Pewarisanbudaya
Pewarisanbudaya
1. Pendahuluan
Latar Belakang
kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan kekayaan pekerti yang
diwariskan adalah berbagai bentuk kegiatan yang berhubungan dengan nilai, tata laku
(perilaku), karya dalam bentuk psikis dan fisik yang memiliki fungsi dan bernilai
modern Sociology). Pendapat lain menyebutkan adalah, “seluruh sistem gagasan dan
rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat,
dalam bukunya Primitive Culture kebudayaan adalah suatu satu kesatuan atau jalinan
masyarakat.
tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol. Yang digunakan untuk
dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama. Setiap kelompok masyarakat
mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi dalam menjalani kehidupan pun
tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok masyarakat saling berinteraksi
melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga istilah untuk
enkulturasi.
Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan
yang lain. Para ahli antropologi mengemukakan, sosialisasi adalah suatu proses sosial
melalui mana manusia sebagai suatu organisme yang hidup dengan manusia lain
membangun suatu jalinan sosial dan berinteraksi satu sama lain, untuk belajar
pembudayaan dalam diri kita. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak
Enkulturasi yang akan mengkaji dari sudut pandang budaya berkesenian, terutama
Kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana komunikasi untuk
mengekspresikan rasa estetika dari dalam jiwa manusia. Kesenian memiliki memiliki
fungsi, yaitu kesenian sebagai fungsi ritual dan kesenian sebagai fungsi hiburan, dan
kesenian juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menyatukan nilai-nilai solidaritas
berpola dari manusia dalam masyarakat dan biasanya berwujud benda-benda hasil
merupakan budaya sering juga disebut kesenian tradisional pada awalnya sangat
dipengaruhi oleh fungsi mistis ritual yang diperuntukkan untuk kebutuhan upacara
adat. Di wilayah Jawa Barat kesenian tradisional Sunda banyak dipengaruhi oleh
lingkungan pertanian, sehingga wujud kesenian yang tumbuh dan berkembang tidak
sebagai ritual untuk upacara rasa syukur atas hasil pertanian dan bahkan di beberapa
ditinggalkan oleh para pendukungnya karena kehadiran budaya dan kesenian yang
baru. Perlu dilakukan proses pewarisan agar kesenian dan kebudayaan yang dimiliki
Goong Renteng juga dijadikan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di
Kabupaten Sumedang. Dengan demikian boleh jadi telah dilakukan upaya pelestarian
dan pewarisan, dan pembudayaan atau enkulturasi budaya kesenian tradisional Goong
Fenomena tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam, bagaimana cara sebuah
dan setiap individu secara sadar mendapatkan dan menjalankan proses perubahan dan
Secara umum proses pewarisan budaya terjadi melalui dua proses yaitu proses
bagian dari istilah antropologi yaitu berhubungan dengan Inkulturasi dan akkulturasi
(= pertemuan antar budaya dan penerimaan unsur-unsur budaya dari suatu budaya
inkulturasi berasal dari lingkungan teologi misi. Istilah inkulturasi ini dipopulerkan
oleh Joseph Mason, seorang misiolog dari Belgia, pada tahun 19595 . Kata
digunakan dalam khazanah diskusi teologis, lalu digunakan dalam dokumen Yesuit
pada Kongregasi Jendral pada tahun 1974/1975. Baru pada sinode para Uskup tahun
1977 istilah inkulturasi diterima dan digunakan dalam suatu dokumen resmi Gereja6 .
Kemudian Sri Paus Yohanes Paulus II biasa menggunakan istilah inkulturasi ini
dalam beberapa ajarannya7 . (no. 53). Kini, istilah inkulturasi sudah menjadi kosakata
h127-145).
Istilah enkulturasi sebagai suatu konsep, secara harfiah dapat dipadankan
mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi
ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok,
Enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk
yang bernalar, punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan
seorang baik secara sadar maupun tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan
menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan
kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar
(masyarakat).
alam pemikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-
Indonesia, dan Jurnal Penelitian yang telah dilakukan beberapa peneliti kemudian
dikaji dan seleksi data, ditambah dengan wawancara dengan pemilik kesenian Goong
4. Pembahasan
wilayah Jawa Barat antara lain di wilayah : Cileunyi Kabupaten Bandung, Cikebo
Renteng di daerah-daerah tersebut berbeda satu sama lainnya, demikian juga dengan
refertoir karya-karya atau lagu-lagu yang disajikan atau gending-gendingnya dan juga
surupan larasnya. (Atmadibrata, 1977, hal. 61) membagi waditra kesenian Goong
kesenian Goong Renteng di Lebak Wangi, peralatan yang digunakannya adalah (1)
Bonang, (2) Cecempres, (3) Jenglong, (4) Kendang, (5) Beri, dan (6) dua buah Goong
Renteng. Di daerah Guradog Banten waditra yang digunakan adalah (1) 12 buah
Korormong, (2) Saron 6 wilah, (3) Jenglong, (4) dua buah Goong besar (5) Kendang
beserta Kulanter.
Sunda yang sudah cukup tua. Paling tidak, Goong Renteng sudah dikenal sejak abad
ke-16, dan tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat. Hasil wawancara dengan Abah
Soma, Goong Renteng merupakan artefak yang diwariskan secara turun temurun
pewaris pertama adalah Uyut Endi kemudian diwariskan kepada Ua Emi ketika
pemerintahan Desa Ciuyah dipimpin oleh Kuwu Arsama. Goong Renteng dibawa ke \
cisarua dan diwariskan kepada Aki Hasan, kemudian diwariskan kepada keturunan
berikutnya yaitu Ibu Ooh pada tahun 1978. Abah Soma sebagai penerima perangkat
Sejak tahun 1992 Abah Soma bersama keluarganya merawat sedemikian rupa
Goong Renteng dan dengan kreativitas yang dimilikinya kesenian ini terus
yang dilakukan oleh Pangeran Gesan Ulun pada sekitar tahun 1578-1601, kemudian
Gamelan Goong Renteng merupakan bagian dari gamelan Sari Koneng yang
sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat dan para jurit pada kegiatan-kegiatan yang
tradisional acara Muludan (peringatan hari lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.)
dan acara ngebakan (memandikan; membersihkan) pusaka-pusaka pada setiap tanggal
bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, di
samping adanya keanehan lain yang berbau mistik. masih dipegang teguh oleh
masyarakat pendukungnya yang merupakan bentuk nyata dari rasa syukur atas
tinggal dan merupakan bentuk keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan. Misalnya
kegiatan ruwatan dengan ajaran agama Islam melalui pelibatan tokoh agama dalam
memimpin doa, meskipun demikian kegiatan ruwat juga sebagai sarana memuja dan
dengan satu kekuatan yang maha dahsyat, di lain pihak masyarakat percaya bahwa
kejadian-kejadian alam ini ada hubungannya dengan dunia transenden yang tidak
kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah
Anda pelajari pada modul sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali
baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti
Penikmat kesenian Goong Renteng adalah terdiri dari semua kalangan, anak-
anak, remaja, dewasa, dan para orang tua yang merupakan pemilik generasi
sebelumnya dari kesenian tersebut. Kondisi ini mengesankan bahwa kesenian Goong
berdiri sebagai penonton, akan tetapi akan tumbuh rasa memiliki dan mencintai
kesenian tersebut secara bertahap dan terus menerus. Kesenian Goong Renteng yang
maksud agar masyarakat dan lingkungan kedaerahan mampu bersinergi satu sama lain
masuknya budaya luar yang dinamis dan tidak mungkin dicegah. Perubahan yang
saat ini, atau dari hal yang sederhana menuju ke bentuk yang bervariasi (Kartodirjo,
dapat diterima sebagai suatu wujud kegiatan yang dinamis yang menunjukkan
bagaimana proses kreatif yang terjadi sehingga kesenian tersebut bisa semakin
berkembang dan tentu saja yang terpenting adalah para pendukungnya dapat terus
menikmati kehadiran kesenian kebanggaannya. Hal ini tentu saja merupakan makna
positif untuk eksistensi keseniannya yang juga menunjukkan sifat kreatif para
Kenyataan ini tentu saja sebagai imbas masuknya kesenian-kesenian popular yang
berkembang di wilayah tersebut, bahkan beberapa diantaranya kesenian-kesenian
barat menjadi sesuatu yang lebih disukai masyarakat terutama kawula mudanya. Hal
tersebut tentu saja menjadi salah satu faktor penyebab tersingkirkannya kesenian khas
Kabupaten Sumedang lainnya yang telah dan sedang berupaya sedemikian rupa untuk
tertentu. Hal tersebut merupakan upaya pembiasaan atau enkulturasi budaya melalui
dilakukan secara vertical atau melalui garis keturunan melalui belajar memainkan
dipelajari tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang konkret. Kemudian
yang lebih kompleks dan bersifat abstrak. Selanjutnya para pendukungnya tersebut
sengaja atau tidak sengaja akan mencintai kesenian tersebut dan terus berusaha
membentuk pribadi dan pemahaman seorang individu atas sesuatu nilai, norma
tertentu, maka dari kebudayaan yang berbeda-beda terciptalah identitas sosial dari
suatu kelompok masyarakat yang berbeda pula. David Matsumoto dan Linda Juang,
membutuhkan media. Seperti halnya proses pewarisan dan sosialisasi kesenian Goong
1. Keluarga
bermain. Selain itu, mereka meniru berbagai macam tindakan yang terdapat
yang terdapat pada kesenian tersebut dilakukan melalui pemahaman sejarah dan
diperlakukan.
Sebelum menggunakan waditra pada setiap pertunjukkan Abah Soma akan
dari cara membuka pembungkus kain putih yang menyelimuti goong yaitu
kembali di bersihkan kemudian dibungkus dengan kain putih seperti sedia kala.
Hasil wawancara dengan Abah Soma, yang berhak belajar adalah semua
keturunan sedarah dari Abah Soma dan sebagian keluarga dan kerabat
terdekatnya. Anak kerabat Abah Soma dilatih memainkan alat musik Goong
Renteng dengan cara “dilahun” dan diajarkan dengan pelan-pelan, hal tersebut
tidak diajarkan secara khusus dengan jadwal tetap atau waktu yang terencana.
Proses belajar seperti ini diyakini Abah Soma sebagai upaya melatih rasa,
karena dengan rasa akan menghasilkan teknik bermain yang baik. Setelah rasa
Seseorang dianggap siap untuk menjadi pemain salah satu Goong dalam
pada kesenian tersebut, dan memiliki rasa mencintai secara lahir dan bathin
Goong Renteng, dari seniman kepada keturunannya sebagai ahli waris budaya
daerah setempat. Sesuai hasil wawancara dengan Abah Soma, bahwa ahli waris
kesenian Goong Renteng adalah semua ahli waris yang memiliki keturunan
langsung dari seniman yang aktif saat ini. Kerabat di luar keluarga sedarah
hanya diberi kesempatan pada orang-orang tertentu, yaitu mereka yang benar-
benar memiliki sense of art terhadap kesenian Goong Renteng yang memiliki
2. Masyarakat
wilayah di Kabupaten Sumedang adalah terdiri dari warga yang memiliki ikatan
Abah Soma sebagai pimpinan grup kesenian Goong Renteng di Cisarua tidak
menerus ditanamkan sejak dini, didukung oleh kondisi masyarakat yang secara
3. Pendidikan di Sekolah
Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang
menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan
kehidupan masyaraka melalui strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan
intelektual ini sangat penting bagi individu untuk mengenali dan memahami
masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi, peran, norma dan
nilai.
pelajaran muatan lokal, bahkan untuk mata pelajaran ekstra kurikuler, dan tidak
komprehensip.
kepada siswa/ siswi sekolah yang ada di Kecamatan Cisarua melalui apresiasi
dengan berusaha menggiring anak-anak usia sekolah untuk turut serta terlibat
dimaksud adalah antara pada saat membersihkan pusaka di bulan Mulud dan
4. Kesimpulan
Kabupaten Sumedang yang tertutup dan hanya diberikan kepada orang-orang tertentu
saja yang merupakan keturunan langsung dari Abah Soma, hal ini akan
persoalan yang demikian maka kegiatan apresiasi dan enkulturasi adalah merupakan
untuk selanjutnya secara tidak langsung turut serta melestarikan keberadaan kesenian
tersebut, karena akan tumbuh rasa memiliki, menikmati setiap pertunjukkannya baik
Arini, S. H. (2008). Seni Budaya. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Atmadibrata. (1977). Goong Renteng. Bandung.
Furchan. (2007).
Harjana, M. (1986).
Kartodirjo, S. (1992).
Karwati, U. (2004).
Kunst, J. (2003). Kurnia dan Nalari. Bandung.
Langer. (1988).
Munandar, U. (2004). Pengembangan Emosi dan Kreativitas. Jakarta: Rineka Cipta.
Musbikin, I. (2006).
Soedarsono. (1978). Komposisi Tari. Yogyakarta: UGM.
Sumardjo, J. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.
Sumarjo, J. (2006). wawancara. Bandung: SPS UPI.