Anda di halaman 1dari 21

CRITICAL JOURNAL REVIEW

Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi Indonesia

2015

Nama : ARIZKA YOLANDA

NIM :-

Dosen Pengampu:Dr.(C). Zainuddin Nur, SH.,ME

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

STEBIS AL ULUM TERPADU

MEDAN

Desember 2021

1
2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan
bantuan-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Penulis memohon maaf
apabila terdapat kesalahan dalam penulisan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak
---- selaku dosen Filsafat Pendidikan yang memberi arahan dalam mengerjakan tugas Critical
Journal Review dengan Judul jurnal “Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
Sumbangannya Bagi Indonesia”.

Penulis berharap tugas ini dapat menambah wawasan penulis mengenai materi yang diangkat
menjadi topik utama dalam tugas Critical Journal Review serta dapat menjadi referensi yang
bermanfaat bagi para pembaca. Dengan ini penulis mempersembahkan tugas ini dengan penuh
rasa terima kasih dan harapan semoga tugas penulis bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. 

Medan, 23 September 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………………1

DAFTAR ISI ………………………………………………………………2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang ………………………………………………………………3

1.2 Manfaat ………………………………………………………………3

1.3. Tujuan ………………………………………………………………3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Ringkasan Jurnal ……………………………………………………………….4


2.1.2. Pendahuluan jurnal
1………………………………………………………….4

2.1.3. Tinjauan Pustaka ……………………………………………………….5

2.2

2.2.1 pendahuluan jurnal 2 …………………..…………………………………….10

2.2.2 kerangka filsafat ……………………………………………………..……….11

2.2.3 kajian filsafat ilmu ……………………………………………………..……..12

2.2.4 pembahasan filsafat pendidikan ………………………………………..…….13

2.2.4 kesimpulsn ……………………………………………………………………15

3.1. Kritik Jurnal ………………………………………..…………………….15

BAB III PENUTUP

4.1. Kesimpulan ………………………………………………………………17

4.2 Saran ………………………………………………………………17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................18

4
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Salah satu tugas mata kuliah filsafat yang diberikan adalah critical journal review.
Critical Journal review adalah tugas mereview secara kritis seluruh komponen dari suatu
hasil penelitian dalam jurnal dengan cara menganalisis temuan utama, keunggulan dan
kelemahan yang ada dalam penelitian tersebut dan membandingkannya dengan jurnal
lainnya. Untuk melengkapi tugas yang diberikan penulis mencoba mereview jurnal dengan
identitas sebagai berikut
Identitas Jurnal
A. Jurnal pertama
Judul Jurnal : Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya Bagi
Indonesia
Penulis : Henricus Suparlan
Penerbit : Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa
Indentitas :  Vol. 25, No. 1
Tahun : 2015
Nomor ISSN : e- ISSN 2528-6811

B. Jurnal kedua

Judul jurnal : BAHASA DALAM GERBANG FILSAFAT PENDIDIKAN:


PERSPEKTIF ONTOLOGI BAHASA DAN BUDAYA

Penulis : Hugo Warami

Penerbit : warami_hg@yahoo.com

Identitas : vol. 01, No 01

Tahun : 2016

Nomor ISSN : 2503-0698

5
1.1. Tujuan
Critical Journal review ini bertujuan untuk:
1. Mengulas isi jurnal yang akan direview.
2. Mencari dan mengetahui informasi hakikat filsafat pendidikan yang ada dalam jurnal
3. Melatih diri untuk berpikir kritis dalam mencari informasi yang ada pada jurnal.

1.2. Manfaat
1.Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan
2.Untuk menambah pengetahuan tentang hakikat filsafat pendidikan,

6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1Ringkasan Jurnal 1
2.1.2. Pendahuluan
Globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar menyebabkan pendidikan tidak
sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencerdaskan bangsa dan proses pemerdekaan manusia
tetapi mulai bergeser menuju pendidikan sebagai komoditas (Saksono, 2010: 76). Pengaruh
globalisasi yang sedang dan akan berlangsung akan berpengaruh terus-menerus sampai waktu
yang tidak ditentukan dan ini semakin sulit untuk diatasi. Melihat kemungkinan-kemungkinan
yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang, rasanya sangat berat sehingga bangsa
Indonesia harus secara serius menangani masalah ini. Globalisasi telah mengakibatkan
pergeseran tujuan pendidikan nasional dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang tidak lagi
hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih berfokus untuk menghasilkan lulusan
yang menguasai scientia.
Dengan penguasaan scientia dinilai mengarahkan peserta didik kepada hasil yang bersifat
pragmatis dan materialis, karena kurang membekali peserta didiknya dengan semangat
kebangsaan, semangat keadilan sosial, serta sifatsifat kemanusiaan dan moral luhur sebagai
warga negara (Saksono, 2010: 76). Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter
yang cukup memprihatinkan. Demoralisasi mulai merambah di dunia pendidikan seperti
ketidakjujuran, ketidakmampuan mengendalikan diri, kurangnya tanggung jawab sosial,
hilangnya sikap ramah-tamah dan sopan santun (Sutiyono dalam Jurnal Cakrawala Pendidikan,
2010: 42). Henricus Suparlan Untuk menangkal model pendidikan semacam itu maka konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara ditawarkan sebagai solusi terhadap distorsi-distorsi
pelaksanaan pendidikan di Indonesia dewasa ini. Ki Hadjar Dewantara mengatakan hendaknya
usaha kemajuan ditempuh melalui petunjuk “trikon”, yaitu kontinyu dengan alam masyarakat
Indonesia sendiri, konvergen dengan alam luar, dan akhirnya bersatu dengan alam universal,
dalam persatuan yang konsentris yaitu bersatu namun tetap mempunyai kepribadian sendiri
(Dewantara, 1994: 371). Pestalozzi, Frobel dan Maria Montessori adalah tokoh-tokoh pendidikan
yang berpengaruh pada Ki Hadjar dalam menggunakan kebudayaan di dalam kurikulum
pendidikan. Mulai dari TK (Taman Kanak- kanak/Taman Indria) sampai sekolah menengah
unsur-unsur kebudayaan lokal dimasukkan dalam kurikulum untuk melatih panca indera jasmani,

7
kecerdasan dan utamanya adalah kehalusan budi pekerti. Pelajaran yang diberikan di Taman
Indria mulai dari dolanan anak, mendongeng, hingga sariswara yaitu menggabungkan antara
lagu, cerita dan sastra. Nilai-nilai budaya ini dimaksudkan untuk mendidik rasa, pikiran dan budi
pekerti. Anak-anak yang sudah agak besar, misalnya di Sekolah Menengah Pertama (Taman
Dewasa) dan Sekolah Menengah Atas (Sekolah Menengah Madya), diberikan pelajaran olah
gendhing. Ki Hadjar Dewantara mengatakan bahwa olah gendhing dan seni tari adalah untuk
memperkuat dan memperdalam rasa kebangsaan (Dewantara, 2011: 344). Tari Bedoyo dan Tari
Serimpi diberikan kepada anak didik karena merupakan kesenian yang amat indah yang
mengandung rasa kebatinan, rasa kesucian, dan rasa keindahan. Berdasarkan pada uraian di atas
maka artikel ini secara khusus akan membahas beberapa permasalahan, yaitu:
(a) Apa hakikat pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara?;
(b) Apa filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara?
(c) Apa sumbangan pemikiran Ki Hadjar Dewantara bagi pelaksanaan pendidikan Indonesia?.

2.1. 3. Tinjauan Pustaka


A. Konsepsi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam Tinjauan Filsafat Pendididan
Ki Hadjar Dewantara mengajukan beberapa konsep pendidikan untuk mewujudkan
tercapainya tujuan pendidikan, yaitu Tri Pusat Pendidikan: (1) pendidikan keluarga; (2)
pendidikan dalam alam perguruan; dan (3) pendidikan dalam alam pemuda atau masyarakat. Ki
Hadjar Dewantara memasukkan kebudayaan dalam diri anak dan memasukkan diri anak ke
dalam kebudayaan mulai sejak dini, yaitu Taman Indria (balita). Konsep belajar ini adalah Tri
No, yaitu nonton, niteni dan nirokke. Nonton (cognitive), nonton di sini adalah secara pasif
dengan segenap panca indera. Niteni(affective) adalah menandai, mempelajari, mencermati apa
yang ditangkap panca indera, dan nirokke (psychomotoric) yaitu menirukan yang positif untuk
bekal menghadapi perkembangan anak (Dwiarso, 2010: 1). Ketika anak didik sudah menginjak
pada pendidikan Taman Muda (Sekolah Dasar), kemudian Taman Dewasa dan seterusnya maka
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara adalah Ngerti, Ngroso lan Nglakoni. Model pendidikan
ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik intelektualnya saja (cognitive), istilah Ki
Hadjar Dewantara 'ngerti', melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (affective) serta
nglakoni (psychomotoric). Dengan demikian diharapkan setelah anak menjalani proses belajar
mengajar dapat mengerti dengan akalnya, memahami dengan perasaannya, dan dapat

8
menjalankan atau melaksanakan pengetahuan yang sudah didapat dalam kehidupan masyarakat.
Sebagai bagian akhir dari hasil pendidikan, menurut Ki Hadjar Dewantara, adalah menghasilkan
manusia yang tangguh dalam kehidupan masyarakat. Manusia yang dimaksud adalah manusia
yang bermoral Taman Siswa, yaitu mampu melaksanakan Tri Pantangan yang meliputi tidak
menyalahgunakan kewenangan atau kekuasaan, tidak melakukan manipulasi keuangan dan tidak
melanggar . Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan
bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan
mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu sendiri.
Berhubung dengan itu progresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak
otoriter, baik yang timbul pada jaman dahulu maupun pada jaman sekarang (Barnadib, 1982: 28).
Berikut adalah penjelasan konsep-konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dalam perspektif
Progresivisme. Konsep Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan Konsep Ki Hadjar Dewantara
pada sistem among mengatakan bahwa sistem among yang berjiwa kekeluargaan bersendikan 2
dasar, yaitu: pertama, kodrat alam sebagai syarat kemajuan dengan secepatcepatnya dan sebaik-
baiknya; kedua, kemerdekaan sebagai syarat menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir
dan batin anak agar dapat memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka.
Pada bagian lain dikatakan bahwa kodrat alam merupakan batas perkembangan potensi kodrati
anak didik dalam proses perkembangan kepribadiannya. Perkembangan yang sesuai dengan
kodrat alam akan berjalan lancar dan wajar karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk
yang menjadi satu dengan kodrat alam. Manusia atau anak tidak bisa lepas dari kehendak-Nya,
tetapi akan bahagia jika dapat menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan.
Kemajuan tersebut seperti bertumbuhnya tiap-tiap benih suatu pohon yang kemudian
berkembang menjadi besar dan akhirnya hidup dengan keyakinan bahwa dharma-nya akan
dibawa hidup terus dengan tumbuhnya lagi benih-benih yang disebarkan. Sejalan dengan konsep
pendidikan Ki Hadjar Dewantara atas dasar kodrat alam, maka filsafat pendidikan progresivisme
atas dasar pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-
kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi serta mengatasi masalah yang bersifat menekan
atau mengancam manusia itu sendiri. Oleh karena itu antara Ki Hadjar Dewantara dengan filsafat
progresivisme sama-sama menentang pendidikan yang bercorak otoriter, karena hal itu akan
menyebabkan kesulitan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Konsep Ki Hadjar selanjutnya
adalah dasar kemerdekaan yang mengandung pengertian bahwa hal itu sebagai karunia Tuhan

9
Yang Maha Esa kepada manusia dengan memberikan hak untuk mengatur dirinya sendiri
dengan mengingat syarat tertib damainya (orde en vrede) hidup masyarakat.
Menurut Priyo Dwiarso, siswa harus memiliki jiwa merdeka, dalam arti merdeka lahir,
batin serta tenaganya. Jiwa merdeka ini sangat diperlukan sepanjang jaman agar bangsa
Indonesia tidak didikte negara lain. Sistem among melarang adanya hukuman dan paksaan
kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdekanya, mematikan kreativitasnya
(Dwiarso, 2010: 6). Konsep jiwa merdeka ini selaras dengan filsafat progresivisme terhadap
kebebasan untuk berpikir bagi anak didik, karena merupakan motor penggerak dalam usahanya
untuk mengalami kemajuan secara progresif. Anak didik diberikan kebebasan berpikir guna
mengembangkan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang ada dalam dirinya agar tidak terhambat
oleh orang lain. Menurut Ki Hadjar Dewantara, pendidikan adalah usaha kebudayaan yang
bermaksud memberikan bimbingan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak didik agar dalam
garis-garis kodrat pribadinya serta pengaruh-pengaruh lingkungan, mendapat kemajuan hidup
lahir batin (Ki Suratman, 1987: 11). Kebudayaan adalah buah budi manusia sebagai hasil
perjuangannya terhadap pengaruh alam dan jaman atau kodrat dan masyarakat. Budi adalah jiwa
yang sudah matang, sudah cerdas, oleh karena itu dengan kebudayaan, budi manusia dapat
mencapai 2 sifat istimewa yaitu luhur dan halus, dengan demikian maka segala ciptaan budi
senantiasa mempunyai sifat luhur dan halus Henricus Suparlan 61 juga. Jadi kebudayaan
merupakan suatu proses perkembangan secara dinamis mengenai kemenangan perjuangan hidup
manusia terhadap alam dan jaman. Konsep Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan sebagai
usaha kebudayaan ini selaras juga dengan filsafat progresivisme yang mengatakan bahwa
kemajuan atau progress menjadi inti perkataan progresivisme maka beberapa ilmu pengetahuan
yang mampu menumbuhkan kemajuan merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan. Antara
filsafat Ki Hajar dengan progresivisme terdapat perbedaan, jika dalam progresivisme ilmu
pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan adalah ilmu hayat, antropologi, psikologi
dan ilmu alam, sedangkan dalam konsep Ki Hadjar Dewantara di samping ilmu yang umum,
kesenian merupakan bagian yang penting dalam kurikulum pendidikan.

B. Pandangan Ki Hadjar Dewantara Tentang Pengetahuan


Salah satu dasar dalam sistem among Ki Hadjar Dewantara adalah kodrat alam, sebagai
syarat untuk mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Kodrat alam

10
sebagai manifestasi kekuatan Tuhan Yang Maha Esa mengandung arti bahwa pada hakikatnya
manusia sebagai makhluk Tuhan adalah satu dengan alam semesta, dengan demikian manusia
wajib tunduk kepada hukumhukum alam dan wajib menyatukan atau menyelaraskan dirinya
dengan kodrat alam. Penyesuaian diri dengan alam tersebut merupakan proses pembudayaan
manusia. Pernyataan asas Taman Siswa (beginselverklaring), sebagai reaksi terhadap sistem
pendidikan yang memaksakan kultur asing sebagai landasannya sehingga proses dan hasilnya
tidak sesuai dengan kodrat anak Indonesia, menegaskan, “Yang kita pakai sebagai alat pendidikan,
yaitu pemeliharaan dengan sebesar-besar perhatian (toewijdende zorg) untuk mendapatkan
tumbuh kembangnya kehidupan anak lahir batin, menurut kodratnya sendiri.” Jika kultur asing
dipaksakan, maka nilai-nilai yang akan dikembangkan pasti juga akan menyimpang dari nilai-nilai
budaya bangsanya. Hal demikian tidak mungkin digunakan Henricus Suparlan 67 untuk keperluan
membentuk watak dan kepribadian bangsa. Anakanak tersebut akan terasing dari kehidupan
bangsanya dan tidak akan peka terhadap aspirasi dan penderitaan rakyatnya. Dengan demikian
maka dasar kodrat alam digunakan dalam arti edukatif dan dalam kaitannya dengan proses belajar-
mengajar (Soeratman, 1983/1984: 9- 10). Ditinjau dari filsafat pendidikan esensialisme terutama
yang didukung oleh idealisme modern bahwa di balik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tak
terbatas, yaitu Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Manusia sebagai makhluk yang
berpikir berada dalam lingkungan kekuasaan Tuhan. Manusia bila mau menguji dan menyelidiki
ide-ide serta gagasan-gagasannya, maka manusia akan dapat mencapai kebenaran yang sumbernya
adalah Tuhan sendiri (Barnadib, 1982: 39). Idealisme modern mengemukakan tinjauan yang
seperti itu dalam rangka memberikan jalan bagi perkembangan baru dalam kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Teori Leibniz tentang monade menjelaskan bahwa sifat-sifat monade mencerminkan
alam semesta, sesuai dengan apa yang tercipta oleh Tuhan. Hal ini berarti bahwa meskipun atribut
(sifat-sifat) ini terbatas, ia mempunyai kemungkinan untuk menuju kesempurnaan dengan cara
sendiri. Mengenai pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang pengetahuan maupun belajar, memang
tidak secara rinci dipisahkan dari pandangan pendidikan, tetapi dapat kiranya ditunjukkan bahwa
proses belajar untuk mendapatkan pengetahuan adalah penggunaan panca indera yang kemudian
diolah oleh intelek, selanjutnya dipraktekkan dalam kehidupan yang merupakan kegiatan
psikomotorik. Pandangan Ki Hadjar Dewantara tersebut bila ditinjau dari filsafat pendidikan
esensialisme adalah mirip.

11
Landasan berpikir esensialisme mengatakan bahwa belajar dapat didefinisikan sebagai
jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual jiwa membina dan menciptakan
diri sendiri (Barnadib, 1982: 55). Tinjauan filsafat pendidikan esensialisme tentang pandangan Ki
Hadjar Dewantara mengenai pengetahuan dan belajar dapat dijelaskan sebagai berikut. Pandangan
esensialisme mengenai pengetahuan, yang dikatakan sebagai asosianisme, mengatakan bahwa
gagasan atau isi jiwa itu terbentuk dari asosiasi unsur-unsur yang berupa kesan-kesan yang berasal
dari pengamatan. Kesan-kesan tersebut disebut tanggapan yang dapat diumpamakan sebagai atom-
atom jiwa (Barnadib, 1982: 49), sedangkan behaviorisme sebagai pendukung esensialisme
mengatakan bahwa suatu penghayatan kejiwaan terdiri dari proses-proses yang paling sederhana
yang terdiri dari rangsang (stimulus) dari luar, yang disambut dengan tanggapan tertentu
(response). Rangsang dan tanggapan menjadi satu kesatuan (sarbon). Dalam proses berikutnya,
peristiwa kejiwaan merupakan saling-hubungan antar unsur-unsur tersebut dalam berbagai cara
dan bentuk (associanism). Koneksionisme sebagai gerakan ketiga mengatakan bahwa manusia
dalam hidupnya selalu membentuk tata jawaban dengan jalan memperkuat dan memperlemah
hubungan antara Stimulus (S) dan response (R). Untuk ini dikembangkan kaidah mengenai belajar
dan mengenai pengetahuan yang dimiliki seseorang (Barnadib, 1982: 49). Jadi pandangan Ki
Hadjar Dewantara dengan esensialisme tentang belajar tidak bertentangan karena keduanya
mengatakan bahwa untuk mendapatkan pengetahuan digunakan panca indera kemudian diolah
oleh akal sehingga gambaran jiwa (batin) terbentuk.

C. Kesimpulan Jurnal
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Hakikat
pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah memasukkan kebudayaan ke dalam diri anak
dan memasukkan anak ke dalam kebudayaan supaya anak menjadi makhluk yang insani. 2)
Filsafat pendidikan Ki Hadjar Dewantara disebut filsafat pendidikan among yang di dalamnya
merupakan konvergensi dari filsafat progresivisme tentang kemampuan kodrati anak didik untuk
mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dengan memberikan kebebasan berpikir seluas-
luasnya. Di samping itu digunakan kebudayaan yang sudah teruji oleh waktu, menurut
esensialisme, sebagai dasar pendidikan anak untuk pencapaian tujuannya. Khusus mengenai
kebebasan berpikir, menurut Ki Hadjar Dewantara, bila membahayakan anak didik berbuat salah
maka akan diambil alih pamongnya (Tutwuri Handayani). Selain itu Ki Hadjar Dewantara

12
menggunakan kebudayaan asli Indonesia, sedangkan nilai-nilai dari Barat diambil secara selektif
adaptatif sesuai dengan teori trikon (kontinyuitas, konvergen dan konsentris). 3. Kontribusi filsafat
pendidikan Ki Hadjar Dewantara terhadap pendidikan di Indonesia adalah dengan munculnya
model-model Henricus Suparlan 73 pendidikan pesantren modern yang sering dikenal dengan
MBS (Modern Boarding School). Namun secara jelas adalah dibangunnya SMATaruna Nusantara
yang benar-benar menerapkan sistem pagurondari Ki Hadjar Dewantara.

2.2. Ringkasan jurnal 2


2.2.1 Pendahuluan

Manusia sering disebut sebagai animal symbolicum “binatang pencipta lambang” karena
telah menjadi makhluk Tuhan yang paling tinggi derajatnya, dan memiliki keistimewaan akal
budi (kadang juga akal sehat, nurani) sebagai karunia Tuhan. Akal budi itu mencakup
kemampuan berpikir, daya cipta, karsa dan rasa. Kemampuan bersuara pada manusia
ditingkatkan menjadi kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi
dengan bahasa ini dapat terjadi karena adanya kemampuan untuk menciptakan lambang
(symbol): bunyi-bunyi yang melambangkan sesuatu dan sesuatu itu dapat makna, maksud,
gagasan, konsep dan sebagainya. Dari situlah manusia menciptakan tulisan sebagai lambang
yang melambangkan bunyi-bunyi. Atas dasar penciptaan lambang itu, manusia disebut sebagai
animal symbolicum. Selain itu, kemampuan manusia untuk berpikir abstrak dan konseptual, dan
kemampuan untuk mengembangkan pikirannya, menyebabkan manusia disebut homo Sapiens
“manusia pemikir”, “manusia bernalar”. Hal inilah yang menjadi dasar Aristoteles mengatakan
bahwa “tiap manusia selalu ingin tahu, mempunyai kehausan intelektual, yang menjelma dalam
wujud aneka ragam pertanyaan”. Jadi, bertanya adalah berpikir, dan berpikir diwujudkan dalam
bertanya. Pertanyaan itulah pemicu munculnya berbagai hal yang sekarang disebut ilmu.
Dalam perspektif Magnis-Suseno (2005:36) bahwa filsafat selalu mempunyai dua arah
yang saling melengkapi, yaitu (1) filsafat merefleksikan pengalaman manusia, dan (2) filsafat
menanggapi pemikirannya. Jadi, filsafat selalu memperdalam apa yang dialami manusia dalam
hidup sehari-hari, baik pengalaman istimewa maupun pengalaman biasa. Filsafat seakan lahir
dari rasa heran: karena filsafat ingin tahu. Dan sejak kelahirannya, filsafat merupakan suatu
kegiatan dialektis: para filosof saling menanggapi dan saling mengkritik. Bahasa dalam gerbang

13
filsafat pendidikan dapat dieksplorasi melalui perspektif ontologi, yakni (1) ranah filsafat
pendidikan, (2) ranah filsafat bahasa, dan (3) bahasa dan budaya dalam kajian ontologi.

2.2.2 KERANGKA FILSAFAT


Perkembangan Filsafat Filsafat didasari oleh pemikiran filsuf besar Yunani Kuno yang
bernama Aristoteles bahwa episteme ‘pengetahuan rasional’ adalah an organized body of
rational knowledge with its proper object ‘suatu kumpulan yang teratur dari pengetahuan
rasional dengan objeknya sendiri yang tepat’. Jadi, filsafat dan ilmu tergolong sebagai
pengetahuan rasional, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran atau rasio manusia.
Perkembangan filsafat selanjutnya dipelopori oleh gerakan Renaissance dan Aufklarung
(pencerahan). Filsuf zaman itu membawa filsafat ke zaman baru yaitu filsafat modern. Filsafat
modern dipelopori oleh Copernicus (1473-1543), Bruno (1448-1600), Johannes Kepller (1571-
1630), Galieli Galielo (1564-1642), Francis Bacon (1561-1626), Hugo de Groot (1582-1645),
Thomas More (1580-1650). Pada zaman ini, filsafat mulai melepaskan diri dari agama. Di sini
ilmu pengetahuan mulai berkembang bersamaan dengan majunya filsafat (bdk. Gie, 2012:1, 16-
17). Lahirlah filsafat ilmu dengan berbagai antologi berusaha menjelaskan Hakekat ilmu,
misalnya Copernicus dengan astronominya, Versalius dengan anatomi dan biologi, Izaac
Newton dengan matematika dan mekanika. Epistemologi yakni metode dan teori bermunculan,
misalnya Auguste Comte dengan grand-theory yang mengajarkan cara berpikir manusia.
Muncul pula metode observasi, eksperimen, dan komparasi yang dipelopori oleh Fransis Bacon
(1561-1626). Perkembangan filsafat masa itu cukup pesat dengan lahirnya filsuf-filsuf yang
cukup terkenal seperti Imanuel Kant (1724-1804), Jhon Locke, Descartes, Karl Poper, dan lain-
lain. Aspek aksiologi pun mulai berkembang dengan pemikiran-pemikiran tentang nilai yang
berkembang dari ilmu pengetahuan. Di awal abad ke-20 lahirlah filsafat pascamodern yang
masing-masing berkembang di Eropa dan Amerika. Periode itulah filsafat Amerika mulai maju
dengan pemikiran-pemikiran pragmatisme yang menyebabkan mereka selalu berusaha untuk
lebih maju.
2.2.3 Kajian Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu terdiri atas tiga bagian besar, yakni (1) ontologi, (2) epistemologi, dan (3)
aksiologi. Ketiga bagian filsafat ilmu ini dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, ontologi
membahas Hakekat ilmu pengetahuan, yakni untuk memperoleh kebenaran-kebenaran ilmiah.

14
Baginya, sebuah ada tidak diadakan oleh dirinya sendiri, tetapi oleh ada lainnya, sebagai
penyebab ada (causa prima). Kajian ontologi pada prinsipnya merupakan usaha untuk
mengetahui apa yang ingin diketahui, yang ada dan yang merupakan kebenaran. Kebenaran
merupakan hakikat ilmu. Sehubungan dengan kajian ontologi tersebut, dikatakan bahwa ontologi
adalah cabang filsafat yang meneliti segala sesuatu yang ada sejauh itu ada. Kedua,
epistemologi adalah cabang filsafat yang meneliti pengetahuan manusia, kepercayaan serta tabiat
dan dasar pengalaman. Pengetahuan tentang teori pengetahuan yang dalam hal ini dipahami
sebagai filsafat pengetahuan. Teropong ranahnya adalah “Apa yang dapat diketahui dan
bagaimana mengetahuinya?”. Ranah ini terdiri atas sifat pengetahuan, jenis pengetahuan, objek
pengetahuan dam asal mula pengetahuan. Dari ranah ini mewadahi bagaimana ilmu itu dapat
dicapai atau dengan cara apa atau dengan sarana apa ilmu itu diperoleh. Ketiga, aksiologi
membahas ke mana ilmu itu menuju atau dengan kata lain untuk apa ilmu itu dipakai. Dalam hal
ini, aksiologi akan membahas penerapan ilmu yang dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku.
Aksiologi tidak saja terkait dengan ilmu terapan tetapi juga semua ilmu yang membawa dampak
pada perubahan tingkah laku manusia baik secara pribadi maupun lingkungan. Aksiologi
dimaknai juga sebagai pikiran, pengetahuan atau ilmu tentang hal-hal pantas, wajar, atau yang
etis (bernilai baik atau kebaikan) sebagai tanda keluhuran hidup. Untuk itu, diharapkan bidang
kajian aksiologi dapat mengubah tingkah laku masyarakat. Apabila ilmu tidak berdampak positif
terhadap kehidupan manusia, maka manusia dan masyarakat akan hancur, walaupun kenyataan
banyak ilmu dapat merusak manusia dan lingkungannya. Itulah perkembangan ilmu benar-benar
melepaskan diri dari filsafat (lihat Watloly, 2013:28-45).
2.2.4 PEMBAHASAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Filsafat pendidikan merupakan studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari
pendidikan. Terkait dengan itu semua adalah persoalan pendidikan dan masyarakat. Sejalan
dengan pendapat Alwasilah (2008:101-108) bahwa kajian serius filsafat pendidikan dapat
menyeret serta membahas sekitar psikologi perkembangan dan perkembangan manusia.
Dengan demikian, pada intinya filsafat pendidikan mempertanyakan sejumlah pertanyaan
penting sebagai berikut: (1) pengetahuan apa yang paling berharga?, (2) pengetahuan apa yang
mesti diajarkan?, (3) apa yang seharusnya menjadi tujuan pendidikan?, (4) bagaimana manusia
belajar?, dan (5) bagaimana sebaiknya hubungan antara guru dan siswa? Dalam menjawab dan
merespons pertanyaan-pertanyaan di atas dalam ranah filsafat pendidikan, maka diperlukan

15
aliran-aliran filsafat yang sangat relevan untuk menjawabnya. Aliran-aliran filsafat terdiri atas:
(1) Esensialisme, (2) Perenialisme, (3) Progresivisme, (4) ekstensialisme, (5) rekonstruksi, (6)
pedagogi Kritis. Keenam aliran filsafat pedidikan ini dapat diuraikan sebagai berikut.
Pertama, aliran filsafat esensialisme merupakan filsafat konservatif yang mengungkap bahwa
sekolah itu tidak dapat mengubah masyarakat secara radikal. Sekolah seharusnya mengajarkan
nilai-nilai moral tradisional dan pengetahuan agar siswa kelak menjadi warga negara yang
teladan. Ajaran yang mesti diberikan kepada siswa antara lain hormat kepada kekuasaan,
ketabahan, taat menjalankan kewajiban, tenggang rasa kepada orang lain, dan menguasai hal-hal
praktis.
Kedua, aliran filsafat Perenialisme merupakan filsafat yang merujuk pada prinsip bahwa
sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan. Siswa seyogianya
diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Kaum
perenialis mendasarkan teorinya pada pandangan universal bahwa semua manusia memiliki sifat
esensial sebagai makhluk rasional, jadi tidaklah baik menggiring dan mencocok hidung siswa ke
penguasaan keterampilan vokasional saja.
Ketiga, aliran filsafat Progresivisme merupakan filsafat yang merujuk pada prinsip
menghormati perorangan, sains, dan menerima perubahan sesuai dengan perkembangan.
Aliran ini menstimulasi sekolah untuk mengembangkan kurikulum sehingga lebih relevan
dengan kebutuhan dan minat siswa. Sekolah-sekolah menekankan matematika, sains, bahasa
asing, dan mata-mata pelajaran yang terkait dengan pertahanan. Aliran filsafat ini juga
memandang bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu bukan sesuatu yang tak dapat
direncanakan. Perubahan dapat diarahkan pada tingkat kepandaian manusia, yakni mesti
membuat siswa sebagai warga negara yang Demokratik, berpikir bebas, dan cerdas.

Filsafat Bahasa
Filsafat bahasa mengandung upaya untuk menganalisis unsur-unsur umum dalam bahasa
seperti makna, acuan (referensi), kebenaran, verifikasi, tindak tutur, dan ke tidak nalaran
(Sumarsono, 2004:25-26). Filsafat bahasa itu merupakan suatu pokok persoalan filsafat;
sedangkan filsafat kebahasaan terutama merupakan nama metode filosofis. Tetapi metode dan
bahasan itu berhubungan erat. Mengapa? Karena beberapa masalah dalam filsafat bahasa dapat
ditangkal oleh metode-metode dalam filsafat kebahasaan. Misalnya, masalah yang berhubungan

16
dengan hakikat kebenaran dapat dipandang, setidak-tidaknya sebagai persoalan tentang
penganalisisan konsep “benar”, dan yang lebih penting lagi adalah metode-metode yang dipakai
oleh pakar-pakar filsafat kebahasaan dalam melakukan analisis kebahasaan sangat tergantung
kepada filsafat bahasa mereka. Prinsip dasar yang dikembangkan oleh Wittgenstein dalam
Kalelan (2004:269) tentang hakikat bahasan adalah suatu realitas yang memiliki konsep berasal
dari pengalaman dan pernyataannya menggambarkan pengetahuan yang hanya dapat
dipertanggungjawabkan dari pengalaman (empirisme) dan konsep yang bukan berasal dari
pengalaman (non empirisme) berupa nilai. Ungkapan bahasa yang digunakan manusia itu untuk
berkomunikasi dalam suatu tindak tutur secara empiris dapat ditangkap melalui Indera
pendengar. Namun ungkapan empiris tersebut memiliki dimensi makna yaitu makna informasi
yang terkandung dalam ungkapan bahasa itu. Menurut Wittgenstein makna yang terkandung
dalam ungkapan bahasa terdapat dalam kehidupan manusia, karena pada prinsipnya bahasa
digunakan oleh manusia dalam berkomunikasi untuk mengungkapkan suatu makna yang
merupakan nilai kehidupan. Selain itu, Palmer (1996:1-3, 133-169) menyebut bahwa bahasa
sebagai sebuah permainan dari simbol verbal yang didasarkan dengan rasa Indera (pencitraan),
tetapi juga bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia tentang dunia dan
konsepsinya, melainkan membentuk visi tentang realitas.

2.2.4 SIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian bahasa dalam gerbang filsafat pendidikan dapat dieksplorasi
melalui perspektif ontologi di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, filsafat
merupakan pengetahuan tentang hakikat segala yang ada di dunia ini, sebab, asal dan hukumnya;
mempunyai cabang logika etika, estetika, metafisika, dan epistemologi. Filsafat dapat bertindak
sebagai teori atau sebagai ilmu, yang didasarkan kepada akal budi manusia. Ini sejajar dengan
etimologi kata filsafat yang bermakna ‘cinta kebijaksanaan; cinta pengetahuan’. Sebagai hasil
dari akal budi, filsafat berbicara tentang metode berpikir, induksi dan dedukasi dan sebagainya.
Keterkaitannya dengan ilmu tampak pada awal kelahirannya, yaitu pertanyaan yang bersumber
pada akal budi, masalah yang dihadapi manusia, dan rasa kagum manusia. Adanya keterkaitan
itu memunculkan adanya filsafat ilmu, yang memberikan wawasan konseptual tentang teori,
metode dan asumsi-asumsi yang dimiliki oleh suatu ilmu atau keseluruhan ilmu. Kedua, filsafat
pendidikan merupakan studi ihwal tujuan, hakikat, dan isi yang ideal dari pendidikan termasuk di

17
dalamnya semua persoalan pendidikan dan masyarakat. Filsafat pendidikan dapat menyeret serta
membahas sekitar psikologi perkembangan dan perkembangan manusia. Filsafat pendidikan
mendasari pemikirannya pada ihwal pendidikan atau suatu kegiatan pendidikan yang
menyangkut sekolah, kurikulum, peserta didik, dan lain sebagainya. Ketiga, filsafat bahasa
merupakan kajian filosofi tentang pengetahuan konseptual dari cara-cara bagaimana
pengetahuan itu diungkapkan dan dikomunikasikan dalam bahasa. Dengan melihat struktur
bahasa, bentuk, dan isi serta konsep bahasa, filsafat bahasa mencoba membuat simpulan tentang
struktur pengetahuan konseptual dari ilmu yang menggunakan bahasa itu.

3.1. Kritik Jurnal


Dari jurnal yang berjudul Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan
Sumbangannya Bagi Indonesia banyak memberikan manfaat kepada pembacanya.
Terutama bagi guru BK (Bimbingan Konseling). Walaupun secara keseluruhan jurnal ini sudah
cukup baik, tetapi menurut sudut pandang review masih ditemukan beberapa kekurangan dalam
penulisan ini yaitu penulis tidak melengkapi jurnal tersebut dengan teori filsafat yang
berhubungan dengan pendidikan. Jurnal tersebut kurang mencakup mengenai hakikat dari filsafat
pendidikan. Seharusnya jurnal tersebut memiliki cakupan yang luas agar pembaca dapat mengerti
apa yang akan disampaikan melaului jurnal tersebut. Jurnal tersebut hanya berdasarkan pandangan
dari Ki Hadjar Dewantara mengenai filsafat pendidikan. Jika jurnal ini memuat pandangan dari
berbagai pihak, maka jurnal ini akan kelihatan sempurna bagi para pembacanya.
Sedangkan untuk jurnal yang berjudul BAHASA DALAM GERBANG FILSAFAT
PENDIDIKAN: PERSPEKTIF ONTOLOGI BAHASA DAN BUDAYA menurut pandangan
review sudah begitu bahus. Di jurnal tersebut penulis menyertakan teori filsafat pendidikan
dengan jelas dan hakikat dari filsafat sangat jelas disertakan penulis, jurnal tersebut banyak
memberikan poinr point utama dalam filsafat pendidikan. Dalam jurnal ini penulis juga
mengkaitkan filsafat pendidikan dengan filsafat lain. Meskipun jurnal ini sudah cukup baaik bagi
pandangan review namun bukan berarti jurnal ini sudah sempurna, jika dilihat oleh sudut pandang
review, jurnal ini masih memlunyai kekurangan berupa penggunaan tata bahasa yang begitu ribet,

18
sehingga hal ini membuat para pembacanya harus berfikir lebih krisis untuk mengerti apa maksud
dari jurnal ini.

19
Bab III
Penutup
4.1. Kesimpulan
Jurnal Jurnal tersebut sudah bagus dalam pembahasannya dan bisa dijadikan referensi bagi
yang lainnya. Meskipun masih terdappat beberapa kekurangan, namun dari segi isi jurnal jurnal
tersebut sudah sangat bermanfaat dalam hal pendidikan.
Namun ada baiknya penulis memperbaiki kekurangan kekurangan yang ada dalam jurnal
tersebut seperti sudut pandang yang minim, penggunaan bahasa yang terlalu ribet, dan
sebagainya, sehingga para pembaca akan tertarik untuk mengerti apa isi dari jurnal jurnal
tersebut.

4.2. Saran
Jurnal tersebut haruslah direvisi agar dapat sempurna di mata pembaca. Jurnal tersebut
haruslah memiliki pandangan dari berbagai pihak, penjelasannya harus lebih lengkap lagi,
perbaikan penggunaan bahasa, dan sebagainya, harus lebih diperhatikan. Perbaikan ini akan
membuat para pembaca akan lebih tertarik untuk mengerti apa isi dari jurnal jurnal tersebut dan
bukan cuman sekedar membaca saja

20
DAFTAR PUSTAKA

Henricus Suparlan, 2015. Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara dan Sumbangannya


Bagi Indonesia. Jurnal Pendidikan volume 25 no. 1
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.researchgate.net/
publication/
325292586_BAHASA_DALAM_GERBANG_FILSAFAT_PENDIDIKAN_PERSPEKTIF_
ONTOLOGI_BAHASA_DAN_BUDAYA&ved=2ahUKEwi9iraki_fkAhWGX30KHfC8A70
QFjACegQIBBAB&usg=AOvVaw2MfKXnSpYvh2oBW2YKfs6D

21

Anda mungkin juga menyukai