yang tidak biasa (dia tidak terlambat selama beberapa bulan),
sementara untuk karyawan lain hal ini merupakan rutinitas (dia bisa terlambat
dua atau tiga kali dalam seminggu). Semakin biasa perilaku
dilakukan, pengamat cenderung menghubungkan perilaku ini dengan penyebab
internal. Setiap perilaku yang sama tidak dipahami dengan cara yang sama. Kita
melihat suatu tindakan dan menilainya dalam konteks situasinya. Jika anda
mempunyai reputasi yang bagus sebagai mahasiswa
namun gagal dalam satu tes mata pelajaran, dosen kemungkinan tidak akan
memperdulikan ujian yang buruk itu. Mengapa? Dia akan menghubungkan
penyebab hasil yang tidak biasa ini dengan kondisi eksternal. Ini mungkin bukan
salah anda! Sama halnya, jika setiap orang dalam kelas gagal dalam ujian, dosen
mungkin akan menghubungkan hasil tersebut dengan penyebab eksternal diluar
kendali mahasiswa. Sebaliknya pengajar tidak mungkin mengabaikan skor tes
yang rendah dari mahasiswa yang memiliki catatan yang konsisten sebagai
pemilik kinerja yang buruk. Persepsi adalah suatau proses memperhatikan dan
menyeleksi, mengorganisasikan dan menafsir stimulus lingkungan. Proses
memperhatikan dan menyeleksi terjadi karena setiap saat panca indra kita
dihadapkan pada begitu banyak stimulus lingkungan. Akan tetapi tidak semua
stimulus tersebut kita perhatikan, karena kalau semuannya dipersepsikan akan
menyebabkan kita bingung dan kewalahan. Oleh karenanya, kemudian ada proses
pemilihan (perceptual selection) untuk mencegah kibingungan tersebut dan
menjadikan lingkungan kita labih berarti. Ada sejumlah faktor yang
mempengaruhi proses perhatian terhadap stimulus lingkungan. Faktor-faktor
tersebut adalah sebagai berikut:
 Ukuran. Semakin besar ukuran suatu objek fisik, semakin besar
kemungkinannya obyek tersebut dipersepsikan
 Intensitas. Semakin besar intensitas suatu stimulus, semakin besar
kemungkinannya diperhatikan. Suara yang keras misalnya, akan lebih
diperhatikan daripada suara yang lembut.
 Frekuensi. Semakin sering frekuensi suatu stimulus disampaikan,
semakin besar kemungkinnannya stimulus tersebut diperhatikan. Prinsip
pengulangan ini dipergunakan dalam periklanan untuk menarik pihak
konsumen.
 Kontras. Stimulus yang kontras atau mencolok dengan lingkungan
sekelilingnya kemungkinan dipilih untuk diperhatikan akan semakin besar
daripada stimulus yang sama dengan lingkungannya.
 Gerakan. Stimulus yang bergerak lebih diperhatikan daripada stimulus
yang tetap atau tidak bergerak.
 Perubahan. Suatu stimulus akan lebih diperhatikan jika stimulus atau
objek tersebut dalam bentuk yang berubah-ubah. Lampu yang nyalanya
klap-klip akan lebih diperhatikan dari pada lampu biasa.
 Baru. Suatu stimulus yang baru dan unik akan lebih cepat mendapatkan
perhatian dari pada stimulus yang sudah biasa dilihat.

2.5. Pengertian dan Teori Kepribadian


Beberapa orang bersifat pendiam dan pasif; sementara yang lainnya bersifat ceria dan
agresif. Ketika kita menggambarkan orang dari segi karakteristiknya, bisa pendiam, pasif,
ceria, agresif, ambisius, setia atau suka bergaul, kita sedang mengkategorikan mereka dari
segi sifat-sifat kepribadian. Karenanya, kepribadian (personality) individu seseorang
merupakan kombinasi sifat-sifat psikologis yang kita gunakan untuk mengklasifikasikan
orang tersebut. Para ahli psikologi telah mempelajari sifat-sifat kepribadian secara
mendalam, dan mengidentifikasi enam belas sifat kepribadian utama. Setiap sifat
merupakan bipolar; artinya masing-masing memiliki dua titik ekstrem (Misalnya,
penyendiri lawannya peramah). Keenam belas sifat yang ditemui secara umum tersebut
adalah sumber perilaku yang tetap dan konstan, yang memungkinkan peramalan perilaku
individu dalam situasi-situasi spesifik dengan mengukur karakteristik yang berkaitan
dengan situasi mereka. Sayangnya, relevansi sifat-sifat ini dalam memahami perilaku
organisasi masih kabur. Dalam praktiknya, fenomena kepribadian menunjukan banyak
teori, dimana ada empat teori kepribadian utama yang perlu Grameds ketahui kaitannya
dalam perkembangan ilmu psikologi. Empat teori kepribadian tersebut dianggap banyak
dipakai dalam landasan teori berbagai studi tentang perilaku kepribadian dan konsumen.
Berikut ini empat teori kepribadian yang utama dalam ilmu psikologi:
A. Teori Kepribadian Freud
Teori kepribadian ini dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam suatu teori
psikoanalisis kepribadian atau Psychoanalytic Theory of Personality  yang
kemudian dianggap sebagai landasan dari psikologi modern. Teori kepribadian
Freud menyatakan bahwa kebutuhan yang tidak disadari atau unconscious
needs dan dorongan dari dalam diri manusia atau drive dalam bentuk dorongan
seks dan kebutuhan biologis lainnya. Kebutuhan tersebut adalah inti dari motivasi
dan kepribadian seseorang yang menurut Freud terdiri dari tiga unsur, yakni Id,
Superego, dan ego. Berikut ini unsur-unsur dalam teori kepribadian Freud: 
b. Unsur Id
Unsur Id adalah salah satu aspek biologis dalam diri individu yang
sudah ada sejak lahir dan bisa mendorong kemunculan bentuk
kebutuhan fisiologis, seperti rasa lapar, seksualitas, haus, kedinginan,
dan sebagainya. Unsur Id dalam kepribadian menggambarkan bentuk
naluri manusia secara biologis memang  membutuhkan makan, seks,
minum. Manusia tersebut secara alami akan berusaha untuk memenuhi
kebutuhan itu untuk menghindari tensi dan mencari kepuasan secepat
dan sesegera mungkin. Itulah sebabnya unsur Id dianggap akan
melakukan prinsip kepuasan atau Pleasure atau immediate
satisfaction dalam diri seseorang. Unsur id ini kemudian menjadi dasar
dan akan mempengaruhi unsur lainnya untuk membentuk kepribadian
yang lebih khusus lagi pada individu.
c. Superego
Unsur superego adalah salah satu aspek psikologis pada diri individu
yang menunjukan sifat manusia untuk taat dan patuh pada norma-
norma etika, sosial, nilai- nilai masyarakat. Unsur ini dapat menjadi
penyebab manusia menghentikan apa yang baik dan apa yang dianggap
buruk dalam suatu masyarakat sehingga perilakunya akan disesuaikan
dengan apa yang baik menurut lingkungan sosialnya tersebut. Unsur
superego dalam teori kepribadian adalah bentuk kecenderungan sifat
seseorang yang akan selalu ingin berbuat baik sesuai dengan
bagaimana norma dan etika, serta aturan- aturan berlaku di dalam
lingkungan masyarakat tertentu. Unsur ini bisa dianggap sebagai unsur
yang berfungsi menekan atau mengurangi nafsu biologis atau
bersumber dari unsur Id dalam diri seseorang. Saat seseorang berbuat
kesalahan, biasanya tidak sadar akan merasa bersalah atau malu karena
perbuatan salahnya. Hal seperti itulah yang menjadi contoh bagaiman
unsur superego bekerja dalam menekan unsur Id dalam diri seseorang.
Akibatnya seseorang cenderung tidak akan menglangi perbuatan salah
itu kembali. Unsur Id dan superego dianggap sebagai bentuk dorongan
yang tidak disadari secara langsung oleh seseorang. 
d. Ego
Unsur ketiga dalam teori kepribadian adalah ego adalah unsur yang
bisa disadari dan dikontrol oleh individu itu sendiri. Unsur ego
berfungsi sebagai  penengah antara unsur id dan superego dalam
kepribadian seseorang. Unsur Ego berupaya untuk menyeimbangkan
apa yang ingin dipenuhi oleh unsur id dan apa yang diinginkan oleh
unsur superego agar sesuai dengan norma sosial yang berlaku dalam
lingkungannya. Unsur Ego kemudian bekerja dalam prinsip realitas
atau reality principle yang merupakan usaha manusia untuk bisa
memenuhi kebutuhan fisiologisnya namun tetap sesuai dengan aturan
dan norma nilai baik dan buruk berdasarkan lingkungan
masyarakatnya. Menurut Schiffman dan Kanuk (2010) yang mengutip
pendapat dari para peneliti tentang teori kepribadian Freud bahwa
dalam studi perilaku konsumen dengan mengatakan tersebut
menunjukan adanya motivasi atau human drive manusia itu sebagian
besar tidaklah disadari. Itulah sebabnya konsumen seringkali tidak
menyadari bahkan tidak mengetahui apa alasan sesungguhnya mereka
memutuskan untuk membeli suatu produk tertentu. Jadi apa yang dibeli
dan apa yang dikonsumsi oleh konsumen tersebut adalah gambaran
dari bagaimana kepribadian konsumen tersebut dalam mengendalikan
dirinya. Jadi dapat dilihat dari pakaian, kendaraan, aksesoris yang
seseorang pakai bisa saja memperlihatkan bagaimana kepribadian dari
individu tersebut.

B. Teori Kepribadian Neo-Freud (Teori Sosial Psikologi)


Para pakar yang juga masih rekan Sigmund Freud turut mengembangkan teori
kepribadian yang dikenal dengan Teori Sosial Psikologi atau Teori Neo-Freud. Teori
ini berbeda dengan teori yang Freud kembangkan dengan dua perbedaan utama, yakni
pada lingkungan sosial yang akan mempengaruhi dalam membentuk kepribadian
seseorang, bukan lagi dari insting atau bawah sadar manusia, dan bentuk motivasi
perilaku yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan seseorang tersebut. 
Teori kepribadian Neo-Freud adalah kombinasi dari kajian ilmu sosial dan psikologi.
Teori ini kemudian mengutamakan dan menekankan bahwa manusia akan berupaya
untuk memenuhi apa yang dibutuhkan dalam lingkungan masyarakat. Kemudian
komponen masyarakat akan membantu seseorang tersebut untuk memenuhi kebutuhan
dan tujuannya dalam lingkungan tersebut. Teori Neo-Freud menjelaskan bahwa
hubungan sosial adalah faktor yang paling dominan dalam membentuk dan
mengambangkan kepribadian seseorang. Berdasarkan Teori ini model kepribadian
manusia terdiri atas tiga kategori seperti berikut ini :

 Compliant adalah bentuk kepribadian dengan ciri- ciri sifat ketergantungan seorang


individu dengan orang lain. Individu ini kemudian menginginkan orang lain untuk
bisa memberikan kasih sayang, menghargainya, dan membutuhkan keberadaannya.
Seseorang yang memiliki kepribadian compliant cenderung selalu mendekati orang-
orang sekelilingnya dan membentuk kedekatan satu sama lain.
 Aggressive adalah bentuk kepribadian seseorang yang cenderung memiliki motivasi
untuk mendapatkan kekuasaan dalam kondisi dan lingkungan tertentu. Individu yang
memiliki kepribadian ini cenderung akan sering berlawanan dengan orang lain. Ia
juga selalu ingin dipuji dan cenderung memisahkan atau menjauhkan diri dari orang
lain.
 Detached adalah bentuk kepribadian seseorang bercirikan ingin memiliki kebebasan,
mandiri, bisa mengandalkan diri sendiri, dan merasa ingin segera bebas dari berbagai
kewajiban. Individu ini juga memiliki kecenderungan untuk menghindari orang-
orang lain dan lebih fokus pada dirinya sendiri.

C. Teori Ciri (Trait Theory)


Teori Ciri  atau Trait Theory menjelaskan bahwa manusia diklasifikasi ke dalam
karakteristik atau sifat dan ciri dirinya yang paling menonjol. Ciri atau trait adalah
karakteristik seseorang dalam kajian psikologi yang bersifat khusus. Definisi trait
adalah setiap cara yang membedakan seseorang dan relatif abadi dimana setiap individu
tersebut memiliki berbeda dari individu yang lain. Pengertian lain dari teori ini adalah
menunjukan sebuah sifat atau ciri berupa karakteristik dimana satu individu akan
berbeda dengan yang lain dalam bentuk yang relatif permanen dan konsisten. Dari
kedua fungsi tersebut bisa disimpulkan bahwa ciri atau trait merupakan sifat atau
karakteristik yang membedakan seseorang dan  bersifat permanen dan konsisten dalam
diri individu tersebut. Loudon dan Della Bitta (1993) mengungkapkan bahwa teori ciri
ini didasarkan pada tiga asumsi, yakni individu memiliki perilaku cenderung relatif
stabil, individu memiliki bentuk perbedaan dalam kecenderungan perilaku, dan
perbedaan tersebut bisa diidentifikasi dan diukur yang akan menggambarkan
kepribadian seseorang.  Berdasarkan pendapat Mowen dan Minor (1998) ada 16 ciri-
ciri kepribadian berdasarkan teori kepribadian yang dikemukakan oleh R. Cattel, H.
Eber, dan M. Tatsuoka pada tahun 1970 seperti berikut ini:

 Pendiam (Reserved) vs. Ramah (Outgoing)


 Percaya (Trusting) vs. Curiga (Suspicious)
 Bodoh (Dull) vs. Cerdas (Bright)
 Praktis (Practical) vs. Abstrak (Imaginative)
 Labil (Unstable) vs. Stabil (Stable)
 Unpretentious vs. Polished
 Penurut (Docile) vs. Agresif (Aggressive)
 Self-assured vs. Self Reproaching
 Serius (Serious) vs. Santai (Happy go lucky)
 Conservative vs. Experimenting
 Expedient vs. Conscientious
 Group-dependent vs. Self Sufficient
 Pemalu (Shy) vs. Mudah bergaul (Uninhibited)
 Undisciplined vs. Controlled
 Teguh (Tough-minded) vs. Lemah (Tender-minded)
 Relaxed vs. Tense

D. Konsep Diri (Self-Concept)


Teori konsep diri menunjukan bahwa manusia memiliki pandangan atau konsepsi
atas dirinya masing- masing, yakni berupa penilaian terhadap dirinya sendiri. Jadi
setiap individu akan berfungsi sebagai subjek dan objek persepsi dalam dirinya
sendiri. Berdasarkan pendapat Mowen bahwa konsep diri adalah bentuk totalitas
dalam pikiran dan perasaan individu yang bisa menjadi referensi dirinya sebagai
objek. Konsep diri juga bisa didefinisikan sebagai bentuk citra diri atau persepsi
tentang diri yang  sangat berkaitan dengan kepribadian diri. Teori konsep diri
dalam kepribadian memandang bahwa setiap individu  memiliki bentuk konsep
tentang dirinya. Hal ini menunjukan bahwa konsep diri ini didasari oleh siapa
dirinya atau dirinya yang sebenarnya atau actual self dan bentuk konsep tentang
memandang dirinya ingin seperti siapa, yakni bagaimana dirinya yang ideal
atau ideal self. Teori ini juga berkaitan erat dengan dua konsep kunci teori
kepribadian psikoanalitik, yakni unsur ego dan superego. Unsur ego adalah bentuk
refleksi dari realitas objektif dalam diri seseorang, maka unsur ini hampir sama
dengan actual self. Sedangkan unsur superego dibentuk oleh suatu yang memang
seharusnya yang merupakan suatu bentuk refleksi dari ideal self dalam kondisi dan
tempat tertentu.

2.6. Peran Keturunan dan Otak

Menurut Robbins dan Judge (2009: 127-128) menyatakan kepribadian dihasilkan oleh faktor
keturunan dan lingkungan. Keturunan menunjukkan pada faktor genetik seorang individu,
tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot dan reflex, tingkat energi, dan
irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, apakah sepenuhnya atau
secara substansial dipengaruhi oleh siapa orang tua anda, yaitu komposisi biologis psikologis
dan psikologis bawaan mereka. Pendekatan keturunan berpendapat bahwa penjelasan pokok
mengenai kepribadian seseorang adalah struktur molekul dari gen yang terdapat dalam
kromosom. Terdapat tiga dasar penelitian berbeda yang memberikan sejumlah krebidilitas
terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki peran penting dalam menentukan
kepribadian seseorang. Dasar pertama berpokus pada penyokom genetic dari prilaku dan
temperamen anak-anak. Dasar kedua berpokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak
lahir. Dasar ketiga meneliti konsintensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam
berbagai situasi. Faktor lain yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap pembentukan
karakter kita adalah lingkungan dimana kita tumbuh dibesarkan, norma, keluarga, teman-
teman, kelompok sosial, dan pengaruh-pengaruh lain yang kita alami. Faktor-faktor
lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian kita. Sebagai contoh, budaya
membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu geerasi kegenerasi berikutnya
dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu. Ideologi yang secara intens berakar
disuatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pegaruh pada kultur yang lain, misalnya,
orang-orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi,
kebebasan, dan etika kerja protestan tertanam dalam diri mereka melalui buku, system
sekolah, keluarga, teman. Ada cara lain dimana lingkungan relevan untuk membentuk
kepribadian. Kepribadian seseorang, meskipun pada umumnya stabil dan konsistensi, dapat
berubah bergantung pada situasi yang diahadapinya. Meskipun kita belum mampu
mengembangkan pola klasifikasi yang akurat untuk situasi-situasi ini, kita tahu bahwa ada
bebrapa situasi, mislnya, tempat ibadah atau cara pekerjaan membatasi banyak perilaku,
sementara situasi lainnya. Misalnya, piknik ditaman umum membatasi relatif lebih sedikit
perilaku dengan perkataan lain, tuntutan yang berbeda dari situasi yang berbeda
memunculkan aspek yang berbeda dari kepribdian seseorang. Oleh karena itu, kita tidak
boleh melihat pola-pola kepribadian secara terpisah.

2.7. Ciri Kepribadian “Big Five”


Dewasa ini, sebuah badan riset terkemuka meyakini bahwa ada lima dimensi kepribadian
dasar yang mendasari semua dimensi lainnya. Faktor lima besar tersebut adalah:
 Keekstrovertan: Suka bergaul, banyak bicara, asertif
 Keramahtamahan: Baik hati, kooperatif, dan dapat dipercaya
 Kehati-hatian: Bertanggung jawab, dapat diandalkan, tekun, dan berorientasi pada
prestasi
 Kestabilan emosional: Tenang, antusias, dan sanggup (positif) menghadapi
ketegangan, kegelisahan, kemurungan, dan ketidak amanan (negatif)
 Keterbukaan terhadap pengalaman: Imajinatif, sensitif secara artistik, dan cerdas.

Di samping memberikan suatu kerangka kepribadian yang terpadu, penelitian tentang lima
besar juga menemukan hubungan yang penting antara dimensi kepribadian ini dengan
prestasi kerja. Lima kategori pekerjaan yang diamati: para profesional (termasuk insinyur,
arsitek, akuntan, pengacara), polisi, manajer, wiraniaga, serta karyawan yang setengah
terampil dan terampil. Prestasi kerja dinilai berdasarkan pemberian rating kinerja, kecakapan
pelatihan (kinerja selama program pelatihan), dan data personal, seperti tingkat gaji. Hasilnya
menunjukan bahwa dimeni kehati-hatian adalah yang mampu memprediksi prestasi kerja
untuk kelima kelompok pekerjaan. Untuk dimensi kepribadian lainnya, kemungkinan dapat
diprediksi tergantung pada kriteria kinerja serta kelompok pekerjaan. Contohnya, dimensi
keekstrovertan mampu memprediksi kinerja pada posisi manajerial dan penjualan. Hasil ini
masuk akal karena pekerjaan-pekerjaan ini meliputi interaksi sosial yang tinggi. Sama halnya,
keterbukaan terhadap pengalaman adalah penting dalam memprediksi kecakapan pelatihan;
yang juga, kelihatan logis. Apa yang terlihat tidak begitu jelas adalah mengapa kestabilan
emosional tidak berkaitan dengan prestasi kerja. Secara intuitif, tampak bahwa orang yang
tenang dan kokoh akan lebih baik dalam melakukan hampir semua pekerjaan dari pada orang
yang cemas dan tidak aman. Para peneliti memberi kesan bahwa jawabannya mungkin hanya
orang-orang yang skornya cukup tinggi pada kestabilan emosional yang mempertahankan
pekerjaannya. Jika hal itu benar, maka rentang diantara orang-orang yang diteliti, semua dari
yang bekerja, akan cenderung menjadi kecil skor kestabilan emosionalnya. Lima atribut
kepribadian tambahan telah diindentifikasikan mempunyai kaitan yang lebih langsung dalam
menjelaskan dan meramalkan perilaku dalam organisasi. Kelima atribut tersebut adalah
tempat kendali, otoritarisme, machiavellianisme, pemantauan diri, dan kecenderungan resiko.
Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir mereka sendiri. Sebagian
lainnya melihat diri mereka sebagai korban dari takdir mereka; percaya bahwa apa yang
terjadi pada diri mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan. Tempat kendali
(locus of control) pada kasus yang pertama adalah internal; orang-orang ini percaya bahwa
mereka sendiri yang mengendalikan tujuan mereka. Orang-orang yang melihat hidup mereka
dikendalikan dari luar adalah eksternal. Fakta memperlihatkan bahwa karyawan yang diberi
rating tinggi dalam eksternalitas kurang puas dengan pekerjaannya, lebih terasing dari
susunan kerja, dan kurang terlibat dalam pekerjaan mereka daripada mereka yang internal.
Seorang manajer mungkin akan mendapatkan orang eksternal menyalahkan hasil evaluasi
kinerja mereka yang buruk sebagai akibat dari prasangka buruk bos mereka, rekan kerja
mereka, atau kejadian-kejadian lain diluar kendali mereka. Orang internal akan menjelaskan
evaluasi kinerja yang buruk sebagai akibat dari tindakan mereka sendiri. Otoritarisme
(authoritarianism) adalah kepercayaan bahwa harus ada perbedaan status dan kekuasaan
diantara para individu dalam organisasi. Kepribadian otoritarian yang sangat ekstrem
biasanya kaku secara intelektual, selalu menilai orang lain, mempertuan atasan dan eksploitif
terhadap bawahan, pencuriga, dan menentang perubahan. Tentu saja, hanya sedikit orang
yang ekstrem otoritarian, jadi dalam menyimpulkan harus hati-hati. Meskipun demikian,
kelihatannya masuk akal untuk menerima dalil bahwa memiliki kepribadian otoritarian yang
tinggi akan berpengaruh negatif terhadap kinerja, jika pekerjaannya menuntut kepekaan
terhadap perasaan orang lain, kebijaksanaan, dan kemampuan beradaptasi terhadap situasi-
situasi yang kompleks dan selalu berubah. Sebaliknya, pada pekerjaan yang sangat terstruktur
di mana kesuksesan tergantung pada kepatuhan terhadap peraturan dan undang-undang,
karyawan yang sangat otoritarian tentu akan memiliki kinerja yang sangat baik. Yang sangat
terkait dengan otoritarianisme adalah Machiavellianisme (Mach), dinamai seperti Niccolo
Machiavelli, yang menulis pada abad keenam belas tentang bagaimana memperoleh dan
menggunakan kekuasaan. Seorang individu yang memperlihatkan kecenderungan
Machiavellian yang kuat adalah pragmatis, menjaga jarak emosi, dan percaya bahwa
mencapai tujuan dapat menghalalkan segala cara. “Jika berfungsi, gunakanlah” adalah
konsisten dengan sudut pandang seseorang yang sangat Mach. Apakah orang yang sangat
Mach dapat menjadi karyawan yang baik? Jawabannya tergantung pada jenis pekerjaan dan
apakah anda mempertimbangkan implikasi etis dalam mengevaluasi kinerja. Dalam pekerjaan
yang membutuhkan ketrampilan tawar menawar (seperti negosiator buruh) atau dimana
terdapat imbalan yang besar sekali untuk kemenangan (seperti dalam penjualan dengan
komisi), orang yang sangat Mach akan sangat produktif. Tetapi jika mencapai tujuan tidak
dapat menghalalkan segala cara atau tidak terdapat standar kinerja yang absolut, kemampuan
kita untuk meramalkan kinerja seseorang yang sangat Mach akan terbatas sama sekali.
Apakah anda pernah milihat bahwa sebagian orang lebih baik dari yang lain dalam
menyesuaikan perilaku mereka terhadap situasi yang berubah? Hal ini terjadi karena mereka
memiliki skor yang tinggi dalam pemantauan diri (self monitoring). Orang-orang yang pandai
memantau diri biasanya peka terhadap isyarat-isyarat eksternal dan bisa berperilaku berbeda
dalam situasi-situasi yang berbeda. Mereka adalah bunglon yang dapat berubah untuk
menyesuaikan dengan situasi dengan menyembunyikan diri mereka yang sesungguhnya.
Sebaliknya, orang-orang dengan pemantauan diri yang rendah tidak akan berubah. Mereka
memperlihatkan watak dan sikap mereka yang sesungguhnya dalam setiap situasi. Bukti
menunjukan bahwa orang yang pandai memantau diri cenderung sangat memperhatikan
perilaku orang lain dan lebih mampu menyesuaikan diri dari pada orang-orang dengan
pemantauan diri yang rendah. Orang yang pandai memantau diri juga cenderung lebih baik
dalam memainkan politik organisasi karena mereka peka terhadap isyarat-isyarat dan dapat
mengunakan “wajah” yang berbeda untuk rekan yang berbeda. Setiap orang memiliki
kesediaan yang berbeda dalam menggunakan kesempatan. Individu dengan kecenderungan
resiko (risk propensity) yang tinggi lebih cepat membuat keputusan dan menggunakan lebih
sedikit informasi dalam membuat pilihan-pilihan mereka, dari pada individu dengan
kecenderungan risiko yang rendah. Para manajer mungkin mengunakan informasi ini untuk
memadukan karyawan pengambil resiko dengan tuntutan pekerjaan yang spesifik.
Contohnya, seorang pengambil resiko dapat menghasilkan kinerja yang lebih efektif bila
menjadi seorang pialang saham dalam perusahaan sekuritas. Jenis pekerjaan ini menuntut
pengambilan keputusan yang cepat. Sebaliknya, karakteristik kepribadian ini bisa menjadi
suatu halangan utama bagi seorang akuntan yang melakukan kegiatan-kegiatan pengauditan.
Pekerjaan yang terahkir ini mungkin lebih baik diisi oleh seorang pengambil resiko yang
rendah.

2.8. Meyres-Briggs Type Indicator (MBTI)


Salah satu kerangka kepribadian yang paling sering digunakan dinamakan dengan
Indikator Tipe Myers-Briggs (MBTI). Indikator tersebut pada dasarnya merupakan tes
kepribadian dengan 100 pertanyaan yang menanyakan tentang bagaimana biasanya
seseorang merasa atau bertindak dalam situasi-situasi tertentu. Berdasarkan jawaban
masing-masing individu pada tes tersebut, mereka diklasifikasikan dalam kelompok
ekstrovert atau interovert (E atau I), indrawi (sensing) atau intuitif (intuitive) (S atau N),
pemikir (thinking) atau perasa (feeling) (T atu F), dan pengertian (perceive) atau penilai
(judging) (P atau J). Klasifikasi-klasifikasi ini kemudian dikombinasikan kedalam enam
belas tipe kepribadian. (Klasifikasi ini berbeda dengan enam belas sifat kepribadian).
Agar lebih jelas lagi, mari kita ambil beberapa contoh. INTJ merupakan para visionaris.
Mereka pada umumnya memiliki pemikiran yang orisinil dan berusaha keras untuk
mewujudkan ide-ide dan tujuan mereka. Mereka dicirikan sebagai orang yang skeptis,
kritis, mandiri, tekun, dan sering keras kepala. ESTJ adalah para organisator. Mereka
orang yang praktis, realistis, percaya pada fakta, dengan bakat alam untuk menjadi
pebisnis atau mekanis. Mereka suka mengorganisasikan dan menjalankan aktivitas-
aktivitas. Tipe ENTP adalah seorang konseptual. Dia biasanya bergerak cepat, terus
terang, dan andal dalam menangani banyak hal. Orang ini cenderung penuh ide dalam
memecahkan masalah-masalah yang menantang, tetapi melalaikan penugasan rutin.
Sebuah buku terbaru yang membuat profil tiga belas orang-orang bisnis masa kini yang
menciptakan perusahaa-perusahaan super sukses seperti Apple Computer, Federal
Experss, Honda motors, Mikrosoft, Price Club, dan Sony menemukan bahwa ketiga belas
orang ini adalah pemikir intuitif (NT). Temuan ini menarik terutama karena pemikir
intuitif mewakili hanya sekitar lima persen dari populasi.Di Amerika Serikat, lebih dari
dua juta orang setiap tahun menjalani MBTI. Organisasi -organisasi yang menggunakan
MBTI meliputi; Apple Computer, AT&T,Citicorp, Exxon, GE, 3M Co,. Ditambah
banyak rumah sakit, lembaga pendidikan, dan bahkan angkatan bersenjata AS. Tidak ada
bukti nyata yang menunjukan bahwa MBTI merupakan suatu pengukuran kepribadian
yang valid. Meskipun demikian, tidak menghalangi organisasi-organisasi untuk
menggunakannya.

Anda mungkin juga menyukai