Anda di halaman 1dari 18

KUSTA

DEFINISI
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

ETIOLOGI
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di
Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M.leprae
merupakan bakteri batang tahan asam,gram positif, berkelompok, tersebar, obligat intraseluler, dan
suka suhu dingin 27 – 30 °C (cuping telinga, mukosa hidung). M.leprae membelah diri dalam waktu 11 –
13 hari dengan masa inkubasi rata-rata 3 – 5 tahun. Cara penularan bisa melalui kontak langsung
antarkulit yang lama dan aerosol inhalasi pada lingkungan padat dan higiene buruk. Faktor – faktor lain
yang mempengaruhi penularan adalah sumber penularan, kuman kusta dan daya tahan tubuh.

1. Sumber penularan
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB inipun tidak akan menularkan
kusta, apabila berobat teratur.
2. Kuman Kusta
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau
cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan
penularan.
3. Daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95 %). Dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut :
Dari 100 orang yang terpapar :
95 orang tidak menjadi sakit.
3 orang sembuh sendiri tanpa obat.
2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.

KLASIFIKASI
Tujuan :
- Untuk menentukan regimen pengobatan.
- Untuk perencanaan operasional.

Klasifikasi Madrid

Tuberkuloid Borderline Lepromatosa


Menyerang saraf tepi Campuran antara tuberkuloid Makrofag mampu
terutama sel Schwan dan lepromatosa berfagositosis tapi tidak
Makrofag masih bekerja mampu menghancurkan
dengan baik, dapat secara sempurna
memfagositosis dan Membentuk sel Virchow
menghancurkan kuman Respon imun humoral
M.leprae (antibodi)
Terbentuk sel epiteloid Jumlah basil banyak
yang akan membentuk Bercak eritematosa
granuloma Bercak tidak berbatas
Granuloma menekan tegas
saraf (perineurium) Progresif, maligna
sehingga akan Lesi kulit noduler
menyebabkan Uji kulit lepramin (-)
kehilangan tiga fungsi
saraf yaitu sensorik,
motorik dan otonom
Gejala : kulit kering,
bercak putih berbatas
tegas, rasa kebas
Respon imun seluler
Jumlah basil sedikit
Uji kulit lepromin (+)

Klasifikasi Ripley & Jopling

Ripley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit kusta yang terdiri dari
pelbagai tipe atau bentuk, yaitu:

TT : Tuberkuloid polar, bentuk stabil

Ti : Tuberkuloid indefinite

BT : Borderline tuberculoid

BB : Mid borderline Bentuk yang labil

BL : Borderline lepramatous

Li : Lepromatosa indefinite

LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni
tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL
adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromtosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak
mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran
antara tuberkuloid dan lepromatosa.BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid dan 50
% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak
lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke
arah TT maupun ke arah LL.

Klasifikasi WHO

Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar. Yang termasuk
multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan IB lebih dari 2+ sedangkan
pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.

PB MB

Jumlah tanda/
1–5 >5
bercak kulit

Kerusakan saraf
Hanya 1 saraf Banyak saraf
tepi

Skin smear (BTA) Negatif (-) Positif (+)

EPIDEMIOLOGI
Kusta terdapat di mana-mana, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, daerah tropis dan subtropis, serta
masyarakat yang sosial ekonomi rendah. Kusta bukan penyakit keturunan. Frekuensi tertinggi terdapat
pada kelompok umur antara 25 – 35 tahun. Prevalensi kusta di Indonesia adalah 1,57 per 10.000
penduduk. Indonesia menempati urutan ke-3 setelah India dan Myamar. Distribusi penderita kusta di
Indonesia tidak merata, yang tertinggi antara lain Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua.

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjad ulserasi, mutilasi
dan deformitas. Penderita kusta bukan hanya menderita penyakitnya, tetapi juga dikucilkan masyarakat
sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan
sensorik, serta adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi
otot.
PATOGENESIS

Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan
kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita.
Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan
gambaran lepromatosa.
MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Gambaran klinis multibasilar (MB)

Gambaran klinis pausibasilar (PB)

Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau “cardinal signs” pada
badan yaitu :
1. Kelainan kulit/lesi yang hipopigmentasi atau kemerahan dengan hilang/mati rasa yang jelas.
2. Kerusakan dari syaraf tepi, yang berupa hilang/mati rasa dan kelemahan otot tangan, kaki,
atau muka.
3. Adanya kuman tahan asam di dalam korekan jaringan kulit (BTA positif).

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda pokok diatas.
Bila ragu-ragu orang tersebut dianggap sebagai kasus dicurigai (suspek) dan diperiksa ulang setiap 3
bulan sampai diagnose dapat ditegakkan kusta atau penyakit lain.

Untuk melakukan diagnosis secara lengkap dilaksanakan hal-hal sbb :


1. Anamnesis.

Keluhan utama : adanya perubahan warna kulit yang hipopigmentasi (bercak putih) atau
eritematosa (bercak kemerahan)

Riwayat penyakit sekarang :


Kapan pasien pertama kali memperhatikan adanya perubahan warna kulit?
Apakah terasa gatal?
Apakah terasa kebas?
Bagaimana penyebaran lesi tersebut?
Bagaimana bentuk lesi tersebut?
Adakah gejala penyerta?

Riwayat penyakit dahulu :


Pernahkah pasien mengalami keluhan yang sama sebelumnya?

Riwayat pengobatan : Riwayat pemakaian obat yang lengkap penting bagi semua jenis
pengobatan, baik obat resep ataupun alternatif, yang dimakan atau topikal.
Pernahkah pasien berobat sebelumnya?
Pernahkah pasien menggunakan obat untuk mengurangi keluhan tersebut?

Riwayat keluarga :
Adakah orang lain di keluarga yang mengalami kelainan serupa?
2. Pemeriksaan klinis yaitu :
- Pemeriksaan kulit.
Bentuk, jumlah, distribusi, permukaan, batas dan warna lesi
- Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan adalah pembesaran, konsistensi, ada/tidaknya
nyeri spontan dan / atau nyeri tekan.
Sensorik : kapas (raba), jarum (nyeri), suhu (panas/dingin)
Motorik : kekuatan otot / VMT (Voluntary Muscle Test)
Otonom : tes anhidrosis. Pada Tes Gunawan, pensil tinta digoreskan mulai dari tengah
lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal
bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya aloplesia
di daerah lesi, yang kadang-kadang membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit
berambut sedikit, sangat sukar menentukannya.

3. Pemeriksaan bakterioskopik.
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan kulit atau usapan dan kerokan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA, antara lain dengan Ziehl-Neelsen. Bakterioskopik
negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman
M.leprae.
Pertama – tama harus ditentukan lesi kulit yang paling padat oleh kuman (aktif). Lokasi tempat
pengambilan sampel dapat di kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling
aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
M.leprae tergolong BTA, akan tampak merah di sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid),
batang terputus (fragmented) dan butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup,
sedangkan fragmented dan granular adalah kuman mati.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan
Indeks Bakteri (IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang
(LP).
1+ bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1 – 10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11 – 100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101 – 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
nonsolid. Rumus :
Jumlah solid
x 100 %=… %
Jumlah solid + nonsolid
IM sangat menentukan daya penularan kuman M.leprae.

4. Pemeriksaan hispatologis.
Makrofag yang berada di jaringan kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah
melakukan fagositosis. Kalau ada kuman M.leprae masuk, akibatnya akan bergantung pada
Sistem Imunitas Seluler (SIS) orang itu. Apabila SIS tinggi, makrofag akan mampu memfagosit
M.leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan
adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,
makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian
akan berubah menjadi sel Datia Langhans. Pada penderita SIS rendah atau lumpuh, histiosit
tidak dapat menghancurkan M.leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat
berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologik
tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang nyata, tidak ada kuman atau hanya
sedikit dan nonsolid. Pada tipe lepromatosa terdapat subepidermal clear zone, yaitu suatu
daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow
dengan banyak kuman.

5. Immunologis.
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang
terinfeksi oleh M.leprae. Antibodi yang bersifat spesifik terhadap M.leprae yaitu antibodi PGL-1
dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik yaitu antibodi
LAM yang juga dihasilkan oleh M.tuberculosis. Macam – macam pemeriksaan serologik kusta :
Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)
Uji ELISA
ML dipstick test
ML flow test

TT BT BB BL LL
Skin lesions + ++ ++ +++ ++++
Granulomas ++++ +++ ++ - -
Epithelioid cells ++++ +++ ++ +/- -
Histiocytes - - ++ ++++ ++++
Foamy cells - - - + ++
Number of bacilli +/- + ++ +++ ++++
Fernandez reaction ++++ +++ + - -
Mitsuda reaction ++++ +++ + - -
Anti - M. Leprae -/+ -/++ ++ +++ +++
antibodies
Erythema nodosum - - - -/+ ++
Immunologic stability ++ +/- - +/- ++

DIAGNOSIS BANDING
Penyakit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain pitiriasis versikolor, tinea
korporis, psoriasis dan sifilis stadium II.

1. Pitiriasis versikolor
Pitiriasisi versikolor adalah penyakit jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan
keluhan subjektif, berupa bercak skuama halus yang berwarna putih sampai coklat hitam,
terutama meliputi badan dan kadang-kadang dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan,
tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala yang berambut.
Kelainan ini terlihat sebagai bercak – bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai
teratur, batas jelas sampai difus. Bercak – bercak tersebut berflourosensi bila dilihat dengan
lampu Wood. Kelainan biasanya asimtomatik sehingga kadang pasien tidak merasakan adanya
kelainan ini. Kadang- kadang penderita dapat merasakan gatal ringan, yang merupakan alasan
berobat.
Diagnosis pitiriasis versikolor ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan flourosensi
lesi kulit dengan lampu Wood dan sediaan langsung. Flouresensi lampu Wood berwarna kuning
keemasan dan pada pemeriksaan KOH 20% terlihat campuran hifa pendek dan spora-spora bulat
yang dapat berkelompok.

2. Tinea korporis
Tinea korporis merupakan dermatofitosis (penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk
yang disebabkan oleh golongan jamur dermatofita) pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous
skin). Kelainan yang dilihat dalam klinik lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas
eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papula di tepi.Bagian tepi lesi lebih aktif
(lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada daerah tengah biasanya lebih tenang. Kadang-
kadang terdapat erosi dan krusta akibat garukan karena penderita merasa gatal. Lesi pada
umumnya merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula
terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi menjadi satu. Pada
pemeriksaan KOH 20% akan terlihat hifa apat dilakukan juga kultur jamur.

3. Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang disebabkan oleh autoimun, bersifat kronik dan residif, ditandai
dengan adanya bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-
lapis, dan transaparan; disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Köbner. Kedua fenomena
yang disebutkan terlebih dahulu bersifat khas, sedangkan yang terakhir tidak khas.
Sebagian penderita mengeluh adanya rasa gatal. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan
daerah tersebut dengan muka, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku serta lutut dan
daerah lumbosakral.
Fenomena tetesan lilin ialah skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada goresan,
seperti lilin yang digores, disebabkan oleh berubahnya indeks bias. Fenomena Auspitz akan
tampak serum atau darah berbintik-bintik yang disebabkan oleh papilamatosis.
Psoriasis juga dapat menyebabkan kelainan kuku sebanyak kira-kira 50%, yang agak khas adalah
pitting nail atau nail pit berupa lekukan-lekukan miliar. Disamping itu, psoriasis juga dapat
menimbulkan kelainan pada sendi (artritis psoriatik).

4. Sifilis stadium II
Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh treponema pallidum; sangat kronik dan
bersifat sistemik. Sifilis stadium II dapat disertai gejala konstitusi yang umumnya tidak berat,
berupa anoreksia, turunnya berat badan, malaise, nyeri kepala, demam, dan atralgia. Kelainan
kulit dapat menyerupai penyakit kulit lainnya. Gejala yang penting untuk membedakannya
dengan berbagai kelainan kulit lainnya ialah: kelainan kulit pada S II (papul) umumnya tidak
gatal, sering disertai limfadenitis generalisata, pada S II kelainan kulit juga dapat terjadi pada
telapak tangan dan kaki.
KOMPLIKASI
M. lepare menyerang syaraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat syaraf tepi, maka akan
terjadi gangguan fungsi syaraf tepi : sensorik, motorik, dan otonom.
Terjadinya komplikasi pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi syaraf tepi, baik karena kuman kusta
maupun karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan Reaksi Lepra.
A. Kerusakan Fungsi Sensorik.
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa (anestesi). Akibat
kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata
akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran,
benda-benda asing yang dapat menimbulkan infeksi mata dan akhirnya kebutaan.
B. Kerusakan Fungsi Motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya
mengecil (atropi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok
(“claw hand/claw toes”) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendinya (kontraktur). Bila
terjadi kelemahan/kelumpuhan pada otot kelopak mata maka kelopak mata tidak dapat
dirapatkan (“lagophtalmos”).
C. Kerusakan Fungsi Otonom.
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pada
umumnya apabila akibat kerusakan fungsi syaraf tidak ditangani secara cepat dan tepat maka
akan terjadi cacat ketingkat yang lebih berat.
Pada penyakit kusta, M.leprae dapat menyebabkan kerusakan pada tulang yang bersifat spesifik dan
sekunder. Kerusakan tulang spesifik biasanya disebabkan oleh invasi langsung oleh mikroorganisme
M.leprae sedangkan kerusakan tulang sekunder diakibatkan oleh reaksi infeksi dan trauma di jaringan
sekitarnya. Kerusakan tulang sekunder paling sering ditemukan pada penyakit kusta.
Kerusakan tulang sekunder bisa terjadi osteoporosis akibat imobilisasi tulang yang disertai dengan
adanya gangguan fungsi saraf motorik sehingga akan terjadi gangguan absorbsi. Osteoporosis bisa
semakin diperparah dengan adanya reaksi infeksi dan trauma. Kelainan tulang sekunder akibat reaksi
infeksi dan trauma memiliki tiga tempat predileksi di kaki yaitu ujung jari kaki, sendi metatarsofalangeal
dan tarsus. Deformitas pada sendi metatarsofalangeal paling sering terjadi dan bisa menyebabkan “claw
toes” dan “drop foot”.
Kerusakan tulang spesifik biasanya ditemukan pada daerah wajah, tangan dan kaki. Keruaskan tulang
spesifik disebabkan oleh reaksi jaringan granulomatosa yang bersifat destruktif. Destruksi pada tulang
hidung dapat menyebabkan kolaps cavum nasi yang disebut “sadlle nose deformity”.

PENATALAKSANAAN
A. TUJUAN PENGOBATAN
1. Menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat. Pada penderita tipe PB yang berobat
dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat. Akan tetapi bagi penderita yg sudah
dalam keadaan cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah cacat yg lebih lanjut. Bila penderita
kusta tidak minum obat secara teratur,maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali,sehingga timbul
gejala-gejala baru pada kulit dan syaraf yang dapat memburuk keadaan. Disinilah pentingnya
pengobatan sedini mungkin dan teratur.
2. Memutuskan mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipe yang menular kepada orang
lain. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya
merusak jaringan tubuh,dan tanda-tanda penyakit menjadi kurang aktif dan akhirnya hilang. Dengan
hancurnya kuman sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus. Selama
dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa.
B. OBAT-OBAT YANG DIPERGUNAKAN
1.DDS (Dapsone).
a. Singklatan dari Diamino Diphenyl Sulfone.
b. Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet.
c. Sifat bakteriostatik yaitu menghalang/menghambat pertumbuhan kuman kusta.
d. Dosis.
1). Dewasa 100 mg/hari.
2). Anak-anak 1-2 mg/kg berat badan/hari.
e. Efek samping jarang terjadi, berupa :
1). Anemia Hemolitik
2). Manifestasi kulit (alergi) seperti halnya obat lain, seseorang dapat alergi
terhadap obat ini. Bila hal ini terjadai harus diperiksa dokter untuk dipertimbangkan
apakah obat harus dihentikan.
3). Manifestasi saluran pencernaan makanan : Anoreksi, nausea, muntah,
hepatitis.
4). Manifestasi syaraf; Neuropati perufer, sakit kepala vertigo, penglihatan
kabur, sulit tidur, psychosis.

2. Lamperene (B663) juga disebut Clofazimine.


a. Bentuk
Kapsul warna coklat.Ada takaran 50 mg/kapsul dan100 mg/kaps.
b. Sifat :
1). Bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta.
2). Anti reaksi (menekan reaksi).

c. Dosis :
Untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada Regimen
pengobatan MDT.
d. Efek sampingan :
1). Warna kulit terutama pada infiltrat berwarna ungu sampai kehitam-hitaman
yang dapat hilang pada pemberian obat Lampprene dihentikan.
2). Gangguan pencernaan berupa diare, nyeri pada lambung.

3. Rifampicin.
a. Bentuk : Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.
b. Sifat : Mematikan kuman kusta (Bakteriosid).
c. Dosis :
Untuk dipergunakan dalam pengobatan kombinasi,lihat pada Regimen
pengobatan MDT. Untuk anak-anak dosisnya adalah 10-15 mg/kg berat badan.
d. Efek samping :
Efek samping yang ditimbulkan oleh Rifampicin yaitu dapat menimbulkan
kerusakan pada hati dan ginjal. Dengan pemberian Rifampicin 600 mg/bulan tidak
berbahanya bagi hati dan ginjal (kecuali ada tanda-tanda penyakit sebelumnya).
Sebelum pemberian obat ini perlu dilakukan tes fungsi hati apabila ada gejala-gejala
yang mencurigakan.
Catatan :
Perlu diberitaukan kepada penderita bahwa air seni akan berwarna merah bila minum
obat. Efek samping lain adalah tanda-tanda seperti inflensa (flu Syndrom) yaitu badan
panas,beringus,lemah dan lain-lain, yang akan hilang bilamana diberikan obat simptomatis.
Pengobatan Rifampicin supaya dihentikan sementara bila timbul gejala gangguan fungsi hati dan
dapat dilanjutkan kembali bila fungsi hati sudah normal.

4. Prednison.
Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan reaksi.

5. Sulfat Ferrosus.
Obat tambahan untuk pederita kusta yang Anemia Berat.
6. Vitamin A.
Obat ini digunakan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Ichthiosis).

C. REGIMEN PENGOBATAN MDT.


Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO. Regimen
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tipe PB 1 : Lesi 1
Diberikan dosis tunggal ROM :
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa 50 – 70 kg 600 mg 400 mg 100 mg
Anak 5-14 tahun 300 mg 200 mg 50 mg
- Obat ditelan di depan petugas
- Anak < 5 tahun } tidak diberikan ROM
- Ibu hamil
Pemberian pengobatan sekali saja dan langsung RFT.
Bila obat-obat ini belum datang dari WHO untuk sementara semua kasus PB1 diobati selama 6
bulan dengan Regimen PB (2-5). Lesi 1 dengan pembesaran saraf,diberikan Regimen PB 2-5

2. Tipe PB 2-5 : Lesi 2-5


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
- Rifampicin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
- DDS tablet 100 mg/hari diminum dirumah.
- Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 9 Bulan.
Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (“ Release From Treatment” = berhenti minum
obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif.

3. Tipe MB : Lesi lebih dari 5


Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa.
- Rifampicin 600 mg/bulan diminum didepan petugas.
- Lamprene 300 mg/bulan diminum didepan petugas.
- Lamprene 50 mg/hari diminum dirumah.
DDS 100 mg/hari diminum dirumah.
Pengobatan 12 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan.
Sesudah selesai minum 12 dosis dinyatakan RFT (“Release From Treatment” = berhenti minum
obat kusta), meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.

Dosis Lamprene untuk anak :


Umur dibawah 10 tahun : bulan 100 mg/bulan. Harian 50 mg/2 kali/minggu.
Umur 11-14 tahun : bulan 200 mg/bulan, Harian 50 mg/3 kali/minggu.

Dosis DDS untuk anak-anak 1-2 mg/kg berat badan.


Dosis Rifampicin untuk anak-anak 10-15 mg/kg berat badan.

PROGNOSIS
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya kerusakan saraf. Selain itu, penderita dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit
multipel dan dengan saraf yang membesar atau nyeri juga memiliki resiko tersebut. Prognosis tipe kusta
TT jauh lebih baik dibandingkan dengan prognosis tipe kusta LL.

Pada penderita tipe PB yang berobat dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat.
Akan tetapi bagi penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen pengobatan hanya dapat
mencegah cacat yg lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur,maka kuman kusta
dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan syaraf yang dapat
memburuk keadaan.

REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya kronik.
Reaksi kusta dapat terkait dengan respon imun humoral dan seluler . Reaksi kusta dapat timbul sebelum,
pada saat dan setelah pengobatan. Faktor – faktor pencetus reaksi kusta ialah : kondisi lemah, malaria,
stres, kehamilan maupun sesudah imunisasi. Klasifikasi reaksi kusta dibagi menjadi reaksi tipe 1 dan
reaksi tipe 2.

1. Reaksi tipe 1
Reaksi tipe 1 juga disebut reaksi reversal, reaksi upgrading atau reaksi borderline. Pada reaksi
tipe 1 terjadi peningkatan sistem imunitas seluler dimana pada umumnya lesi lama menjadi
lebih aktif atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Pada tipe borderline, sistem
imun meningkat dengan sangat cepat sehingga akan terjadi perubahan tipe kusta menuju tipe
PB. Gejala pada reaksi tipe 1 adalah lesi lama yang semakin aktif, timbul lesi baru, gangguan
konstitusi dan dapat disertai neuritis ( gangguan fungsi saraf tepi).

2. Reaksi tipe 2 / ENL


Reaksi tipe 2 biasanya terjadi pada tipe MB. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun
humoral berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae + antibodi
(IgM, IgG) + komplemen  kompleks imun. Pada kulit akan timbul gejala klinis berupa nodul
eritema, dan nyeri di tempat predileksi di lengan dan tungkai. ENL dapat disertai gejala
konstitusi dari ringan sampai berat.Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti
iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis akut. Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak
terjadi perubahan tipe.

Penatalaksanaan pada reaksi kusta:

Istirahat / imobilisasi
Beri obat analgesik, sedatif
Beri obat anti reaksi  prednison 30 mg/hari
MDT diteruskan

IMUNOLOGI KUSTA
1. Kusta tuberkuloid

Anda mungkin juga menyukai