Anda di halaman 1dari 24

PERTEMUAN 1

MEMAHAMI ETIKA DALAM BISNIS

Tujuan Belajar
Setelah mempelajari bab ini, anda diharapkan mampu:
1. Menjelaskan makna etika
2. Menguraikan mengapa perlu belajar etika dalam bisnis
3. Menjelaskan pentingnya etika dalam bisnis

Pendahuluan
Banyak cerita tentang perilaku tidak etis dalam bisnis, di
antaranya skandal yang terjadi dalam bidang keuangan, tabungan
dan pinjaman, dan industri lain yang menyebabkan kekhawatiran
tentang etika di tempat kerja. Kesuksesan seringkali diukur hanya
dalam bentuk uang mencerminkan perilaku dari banyak orang di
masyarakat kita. Keinginan untuk memiliki akan barang dan jasa
semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi masyarakat, demikian juga bisnis juga mencerminkan
nilai-nilai, kepercayaan, dan tujuan pribadi masyarakat. Peran
penting etika untuk bisnis dapat dilihat pada praktek bisnis yang
mengesampingkan etika sehingga menimbulkan resiko serius
bagi bisnis dan dapat mengakibatkan kerusakan besar pada bisnis
dan masyarakat, serta dapat menimbulkan konflik antara tujuan
bisnis dan norma etika. Untuk alasan itulah maka perlu
pemahaman tentang pentingnya etika dalam bisnis.

1
Makna Etika
Kata etika memiliki sejumlah makna. Dalam kamus
Merriam-Webster, etika dapat diartikan sebagai:
a. Disiplin yang berhubungan dengan apa yang baik dan buruk
dan dengan tugas dan kewajiban moral Seperangkat prinsip
atau nilai moral
b. Seperangkat prinsip moral
c. Prinsip-prinsip perilaku yang mengatur individu atau
kelompok
Dari beberapa definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa etika
berkaitan dengan perilaku benar atau salah.
Menurut Duska dan Duska dalam bukunya “Contemporary
Reflection on Business Ethic”, disiplin etika meliputi
pemeriksaan dan evaluasi terhadap tindakan, praktik sosial,
lembaga, dan sistem untuk menentukan apakah dan mengapa
mereka baik atau buruk, benar atau salah, dan apakah harus
dipromosikan atau direformasi (Duska, 2007). Disiplin etika
untuk memastikan bahwa tindakan, praktik atau suatu sistem
telah bermoral atau tidak bermoral. Lebih lanjut dalam buku
tersebut dicontohkan bahwa disiplin etika dapat digunakan untuk
mengevaluasi dan mempertimbangkan apakah hukuman mati
dapat diterima secara moral dan tidak, siapa yang terlibat dan atas
dasar apa hukuman mati tersebut harus dilanjutkan atau
dihentikan. Peneltian dilanjutkan dengan menanyakan atas dasar
apa seseorang dapat membenarkan tindakan atau praktik

2
semacam itu, pembenaran tersebut kemudian akan diperiksa dan
dievaluasi untuk melihat apakah dapat diterima atau tidak
Etika bukan satu-satunya cara untuk mempelajari moralitas.
Ilmu-ilmu sosial, seperti antropologi, sosiologi, dan psikologi,
juga mempelajari moralitas, tetapi melakukannya dengan cara
yang berbeda dari pendekatan moralitas yang diambil etika, yaitu
studi deskriptif moralitas. Dalam Etika, pokok masalah sebagai
disiplin adalah tindakan manusia. Etika bukan hanya deskriptif,
yang menyajikan pengamatan tentang karakteristik seseorang
atau sesuatu, namun lebih bersifat preskiptif, yaitu digunakan
untuk mengevaluasi tindakan manusia dan merekomendasikan
atau menyetujui tindakan tersebut. Para filsuf seringkali
menyebut etika sebagai disiplin praktis, hal ini akan menjadi sia-
sia kecuali bila tindakan diarahkan sesuai dengan evaluasi yang
telah dilakukan.
Etika pada dasarnya merupakan studi normatif moralitas.
Studi normatif adalah studi yang mencoba mencapai kesimpulan
normatif, yaitu kesimpulan tentang hal-hal apa yang baik atau
buruk atau tentang tindakan apa yang benar atau salah. Tujuan
studi normatif untuk menemukan apa yang seharusnya. Etika
adalah studi tentang standar moral yang tujuan eksplisitnya
adalah untuk menentukan sejauh mungkin standar mana yang
benar atau didukung oleh alasan terbaik, dan dengan demikian ia
berusaha mencapai kesimpulan tentang kebenaran dan kesalahan
moral serta moral yang baik dan yang jahat.

3
Mengapa Belajar Etika Dalam Bisnis?
Pembelajaran etika memungkinkan seseorang untuk
menerapkan prinsip-prinsip etika pada tindakan, yaitu berupa
keterampilan untuk menentukan apa yang harus dilakukan dan
kapan melakukannya. Ketika menentukan apa yang harus
dilakukan dalam situasi khusus, seseorang tidak hanya perlu
mengevaluasi situasi dengan mempertimbangkan aturan dan
prinsip etika namun juga perlu untuk melihat situasi dan melihat
apa sebenarnya masalah etika yang terkait.
Etika bisnis merupakan studi khusus tentang kebenaran dan
kesalahan moral yang berfokus pada lembaga bisnis, organisasi,
dan kegiatan. Sementara yang dimaksud dengan etika bisnis
adalah studi tentang standar moral dan bagaimana standar
tersebut berlaku untuk sistem sosial dan organisasi di mana
masyarakat modern memproduksi dan mendistribusikan barang
dan jasa, dan untuk kegiatan orang-orang yang bekerja di dalam
organisasi ini (Velasquez, 2014). Etika bisnis, dengan kata lain,
merupakan bentuk dari etika terapan, yang tidak hanya mencakup
analisis norma-norma moral dan nilai-nilai moral, tetapi juga
mencoba menerapkan kesimpulan analisis pada bermacam-
macam lembaga, organisasi, dan kegiatan yang disebut bisnis.
Terdapat tiga jenis masalah yang dipelajari dalam etika bisnis
(Velasquez, 2014), yaitu:

4
1. Sistemik
Berkaitan dengan hal etis yang berkaitan tentang
ekonomi, politik, hukum, dan institusi lain di mana bisnis
beroperasi. Jika sebuah perusahaan mencoba untuk
menangani masalah sistemik, misalnya budaya untuk
menyuap agar suatu ijin pendirian usaha dapat
dikeluarkan, maka masalah tersebut harus ditangani pada
tingkat sistemik, yaitu, harus ditangani melalui tindakan
terkoordinasi dari banyak kelompok sosial yang berbeda.
2. Etika Perusahaan
Berhubungan dengan pertanyaan tentang perusahaan
tertentu dan kebijakan yang dibuat, budaya, iklim,
dampak, atau tindakan. Masalah etika perusahaan hanya
dapat diselesaikan melalui perusahaan atau solusi
perusahaan. Jika suatu perusahaan memiliki budaya yang
mendorong kesalahan moral, kemudian bermaksud
mengubah budaya tersebut, maka perusahaan
membutuhkan kerja sama dari banyak orang yang
membentuk perusahaan agar budaya tersebut bisa
dihilangkan.
3. Etika Individual
Berkenaan dengan pertanyaan tentang keputusan
individu, perilaku, atau karakter. Masalah etika individu
dapat diselesaikan melalui keputusan dan tindakan
individu bahkan melalui reformasi individu.

5
Beberapa pelaku bisnis berargumen bahwa etika tidak perlu
dimasukkan ke dalam bisnis, karena etika dianggap mengatur
semua kegiatan manusia secara sukarela, sementara bisnis adalah
kegiatan manusia sukarela. Akibatnya mereka keberatan untuk
menerapkan standar etika dengan alasan bahwa mereka harus
mengejar kepentingan keuangan perusahaan dan tidak perlu
mengalihkan energi atau sumber daya perusahaan mereka dengan
melakukan pekerjaan yang baik. Namun kenyataannya bisnis
tidak bisa hidup dan berlangsung lama, kecuali jika orang-orang
yang terlibat dalam bisnis dan masyarakat sekitarnya mematuhi
standar etika minimal (Velasquez, 2014). Lebih lanjut
(Velasquez, 2014) menjelaskan tiga jenis argumen yang berbeda
untuk mendukung pandangan ini:
1. Pendapat bahwa pasar bebas sangat kompetitif.
Pengejaran keuntungan dengan sendirinya akan memastikan
bahwa anggota masyarakat dilayani dengan cara yang paling
bermanfaat secara sosial (Filer, 1983). Agar diperoleh usaha
yang menguntungkan, masing-masing perusahaan harus
menghasilkan hanya apa yang dibutuhkan oleh masyarakat
dengan cara paling efisien, sehingga anggota masyarakat akan
mendapat manfaat paling besar. Bila para manajer tidak
memaksakan nilai-nilai pada sebuah bisnis, dan lebih
mementingkan pada pengejaran keuntungan dan kepentingan
pribadi, maka mereka dapat menghasilkan suatu hal yang
efisien dan dihargai oleh anggota masyarakat.

6
Argumen tersebut menyimpan asumsi tersembunyi,
bahwa:
(a) Tidak semua pasar industri sangat kompetitif,
sepanjang perusahaan tidak harus bersaing, mereka
dapat memaksimalkan keuntungan meskipun
produksi tidak efisien.
(b) Setiap langkah yang diambil untuk meningkatkan
laba tentu akan bermanfaat secara sosial. Pada
kenyataannya, beberapa cara yang digunakan untuk
meningkatkan laba tidak mengindahkan
kepentingan masyarakat, seperti membiarkan polusi
berbahaya tidak terkendali, iklan yang menipu,
menyembunyikan bahaya produk, penipuan,
penyuapan, penggelapan pajak, dan sebagainya.
(c) Adanya pendapat yang menyatakan bahwa
memproduksi barang apa pun yang diinginkan oleh
masyarakat berarti telah memenuhi keinginan
masyarakat. Namun sebagian besar masyarakat,
yang miskin dan yang kurang beruntung, belum
tentu terpenuhi keinginannya ketika perusahaan
memproduksi apa yang diinginkan pembeli, karena
segmen masyarakat ini tidak dapat berpartisipasi
sepenuhnya di pasar.
(d) Adanya kebiasaan untuk membuat argumen penilaian
yang normatif, di mana manajer telah terpola untuk

7
berpikir mengejar keuntungan sebagai tujuan utama
perusahaan dengan berdasarkan beberapa standar
moral yang tidak terucapkan dan tidak terbukti,
misalnya orang harus melakukan apa pun yang akan
bermanfaat bagi mereka yang berpartisipasi dalam
pasar. Meskipun seolah-olah berusaha
menunjukkan bahwa etika tidak penting, namun
standar etika yang disumsikan tidak terbukti untuk
menunjukkan hal ini.
2. Kewajiban manajer yang paling penting adalah kesetiaan
kepada perusahaan tanpa memandang etika. Menurut (Dey &
Hill, 2007) manajer merupakan agen loyal bagi perusahaan,
yang dicirikan dengan tiga hal berikut:
a. Sebagai agen loyal dari majikannya, manajer memiliki
tugas untuk melayani majikan karena majikan ingin
dilayani (jika majikan memiliki keahlian agen).
b. Seorang majikan ingin dilayani dengan cara apa pun
yang akan memajukan kepentingannya.
c. Sebagai agen loyal dari majikan, manajer memiliki
kewajiban untuk melayani majikan dengan cara apa
pun yang akan memajukan kepentingan majikan.

Meskipun manajer berperan sebagai agen loyal, namun


seyogyanya manajer harus berani berargumentasi dan
mengambil tindakan yang mengatasnamakan kebenaran, tidak

8
hanya menuruti kemauan dan perintah dari perusahaaan untuk
selalu mengejar keuntungan namun juga memperhatikan
kepentingan para pegawai dilingkungan perusahaan,
masyarakat dan lingkungan sehingga harmonisasi kehiduan
dapat tercapai.
3. Selama perusahaan mematuhi hukum, mereka akan melakukan
semua yang diminta etika. Bagi pebisnis, hal ini dapat
diartikan apabila mereka mematuhi hukum, maka dapat
dikatakan mereka sudah beretika.
Sekalipun tidak selamanya mematuhi hukum berarti
sudah beretika, karena terkadang undang-undang
mensyaratkan perilaku yang sama dengan perilaku yang
disyaratkan oleh standar moral. Hal ini tidak berarti bahwa
etika tidak ada hubungannya dengan kepatuhan terhadap
hukum (Orfield, Losen, Wald, & Swanson, 2004). Banyak
standar moral telah dimasukkan ke dalam ranah hukum karena
adanya standar moral yang harus ditegakkan dengan hukuman
melalui sistem hukum. Sementara itu, hukum terkadang
dihapus dari buku-buku hukum ketika hukum tersebut
melanggar standar moral.

Pentingnya Etika dalam Bisnis


Etika bisnis menghadapi tantangan yang sangat dinamis dan
semakin kompleks. Bisnis terus-menerus menghadapi tantangan
etika baru sehingga perlu memiliki alat untuk mengenali dan

9
mengatasi permasalahan etis baru secara efektif, misalnya
tantangan etis baru dalam bisnis yang dihasilkan dari kemajuan
teknologi, seperti masalah keamanan dan privasi yang terkait
dengan penyimpanan dan analisis data, atau tantangan etis dan
risiko terkait penggunaan media sosial (Shaw & Barry, 2016).
Lebih lanjut (Shaw & Barry, 2016) menjelaskan bahwa
meningkatnya globalisasi dan kompleksitas global dari bisnis
modern meningkatkan pula tantangan di bidang etika, dalam
konteks global, bisnis perlu mengembangkan kemampuan untuk
saling berhubungan dengan menggunakan persyaratan normatif
yang berbeda. Misalnya kepatuhan terhadap nilai-nilai, prinsip,
dan aturan mereka sendiri, kepatuhan terhadap berbagai kerangka
kerja hukum di negara tempat mereka beroperasi, dan mengikuti
prinsip-prinsip global yang mendasar, seperti hak asasi manusia,
dan menghormati perbedaan budaya.
Dalam pandangan (Shaw & Barry, 2016), bisnis di masa kini
dan masa datang akan menghadapi tantangan sistemik mendasar,
seperti tantangan keberlanjutan. Hal ini dikarenakan batasan
lingkungan sistemik pada skala global, sehingga bisnis harus
memikul tanggung jawab atas dampak lingkungan, global, dan
masa depan dari operasi bisnis perusahaan, rantai pasokan, dan
siklus hidup produk. Kemampuan untuk menganalisis secara
sistematis tantangan ini sangat penting untuk keberhasilan bisnis
jangka panjang dan aspek penting dari manajemen strategis.

10
Sementara itu, beberapa alasan tentang pentingnya etika
dalam bisnis dikemukakan oleh (Velasquez, 2014), yaitu:
1. Jika semua manajer, karyawan, dan pelanggan berpikir bahwa
secara moral diperbolehkan untuk mencuri, berbohong, atau
melanggar perjanjian mereka dengan perusahaan, maka setiap
bisnis individu akan runtuh atau mati. Karena tidak ada bisnis
yang dapat eksis sepenuhnya tanpa etika, setiap bisnis
memerlukan setidaknya kepatuhan minimal terhadap etika dari
pihak yang terlibat dalam bisnis.
2. Semua bisnis membutuhkan masyarakat yang stabil dalam
melakukan urusan bisnis. Namun, stabilitas masyarakat mana
pun mengharuskan anggotanya mematuhi standar etika
minimal. Menurut Hobbes, dalam masyarakat tanpa etika,
ketidakpercayaan dan kepentingan pribadi yang tidak
terkendali akan menciptakan "perang setiap orang melawan
setiap orang" dan dalam situasi seperti itu, hidup akan menjadi
"jahat, brutal, dan pendek” (Velasquez, 2014). Karena bisnis
tidak dapat bertahan tanpa etika, maka kepentingan bisnis
terbaik adalah untuk mempromosikan perilaku etis baik di
antara anggotanya sendiri maupun dalam masyarakatnya yang
lebih besar.
Pada akhirnya dapat disimpulkan, bahwa etika berlaku
untuk semua aktivitas manusia, termasuk dalam hal ini dalam
menjalankan suatu bisnis. Bisnis tidak dapat bertahan tanpa
etika, karena hasil penelitian menunjukkan korelasi negatif

11
bahwa etika merupakan sebuah hambatan dalam meraih laba,
hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kinerja perusahaan
yang bertanggung jawab secara sosial di pasar saham dan telah
menyimpulkan bahwa perusahaan yang beroperasi secara etis
berdampak pada pengembalian (return) yang lebih tinggi
daripada perusahaan lain (Shaw & Barry, 2016). Sehingga
dapat dikatakan bahwa etika tidak mengurangi laba dan
berkontribusi atau konsisten dengan peraihan keuntungan.
Secara umum, pelanggan, karyawan, dan masyarakat pada
umumnya peduli tentang penerapan etika dalam suatu
perusahaan, masyarakat maupun lingkungan sekitarnya.

12
TEORI-TEORI ETIKA BISNIS

Tujuan Belajar
Setelah mempelajari bab ini, anda diharapkan mampu:
1. Menjelaskan alasan untuk bertindak etis
2. Menguraikan tentang jenis-jenis teori etika

Pendahuluan
Teori etika menyediakan kerangka yang memungkinkan kita
memastikan benar tidaknya keputusan moral yang akan kita
lakukan. Berdasarkan suatu teori etika, keputusan moral yang kita
ambil bisa menjadi beralasan. Suatu teori etika akan membantu
kita mengambil keputusan moral yang tahan uji, karena teori etika
menyediakan justifikasi untuk keputusan kita. Duska (2007)
mengemukakan beberapa pertanyaan berikut ini untuk membantu
meyakinkan apakah tindakan yang kita lakukan benar atau salah:
1. Apakah tindakannya baik untuk saya?
Jika seseorang dapat melakukan tindakan yang baik untuk
diri sendiri atau menguntungkan dirinya sendiri, maka dia
telah memiliki alasan untuk melakukan tindakan yang baik.
2. Apakah tindakannya melanggar hak siapapun?
Pada prinsipnya semua manusia memiliki hak. Ini berarti
bahwa mereka berhak diperlakukan dengan cara tertentu,

13
dalam perspektif prinsip keadilanhal ini berarti setiap orang
memiliki hak untuk diperlakukan secara setara. Duska,
(2007) menekankan bahwa terdapat dua jenis hak, yaitu hak
negatif dan hak positif. Hak-hak negatif adalah hak untuk
hal-hal yang tidak perlu disediakan oleh siapa pun untuk kita,
yaitu berupa hal-hal yang sudah kita miliki harus dihormati
dan tidak diambil, misanya: hak untuk hidup, hak untuk
kebebasan, hak untuk berpendapat, hak atas properti.
Sedangkan Hak-hak positif adalah hak untuk mendapatkan
sesuatu yang disediakan. Misalnya, seorang anak memiliki
hak positif untuk disekolahkan.
3. Apakah tindakannya baik atau membahayakan masyarakat?
Apabila kita berpikir secara etis, maka kita akan tiada
berhenti untuk selalu mempertimbangkan manfaat tindakan
yang akan kita lakukan untuk diri kita sendiri, dan
memikirkan manfaat dan akibatnya terhadap orang yang
akan terpengaruh atas tindakan tersebut. Harus disadari
bahwa tidak semua tindakan yang dilakukan di dunia akan
mempengaruhi kita, jika alasan yang baik untuk melakukan
suatu tindakan adalah menguntungkan bagi diri sendiri, maka
seyogyanya orang lain juga akan diuntungkan.
4. Apakah tindakan itu adil?
Di dunia ini setiap orang memiliki keyakinan bahwa dia
harus diperlakukan sama dengan orang lainnya, mengikuti
salah satu prinsip keadilan yaitu kesetaraan. Meskipun sering

14
terjadi ketidaksepakatan tentang siapa dan hal apa yang
sama, namun semua orang harus diperlakukan sama, kecuali
terdapat perpedaan yang relevan yang sudah disepakati
bersama tentang hal yang boleh tidak setara.
5. Sudahkah saya memiliki komitmen tersirat atau eksplisit?
Apakah anda memiliki komitmen? Komitmen merupakan
janji baik eksplisit atau implisit terhadap tindakan yang
diusulkan, sehingga janji-janji tersebut harus ditepati. Selain
itu adanya harapan bahwa komitmen yang sudah disepakati
dapat dilampaui dalam bentuk capaian hasil dari pekerjaan
yang dilakukan. Dengan demikian masing-masing orang
bertanggungjawab terhadap komitmen yang dibuatnya.

Studi etika harus membantu menjawab beberapa pertanyaan


di atas. Etika melibatkan analisis dan evaluasi keyakinan moral
(moral belief). Duska (2007) menjelaskan bahwa keyakinan
moral merupakan penilaian tentang apakah tindakan manusia
tertentu, praktik, institusi, atau sistem benar atau salah. Tindakan
yang sesuai dengan etika adalah yang mempengaruhi orang lain
dan diri kita secara positif atau negatif melalui beberapa cara.
Selain tindakan, etika dapat memeriksa dan mengevaluasi praktik
sosial, institusi, dan sistem.
Evaluasi terhadap keyakinan moral perlu dilakukan untuk
menjawab pertanyaan apakah keyakinan itu benar. Banyak orang
berpikir bahwa memegang keyakinan moral saja sudah cukup

15
untuk membuatnya benar. Akan tetapi, karena keyakinan moral
itu sifatnya subyektif, maka terkadang akan muncul argumen
bahwa keyakinan tersebut belum tentu benar bagi orang lain.
Keyakinan moral merupakan sesuatu yang tidak bisa dilihat
dengan kasat mata, sehingga tidak bisa diverifikasi atau
dibenarkan seperti halnya keyakinan faktual. Untuk itu
dibutuhkan prosedur untuk menentukan apa yang harus dilakukan
dan apa yang tidak boleh dilakukan. Jika ada alasan bagus untuk
melakukan tindakan, misalnya suatu hal yang menguntungkan
diri pribadi seseorang dan masyarakat serta tidak melanggar
keadilan atau komitmen, maka tindakan tersebut bisa dilakukan.
Akan tetapi bila suatu tindakan tidak menguntungkan diri
seseorang atau masyarakat, tidak adil, dan melanggar komitmen,
maka sebaiknya tindakan tersebut ditinggalkan.
Pada dasarnya, teori-teori etika berupa prinsip-prinsip
umum yang digunakan sebagai landasan dasar bagi semua aturan
etika atau penilaian. Teori-teori etika digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan ketika seseorang dihadapan pada suatu
dilemma etika. Dilema etika merupakan masalah yang muncul
ketika salah satu alasan untuk melakukan suatu tindakan
diimbangi oleh alasan untuk tidak melakukannya. Karena ada
dilema, ahli etika mencari cara untuk menyelesaikannya dengan
mengajukan banding kepada mereka dianggap paling etis, paling
memahami prinsip-prinsip etika.

16
Prinsip-prinsip ini kemudian diidentifikasi sebagai teori
etika. Teori-teori etika muncul karena timbulnya berbagai
konflik. Bila seseorang menghadapi suatu konflik dan yakin apa
yang harus dilakukan, maka sebaiknya orang tersebut mengikuti
teori etika yang direkomendasikan dan akan menemukan apa
yang harus dilakukan.
Perlu dierhatikan bahwa setiap teori menekankan poin yang
berbeda, gaya pengambilan keputusan yang berbeda atau aturan
keputusan yang berbeda. Agar seseorang dapat memahami
pengambilan keputusan yang etis, penting bagi setiap orang untuk
menyadari bahwa tidak semua orang membuat keputusan dengan
cara yang sama, menggunakan informasi yang sama dan
menggunakan aturan keputusan yang sama (Duska, 2007).
Untuk lebih memahami teori etika, harus ada pemahaman
tentang serangkaian tujuan bersama yang ingin dicapai oleh
pembuat keputusan untuk menjadi sukses. Berikutnya akan
dijelaskan berapa teori etika yang disarikan dari beberapa literatur
etika.

Teori Teleologi
Teleologi merupakan kata yang berasal dari bahasa Yunani
yaitu telos yang memiliki arti tujuan dan logos yang berarti
perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala
sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah
teleologi dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf

17
Jerman abad XVIII. Dalam etika teleologi, baik dan buruknya
suatu tindakan diukur berdasarkan tujuan yang ingin dicapai atau
didasarkan akibat yang ditimbulkan oleh suatu tindakan.
Sehingga teleologi dapat diartikan sebagai pertimbangan moral
terhadap baik atau buruknya suatu tindakan. Sekalipun suatu
tindakan dinilai salah menurut hukum, tetapi bila tindakan
tersebut bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu akan
dianggap baik. Misalnya mencuri itu suatu perbuatan yang tidak
baik, namun bila mencuri itu digunakan untuk menolong nyawa
seseorang, maka mencuri dalam perspektif teleologi dibenarkan.
Pandangan ini bila diijinkan akan merusak tatan masyarakat,
Untuk itu, harus diingat bahwa tujuan yang baik tetap harus
disertai dengan tindakan yang benar menurut hukum. Lebih
lanjut, etika teleologi menjadi dasar munculnya aliran-aliran
teleologi, yaitu egoisme dan utilitarianisme.

Egoisme
Egoisme adalah teori yang memberikan prioritas pada suatu
alasan pemilihan pengambilan keputusan yang menguntungkan
diri sendiri (Duska, 2007). Ketika terdapat konflik kepentingan
antara kepentingan yang menguntungkan diri sendiri dan
kepentingan yang menguntungkan masyarakat, maka egoisme
merekomendasikan tindakan untuk mementingkan diri sendiri.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa egoisme merupakan suatu
pandangan yang mengarahkan agar seseorang selalu bertindak

18
demi kepentingan terbaiknya sendiri. Keberatan terhadap teori
egoisme diungkapkan oleh (Duska, 2007) sebagai berikut:
1. Egoisme tidak sesuai dengan aktivitas manusia. Hal ini
dapat dimisalkan dalam pemberian nasihat dalam suatu
persahabatan sejati, sementara dalam hubungan bisnis
menjadi agen untuk orang lain. Bagaimana seseorang
dapat memberikan nasihat yang obyektif bila dalam
berfikir selalu mementingkan dirinya sendiri.
2. Egoisme tidak dapat menyelesaikan perselisihan. Jika
setiap orang harus mementingkan diri mereka sendiri,
apa yang harus dilakukan oleh dua orang ketika mereka
berdua memiliki kepentingan yang sama? Sehingga
egoism bukan teori yang direkomendasikan untuk
dipraktekkan.
3. Egoisme mengarah pada anomali aneh, yang tidak dapat
diundangkan, diterbitkan, diajarkan, atau bahkan
diucapkan dengan keras. Seorang yang egois benar-
benar percaya bahwa dia harus bertindak untuk
kepentingannya dan selalu menjaga agar situasi di mana
kepentingannya dapat tanpa memperdulikan
kepentingan orang lain.
4. Egoisme didasarkan pada pandangan egosentris yang
melihat segala sesuatu yang paling penting dari sisi diri
sendiri. Selalu ingin jadi pusat dari alam semesta.
Ekonom seperti Adam Smith berpikir bahwa jika suatu

19
masyarakat dibentuk sebuah sistem yang memanfaatkan
kepentingan diri yang kuat dan melegitimasi maka
masyarakat akan lebih produktif (Duska, Duska, &
Ragatz, 2011). Hal yang senada juga diungkapkan oleh
filsuf Thomas Hobbes bahwa “jika Anda melihat secara
mendalam ke dalam motivasi manusia, maka semua
tindakan diarahkan oleh kepentingan pribadi” (Duska et
al., 2011).

Secara umum dapat disimpulkan bahwa egoisme memberi


prioritas suatu tindakan dengan alasan: “bahwa segala sesuatu itu
harus menguntungkan saya”. Ketika terdapat paradoks konflik
antara kepentingan yang baik untuk saya dan kepentigan yang
baik untuk masyarakat, egoisme merekomendasikan tindakan
mementingkan diri sendiri. Dalam kehidupan, tentulah tidak baik
memandang segala sesuatu dari sudut pandang kepentingan diri
sendiri, karena itu teori ini kurang tepat untuk diterapkan daam
bermasyarakat.

Utilitarianisme
Utilitarianisme merupakan suatu penilaian perbuatan
berdasarkan baik dan buruknya tindakan atau kegiatan dengan
mempertimbangkan kepentingan orang banyak. Utilitarianisme
dapat membenarkan suatu tindakan yang secara deontologis tidak
etis sebagai tindakan yang baik dan etis, yaitu ketika ternyata

20
tujuan atau akibat dari tindakan itu bermanfaat bagi bayak orang.
Utilitarianisme sangat menghargai kebebasan setiap pelaku
moral. Tidak ada paksaan bahwa seseorang harus bertundak
dengan cara tertentu yang mungkin tidak diketahui alasannya
mengapa demikian. Jadi, suatu tindakan baik diputuskan dan
dipilih berdasarkan kriteria yang rasional dan bukan sekedar
mengikuti tradisi atau perintah tertentu.
Utilitarianisme digambarkan oeh John Stuart Mill sebagai: “
Suatu tindakan benar sesuai dengan proporsinya apabila
digunakan untuk meningkatkan kebahagiaan, dan akan menjadi
salah bila cenderung menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan…
semantara yang dimaksud dengan kebahagiaan bukanlah
kebahagiaan terbesar dari seseorang, tetapi kebahagiaan terbesar
yang dapat dirasakan bersama-sama (Duska, 2007). Beberapa
keterbatasan utilitarianisme dikemukakan adalah sebagai berikut
(Duska, 2007):
1. Masalah formulasi. Permsalahan untuk menentukan
formula antara bagaimana formulasi antara tindakan
yang akan menghasilkan kebaikan sebaik mungkin,
yaitu, memaksimalkan kebahagiaan, ataukah secara etis
cukup puas dengan memastikan telah terdapat banyak
kebahagiaan daripada kesengsaraan.
2. Masalah distribusi. Ungkapan "kebaikan terbesar untuk
banyak orang” (the greatest good for the greatest number
of people) merupakan pendapat yang ambigu. Karena hal

21
ini menimbulkan kegalauan untuk memilih antara
berkewajiban untuk menghasilkan barang dalam jumlah
banyak, atau memberi manfaat kepada orang banyak.
3. Masalah memutuskan apa yang baik. Hal ini berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhan manusia dengan
membandingkan yang baik dengan apa yang diinginkan.
John Stuart Mill dan Jeremy Bentham, keduanya
penganut hedonisme, mereka menyamakan yang baik
dengan kebahagiaan, dan kebahagiaan dengan
kesenangan. Obyek dari keinginan adalah barang, di
mana barang terbagi menjadi dua jenis: barang intrinsik
dan barang ekstrinsik. Barang intrinsik adalah sesuatu
yang diinginkan untuk kepentingan diri sendiri,
sedangkan barang ekstrinsik akan digunakan untuk
mendapatkan barang lain, misalnya adalah uang.
Sementara kebahagiaan merupakan kebaikan intrinsik.
Uang dapat membuat seseorang Bahagia, karena dengan
uang dia mendapatkan banyak barangyang diinginkan,
namun kebahagian tidak bisa diukur dengan uang karena
Bahagia itu sesuatu yang tidak bisa diukur dan berbeda
bagi masing-masing orang.
4. Masalah dalam memprediksi masa depan. Setiap
tindakan akan ada konsekuensinya, untuk itu setiap orang
harus bisa memprediksi konsekuensi yang akan terjadi
atas segala perbuatannya hari ini terhadap masa

22
Beberapa filsuf berpendapat bahwa para utilitarian dianggap
membiarkan suatu tindakan untuk mencapai tujuan dengan
menghalalkan segala macam cara, bahkan sekalipun cara yang
digunakan tidak bermoral. Dengan demikian semakin jelas bahwa
baik egoisme dan utilitarianisme mengganggap bahwa suatu
tindakan dapat diterima secara etis sesuai dengan konsekuensi
dari tindakan tersebut.

Teori Deontologi
Deontologi berasal dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu
deon yang berarti kewajiban. Deontologi merupakan suatu
pendapat bahwa etika suatu tindakan didasarkan pada kewajiban,
apa pun konsekuensinya pada diri sendiri dan orang lain (Ross,
1930). Seseorang akan bertindak etis apabila peraturan atau
undang-undang mewajibkannya, sementara perbuatan menjadi
baik bukan dilihat dari hasilnya melainkan karena perbuatan
tersebut wajib dilakukan. Namun perlu diingat bahwa suatu
tujuan yang baik belum tentu menhasilkan suatu perbuatan yang
juga baik, dan tidak boleh melakukan suatu perbuatan jahat untuk
suatu tujuan yang baik.
Apabila dalam memutuskan suatu tindakan tidak terdapat
konflik, maka dalam situasi ini apa yang baik untuk saya juga
baik untuk masyarakat dan adil bagi saya akan adil juga bagi
masyarakat. Namun, dalam kondissi terdapat konflik, maka akan
timbul ketidaksepakatan tentang prinsip mana yang harus diikuti.

23
Jika kita selalu memutuskan segala sesuatu berdasarkan
kepentingan diri kita sendiri, kita adalah seorangyang egois. Jika
kita selalu mempertimbangkan segala sesuatunya dari sisi
kemanfaatannya bagi masyarakat, maka kita adalah utilitarian.
Jika kita tersentuh oleh pertanyaan dari sisi keadilan maka kita
adalah ahli deontologi. Integritas masing-masing teori tersebut
bertumpu pada daya tariknya pada pemilihan alasan mana yang
sangat penting sebagai dasar dalam pememilihan tindakan
(Duska, 2007).
Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga rangkaian alasan
tersebut seringkali kita gunakan. Sekalipun alasan-alasan ini
terkadang bertentangan, dan menyebabkan ketidakpastian
tentang apa yang harus dilakukan.

Etika Kebajikan (Virtue Ethics)


Kata virtue berasal dari bahasa Latin virtus, yang berarti
kekuatan atau kapasitas, kata Latin virtus digunakan untuk
menerjemahkan kata Yunani arete, yang berarti keunggulan.
Virtue of ethics ini juga sering diartikan sebagai karakter.
Contoh dari etika kebajikan antara lain: kejujuran (honesty),
keberanian (courage), kesederhanaan (temperance), integritas
(integrity), kasih sayang (compassion), kontrol diri (self-control).
Sementara yang dianggap sebagai suatu kejahatan misalnya:
ketidakjujuran (dishonesty, kekejaman (ruthlessness),
keserakahan (greed), (Velasquez, 2014)

24

Anda mungkin juga menyukai