Anda di halaman 1dari 24

Dalam novel ini pada akhirnya dapat diketahui bahwa wanita dianggap rendah oleh kaum

laki-laki, karena mereka menganggap kebanyakan kaum wanita memiliki fisik yang lemah.
Kendati demikian, Firdaus sebagai sosok perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai
perempuan yang kuat dalam menjalani kehidupannya dalam budaya patriakal yang sangat
kuat. Firdaus dalam “Perempuan Dititik Nol” digambarkan sebagai perempuan yang kuat,
namun dibalik kekuatannya tersebut Firdaus harus tunduk pada tradisi yang berlaku di mana
setiap perempuan harus patuh dan tunduk terhadap laki-laki.

Novel ini menceritakan tentang budaya masyarakat Mesir yang kental dengan budaya
patriarki, dimana laki-laki selalu berkuasa terhadap kaum perempuan. Dampak dari budaya
patriarki yang membuat laki-laki bertindak tidak adil terhadap perempuan menimbulkan
reaksi dari pihak perempuan dengan bentuk feminisme yang radikal. Bentuk perlawanan yang
dilakukan perempuan untuk mengakhiri dominasi laki-laki merupakan gerakan feminisme.
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan feminisme radikal yang terdapat dalam novel
Perempuan di Titik Nol karya Nawal el-Saadawi. Berdasarkan tujuan tersebut, metode yang
digunakan yaitu metode kualitatif deskriptif. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu
pendekatan feminisme radikal. Feminisme radikal dalam analisis mencakup kekerasan
terhadap perempuan, eksploitasi perempuan, dan peran perempuan. Hasil analisis novel
Perempuan di Titik Nol berupa pengaruh budaya patriarki membuat laki-laki bertindak tidak
adil terhadap perempuan dan menimbulkan perlawanan dari perempuan untuk mengakhiri
dominasi laki-laki.

Dalam masyarakat patriarkis, perempuan dipandang sebagai warga kelas dua yang tergantung
pada laki-laki, baik pada ayah, suami, atau paman. Tuntutan adat dan nilai-nilai budaya yang
mengharuskan perempuan tunduk dan patuh serta memelihara domestisitas tersebut, telah
menjadikan perempuan terbelakang, tertindas, dan tidak mandiri dalam segala hal.
Sebaliknya, laki-laki dipandang sebagai warga kelas satu yang berkuasa. Penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan upaya perempuan dalam novel Perempuan di Titik Nol
karya Nawal El-Sa’adawi dan Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El-Khalieqy untuk
mewujudkan eksistensi dirinya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat sesuai
dengan potensi yang mereka miliki. Secara umum, novel Perempuan di Titik Nol dan
Perempuan Berkalung Sorban ini memuat persoalan perempuan dalam masyarakat yang
masih memegang teguh nilai-nilai budaya patriarki, yang ingin menunjukkan eksistensi
dirinya sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat yang setara dengan laki-laki.
Persoalan tersebut diungkapkan melalui tokoh Firdaus (dalam Perempuan di Titik Nol) dan
Annisa (Perempuan Berkalung Sorban) yang berjuang untuk mendapatkan kesetaraan
kedudukan dan menghindari dominasi laki-laki yang menindas. Untuk menganalisis upaya-
upaya yang dilakukan perempuan dalam mewujudkan eksistensi dirinya tersebut, penelitian
ini menggunakan pendekatan feminis. Analisis ini digunakan untuk melihat gambaran
perempuan serta potensi yang dimilikinya di tengah kungkungan budaya patriarki yang ada
dalam karya sastra berdasarkan perspektif feminis. Gambaran tersebut meliputi kebebasan
perempuan, hubungan perempuan dengan laki-laki, pilihan-pilihan perempuan, serta
perjuangan perempuan dalam menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan. Sedangkan potensi
yang dimaksud dalam penelitian ini berhubungan dengan potensi non fisik yang dimiliki
perempuan, peran-peran yang dimainkan dalam lingkup keluarga dan masyarakat, serta
pemberdayaan perempuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran serta potensi
yang dimiliki perempuan dalam novel Perempuan di Titik Nol dan Perempuan Berkalung
Sorban mengindikasikan bahwa perempuan telah mampu menunjukkan eksistensi dirinya
sebagai subjek sejati yang mandiri, yang terlepas dari segala bentuk penindasan atas nama
gender, serta mampu menunjukkan harkat dan martabatnya sebagai manusia melalui
pendidikan. Dengan bekal pendidikan yang memadahi, perempuan dapat mengasah kualitas
intelektual dan kepribadiannya sehingga keberadaannya dalam masyarakat menjadi
dipertimbangkan, terutama dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial yang tak terpisahkan
dari sebuah masyarakat. Kata Kunci: perpektif, perempuan, eksistensi, potensi, feminisme.

Penelitian dilatar belakangi oleh kurangnya pemahaman mengenai femnisme baik di dalam
masyarakat secara umum maupun di dalam dunia pendidikan. Dewasa ini dalam lingkungan
masyarakat sampai sekarang dirasa belum terjadi keseimbangan antara laki-laki dan
perempuan. Hal inilah yang mendorong kalangan orang yang disebut feminisme
memperjuangkan hak-hak perempuan. Selain itu, keinginan peneliti untuk menambah
keterampilan mengapresiasi sastra dan menambah wawasan sebagai calon guru bahasa dan
sastra Indonesia dalam menentukan sikap dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang lebih
terampil dalam pembelajaran membaca novel Tujuan penelitian ini ingin mendeskripsikan
dan mengidentifikasi feminisme yang terdapat pada kumpulan novel Perempuan di Titik Nol.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif. Peneliti memilih menggunakan
metode ini, karena peneliti ingin mendeskripsikan feminisme yang terdapat pada novel
Perempuan di Titik Nol. Teknik yang digunakan dalam penelitian menggunakan teknik telaah
pustaka dan teknik analisis. Novel Perempuan di Titk Nol karya Nawal El Saadawi ini
mengandung feminism, yang dapat dipelajari oleh pembaca baik secara umum maupun secara
teoretik.

A. PENDAHULUAN

Feminisme adalah sebuah paham yang menentang budaya maupun kebijakan politik yang
tidak menguntungkan kaum perempuan. Paham ini lantas berkembang menjadi sebuah
gerakan di negara-negara barat pada sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, segelintir kaum
perempuan yang diklaim sebagai feminis, berjuang untuk memperoleh hak-nya sebagai
warga negara. Salah satu hal yang ditekankan dari gerakan feminis ini adalah perempuan
ingin mendapatkan akses untuk pekerjaan yang layak, perempuan ingin mendapatkan akses
pendidikan, dan perempuan ingin mendapatkan hak-nya untuk berpolitik. Singkatnya,
perempuan menuntut hak yang sama dengan yang kaum laki-laki dapatkan. Perjuangan
inipun terus berjalan, seiring dengan berkembangnya gerakan perempuan di berbagai negara,
termasuk di negara-negara Asia.

Di Indonesia sendiri, paham feminisme berkembang cukup pesat. Lagi-lagi hanya segelintir
perempuan yang melibatkan diri untuk menjadi bagian dari gerakan tersebut. Sehingga sering
muncul pertanyaan: “Mengapa hanya segelintir perempuan saja yang feminis?” Lalu
berkembang menjadi pertanyaan “Mengapa seorang perempuan bisa menjadi feminis?”.
Pertanyaan ini akan dijawab sederhana saja. Tidak semua perempuan paham akan makna
feminisme yang sesungguhnya. Pertama, karena perempuan masa kini tidak lahir di era
dimana perempuan-perempuan benar-benar dijadikan mahluk subordinat di dalam kehidupan
masyarakat. Perempuan kini tidak perlu merasakan apa yang dirasakan Kartini seperti
‘dipingit’, dirampas hak pendidikannya, walaupun sebagian kecil masih ada masyarakat yang
menerapkan budaya ini. Kedua, perempuan yang kini mengklaim dirinya sebagai feminis
lahir melalui sebuah kontemplasi pikiran perempuan dengan pengalaman. Pemikiran ini
sangat dipengaruhi oleh buku-buku studi literatur feminisme, dan juga buku-buku yang
mengangkat pengalaman perempuan yang tertindas oleh budaya patriarki. Tidak menutup
kemungkinan juga bahwa kontemplasi pikiran dan pengalaman perempuan tidak
menghasilkan suatu interpretasi yang sama. Sehingga, seringkali paham feminisme
berkembang menjadi paham-paham yang lain seperti; feminisme radikal, feminisme Marxist,
feminisme lesbian dan lain-lain.

Paham yang hanya dipahami segelintir perempuan ini tentu mengundang banyak kritik, tidak
hanya dari kaum laki-laki saja tetapi juga dari sesama kaum perempuan. Feminisme
seringkali dianggap sebagai paham yang justru melemahkan posisi perempuan, karena
seolah-olah perempuan menuntut sesuatu yang ‘lebih’ dan ‘spesial’. Padahal, jika ditelusuri
kembali pada akar tujuannya, gerakan feminisme menuntut equal right bukanspecial right.
Pengkritik feminisme juga melontarkan kritik keras “Setelah emansipasi. Kini apalagi?”.
Gerakan feminisme kini seringkali dipandang ‘keluar jalur’. Kebebasan feminis sudah
kebablasan. Feminis menuntut hak untuk aborsi, hak untuk memiliki pasangan sesama jenis,
dan lain sebagainya. Dan hal inilah yang juga membuat gap antara perempuan feminis
dengan perempuan yang bukan feminis. Feminis yang semestinya menyentuh kaum
perempuan, justru malah menjadi musuh untuk kaumnya sendiri. Gap ini juga terbentuk
karena tidak adanya komunikasi yang terjalin dengan baik antara perempuan yang feminis
dengan perempuan yang tidak feminis. Sehingga, seringkali pula sekelompok perempuan
feminis dicap eksklusif dan hanya bisa bergaul dengan sesama teman kelompoknya.

Perlu kita sadari bahwa tidak semua perempuan memiliki pendapat yang sama tentang
bagaimana kaumnya harus hidup di tengah masyarakat. Kini sebagian besar perempuan
modern sudah dapat menikmati akses yang begitu luas dalam bidang pendidikan, pekerjaan,
dan pemerintahan. Yang ratusan tahun diperjuangkan feminis, yaitu equal right sudah ada di
tangan perempuan-perempuan modern. Lantas, yang menjadi permasalahan saat ini adalah,
bagaimana hak yang sudah ada di tangan itu bisa dimanfaatkan secara maksimal? Peran
pendidikan sangatlah penting. Perempuan kini dapat bersekolah hingga lulus sarjana maupun
master. Tapi, pendidikan saja ternyata tidak cukup. Disini peran feminis pun dibutuhkan
untuk menjadi motivator dan juga pendorong kaumnya. Feminis dibutuhkan untuk memberi
pengarahan kepada perempuan, supaya perempuan mampu memaksimalkan ilmu yang
dimilikinya, tidak hanya lantas ilmunya terbuang percuma. Dengan demikian, sedikit demi
sedikit perempuan pun bisa mulai meningkatkan daya saingnya di era yang membutuhkan
perempuan untuk lebih struggle daripada di era Kartini.

Di era Kartini perempuan berjuang untuk menghilangkan struktur sosial yang menempatkan
perempuan pada posisi lebih bawah, dan berjuang demi mendapatkan haknya. Kini di era
globalisasi, di satu sisi globalisasi ini membuka akses yang luas untuk perempuan dalam
berbagai bidang. Di sisi lain, globalisasi memberikan beban yang lebih berat bagi perempuan
karena perempuan harus mampu meningkatkan kualitas dirinya demi meningkatkan kualitas
hidupnya. Beruntunglah perempuan-perempuan yang dapat menikmati pendidikan yang layak
di perkotaan. Sedangkan, bagi perempuan menengah ke bawah, kebijakan neoliberalis
mengharuskan perempuan untuk bekerja lebih keras. Pengurangan peran negara dan
berkurangnya subsidi dari pemerintah untuk masyarakat menengah kebawah membuat kaum
feminispun menentang kebijakan-kebijakan neolib. Lagi-lagi peran feminispun cukup penting
di dalam memberikan masukan-masukan baik untuk pemerintah maupun untuk kaum
perempuan sendiri.

Mengingat kembali quote yang ditulis Kartini untuk Nyonya Van Kool di bulan Agustus
1901, “Alangkah besar bedanya bagi masyarakat Indonesia bila kaum perempuan dididik
baik-baik. Dan untuk keperluan perempuan itu sendiri, berharaplah kami dengan harapan
yang sangat supaya disediakan pelajaran dan pendidikan, karena inilah yang akan membawa
bahagia baginya”. Pendidikan adalah kunci dari kesejahteraan perempuan Indonesia, dan
feminisme dapat dijadikan sebagai alat pendukung perempuan Indonesia untuk maju demi
kaumnya dan bangsanya.

Teori feminisme yang dipersembahkan untuk menciptakan kultur perempuan yang radikal
dan terpisah. Chaarlote Perkins Gilman dalam Herlan (1915) memberikan ungkapan
imajainatif tentang feminisme kultural dalam ceritanya mengenai suatu masyarakat dengan
para perempuan yang kuat yang dipimpin oleh perempuan, mempunyai kepedulian terhdap
perdamaian dan kerjasama. Feminis kultural mendeskripsikan bagaimana kultur perempuan
dalam musik, sastra, seni, puisi, ilmu pengetahuan, dan obat- obatan akan menjadi anti-
otoriter dan anti- struktur. Lihat bunch (1981).

Beberapa feminis radikal berpikir bahwa patriakhi merupakan kultur yang trans-historis dan
meliputi semua dan oleh karnanya mereka percaya bahwa perempuan hanya akan bebas
dalam suatu kultur perempuan alternative. Hegemoni Patriakhi mendorong beberapa feminis
untuk menarik diri dari aksi politik tradisional dan malah membelok untuk menciptakan duni
perempuan yang terpisah. Mary Dary khususnya mendeskripsikan banyak strategis feminis
cultural untuk melakuakan perubahan sosial. Dalam Gyn / ecologi , dia menyebut resistensi
itu sebagai sebuah proses percikan api persahabatan perempuan. Dengan “ membalikan ujung
jarum kosmis” perempuan akan menciptakan kultur baru dengan ritual, symbol, dan bahasa
feminis yang baru feminis. Lihat dalih (1978).Para kritikus menyatakan bahwa feminisme
cultural masih mengabaikan persoalan sampai sejauh mana keperempuanan itu berfungsi
sebagai pelengkap bagi laki- laki. Lihat Echols (1984).

Feminisme radikal mendeskripsikan kultur perempuan sebagai masyarakat yang penuh


dengan nilai-nilai keseluruhan, kepercayaan, dan pengasuhan. Menurut feminis radikal
pemisahan antara pengalaman laki-laki dan perempuan berarti bahwa setiap masyarakat
sebagai akibatnya, mempunyai dua kultur-yang terlihat, yaitu yang laki-laki dan tidak terlihat,
adalah perempuan. Misalnya Susan Griffin menyatakan bahwa dualisme buatan masyarakat
antara kultur dan natur, intelek dan emosi berasal dari ketakutan akan tubuh dan membawa
pada pembagian kerja yang menjangkau semua. Lihat Griffi (1982). Audre Laurde
menyatakan bahwa definisi kultur masyarakat dan pada saat yang sama ketakutan terhadap
kaitan puisi dengan wilayah pikiran tidak dikenal yang tergabung dalam ketakutan patriakis
akan perempuan, akan kegelapan, dan nilai-nilai hitam yang menunjukkan rahasia
pengetahuan yang lebih tua. Lihat Laurde(1984).

Pada awalnya antara pria dan wanita terdapat kesetaraan jender. Pembagian kerja di antara
mereka dilakukan berdasarkan fungsi biologis (kodrat) masing-masing. Namun dalam
perkembangannya kemudian muncul perbedaan jenis pekerjaan yaitu pekerjaan luar (publik)
yang umum dilakukan oleh pria dan pekerjaan dalam/rumah tangga (domestik) yang
umumnya dikerjakan oleh wanita.

Pemisahan lingkup kerja yang awalnya hanya digunakan untuk memudahkan sistem
pembagian tugas pada akhirnya menjadi semacam kebiasaan yang membudaya. Dan budaya
ini menjadi semakin mantap tatkala pria sebagai pengumpul harta membutuhkan aturan
mengenai hak waris. Karena kebutuhan pelimpahan hak waris ini maka laki-laki mulai
mencari keturunannya untuk diberi hak waris. Sejak itu anak dikenal berdasar garis keturunan
ayahnya. awalnya perubahan budaya itu terjadi secara wajar-wajar saja. Namun sayangnya
dalam proses selanjutnya pandangan manusia atas hak milik diperluas. Bukan hanya hak
milik atas barang-barang, tetapi juga hak untuk mengambil segala keputusan dalam hidup.
Pada waktu yang sama, terjadilah perampasan hak wanita dalam pengambilan keputusan.
Peristiwa perampasan ini menjadi semakin kuat lagi ketika manusia menghargai nilai harta
lebih tinggi dari nilai manusia.
Dalam makalah ini penulis akan membedah Novel Perempuan di titik Nol. Secara garis besar
novel ini bercerita tentang perempuan sebagai tokoh utamanya. Perempuan dengan berbagai
macam persoalan yang meliputi pada aspek budaya yang berlaku di Negara-negara Timur
Tengah yang merupakan Negara dengan budaya patriakal yang sangat kuat yang menjadi
latar dari kedua novel tersebut. Perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai manusia
kedua yang secara posisi ada sebagai subordinat dari laki-laki. Potret perempuan di negara-
negara dengan kebudayaan Arab tentunya sangat menarik untuk dibahas.Terlebih
pembahasan tersebut terletak pada pertentangan antara kebudayaan ‘kolot’/ ortodoks yang
dihadapkan dengan kebudayaan modern yang seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari
kenyataan terhadap kemajuan zaman.

B. PEMBAHASAN

1. Sinopsis Novel Perempuan di Titik Nol

Firdaus adalah anak dari seorang petani, hidupnya sangatlah rumit dan penuh konflik. Sejak
kecil Firdaus sudah menjalani penganiayaan dari segi fisik maupun mental oleh seorang
lelaki yang dikenalnya sebagai ayah. Sesungguhnya tak cuma Firdaus yang mendapat
perlakuan dari sosok ayahnya itu, tapi ibunya pun tidak pernah mempunyai nasib yang lebih
baik dari Firdaus. Ketika ayah dan ibu Firdaus meninggal, Firdaus di asuh oleh pamannya.
Meski pamannya itu bersikap lebih baik dan lemah lembut daripada ayahnya, tapi sosok
paman yang lemah lembut itu sama seperti lelaki lain. Pamannya pun tidak melewatkan
kesempatan untuk melakukan pelecehan seksual kepadanya. Seringkali pamannya meraba-
raba paha Firdaus sambil membacakan buku kepadanya sebelum atau sesudah Firdaus tinggal
bersamanya.

Dalam masa ini, Firdaus disekolahkan di sekolah menengah pertama. Disitulah ia dapat
merasakan bergaul dengan sebayanya, namun ketika itu juga ia hampir mengenal cinta tetapi
tidak dari lawan jenis, melainkan dari seorang guru perempuan. Lulus dari sekolah menengah
dengan nilai terbaik, lalu pamannya menikah dengan seorang gadis anak dari guru sewaktu ia
sekolah di Al Ezhar. Waktu pun terus belalu, lama-kelamaan sang bibi tersebut kurang suka
dengan keberadaan Firdaus di rurmahnya. Jadi ia berencana untuk mengenalkan Firdaus pada
seorang laki-laki yang bernama Syekh Mahmoud, orang tua yang berumur 60 tahun yang
kaya raya dan sangat pelit disertai dengan adanya bisul disekitar wajahnya. Untuk membalas
budi sang paman, Firdaus pun menerima pinangan dari Syekh Mahmoud tersebut dan
umurnya waktu itu adalah 18 tahun. Apa boleh buat Firdaus pun harus melayani lelaki
dengan wajahnya yang penuh bisul itu walau dengan setengah hati. Namun lama-kelamaan
Firdaus pun tak tahan dan kemudian melarikan diri. Hal itu disebabkan Firdaus seringkali
mendapatkan perlakuan yang menyakiti fisiknya. Ia pun terus berlari, dan saking kencangnya
ia berlari akhirnya tibalah pada suatu keindahan pemandangan sungai Nil. Di situlah awal
mulanya Firdaus beremu dengan lelaki yang bernama Bayoumi. Awalnya ia mengira lelaki
yang bernama Bayoumi adalah seorang laki-laki yang baik, namun ternyata tidak demikian.
Bayoumi lalu mengajak Firdaus untuk tinggal satu rumah. Bayoumi pun tidak ketinggalan
untuk merasakan nikmatnya tubuh Firdaus bersama teman-temannya. Bayoumi lah yang
membawa Firdaus pada suatu profesi yang disebut pelacur.

Kemudian ia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang bernama Sharifa yang ternyata
tak lebih dari seorang germo. Namun, berkat perempuan itu Firdaus lebih mengenal lagi
tentang dunia pelacuran dan mengetahui bahwa ia memiliki tubuh dengan harga diri yang
tinggi, disitu Firdaus merasakan kenikmatan dunia. Karena adanya konflik antara Firdaus dan
Fawzi (pacar Sharifa) yang ingin memperistri Sharifa. Maka atas sikap Sharifa Firdaus yang
penuh rasa hormat kepada siapapun yang di temuinya, Firdaus pun kembali melarikan diri. Di
jalan ia di ajak oleh seseorang untuk masuk kedalam mobil dan dibawa ke hotel. Setelah
melakukan persetubuhan Firdaus di beri uang sebesar 10 pon. Jalan hidup membawa Firdaus
menjadi seorang pelacur mandiri dan berharga. Ia bisa membeli apapun yang ia inginkan, ia
bisa berdandan cantik, dan yang paling penting ia bisa memilih dengan siapa ia akan tidur.
Akan tetapi nasib baik belum juga bersahabat dengannya. Ketika itu Firdaus sedang
merasakan frustasi karena ia tidak merasa nyaman dan tenang saat ia menekuni sebagai
seorang pelacur. Lalu ia sempat beralih profesi menjadi pegawai kantoran. Disana dia
bertemu dan bisa merasakan rasanya jatuh cinta pada teman kerjanya, tetapi tetap saja lelaki
itu hanya menyukai dan menginginkan kenikmatan tubuh perempuan. Bahkan perempuan
adalah pelacur dalam hidup seorang lelaki, karena setelah menjadi istri pun wanita masih
menjadi pelacur. Hal yang membedakannya adalah ketika sudah berumah tangga wanita
merasa pasrah, tidak dibayar, dan memakai cinta dalam persetubuhannya. Sedangkan pelacur
jalanan dibayar dan tidak memakai cinta dalam hubungannya.

Akhirnya Firdaus pun menekuni profesinya kembali sebagai seorang pelacur, sehingga
seorang germo memaksa Firdaus bekerja untuknya. Ternyata dari pengalamannya selama ini,
Firdaus pun sadar dan menjadi perempuan yang tak mau lagi di injak-injak harga dirinya oleh
kaum pria. Namun karena sang germo memaksa dan mengancamnya, Firdaus pun memegang
sebilah pisau dan menghujamkan beberapa tusukan, sehingga akhirnya ia membunuh sang
germo. Setelah peristiwa itu, ia segera menyerahkan diri kepada polisi dan akhirnya masuk
penjara. Akibat ulahnya itu, Firdaus pun di vonis hukuman mati. Namun anehnya dia malah
menolak menerima grasi yang telah diusulkan oleh seorang dokter penjaranya kepada
presiden. Firdaus menggunakan kepasifan sebagai senjata perlawanan untuk
mempertahankan harga dirinya, termasuk kepasifan menerima hukuman mati. Menurut
Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.

2. Unsur Intrinsik pada Novel Perempuan di Titik Nol

– Alur : Maju Mundur (Campuran)

Karya ini menjelaskan bahwa semasa kecilnya tokoh utama harus berpisah dengan ibu
kandungnya, meskipun alasnannya berbeda. Pada Novel PTN, Firdaus harus berpisah dengan
ibunya karena ia harus tinggal bersama pamannya ke kota. Setelah itu, tokoh utamanya
mendapat perlakuan yang tidak senonoh dari lingkungan terdekatnya. Firdaus menjadi korban
pelecehan seksual oleh pamannya. Seperti pada kutipan cerita di bawah ini:

“saya melihat tangan paman saya pelan-pelan bergerak dari balik buku yang sedang ia baca
menyentuh kaki saya… sampai paha.”(hlm 20)

Pada bagian konflik intinya, Novel PTN memaparkan kehidupan Firdaus yang semakin tidak
jelas. Ia seperti selalu dimangsa kebengisan kaum pria yang hanya ingin menikmati tubuhnya.
Meskipun demikian, ia selalu tegar sehingga kehidupannya berangsur membaik. Ia mulai
menikmati kehidupannya sebagai seorang pelacur kelas atas. Hingga pada akhirnya ia terlibat
kasus pembunuhan dan penganiayaan terhadap orang penting. Ia pun harus menerima
hukuman seberat-beratnya..

Pada penyelesaian konfliknya,karya PTN Firdaus tidak pernah menyesali atas apa yang
pernah ia perbuat dandihukum mati.

“Sekarang saya sedang menunggu mereka. Sebentar lagi mereka akan datang menjemput
saya (untuk dieksekusi).” (“Perempuan di Titik Nol” hal. 148)
– Tokoh :

Firdaus : Lemah Lembut, Tegas, dan kuat pendirian

Dokter Psikolog : Sabar, Lembut dan Ramah

Sipir : Judes dan Galak

DokterPenjara : Sombong

Ayah : Kasar dan galak

Ibu : Kejam dan kaasar

Paman : Baik, tetapi karena keadaan menjadi kejam

Isrtri Paman : Licik

Wafeya : Sahabat yang mengerti dan memahami Firdaus

Kepala sekolah : Tegas

Syekh Mahmoud : Suami Firdaus yang Pelit, kikir dan kasar

Bayoumi : awalnya baik namun setelah Firdaus tidak nyaman dengannya


tingkah lakunya berubah menjadi kasar

Shafira : orang yang licik karena memanfaatkan kepolosan Firdaus untuk


mendapatkan uang yang banyak.

Ibrahim : orang yang licik karena memanfaatkan kepolosan Firdaus untuk


mendapatkan uang yang banyak.

Marzouk : orang yang suka memaksa, dan akhirnya dibunuh oleh Firdaus

Pangeran : orang yang melaporkan Firdaus ke polisi krena telah membunuh

– Latar :

Latar Tempat: Penjara, mobil, Rumah, Ladang, Rumah paman di EL- AZHAR, Sekolah,
Asrama, Rumah Syeh, Warung Kopi, Jalan Raya, Apartemen shafira, apartemen Firdaus,
Kontrakan Kecil, Dapur, Rumah Pangeran.
– Sudut Pandang: Orang ketiga pelaku utama.

– Gaya Bahasa:

1. Metafora

“Apa sebabnya kau naik pitam?” tanya saya.” Kau pikir Firdaus tidak bersalah, bahwa dia
tidak membunuh orang itu?” (hal: 5)

“Sentuhan yang sama, kemantapan dan rasa dingin telanjang yang sama pula.” (hal:11)

“Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi dibumi yang merampas rakyat mereka yang
bermulut besar berkesanggupan untuk membujuk memilih kata-kata manis dan
menembakkan panah beracun”. (hal:39)

“Dengan marah dia menjawab pedas, “apa yang dapat diperbuat, minta bantuan pada
langit?”. (hal:71)

“Siapa saja diantara mereka itu tak ada bedanya mereka itu sama saja, semua anak anjing
berkeliaran dimana-mana dengan nama macam-macam, Mahmaud, Hasanain, Fauzi, Ibrahim,
Awadain, Bayoumi.” (hal:75)

2. Litotes

“Dibandingkan dengan dia, saya hanyalah seekor serangga kecil yang sedang merangkak di
tanah diantara jutaan serangga lain.” (hal:6)

“Gubuk kami dingin hawanya.” (hal:24)

“Setelah selesai mengisap pipanya, ia berbaring, maka saat kemudian gubuk kami akan
bergetar dengan suara dengur yang keras.” (hal:27)

3. Simile

“Saya berdiri terpaku seperti berubah menjadi batu.” (hal: 7)

“Mata yang mematikan, seperti sebilah pisau, menusuk-nusuk, menyayat jauh kedalam, mata
itu menatap tanpa bergerak, tetap.” (hal:11)

“Suaranya mantap, menyayat kedalam, dingin bagaikan pisau, tak ada getaran sedikitpun
dalam nadanya.” (hal:11)
“Atau mungkin pula suara itu mengalun dari segala jurusan seperti udara yang bergerak dari
angkasa tiba ketelinga kita.” (hal:12)

“Tetapi saya tetap jatuh, terpukul oleh kekuatan yang saling bertentangan, yang tetap
mendorong saya ke jurusan yang berbeda-beda, bagaikan sebuah benda yang tenggelam di
lautan tanpa batas,” (hal: 24)

“Saya hanya cukup melihat ke dalamnya, maka yang putih menjadi lebih putih dan yang
hitam semakin hitam, seolah-olah cahaya matahari menembus ke dalamnya dari arah sesuatu
sumber kekuatan ghaib bukan yang ada di dunia, bukan pula yang di langit, karena tangah
berwarna hitam kelam, dan menjadi gelap bagaikan malam, tanpa matahari dan tanpa bulan.”
(hal: 24)

“Matanya tetap pudar, tak mempan akan cahayanya, bagaikan dua lampu yang telah padam.”
(hal: 25)

“Mulutnya seperti mulut seekor unta, dengan lubang yang lebar dan tulang rahang yang lebar
pula.” (Hal:26)

“Kata-kata itu bagi saya seperti lambang-lambang penuh rahasia yang membuat diri saya
diliputi perasaan agak ketakutan.” (hal:30)

– Amanat:

Amanat yang dapat kami sampaikan setelah membaca novel ini yaitu kita sebagai wanita
harus terus menjungjung harga diri dan martabat sebagai kaum wanita. Jangan sampai
sebagai wanita harga diri kita di injak-injak oleh kaum pria, dimana pria yang berkuasa penuh
terhadap diri wanita. Karena saat ini wanita mempunyai hak dan derajat yang sama dengan
pria walau sesungguhnya dalam agama memang wanita di bawah pria dan harus patut kepada
pria.

3. Feminisme Tokoh Firdaus sebagai Tokoh Utama

Novel ini diawali dan diakhiri masalah kelamin. Kelamin laki-laki yang menginginkan
kelamin perempuan. Firdaus sedemikian menderita dari awal juga karena diantara
selakangannya terdapat kelamin perempuan. Karena keperempunnannya itu Firdaus
diperlakukan beda oleh orangtuanya, mendapat pelecehan seksual oleh pamannya sendiri
yang tadinya tampak baik dan seterusnya hingga dia harus membunuh seorang germo yang
memperdagangkannya. Dalam kasus ini kita dapat melihat sosok seperti Firdaus yakin bahwa
dia patut menerima perlakuan yang sama dengan para lelaki. Namun, Firdaus tak pernah
berani untuk memperjuangkan haknya di dalam masyarakat. Firdaus menggunakan kepasifan
sebagai senjata perlawanan. Firdaus lebih memilih untuk diam dan mempertahankan harga
dirinya sebagai bentuk perlawanan. Termasuk kepasifannya menerima hukuman mati
membuat para pembaca lebih menghargai dirinya.

Setiap orang harus mati. Saya lebih suka mati karena kejahatan yang saya lakukan daripada
mati untuk salah satu kejahatan yang kau lakukan.”(hlm.154)

Pernyataan tersebut merupakan bentuk perlawanan Firdaus terhadap kaum lelaki. Lagi-lagi ia
menggencarkan serangan terhadap kaum lelaki melalui kepasifannya.

Nampaknya, kepasifan yang ditunjukkan Firdaus cukup menggelisahkan kaum lelaki. Ia


mengijinkan kaum lelaki memiliki tubuhnya, namun, ia menjamin bahwa para lelaki takkan
pernah mampu membuatnya bereaksi, gemetar, atau merasakan nikmat atau sakit. Perbuatan
Firdaus ini membuahkan hasil yang memuaskan, ia merasa dirinya menang atas para lelaki
yang berusaha membuatnya merasakan kenikmatan. “Saya belajar untuk melawan dengan
cara bersikap pasif, untuk menjaga keutuhan diri tanpa memberikan apa-apa.” Inilah yang
dilakukan Firdaus sebagai bukti perlawanannya terhadap kaum lelaki. Kepasifannya
merupakan suatu bentuk perlawanan, suatu kemampuan yang aneh untuk tidak merasakan
kenikmatan ataupun sakit, tidak membiarkan sehelai rambutpun di atas kepala, atau pada
tubuhnya bergerak. Ia berhasil menunjukkan eksistensinya melalui kepasifannya.

“Setiap kali saya memungut selembar surat kabar dengan gambar salah seorang di antara
mereka di dalamnya, saya akan meludahinya.”(hlm.150)

Inilah yang dilakukan Firdaus sebagai lambang perlawanannya terhadap kaum lelaki.

Firdaus yang anak jalanan perempuan di halaman 65 dalam novel ini diceritakan Firdaus
keluar rumah. Setelah lulus dari SMP dan berumur 18 tahun dia di nikahkan oleh pamannya
dengan Syekh Mahmoud seorang tua yang berumur 60 tahun. Syakh Mahmoud ini walaupun
kaya namun pelit. Firdaus melarikan diri dari rumah karena tidak mendapatkan rasa aman.
Penganiayaan dari segi fisik seringkali dia alami hingga membuat muka memar di pipinya
dan darah keluar dari hidungnya. Pernah dia pulang ke rumah pamannya namun oleh istri
pamannya dia di usir dan di suruh kembali kepada anak suaminya yang renta itu.
Inilah mula perjalanan Firdaus turun kejalan. Pertama kali dia bertemu laki-laki yang pada
mulanya baik. Namanya Bayomi. Oleh Bayomi Firdaus yang belia di sururuh tinggal satu
rumah menempati kamar yang dia kontrak. Pelecehan seksual oleh Bayomi dilakukan di
tempat ini. Ternayta tidak haya oleh Bayomi, teman Bayomi juga ikut menikmati tubuh
Firdaus ini sampai Firdaus melarikan diri.

Bertemulah Firdaus dengan mucikari namanya Sharifa. Oleh Sharifa ini Firdaus dikenalkan
tentang dunia pelacuran. Firdaus tahu bahwa tubuhnya memiliki harga. Karena adanya
konflik antara dirinya dan Fawzi pacar Sharifa maka Firdaus kembali melarikan diri. Di jalan
dia diajak oleh orang masuk mobil dan di bawa ke hotel. Setelah melakukan persetubuhan
Firdaus di tinggali uang sepuluh pon.

Dalam halaman 98. Firdaus memulai menjadi pelacur. Dia meminta bayaran 20 pon sekali
tidur. Novel Perempuan di Titik Nol menggambarkan mengenai kekuatan batin
seorangpelacur. Istilah pelacur sendiri dianggap sangat hina oleh masyarakat. Oleh karena itu,
masyarakat akan selalu menganggap bahwa mereka sendiri lebih mulia dari para palacur.
Akan tetapi, ada penafsiran yang sangat berbeda dengan penafsiran terhadap pelacur pada
umumnya. Seperti pada kutipan di bawah ini:

“Selama tiga tahun bekerja pada perusahaan itu, saya menyadari, bahwa sebagai pelacur saya
telah dipandang dengan lebih hormat, dan dihargai lebih tinggi daripada semua karyawan
perempuan, termasuk saya.” (“Perempuan di Titik Nol” hal. 109)

Kondisi teresbut tentunya bermula dari penafsiran pengarang yang digambarkan melalui
watak tokoh utamanya. Dari sisi itu, pelacur merasa tidak lebih rendah dari orang-orang pada
umumnya, sementara di sisi lain, orang-orang menganggap bahwa pelacur berada pada
tingkat dasar kehormatan yang dimiliki manusia.

Nawal el-Saadawi berusaha menggambarkan betapa sulitnya keadaan seorang perempuan


yang ingin berusaha memperjuangkan haknya. Ia juga ingin mengatakan bahwa
ketidakberanian perempuan memperjuangkan haknya hanya akan membuat perempuan
menyesal di kemudian hari.

Ketimpangan berupa perlakuan tidak adil kepada perempuan terjadi desekeliling kita. Untuk
menghilangkan tindak ketidak adilan tersebut apa yangkiranya dapat dilakukan. Firdaus dan
kebayakan perempaun melakukannya dengan kepasifan. Dan ternyata kepasifan yang
dijadikan senjata oleh Firdaus tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Kepasifan tersebut
hanya berhasil mempertahankan harga dirinya. Namun perlakuan dan hak-haknya di
masyarakat selalu terabaikan oleh berbagai pihak terutama para lelaki. Firdaus yang selalu
berusaha mempertahankan diri melalui kepasifannya harus mengakhiri hidupnya tanpa
memperoleh keadilan yang pantas bagi dirinya.

Sampai sekarang dirasa belum terjadi keseimbangan antara laki-laki dan perempuan.
Ketidakseimbangan tersebut dapat dilihat dari masih adanya angapan bahwa perempuan
memiliki keterbatasan dari segi fisik dan mental yang kemudian berpengaruh pada segi
pembagian peran dan perlakuan dalam masyarakat. Karena anggapan adanya keterbatasan
tersebut maka perempuan dianggap tidak layak menempati posisi tertentu.

Hal inilah yang mendorong kalangan orang yang selanjutnya disebut feminis
memperjuangkan hak-hak perempuan. Karena perempuan adalah manusia maka perjuangan
perempauan adalah perjuangan kemanusian juga. Perjuangan tersebut dilakukan dengan cara
melawan segala bentuk penindasan terhadap perempuan. Penindasan terhadap perempuan ini
telah demikian membudaya sehinga dianggap sebagai kewajaran. Novel “Perempuan di Titik
Nol” kiranya adalah salah satu bentuk perlawanan Nawal El Saadawi terhadap keseweang-
wenangan masyarakat terhadap perempuan

Sastrawan dengan kemampuan intutifnya biasanya telah melakuakan banyak hal dibanding
inteliektual dan komponen lainnya sebagai respon atas kondisi yang timpang. Karya sastra
memiliki kemampuan menghadirkan mitos baru dalam masyarakat, menghadirkan pandangan
baru tentang baik buruk, salah dan benar.

Kita bisa ambil contoh novel Siti Nurbahaya, Salah Asuhan, atau Romeo dan Zuliet. Novel-
novel tersebut mengambarkan bahwa tradisi masa lalu berupa kawin paksa, penghargaan hak
bicara kepada kaum muda adalah buruk dan menimbulkan targedi cinta yang amat
memilukan. Maka tradisi lama ini harus diperbaharui dengan tradisi baru yang lebih baik.
Sastrawan melalui sastranya menuntun prilaku, pandangan pembacanya secara halus dan
kemudian pembaca membenarkan pandangan sastrawan tanpa paksaan.

Kiranya Nawal El Saadawi lewat karyanya Perempuan di Titik Nol ini menganggap bahwa
pembedaan peran dan perlakuan terhadap kaum perempuan ini tidak adil maka melalui novel
ini Nawal ingin menghadirkan mitos baru tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang
lebih baik.
C. SIMPULAN

Novel menggambarkan tentang bagaimana wanita dianggap rendah oleh kaum laki-laki,
karena mereka menganggap kebanyakan kaum wanita memiliki fisik yang lemah. Kendati
demikian, perempuan dalam novel ini digambarkan sebagai perempuan yang kuat dalam
menjalani kehidupannya. Firdaus dalam Perempuan Dititik Nol digambarkan sebagai
perempuan yang kuat, namun dibalik kekuatannya tersebut dia harus tunduk pada tradisi yang
berlaku di mana setiap perempuan harus patuh dan tunduk terhadap lakilaki. Siapapun laki-
laki tersebut pada dasarnya itulah norma yang berlaku secara umum yang sudah menjadi
bagian dari tradisi Timur Tengah.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa pada zaman sekarang ini wanita masih dianggap
sebagai makhluk yang lemah di mata kaum laki-laki. Dari zaman dahulu hingga sekarang,
pada kenyataannya budaya patriakal masih menjadi suatu halangan seorang wanita untuk
berkarya lebih jauh. Novel ini mempengaruhi wanita-wanita untuk tidak di rendahkan oleh
pria apapun kondisinya. Wanita berusaha untuk kuat walau sesungguhnya wanita adalah
makhluk yang lemah.
Analisis dalam kajian feminisme hendaknya mampu mengungkap aspek-aspek
ketertindasan wanita atau pria. Mengapa wanita secara politis terkena dampak
patriarkhi, sehingga meletakkan wanita hanyalah pendamping laki-laki, akan menjadi
tumpuan kajian feminisme. Dengan adanya perilaku politis tersebut, apakah wanita
menerima secara sadar ataukah justru marah menghadapi ketidakadilan gender.

Perlawanan terhadap ideology gender dalam sastra melahirkan aliran feminism. Yang
memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. (Dajanegara 2000).
Tuntutan akan kesetaraan gender itu pada umumnya hadir melalui protagonist yang
biasanya digambarkan sebagai korban deskriminasi gender. Latar pun sebagai unsure
struktur yang mungkin menggambarkan suatu system social budaya yang berlaku
biasnya juga menampilkan suatu konflik gender (antara perempuan dan laki-laki). Hal
tersebut juga terdapat dalam novel Perempuan di Titik Nol dimana pengarang
menggambarkan melalui perjuangan wanita melawan deskriminasi gender. Dalam
cerita Perempuan di Titik Nol konflik feminisme yang terjadi adalah karena masa lalu
dan sejarah keluarga yang kurang baik. Ayah Firdaus, sang tokoh utama, adalah
seorang yang merasa bahwa wanita berada di bawah kedudukan pria, wanita sudah
seharusnya dan memang diciptakan untuk mengabdi kepada lelaki, wanita harus rela
memberikan segalanya kepada suaminya dan anak-anaknya, mengalah bagi mereka.
Sehingga yang terjadi di dalam keluarga Firdaus adalah kekerasan rumah tangga,
bahwa seorang anak perempuan tidak akan mendapat hak waris, sampai Firdaus
merasa bahwa keberadaannya tidak diinginkan, bahwa Firdaus merasa dia dibuang
oleh keluarganya, dilecehkan secara seksual sehingga dia harus kehilangan kenikmatan
sensualnya.

Firdaus yang selalu merasa dilecehkan oleh lelaki pada akhirnya bertekad untuk
membangkang, dia tidak lagi tunduk kepada keinginan manusianya, yang dia butuh
dalam kehidupan bukanlah cinta tetapi uang. Cinta tidak pernah bicara, itu menurut
Firdaus, sedangkan uang memberinya banyak hal. Dari pemikiran itu pula Firdaus
pada akhirnya memutuskan untuk menjual dirinya untuk mendapatkan uang yang
banyak. Firdaus merawat diri baik-baik, untuk menarik perhatian lelaki, menjual
tubuhnya lalu mengeruk kekayaannya. Sampai pada akhirnya Firdaus mulai muak
dengan segala kebiasaan hidupnya dan mulai meninggikan harga dirinya.
Dari berbagai bentuk deskriminasi yang dijatuhkan kepada kaum perempuan bahkan
kepada dirinya sendiri itulah yang membuatnya semakin geram terhadap kaum laki-
laki sehingga muncul keinginan-keinginan untuk bersikeras memperjuangkan haknya
dan kebebasannya dalam menentukan berbagai keputusan dalam hidupnya sebagai
perempuan layaknya kaum laki-laki. Firdaus merasa mempunyai hak untuk
memutuskan dengan siapa dia berkencan, bertempat tinggal, mencari pekerjaan yang
sesuai dengan apa yang dia inginkan dan sebagainya, sebagaimana pada cuplikan
dibawah ini :

“seorang laki-laki menghampiri saya dan berbisik-bisik. Saya pandang lurus ke dalam
matanya dan berkata “tidak.” Seorang laki-laki lain datang pula kepada saya dan
mengumumkan sesuatu dengan suara penuh rahasia yang hampir tak dapat si dengar.
Saya amati dia dengan cermatnya dari kepala sampai ke kaki dan saya berkata, “Tidak.”
Dia bertanya “mengapa tidak?” saya jawab: “karena banyak sekali lelaki dan saya ingin
memilih dengan siapa saya mau berkencan.” Maka dia berkata, “nah kalau begitu,
mengapa tidak memilih saya?”. “karena kuku jari-jarimu kotor dan aku hanya senang
kepada yang bersih.” (halaman 98)

Orang ketiga mendekat. Dia mengucapkan kata-kata rahasia itu, kunci pembuka teka-teki
yang sudah saya pecahkan. Saya bertanya : “Berapa kau mau bayar?” “sepuluh pon.”
Tidak, dua puluh.” “kehendak anda adalah perintah bagi saya,” dan dia membayar saya
disitu juga. (halaman 98-99)

Dari cuplikan-cuplikan di atas dapat kita ketahui bahwa disini Firdaus mulai berani
untuk menentukan sendiri segala sesuatu sesuai yang ia inginkan, tidak lagi harus
orang lain yang memutuskan atas segala kehidupannya. Kehidupannya yang seolah
bukan miliknya sendiri. Dengan keberaniannya untuk menolak laki-laki siapa saja
yang ia tidak ingin berkencan dengannya serta menentukan sendiri tarif yang harus
dibayar oleh laki-laki yang ingin berkencan dengannya, cukup membuktikan bahwa
Firdaus yang selama ini menjadi korban deskriminasi atas kaum laki-laki, sekarang
Firdaus mulai memberanikan dirinya melakukan hal-hal kecil yang menunjukkan
bahwa dia tidak ingin dijadikan korban deskriminasi terus menerus atau berontak
terhadap deskriminasi yang menimpanya tersebut.

Masih banyak kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan gender yang


merupakan hak mereka dalam memposisikannya sama dengan laki-laki. Hal ini
terbukti bahwa kaum laki-laki khususnya yang masih berada dalam lingkungan
patriarkal, mereka lebih banyak berperan sentral dalam segala urusan khususnya
dalam memilih jalan hidup yang salah satunya adalah tentang profesi. Kaum laki-
laki bebas memilih sendiri profesi yang diinginkan tanpa ada orang lain
disekitarnya yang peduli. Kondisi seperti itu berbeda dengan yang dialami
kaum perempuan. Tetapi dengan perkembangn zaman seperti sekarang ini, kondisi
seperti itu sudah tidak ada. Kaum perempuan sudah mengalami berbagai kemajuan
dalam pemilihan profesi yang digelutinya. Seperti yang terdapat dalam novel
Perempuan di Titik Nol ini, perhatikan cuplikan di bawah ini :

Berapa tahunkah dari yang telah lalu dari kehidupan saya sebelum tubuh dan diri saya
sendiri menjadi benar-benar milik saya, untuk memperlakukannya sebagaimana yang
saya inginkan? Berapa tahunkah dari kehidupan saya telah hilang sebelum saya
melepaskan tubuh dan diri saya sendiri menjauhi mereka yang memegang saya dalam
genggaman mereka sejak hari pertama? Kini saya dapat menentukan makanan apa yang
saya ingin makan, rumah mana yang saya lebih suka tempati, menolak laki-laki yang
menimbulkan rasa enggan, apa pun alasannya, dan memilih laki-laki yang saya inginkan,
sekalipun hanya karena kukunya bersih dan terawat baik. Seperempat abad telah lewat,
karena saya menginjak umur dua puluh lima ketika saya mulai memiliki sebuah
apartemen sendiri yang bersih, dengan pemandangan ke arah jalan utama, menggaji koki
yang menyipkan makanan yang saya pesan, dan mempekerjakan seorang lainnya untuk
mengatur pertemuan-pertemuan pada jam-jam yang cocok dengan saya, dan yang sesuai
dengan persayaratan yang saya anggap biasa diterima. Rekening bank saya bertambah
terus. Kini saya mempunyai waktu senggang yang dapat saya gunakan untuk bersantai,
pergi berjalan-jalan, ke bioskop, atau ke teater, waktu untuk membaca surat-surat kabar
untuk mendiskusikan soal-soal politik dengan kawan-kawan dekat yang telah saya pilih
dari sekian banyak orang yang mengelilingi saya mencari kesempatan untuk berkawan.
(halaman 100).

Perhatikan juga cuplikan-cuplikan di bawah ini :

“ketika saya tidak berkata apa-apa, ia menyangka saya tidak mendengarnya. Maka ia
mengulangi : “Anda dapat ikut bersama saya”. Dengan tenang saya menjawab, “harga
tubuh saya lebih tinggi daripada yang dapat dibayar dengan suatu kenaikan
gaji.”(halaman 109)
Cuplikan diatas merupakan salah satu bukti dari bentuk pemberontakan Firdaus
terhadap pelecehan seksual yang selama ini dialaminya karena perbuatan kaum pria
yang selalu mengambil keuntungan atau keuntungan untuk menikmati tubuh Firdaus
tanpa harus membayar mahal bahkan sepeser pun. Tapi kini Firdaus menghargai
dirinya lebih mahal dari harga perempuan-perempuan yang lain bahkan dari kenaikan
gaji laki-laki yang hendak mengajaknya berkencan itu. Tuntutannya akan
memperjuangkan hak dan kebebasannya pun kian berani seperti yang terdapat dalam
cuplikan dibawah ini :

“bukan karena saya lebih menghargai kehormatan dan reputasi saya dari gadis-gadis
yang lainnya, tetapi harga saya jauh lebih tinggi dari mereka (halaman 110).

Kenyataan bahwa saya menolak usaha-usaha mereka yang mulia untuk menyelamatkan
saya dari keyakinan untuk bertahan sebagai pelacur, telah membuktikan kepada saya
bahwa ini adalah pilihan saya dan bahwa saya memiliki sedikit kebebasan paling tidak
kebebasan untuk hidup di dalam keadaan yang lebih baik daripada kehidupan perempuan
lainnya. (halaman 130)

Saya telah menjadi seorang pelacur yang sangat sukses. Saya menerima bayaran yang
paling mahal, dan malahan orang-orang yang penting pun bersaing untuk disenangi oleh
saya. [ … ] (halaman 130)

“kalau begitu saya ingin menjadi salah seorang majikan dan bukan menjadi salah
seorang budak.” (halaman 138)

Keberanian Firdaus yang semakin berani dan semakin berjuang keras


mempertahankan haknya sebagai kaum perempuan yang seharusnya bisa
mempergunakan haknya yang sama dengan laki-laki yaitu salah satunya bebas
memutuskan dan menentukan sesuatu seperti apa yang ia inginkan sehingga hal
tersebut berakibat baik pada kehidupannya yang serba berkecukupan. Karena kini dia
tidak lagi hanya seorang perempuan yang dinikmati tubuhnya oleh para laki-laki
kemudian ditinggalkan begitu saja, tapi sekarang dia adalah seorang pelacur yang
bertarif yaitu pelacur sukses. Pelacur yang berharga tinggi bagi siapa saja yang ingin
berkencan dengannya dan tentunya yang ia ingin dengan siapa berkencan bahkan
orang-orang penting pun bersaing untuk merebut perhatiannya. Hal itu bisa
menambah pemasukannya yang otomatis mengangkat keadaan perekonomiannya
sehingga dia bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya untuk tetap mempertahankan
hidup. Hal ini disebut salah satu wujud gerakan feminis karena menggambarkan
seorang perempuan yang memperjuangkan hak serta kebebasannya untuk memilih
pekerjaan apa yang ia inginkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga dia
tidak lagi harus mencari pekerjaan sebagai karyawan rendahan yang membuat dirinya
selalu direndahkan oleh kalangan penguasa dan juga tidak lagi bergantung pada kaum
laki-laki untuk bisa memenuhi kebutuhannya.

Pemberontakan Firdaus terhadap tindak deskriminasi yang telah terjadi pada dirinya
dan dalam masyarakatnya semakin jelas dan nyata ketika ia sudah benar-benar tidak
bisa lagi mempertahankan ketakutannya dan menyimpan keberaniannya terhadap
ketidakadilan dari pihak kaum laki-laki karena dia hanya seorang perempuan yaitu
diwujudkan dengan aksi kekerasan yang dilakukannya terhadap kaum laki-laki yang
berusaha menguasai dan mengendalikan dirinya seperti beberapa laki-laki sebelumnya.
Seperti cuplikan-cuplikan berikut ini :

Saya terus menatap dia tanpa berkedip. Saya tahu saya membencinya. Seperti hanya
seseorang yang membenci laki-laki. Seperti seoran budak dapat membenci majikannya.
Saya melihat pada ekspresi dalam matanya bahwa ia takut kepada saya seperti hanya
seorang majikan dapat merasa takut kepada budaknya, seperti hanya seorang laki-laki
takut kepada perempuan. Tetapi itu hanya berlangsung selama satu detik. Kemudian
ekspresi angkuh seorang maikan, pandangan agresif seorang laki-laki takut kepada
apapun tampak kembali. Saya berhasil memegang grendel pintu dan dan siap
membukanya, tetapi dia mengangkat tangannya ke atas dan menampar saya. Saya angkat
tangan saya lebih tinggi dari yang ia lakukan, dan memukul dengan keras pada mukanya.
Warna putih matanya menjadi merah. Ia mulai mengambil pisau yang ada dalam
kantungnya, tetapi tangan saya lebih cepat dari tangannya. Saya ambil pisau itu dan
menancapkannya dalam-dalam pada lehernya, mencabut keluar dan menusukkannya ke
perutny. Saya tusukkan pisau itu ke semua hampir bagian tubuhnya. Saya heran ketika
saya mengetahui bagaimana mudahnya tangan saya itu bergerak ketika menghujamkan
pisau itu ke dalam dagingnya dan menariknya keluar hampir-hampir tanpa usaha. Saya
lebih heran lagi karena saya belum pernah melakukannya. (halaman 140)

Dapat dilihat dalam novel ini, sebuah novel yang diambil dari kisah nyata, bahwa
beberapa perempuan, mungkin banyak dari mereka yang bersikukuh menentang
fenimisme yang terjadi, wanita merasa tertekan, merasa bahwa diri mereka diinjka-
injak. Wanita mulai menentang adanya fenimisme, suatu hinaan yang pernah terjadi
dalam dunia ini. Dapat dilihat dari perilaku Firdaus yang mulai tidak hormat terhadap
laki-laki, yang mulai merasa bahwa laki-laki hanyalah makhluk yang haus akan seks,
tidak lebih berharga dari wanita.

Pada akhir cerita dikatakan ada seorang pangeran raja yang tertarik dengannya.
Firdaus memandangnya sebagai sesuatu yang hina, sesuatu yang menjijikkan. Firdaus
yang sudah cukup muak dengan keadaan yang menimpanya, muak dengan semua
ciptaan pria di muka bumi pada akhirnya kesal dengan perbuatan sang pangeran raja
sehingga emosinya meledak dan Firdaus mulai menikam sang pangeran. Dari sanalah
Firdaus dikirim ke dalam penjara dan diputuskan untuk dihukum mati. Firdaus
dengan bangga menceritakan bahwa pria adalah makhluk hina, lebih menjijikkan dari
binatang. Firdaus dengan bangga menyatakan bahwa dia tidak pernah sekalipun
menyesali perbuatannya terhadap sang pangeran . perhatikan cuplikan dibawah ini :

Dengan berlalunya waktu, kedunguannya bertambah dan dengan demikian keyakinannya


bahwa penegasan saya berulang-ulang tentang nikmat itu adalah benar. Setiap kali saya
berkata “ya” dia berseri-seri melihat saya seperti orang tolol, dan sejenak kemudian saya
dapat merasakan beban tubuhnya semakin berat menindih, badan saya, lebih berat dari
yang sebelumnya. Saya tidak tahan lagi, dan ketika ia akan mengulangi pertanyaan yang
dungu itu, saya membentak dengan marahnya : “Tidak.” Ketika dia mengulurkan
tangannya dengan uang, saya masih amat marah kepadanya. Saya rebut uang kertas dari
tangannya dan mencabik-cabik menjadi serpihan-serpihan kecil dengan amat marahnya.
(halaman 143)

Matanya terbelalak dengan rasa heran ketika ia sedang mengamati saya menghancurkan
segenggam uang kertas itu. Saya dengar dia berkata : “kau memang benar seorang puteri.
Mengapa saya tidak percaya sejak permulaan?” “saya bukan seorang puteri,” kata saya
dengan marah. “mula-mula saya piker kau pelacur.” “saya bukan pelacur. Tetapi sejak
semula, ayah, paman, suami saya, mereka semua mengajarkan untuk menjadi dewasa
sebagai pelacur.” Pangeran itu tertawa ketika ia melirik kepada saya dan kemudian
berkata, “kau tidak mengatakan yang sebenarnya. Dari wajahmu, saya dapat melihat kau
adalah seorang puteri raja. “ayah tidak berbeda dari seorang raja kecuali dalam satu hal.”
“dan apa itu?” ia tak pernah mengajariku membunuh. Ia membiarkan saya
mempelajarinya sendiri sewaktu saya menjelani kehidupan “apakah hidup mengajarimu
untuk membunuh?” “ya tentu ssaja.” “dan apakah kau telah membunuh seseorang?” “Ya
Pernah.” [ … ] “saya tak akan membunuh seekor nyamuk, tapi saya akan memunuh
seorang laki-laki. Ia sekali lagi memandang saya, tetapi kali ini hanya cepat sekali,
kemudian berkata, “saya tak percaya itu.” “bagaimana saya dapat meyakinkanmu bahwa
yang kukatakan itu benar?” “saya benar-benar tak tahu bagaimana kau dapat melakukan
itu.” Maka saya angkat tangan saya tinggi-tinggi di atas kepala saya dan mendaratkannya
dengan keras pada mukanya. “sekarang kau telah percaya bahwa saya telah
menamparmu. Menancapkan sebilah pisau di lehermu semudah itu juga, dan memerlukan
gerakan yang sama benar.” Kali ini ketika ia melihat kepada saya, matanya penuh dengan
rasa takut. Saya berkata, “barangkali, sekarang kau akan percaya bahwa saya benar-
benar mampu untuk membunuhmu, karena kau tidak lebih baik dari serangga, dan apa
yang kau perbuat hanyalah menghabiskan uang beribu-ribu yang kau ambil dari
rakyatmu yang mati kelaparan untuk diberikan kepada pelacur.” (halaman 146)

Dari cuplikan-cuplikan yang telah disebutkan di atas membuktikan tindak


pemberontakan dan perjuangan Firdaus terhadap tindak ketidakadilan yang
dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kaum perempuan khususnya yang ia alami
sendiri sebagai korban diskriminasi bahwa ia juga mampu melakukan seperti apa
yang telah dilakukan oleh kaum laki-laki terhadapnya selama ini bahkan dia juga
membuktikan bahwa Firdaus juga bisa melakukan lebih dari itu. Perbuatannya yang
semakin berani memberontak atau mendobrak deskriminasi yang terjadi di dalam
masyarakatnya itu dengan ekstrim sehingga membuat kaum laki-laki khususnya pihak
aparat pemerintah atau penguasa ketakutan akan kedoknya yang terbongkar karena
kebanyakan dari mereka telah mengorupsi uang Negara atau merampas uang rakyat
untuk membayar pelacur. Keberanian Firdaus merupakan suatu ancaman bagi kaum
laki-laki lebih-labih bagi para penguasa yang selama ini hanya memakai topeng
didepan masyarakatnya akan kebobrokannya yang telah diketahui oleh Firdaus. Oleh
karena itulah Firdaus dihukum mati bukan karena ia telah membunuh seorang laki-
laki (germo) tetapi karena dia-lah satu-satunya perempuan yang telah membuka kedok
mereka dan memperlihatkan kenyataan buruk mereka.

Begitu pedas kritik terhadap masyarakat yang terdapat dalam novel Perempuan di Titik
Nol ini. Usaha pengarang memperjuangkan hak-hak perempuan dan menuangkan
paham feminisnya begitu kuat dan gamblang dalam rangkaian ceritanya yang mampu
membawa pembacanya seolah berada dalam latar tersebut apalagi bahasa yang
disuguhkan dalam novel ini cukup apik dan mudah dipahami. 

Anda mungkin juga menyukai