Anda di halaman 1dari 18

Pewarisan Budaya Dalam Kesenian Goong Renteng Pada Masyarakat

Desa Cisarua Kabupaten Sumedang


Oleh : Ridwan
ridwansigit@gmail.com
Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap bagaimana kesenian yang merupakan


kearifan lokal, dan kekayaan budaya daerah diwariskan kepada generasi selanjutnya,
dan bagaimana pembudayaan melalui proses inkulturasi budaya kesenian Goong
Renteng keberadaanya tetap eksis di masyarakat pendukungnya. Kesenian Goong
Renteng merupakan kesenian yang berkembang di beberapa wilayah di Kabupaten
Sumedang, salah satunya bisa dilihat di Desa Ciuyah Cimalaka Kabupaten Sumedang
Jawa Barat. Metode dan pendekatan yang digunakan adalah kualitatif deskriptif,
dengan mengumpulkan data primer melalui literatur, dan nara sumber pelaku seni,
dan wawancara terhadap masyarakat pendukungnya, disamping pengalaman
keterlibatan peneliti sebagai bagian dari masyarakat pendukung kesenian tersebut.
Data sekunder di peroleh dari penelitian sebelumnya, media, dan studi dokumentasi.
Hasil penelitian dan temuan di lapangan menunjukkan, kesenian Goong Renteng di
Desa Ciuyah Cimalaka Kabupaten Sumedang, system pewarisannya cenderung
lamban namun esistensinya masih bisa dipertahankan dengan adanya kegiatan
helaran, ritual muludan, hajat lembur, dan sebagainya.
Kata Kunci: Goong Renteng, Apresiasi, Pewarisan, Inkulturasi

1. Pendahuluan

Latar Belakang

Kelompok masyarakat yang hidup di suatu lingkungan tertentu memiliki

kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus dan merupakan kekayaan pekerti yang

memiliki nilai tersendiri bagi masyarakatnya, diwariskan kepada generasi berikutnya

selanjutnya masyarakat pendukungnya menyebutnya sebagai budaya. Segala hal yang

diwariskan adalah berbagai bentuk kegiatan yang berhubungan dengan nilai, tata laku

(perilaku), karya dalam bentuk psikis dan fisik yang memiliki fungsi dan bernilai

guna dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

Budaya dalam pandangan sosiologi, adalah keseluruhan (total) atau

pengorganisasian way of life termasuk nilai-nilai, norma-norma, institusi dan artifak


yang dialihkan kepeda generasi berikutnya melalui proses belajar (Dictionary of

modern Sociology). Pendapat lain menyebutkan adalah, “seluruh sistem gagasan dan

rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat,

yang dijadikan miliknya dengan belajar” (Koencaraningrat, ). E.B Taylor (1873:30)

dalam bukunya Primitive Culture kebudayaan adalah suatu satu kesatuan atau jalinan

kompleks, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, susila, hokum, adat-

istiadat dan kesanggupan-kesanggupan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota

masyarakat.

Bounded et.al (1989), kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh

pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol

tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol. Yang digunakan untuk

mengalihkan keyakinan budaya diantara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan

kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintah, institusi

agama, sistem pendidikan, dan kesenian yang berkembang di masyarakat.

Masyarakat adalah suatu kumpulan individu yang memiliki karakteristik khas

dengan aneka ragam etnik, ras, budaya, dan agama. Setiap kelompok masyarakat

mempunyai pola hidup berlainan, bahkan orientasi dalam menjalani kehidupan pun

tidak sama. Sebagai suatu unit sosial, setiap kelompok masyarakat saling berinteraksi

yang memungkinkan terjadinya pertukaran budaya.

Dalam proses interaksi itu, setiap kelompok masyarakat saling mempelajari,

menyerap, dan mengadopsi budaya kelompok masyarakat lain yang kemudian

melahirkan sintesis budaya baru. Dalam kajian antropologi, ada tiga istilah untuk

menjelaskan peristiwa interaksi sosial budaya, yakni sosialisasi, akulturasi, dan

enkulturasi.
Ketiganya saling terkait, namun masih tetap bisa dibedakan antara satu dan

yang lain. Para ahli antropologi mengemukakan, sosialisasi adalah suatu proses sosial

melalui mana manusia sebagai suatu organisme yang hidup dengan manusia lain

membangun suatu jalinan sosial dan berinteraksi satu sama lain, untuk belajar

memainkan peran dan menjalankan fungsi, serta mengembangkan relasi sosial di

dalam masyarakat. Rumusan singkatnya adalah, "Socialization implicates those

interactive processes through which one learns to be an actor, to engage in

interaction, to occupy statues, to act roles, and to forge social relationships in

community life" (Peter-Poole 2002).

Enkulturasi, sebagai proses penanaman kebudayaan sejak dini yakni proses

pembudayaan dalam diri kita. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak

terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita.

Enkulturasi yang akan mengkaji dari sudut pandang budaya berkesenian, terutama

kesenian tradisional yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Kabupaten

Sumedang khususnya di Desa Cisarua.

Kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana komunikasi untuk

mengekspresikan rasa estetika dari dalam jiwa manusia. Kesenian memiliki memiliki

fungsi, yaitu kesenian sebagai fungsi ritual dan kesenian sebagai fungsi hiburan, dan

kesenian juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menyatukan nilai-nilai solidaritas

masyarakat pendukungnya. Kesenian adalah suatu kompleks dari ide-ide, gagasan,

nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan dimana kompleks aktivitas dan tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat dan biasanya berwujud benda-benda hasil

manusia (Koentjaraningrat, 1998).

Kesenian merupakan salah satu unsur budaya, didalamnya memiliki unsur

ideas, aktivitas, dan artefak. Kesenian yang berkembang di lingkungan masyarakat


tertentu dipengaruhi oleh kegiatan dan alam masyarakat itu sendiri. Kesenian yang

merupakan budaya sering juga disebut kesenian tradisional pada awalnya sangat

dipengaruhi oleh fungsi mistis ritual yang diperuntukkan untuk kebutuhan upacara

adat. Di wilayah Jawa Barat kesenian tradisional Sunda banyak dipengaruhi oleh

lingkungan pertanian, sehingga wujud kesenian yang tumbuh dan berkembang tidak

terlepas dari kegiatan pertanian. Pertunjukkan kesenian tradisional Sunda berfungsi

sebagai ritual untuk upacara rasa syukur atas hasil pertanian dan bahkan di beberapa

wilayah tertentu merupakan kegiatan untuk mengawali bercocok tanam.

Perkembangan zaman di era globalisasi saat ini sangat mempengaruhi

kegiatan berkesenian masyarakat, kemungkinan berkembang dengan baik atau

ditinggalkan oleh para pendukungnya karena kehadiran budaya dan kesenian yang

baru. Perlu dilakukan proses pewarisan agar kesenian dan kebudayaan yang dimiliki

tetap menjadi kekayaan intelektual bagi masyarakat pendukungnya. Berdasarkan

sejarahnya kesenian Goong Renteng di Kabupaten Sumedang pada awalnya adalah

sebagai upaya atau kegiatan pemerintah untuk menyatukan dan memperkuat

persaudaraan diantara masyarakat, namun berdasarkan penelusuran peneliti kesenian

Goong Renteng juga dijadikan sebagai media untuk menyebarkan ajaran Islam di

Kabupaten Sumedang. Dengan demikian boleh jadi telah dilakukan upaya pelestarian

dan pewarisan, dan pembudayaan atau enkulturasi budaya kesenian tradisional Goong

Renteng di Kabupaten Sumedang.

Fenomena tersebut menarik untuk dikaji lebih dalam, bagaimana cara sebuah

kesenian tradisional tetap bertahan dalam gelombang globalisasi? Bagaimana system

pewarisan dan wujud kegiatan pembudayaan kesenian Goong Renteng pada

Masyarakat Desa Cisarua Kabupaten Sumedang.


2. Kajian Teoretik

Pewarisan budaya adalah suatu kegiatan proses, perbuatan atau cara

mewariskan budaya di dalam sebuah kelompok masyarakat. Proses tersebut

dinamakan juga socialitation. Dilakukan secara sadar oleh sekelompok masyarakat,

dan setiap individu secara sadar mendapatkan dan menjalankan proses perubahan dan

pembentukan perilaku yang sesuai dengan keinginan masyarakat dan lingkungannya.

Secara umum proses pewarisan budaya terjadi melalui dua proses yaitu proses

enkulturasi dan proses sosialisasi.

Enkulturasi (=penyesuaian seseorang ke dalam suatu budaya tertentu) adalah

bagian dari istilah antropologi yaitu berhubungan dengan Inkulturasi dan akkulturasi

(= pertemuan antar budaya dan penerimaan unsur-unsur budaya dari suatu budaya

asing). Ada istilah indonesianisasi, indigenisasi (dari bahasa Latin indigena =

pribumi), evangelisasi, implantasi, adaptasi, akomodasi, kontekstualisasi. Istilah

inkulturasi berasal dari lingkungan teologi misi. Istilah inkulturasi ini dipopulerkan

oleh Joseph Mason, seorang misiolog dari Belgia, pada tahun 19595 . Kata

“inkulturasi” berhubungan dengan kosakata antropologi: Istilah inkulturasi semula

digunakan dalam khazanah diskusi teologis, lalu digunakan dalam dokumen Yesuit

pada Kongregasi Jendral pada tahun 1974/1975. Baru pada sinode para Uskup tahun

1977 istilah inkulturasi diterima dan digunakan dalam suatu dokumen resmi Gereja6 .

Kemudian Sri Paus Yohanes Paulus II biasa menggunakan istilah inkulturasi ini

dalam beberapa ajarannya7 . (no. 53). Kini, istilah inkulturasi sudah menjadi kosakata

yang umum dan diterima di mana-mana, (Martasudjita: Vol 5 No 2 oktober 2005

h127-145).
Istilah enkulturasi sebagai suatu konsep, secara harfiah dapat dipadankan

artinya dengan proses pembudayaan (Koentjaraningrat 1986: 233). Enkulturasi

mengacu pada proses dengan mana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi

ke generasi berikutnya. Kita mempelajari kultur, bukan mewarisinya. Kultur

ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok,

teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-

guru utama dibidang kultur. Enkulturasi terjadi melalui mereka.

Enkulturasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia sebagai makhluk

yang bernalar, punya daya refleksi dan inteligensia, belajar memahami dan

mengadaptasi pola pikir, pengetahuan, dan kebudayaan sekelompok manusia lain.

Definisi sederhananya adalah, "Enculturation refers to the process of learning a

culture consisting in socially distributed and shared knowledge manifested in those

perceptions, understandings, feelings, intentions, and orientations that inform and

shape the imagination and pragmatics of social life" (Peter-Poole, 2002).

Menurut M.J.Herskovits, Enculturation (enkulturasi) adalah suatu proses bagi

seorang baik secara sadar maupun tidak sadar, mempelajari seluruh kebudayaan

masyarakat. Enkulturasi atau pembudayaan merupakan proses mempelajari dan

menysuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan

peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak

kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar

(masyarakat).

Dalam proses enkulturasi, seorang individu mempelajari dan menyesuaikan

alam pemikiran serta sikapnya dengan adat istiadat, sistem norma, dan peraturan-

peraturan yang hidup dalam kebudayaan.


3. Metode Penelitian

Peneliti menggunakan metode Studi Pustaka yaitu eksplorasi melalui

referensi-referensi yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung pa-da

obyek materi ini. Studi Pustaka dilakukan di perpustakaan Universitas Pendidikan

Indonesia, dan Jurnal Penelitian yang telah dilakukan beberapa peneliti kemudian

dikaji dan seleksi data, ditambah dengan wawancara dengan pemilik kesenian Goong

Renteng di Desa Cisarua Kabupaten Sumedang, dan pengalaman peneliti sebagai

bagian dari masyarakat pemilik kesenian tersebut, kemudian dideskripsikan kembali.

4. Pembahasan

Kesenian Goong Renteng tumbuh dan berkembang di beberapa daerah di

wilayah Jawa Barat antara lain di wilayah : Cileunyi Kabupaten Bandung, Cikebo

Tanjungsari Kabupaten Sumedang, Lebak Wangi Kabupaten Bandung, Karaton

Kanoman Cirebon, Cigugur Kabupaten Kuningan, Talaga Kabupaten Majalengka,

Ciwaru Cisarua Kabupaten Sumedang, Tambi Kabupaten Indramayu, Mayung

Suranengah dan Tegalan Cirebon, (Kunst, 2003, hal. 35).

Waditra atau perlengkapan yang dipergunakan dalam kesenian Goong

Renteng di daerah-daerah tersebut berbeda satu sama lainnya, demikian juga dengan

refertoir karya-karya atau lagu-lagu yang disajikan atau gending-gendingnya dan juga

surupan larasnya. (Atmadibrata, 1977, hal. 61) membagi waditra kesenian Goong

Renteng berdasarkan daerah tempat tumbuh kembangnya lesenian tersebut. Waditra

kesenian Goong Renteng di Lebak Wangi, peralatan yang digunakannya adalah (1)

Bonang, (2) Cecempres, (3) Jenglong, (4) Kendang, (5) Beri, dan (6) dua buah Goong
Renteng. Di daerah Guradog Banten waditra yang digunakan adalah (1) 12 buah

Korormong, (2) Saron 6 wilah, (3) Jenglong, (4) dua buah Goong besar (5) Kendang

beserta Kulanter.

Goong Renteng merupakan salah satu jenis gamelan khas masyarakat

Sunda yang sudah cukup tua. Paling tidak, Goong Renteng sudah dikenal sejak abad

ke-16, dan tersebar di berbagai wilayah Jawa Barat. Hasil wawancara dengan Abah

Soma, Goong Renteng merupakan artefak yang diwariskan secara turun temurun

pewaris pertama adalah Uyut Endi kemudian diwariskan kepada Ua Emi ketika

pemerintahan Desa Ciuyah dipimpin oleh Kuwu Arsama. Goong Renteng dibawa ke \

cisarua dan diwariskan kepada Aki Hasan, kemudian diwariskan kepada keturunan

berikutnya yaitu Ibu Ooh pada tahun 1978. Abah Soma sebagai penerima perangkat

Goong Renteng terakhir yang diterimanya pada tahun 1992.

Sejak tahun 1992 Abah Soma bersama keluarganya merawat sedemikian rupa

Goong Renteng dan dengan kreativitas yang dimilikinya kesenian ini terus

dipertahankan. Pertunjukkan kesenian ini dilaksanakan setiap muludan (maulid Nabi)

dan upacara-upacara ritual sebagaimana dilakukan pendahulunya, terutama seperti

yang dilakukan oleh Pangeran Gesan Ulun pada sekitar tahun 1578-1601, kemudian

dilanjutkan oleh Pangeran Kornel sekitar tahun 1791-1828.

Gamelan Goong Renteng merupakan bagian dari gamelan Sari Koneng yang

dimiliki pemerintahan Sumedang Larang, dibagikan kepada masyarakat adalah

sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat dan para jurit pada kegiatan-kegiatan yang

bersifat kenegaraan. Kesan melekatkan Inkulturasi pada kesenian Goong Renteng

adalah terlihat pada kegiatan pertunjukkannya, dalam upacara-upacara ritual

tradisional acara Muludan (peringatan hari lahirnya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w.)
dan acara ngebakan (memandikan; membersihkan) pusaka-pusaka pada setiap tanggal

12 Mulud. Penabuhan ini bagi masyarakat sekaligus merupakan suatu bukti

bagaimana pusaka yang berusia ratusan tahun ini masih bisa mengeluarkan bunyi, di

samping adanya keanehan lain yang berbau mistik. masih dipegang teguh oleh

masyarakat pendukungnya yang merupakan bentuk nyata dari rasa syukur atas

kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan daerah (wewengkon) tempat mereka

tinggal dan merupakan bentuk keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan. Misalnya

kegiatan ruwatan kampung yang belakangan diketahui sebagai upaya mempertautkan

kegiatan ruwatan dengan ajaran agama Islam melalui pelibatan tokoh agama dalam

memimpin doa, meskipun demikian kegiatan ruwat juga sebagai sarana memuja dan

menghormati leluhur yang dianggap sebagai jembatan penghubung antar manusia

dengan satu kekuatan yang maha dahsyat, di lain pihak masyarakat percaya bahwa

kejadian-kejadian alam ini ada hubungannya dengan dunia transenden yang tidak

terjangkau oleh manusia dalam wujud kasar (Sumarjo, 2006).

Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki corak

kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang pernah

Anda pelajari pada modul sebelumnya. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali

mengalami proses akulturasi (proses bercampurnya dua (lebih) kebudayaan karena

percampuran bangsa-bangsa dan saling mempengaruhi), yang melahirkan kebudayaan

baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya Islam tersebut tidak berarti

kebudayaan Hindu dan Budha hilang.

Penikmat kesenian Goong Renteng adalah terdiri dari semua kalangan, anak-

anak, remaja, dewasa, dan para orang tua yang merupakan pemilik generasi

sebelumnya dari kesenian tersebut. Kondisi ini mengesankan bahwa kesenian Goong

Renteng relative bisa dipertahankan karena kegiatan sosialisasi berlangsung kepada


setiap generasi. Apresiasi masyarakat juga merupakan bagian penting dalam upaya

mempertahankan keberadaan kesenian Goong Renteng, karena apresiasi tidak hanya

berdiri sebagai penonton, akan tetapi akan tumbuh rasa memiliki dan mencintai

kesenian tersebut secara bertahap dan terus menerus. Kesenian Goong Renteng yang

merupakan media untuk mempersatukan masyarakat Kabupaten Sumedang dengan

maksud agar masyarakat dan lingkungan kedaerahan mampu bersinergi satu sama lain

dengan hubungan emosional pemilik kebudayaan Sunda yang Islami.

Perkembangan kesenian yang mengandung unsur budaya suatu daerah tertentu

adalah merupakan kompleksitas gagasan yang dipengaruhi pertumbuhan dan

masuknya budaya luar yang dinamis dan tidak mungkin dicegah. Perubahan yang

dinamis antara lain menunjukkan pergerakan dari perkembangan terdahulu hingga

saat ini, atau dari hal yang sederhana menuju ke bentuk yang bervariasi (Kartodirjo,

1992, hal. 99).

Segala bentuk perubahan dan perkembangan kesenian Goong Renteng tersebut

dapat diterima sebagai suatu wujud kegiatan yang dinamis yang menunjukkan

kreativitas pendukungnya terus berkembang. Menarik untuk dikaji secara mendalam

bagaimana proses kreatif yang terjadi sehingga kesenian tersebut bisa semakin

berkembang dan tentu saja yang terpenting adalah para pendukungnya dapat terus

menikmati kehadiran kesenian kebanggaannya. Hal ini tentu saja merupakan makna

positif untuk eksistensi keseniannya yang juga menunjukkan sifat kreatif para

pendukungnya dikaitkan dengan pendidikan kreatif.

Belakangan diketahui kesenian Goong Renteng di Cisarua hampir tidak

populer lagi bahkan cenderung ditinggalkan oleh para pendukungnya sendiri.

Kenyataan ini tentu saja sebagai imbas masuknya kesenian-kesenian popular yang
berkembang di wilayah tersebut, bahkan beberapa diantaranya kesenian-kesenian

barat menjadi sesuatu yang lebih disukai masyarakat terutama kawula mudanya. Hal

tersebut tentu saja menjadi salah satu faktor penyebab tersingkirkannya kesenian khas

bernilai budaya Goong Renteng. Berbeda dengan kesenian sejenis di wilayah

Kabupaten Sumedang lainnya yang telah dan sedang berupaya sedemikian rupa untuk

mempertahankan kesenian sejenis dengan cara mentransmisikan atau memberikan

kesempatan untuk mempelajarinya dengan cara menyediakan waktu untuk masyarakat

di sekitarnya untuk belajar memainkan kesenian tersebut, bahkan masyarakat

pendukungnya diberi kesempatan untuk ikut pertunjukkan pada suatu pagelaran

tertentu. Hal tersebut merupakan upaya pembiasaan atau enkulturasi budaya melalui

kesenian Goong Renteng.

Proses atau cara pembudayaan dan sosialisasi sebagai upaya pewarisan

dilakukan secara vertical atau melalui garis keturunan melalui belajar memainkan

alat-alat musik Goong renteng, belajar memelihara alat-alat kebudayaan Goong

Renteng, belajar memahami unsur-unsur budaya musik Goong Renteng dan

memahami fungsi Goong Renteng dalam masyarakatnya. Pada mulanya, yang

dipelajari tentu hal-hal yang menarik perhatiannya dan yang konkret. Kemudian

sesuai dengan perkembangan jiwanya, ia mempelajari unsur-unsur budaya lainnya

yang lebih kompleks dan bersifat abstrak. Selanjutnya para pendukungnya tersebut

sengaja atau tidak sengaja akan mencintai kesenian tersebut dan terus berusaha

mempertahankan dan mempopulerkannya sampai waktu yang panjang, sehingga

kesenian tersebut diwariskan kepada generasi selanjutnya. Cara pewarisan juga

dilakukan dengan cara horizontal yaitu dilakukan kepada masyarakat pendukung

lainnya kepada masyarakat luas melalui kegitan apresiasi pertunjukkan.


Tujuan utama dari proses pewarisan dan sosialisasi yang pada akhirnya bisa

membentuk pribadi dan pemahaman seorang individu atas sesuatu nilai, norma

tertentu, maka dari kebudayaan yang berbeda-beda terciptalah identitas sosial dari

suatu kelompok masyarakat yang berbeda pula. David Matsumoto dan Linda Juang,

dalam bukunya Culture and Psychology, menjelaskan proses Sosialisasi dan

Enkulturasi baik secara vertical ataupun horizontal di dalam pelaksanaannya

membutuhkan media. Seperti halnya proses pewarisan dan sosialisasi kesenian Goong

Renteng di Cisarua Kabupaten Sumedang. Media dimaksud adalah;

1. Keluarga

Anak-anak menghabiskan masa-masa awal kehidupan bersama keluarga dan

memperoleh refleksi nilai dan pola perilaku keluarganya. Selanjutnya, kepada

mereka ditunjukkan nilai-nilai dan pola-pola perilaku masyarakat. Anak-anak

mempelajari norma-norma masyarakat melalui keluarga dan teman-teman

bermain. Selain itu, mereka meniru berbagai macam tindakan yang terdapat

dalam masyarakat. Kadang-kadang, orang tua mendorong anaknya supaya

berperilaku sesuai dengan kehendak masyarakat dengan memberikan pujian dan

menghukum mereka bila berperilaku menyimpang.

Pada masyarakat Cisarua selaku pemilik dan pendukung kesenian Goong

Renteng, pimpinan Abah Soma pembiasaan menjungjung tinggi nilai budaya

yang terdapat pada kesenian tersebut dilakukan melalui pemahaman sejarah dan

kesejarahan serta norma-norma menghormati waditra Goong yang merupakan

warisan leluhur Sumedang. Memandikan pada setiap bulan Maulid adalah

sebagai salah satu contoh bagaimana seharusnya artefak budaya tersebut

diperlakukan.
Sebelum menggunakan waditra pada setiap pertunjukkan Abah Soma akan

senantiasa mencontohkan bagaimana memperlakukan waditra tersebut, mulai

dari cara membuka pembungkus kain putih yang menyelimuti goong yaitu

dibuka dengan perlahan dengan mengucap “uluk salam”, atau sanduk-sanduk,

sampai pada perlakuan saat memainkannya. Semua pendukung dan pemainnya

tidak diperkenankan menggunakan waditra untuk berlatih sebelum atau

menjelang pertunjukkan, atau setelah pertunjukkan selesai. Waditra harus

kembali di bersihkan kemudian dibungkus dengan kain putih seperti sedia kala.

Hasil wawancara dengan Abah Soma, yang berhak belajar adalah semua

keturunan sedarah dari Abah Soma dan sebagian keluarga dan kerabat

terdekatnya. Anak kerabat Abah Soma dilatih memainkan alat musik Goong

Renteng dengan cara “dilahun” dan diajarkan dengan pelan-pelan, hal tersebut

dilakukan berulang-ulang pada saat pertunjukkan. Dengan kata lain mereka

tidak diajarkan secara khusus dengan jadwal tetap atau waktu yang terencana.

Proses belajar seperti ini diyakini Abah Soma sebagai upaya melatih rasa,

karena dengan rasa akan menghasilkan teknik bermain yang baik. Setelah rasa

terasah, selanjutnya melatih nada, dan selanjutnya melatih gaya. Setelah

semuanya terlampaui maka selanjutnya anak-anak tersebut tidak serta merta

diperkenankan untuk memainkan Goong Renteng dalam sebuah pertunjukkan,

melain hanya diberi kesempatan untuk memainkan “kecrek” yang berfungsi

sebagai rythm atau Abah Soma menyebutnya sebagai senggak.

Seseorang dianggap siap untuk menjadi pemain salah satu Goong dalam

susunan Goong Renteng adalah ketika sudah memiliki kecintaan mendalam

pada kesenian tersebut, dan memiliki rasa mencintai secara lahir dan bathin

terhadap kesenian dimaksud.


Kegiatan dan proses belajar ini juga merupakan bagian dari transmisi kesenian

Goong Renteng, dari seniman kepada keturunannya sebagai ahli waris budaya

daerah setempat. Sesuai hasil wawancara dengan Abah Soma, bahwa ahli waris

kesenian Goong Renteng adalah semua ahli waris yang memiliki keturunan

langsung dari seniman yang aktif saat ini. Kerabat di luar keluarga sedarah

hanya diberi kesempatan pada orang-orang tertentu, yaitu mereka yang benar-

benar memiliki sense of art terhadap kesenian Goong Renteng yang memiliki

keinginan keras untuk mempelajari dan siap mempertahankan eksistensi

kesenian tersebut dalam jangka waktu yang relative lama.

2. Masyarakat

Masyarakat Desa Cisarua seperti halnya kebanyakan masyarakat di beberapa

wilayah di Kabupaten Sumedang adalah terdiri dari warga yang memiliki ikatan

persaudaraan satu sama lain. Sehingga kegiatan inkulturasi atau pembiasaan

untuk mempertahankan nilai-nilai budaya yang dimilikinya, termasuk budaya

kesenian mudah untuk dilakukan.

Abah Soma sebagai pimpinan grup kesenian Goong Renteng di Cisarua tidak

mendapatkan kesulitan berarti dalam melaksanakan proses inkulturasi seni

budaya kesenian tersebut. Ketegasan dan ketokohan pimpinan grup sebagai

centre manager tidak bisa terbantahkan posisi dan berbagai keputusannya.

Nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian Goong renteng secara terus

menerus ditanamkan sejak dini, didukung oleh kondisi masyarakat yang secara

garis keturunan bertanggungjawab atas budaya warisan leluhur mereka.

3. Pendidikan di Sekolah

Dapat dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang

menjadi tiang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan
kehidupan masyaraka melalui strategi kebudayaan. Dalam hal ini, pendidikan

merupakan medium transformasi nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan

sosial. Melalui pendidikan, kemampuan kognitif dan daya intelektual individu

dapat ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya

intelektual ini sangat penting bagi individu untuk mengenali dan memahami

konsep kebudayaan suatu masyarakat yang demikian beragam, unik, dan

bersifat partikular. Melalui sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak

dini mengenai pentingnya membangun tatanan hidup bermasyarakat, yang di

dalamnya terdapat berbagai macam entitas sosial. Sekolah adalah miniatur

masyarakat, karena di dalamnya ada struktur, status, fungsi, peran, norma dan

nilai.

Beragamnya kesenian tradisional yang terdapat di wilayah Kabupaten

Sumedang, tidak menempatkan kesenian Goong Renteng sebagai pilihan mata

pelajaran muatan lokal, bahkan untuk mata pelajaran ekstra kurikuler, dan tidak

mendapat porsi di dalam kurikulum pembelajaran seni. Hal tersebut

mengurangi pemenuhan unsur kegiatan inkulturasi atau pembudayaan secara

komprehensip.

Upaya yang dilakukan Abah Soma adalah memperkenalkan Goong Renteng

kepada siswa/ siswi sekolah yang ada di Kecamatan Cisarua melalui apresiasi

dengan berusaha menggiring anak-anak usia sekolah untuk turut serta terlibat

dalam pertunjukkan yang diselenggaran di dalam berbagai even yang

diselenggarakan di sekitar wilayah Kecamatan Cisarua. Adapaun acara

dimaksud adalah antara pada saat membersihkan pusaka di bulan Mulud dan

pertunjukkan Muluddannya, atau pada kegiatan helaran hajat lembur, dan


pertunjukkan lainnya yang berhubungan dengan helaran budaya atau ritual

budaya daerah setempat.

4. Kesimpulan

Proses pewarisan atau transmisi budaya kesenian Goong Renteng di Cisarua

Kabupaten Sumedang yang tertutup dan hanya diberikan kepada orang-orang tertentu

saja yang merupakan keturunan langsung dari Abah Soma, hal ini akan

mengakibatkan proses kreativitas berkeseniannya terlambat juga. Menghadapi

persoalan yang demikian maka kegiatan apresiasi dan enkulturasi adalah merupakan

cara untuk mengembangkan proses kreativitas, mempertahankan eksistensinya, dan

membangun fungsi social kesenian Goong Renteng, karena di dalam enkulturasi

bukan sekedar menikmati tontonan melalui apresiasi melainkan mengenali secara

baik, berkembang sikap kebanggaan, pemahaman makna-makna terhadap kesenian

tradisional Goong Renteng, memunculkan rasa mencintai kesenian khas daerahnya

untuk selanjutnya secara tidak langsung turut serta melestarikan keberadaan kesenian

tersebut, karena akan tumbuh rasa memiliki, menikmati setiap pertunjukkannya baik

yang diselenggarakan atas kebutuhan kegiatan ritual ataupun dalam kegiatan

pertunjukkan tanggapan oleh komunal atau komunitas pendukung keseniannya.

Kesenian Goong Renteng yang merupakan kesenian yang mengandung nilai

luhur sebagai budaya masyarakat dan kebanggaan pendukungnya memiliki fungsi

sosial diantaranya adalah yang dilakukan masyarakat Cisarua sebagai media

kebersamaan. Kebersamaan dalam kegiatan panen padi, kagiatan helaran hajat

ngaruat lembur, dan kebersamaan dalam kegiatan sosial lainnya.


DAFTAR PUSTAKA DAN REFERENSI

Arini, S. H. (2008). Seni Budaya. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Atmadibrata. (1977). Goong Renteng. Bandung.
Furchan. (2007).
Harjana, M. (1986).
Kartodirjo, S. (1992).
Karwati, U. (2004).
Kunst, J. (2003). Kurnia dan Nalari. Bandung.
Langer. (1988).
Munandar, U. (2004). Pengembangan Emosi dan Kreativitas. Jakarta: Rineka Cipta.
Musbikin, I. (2006).
Soedarsono. (1978). Komposisi Tari. Yogyakarta: UGM.
Sumardjo, J. (2000). Filsafat Seni. Bandung: ITB.
Sumarjo, J. (2006). wawancara. Bandung: SPS UPI.

M.M Sutopo, Tjetjep.2005.”Pengembangan Kreativitas Anak”.Bandung:Depdiknas


Basuki, Heru. 2006. “pengembangan kreativitas” melalui,
http://www.heru.staff.gunadarma.ac.id
Winkel, W. S. 2004.  “Psikologi Pengajaran” . Yogyakarta: Media Abadi 
Trihardiyanti.2005.”Perekembangan Aktivitas Anak Melalui Pembelajaran
Bermasalah”Melalui (http://binatalenta.com)

Anda mungkin juga menyukai