Anda di halaman 1dari 16

Resume Buku

FILSAFAT ILMU DAN LOGIKA

Muhammadiyah University Press. 2019

Asc. Prof. Dr. Watson, M.Hum

Oleh : Lili Gozali (MPI A/I)

BAB I

Menuju arah pemikiran filsafat

Mengapa Filsafat ?

“Barang siapa yang ingin memahami dunia maka ia harus mewarnai agama atau
filsafat yang mewarnai dunia itu, orang harus mempelajari kekuatan itu”. ( Tafsir, 1998:7)

Antara sains, filsafat dan agama memang berkontribusi besar dalam perkembangan
dunia, namun ketiga nya memiliki sistem operasi yang berbeda. Paradigma pengetahuan sains
adalah positivistic, kebenarannya selalu logis ( masuk akal) namun kelogisan tersebut
dibuktikan oleh bukti – bukti empiris atau indrawi, sedangkan objek yang diteliti oleh filsafat
adalah hal – hal yang abstrak. Meskipun objeknya abstrak paradigm berpengetahuannya
selalu logis, harus terjadi hubungan sebab akibat antara premis atau pernyataan – pernyataan
yang digunakan.

Pengertian Filsafat

Banyak ahli berpendapat bahwa memberikan pengertian filsafat bukanlah sesuatu


yang “baik”.sebab akan lebih baik jika pembaca menyimpulkan pengertian filsafat setelah ia
menghayati dan mengalami sendiri berfilsafat. Filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan
(philo – Sophia) filsafat juga diartika secara terminologis oleh banyak pihak.

Menurut Immanuel Kent filsafat adalah pengetahuan yanj menjadi pangkal


pengetahuan. Sedangkan Bertrand Rusel menyebut filsafat sebagai upaya untuk menjawab
persoalan mutlak secara kritis.

Ciri-ciri berpikir Filsafat


Ciri – ciri filsafat adalah : radikal, universal, konseptual, keheren/konsisten,
bertanggung jawab, bebas, komprehensip, dan sistematik.

Metode Belajar Filsafat

Sedangkan cara belajar filsafatnya adalah dapat ditempuh dalam empat model; historis,
sistematis, kritis dan definisi.

Cabang-cabang Filsafat

Filsafat memiliki cabang – cabang utama yaitu metafisika (ontology), epistemology dan
Aksiologi.

Refleksi

Dijaman seperti saat ini manusia hanya berpusat pada pengembangan sains dan
tekhnolgi kecenderungan manusia berfikir filsafat menurun, sedangkan filsafat sendiri seperti
dasar dan landasan bagi manusia dalam mengembangkan sains dan teknologi.

Menurunnya berfikir filsafat akan menyebabkan banyak masalah karena manusia


hanya berorientasi pada materi sehingga dapat menimbulkan ketimpangan dalam masyarakat.

BAB II

Definisi Ontologi

Ontology adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang ada. Ontology berasal
dari istilah dalam bahasa latin, ontologia yang berarti “ilmu keberadaan”.

Berasal dari beberapa filsuf maka diambil kesimpulan bahwa ontologi memfokuskan
kajian pada yang ada. Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani ‘onta’ atau ‘yang
berada’. Dengan demikian objek kajian ontologi adalah ‘yang ada’, ontologi membahas
“yang ada yang universal”.

Kedudukan Ontologi terhadap Metafisika

Ontology disebut juga sebagai metafisika umum.metafisika adalah cabang yang pertama.
Metafisika dibagi menjadi dua divisi utama yaitu metafisika umum dan metafisika khusus.
Metafisika umum atau yang disebut ontologi mencakup sebagian besar dari apa yang
disebut sains universal. Sedangkan metafisika khusus digunakan untuk kosmologi (hakikat
alam), antrpologi dan psikologi (hakikat manusia) dan teologi (hakikat Tuhan).

Perbedaan ontologi dan epistimologi

Ontologi Epistimologi
Apakah jiwa ada? Apakah mereka terikat Bagaimana kita bisa tahu jika jiwa memang
dengan hukum fisik? ada?
Apakah ada tuhan? Dengan cara apa kita bisa tahu bahwa tuhan
memang ada?

Refleksi.

Di zaman kini, tidak banyak orang ynag masih mau menyibukkan diri untuk mencari
hakikat sesuatu. Contohnya, saat ini manusia menggunakan piranti media sosial setiap hari ,
tapi pernakah kita mempertanyakan apa hakikat media sosial?pertanyaan ini penting untuk
mengidentifikasi permasalahan yang kerap terjadiakibat penggunaan media sosial untuk
penyebaran hoaks melalui media sosial. Hal semacam ini terjadi karena kita tidak pernah
peduli apa hakikat media sosial.

BAB III

Definisi Epistimologi

Epistemologi membahas secara mendalam tentang asal mula pengetahuan, struktur,


metode dan validitas pengetahuan. Epistimologi juga membahas bagaimana kita
mendapatkan pengetahuan, yakni apa saja yang menjadi sumber-sumber pengetahuan,
hakikat pengetahuan, batas-batas dan lingkup pengetahuan, kemungkinan manusia mendapat
pengetahuan, hinga batas kemampuan manusia terhadap pengetahuan.

Objek kajian epistimologi

Memiliki objek kajian berupa pengetahuan, seangkan objek formalnya adalah hakikat
pengetahuan. Persoalan yang dikaji dalam epistimologi adalah :

1. Asal-usul pengetahuan
2. Peran pengalaman dalam pengetahuan
3. Peran akal dalam pengetahuan
4. Hubungan pengetahuan dan keniscayaan
5. Hubungan pengetahuan dan kebenaran
6. Kemungkinan skeptivisme universal
7. Bentuk-bentuk perubahan pengetahuan

Manfaat belajar epistimologi

Menurut sudarminta, epistimologiakan selalu bermanfaat dengan tiga alasan; strategis,


kebudayaan, dan pendidikan

Epistemologi akan selalu bermanfaat dengan tiga alasan: strategi (perlunya validitas
ilmu), kebudayaan (perlunya mengungkap makna dibalik ekspresi budaya) dan pendidikan
(bagian integral dalam proses pendidikan).

Berdasarkan titik tolaknya epistemologidapat dibagi dalam tiga macam: epistemologi


metafisis, epistemologi skeptis dan epistemologi kritis. Sedangkan berdasarkan objek yang
dikaji epistemologi dapat dibagi menjadi dua: epistemologi individual dan epistemologi
sosial.

Dikenal pula epistemologi islam yang meliputi ; epitemologi bayani ( teks),


epistemologi burhani (akal – filosofis), epistemologi tajribi (ilmu empirik), epistemologi
irfani( rasa/ hati).

Epistemologi memiliki fungsi yang bersifat: evaluatif (melihat besar tidaknya suatu
pengetahuan), normatif (menentukan norma atau tolak ukur) dan fungsi kritis
(mempertanyakan dan mengujikenalaran).

Refleksi

Saat ini banyak pengetahuan yang kita dapat, atau kita merasa tahu sesuatu, namun kit
atidak pernah memeriksa secara teliti validitas pengetahuan kita. Artinya kita tidak
menggunakan epistemologi. Di zaman yang sangat dipengaruhi oleh media baru, terjadi
banjir informasi yang masuk ke ruang pengetahuan setiap orang. Namun dari banyak
informasi tersebut cukup sulit membedakan mana yang benar dan mana yang palsu (hoaks).
Pada sisi inilah sebenarnya epistemologi sangat diperlukan terutama karena epistemologi
sendiri bersifat evaluatif, normatif dan kritis.
Hendaknya setiap menerima informasi, kita meluangkan sejenak waktu untuk meneliti
dari mana sumber pengetahuan itu , dihasilkan dengan cara apa, dan bagaimana metode
penyimpulannya.

BAB IV

Aksiologi membahas tentang nilai sesuatu. Nilai yang dimaksud dapat berada dalam
rentang baik ke buruk (etis) maupun dalam rentan indah dan jelek (estetis). Dengan demikian
dua area utama aksiologi adalah etika dan estetika.

Sumber penilaian umumnya berasal dari subjektifitas si penilai, nilai diteentukan oleh
akumulasi pengalaman si penilai. Hal ini gak berneda dengan agama yang memandang nilai
sebagai kenyataan metafisisk yang bersifat aktif, misalnyanilai dosa dan pahala.cara pandang
nilai agama tersebut buka subjektifisme manusia, namun objektifisme metafisik.

Etika, sebagai cabang aksiologi yang membahas baikdan buruk, memiliki tiga wilayah
pembahasan : metaetika (asal konsep etis), etika normatif (standar moral perilaku) etika
terapan (analisis masalah moral kontroversial). Adapun K. Bartens menyebut tiga kajian etika
yang penting: etika deskriptif (uraian tentang etika di masyarakat, tanpa melakukan penilaian)
etika normatif (meneliti namun kemudian ikut menimbang dan mengkritisi norma di
masyarakat,etika moral( kebiasaan berperilaku yang dijadikan landasan hukum positif)

Sedangkan estetika sebagai cabang aksiologi yang membahas keindahan, wilayha


peniliannya bukan hanya terhadap karya seni, namun segala sesautu termasuk yang bukan
karya seni . memang terdapat keindahan yang sama – sama diakui oleh orang banyak, dalam
istilah Immanuel Kant disebut keindahan objektif universal. Namun tidak dipungkiri pula
adanya keindahan yang subjektif penilaiannya ditentukan oleh keahlian khusus dan minat
kesenangan tertentu.

Refleksi

Dalam kehidupan bermasyarakat, aksiologi tampak dalam aspek kepatutan atau


kepantasan. Baik buruk (etika) sering lebih diutamakan sebagai indikator kepatutan daripada
aspek indah jelek (estetika).sebuah lukisan seindah apapun jika berisi gambar berunsur
ketelanjangan tubuh akan dihakimisebagai tidak patut atau tidak etis, dan akan dapat
berimplikasi padasanksi hukum positif misalnya dijerat UU Pornografi. Dengan demikian
secara aksiologis setiap ilmu hingga perilaku manusia tidak hanya diukur dari baik buruk
dalam hal manfaat pragmatis, namunjuga baik – buruk pada aspek moralitas.

BAB V

Semua yang dipahami manusia adalah pengetahuan, baik dicapai tanpa melalui syarat
tertentu melalui prosedur ilmiah. Meski tidak harus melalui tahapan ilmiah, namun
pengetahuan tetap harus mengandung kebenaran. Artinya harus terjadi hubungan antara
subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui.. dengan kata lain harus ada bukti.

Pengetahuan terjadi karena beberapa hal, yaitu: pengalaman, ingatan, kesaksian,


pikiran dan penalaran, logika, bahasa dan adanya kebutuhan hidup manusia yang menuntut
manusia untukj mengetahui berbagai hal. Delapan hal tersebut memungkinkan manusia
mendapat pengetahuan.

Sumber dari mana pengetahuan ber4asal, terdapat tiga hal: wahyu, nalar dan intuisi.
Wahyu atau kitab suci memberikan pengetahuan pada manusia sehingga manusi cenderung
pasif, sedangkan intuisi dan penalaran (baik dengan empiris maupun rasional) merupakan
upaya manusia untuk mendapat pengetahuan.

Pengetahuan menurut Plato dibagi dalam berbagai jenis sesuai tingkatannya: Eikasia
atau pengetahuan khayalan merupakan pengetahuan yang paling rendah, Pistispengetahuan
tentang hal – hal yang dapat dikenali oleh indra manusia, Diayona , pengetahuan matematis,
dan Noesis pengetahuan yang objeknya termasuk hal – hal metafisik dan inilah pengetahuan
yang levelnya paling tinggi. Menurut Aristoteles pengetahuan dibagi tiga: pengetahuan
produksi, praktis dan teoritis. Sedangkan menurut Soemargono pengetahuan dibagi menjadi
pengetahuan non ilmiah, pra ilmiah dan ilmiah. J. Sudarminta membaginya menjadi
pengetahuan moral, relijius dan ilmiah.

BAB VI

Ilmu adalah pengetahuan didapat dan dissusun secara sistematis dengan menggunakan
prosedur dan metode yang ketat. Dengan demikian, ilmu bukanlah sembarang pengetahuan
biasa karena dapat dipertanggungjawabkan dihadapan publik sehingga tingkat kepercayaan
atau kebenarannya lebih tinggi.
Untuk dapat disebut sebagai ilmu, suatu pengetahuan harus memenuhi syarat – syarat
sistematis, objektif, dapat dipertanggungjawabkan atau veriviable (dapat dibuktikan kembali).
Oleh karena itu ilmu harus dicapai dengan metode ilmiah. Metode ilmiah dapat berlaku
umum untuk semua ilmu, namun seiring pertumbuhan ilmu berkembang pula metode ilmiah
khusus yang sesuai dengan corak dsisiplin ilmu tertentu.

Ketika ilmu telah dicapai dengan metode ilmia, maka ilmu dapat bekerja sesuai
fungsinya. Ilmu mempunyai tiga fungsi utama yaitu menjelaskan (explaining/ describing),
meramalkan (predicting) dan mengendalikan (controling).

Dalam hal pengelompokan ilmu, pada umumnya ilmu dibagi secara dikotomis,
misalnya abstracscience- concrete sciene, apriori-emperical, descriptive-normative, formal –
factual, nomothetic – idiographic, theoritical, practical, pure – applied, inexact-exact.

Kebenaran ilmiah sebagai tujuan dari prosedur ilmiah terkonstruksi menjadi lima
model kebenaran: model kebenaran korespondensimemilki sandaran kebenaran berupa fakta
– fakta empiris, kebenaran koherensi atau konsistensi bersandar pada keruntutan rasio,
kebenaran pragmatik ditentukan oleh manfaat dari sebuah ilmu, kebenaran performatif
disandarkan pada pihak tertentu yang dianggap paling otoritatif dan kebenaran proporsi
ditentukan oleh kekuatan konsensus atau kesepkatan bersama.

Refleksi

Interaksi manusia dengan alam semesta beserta teka –tekinya melahirkan pengetahuan
yang sangat banyak. Namun tidak semua pengetahuan tersebut dapat dipandang sebagai ilmu.
Hanya pengetahuan yang sistematis, logis, dan memiliki bukti yang valid saja yang dapat
disebut sebagai ilmu. Dalam membangun pengetahuan, manusia perlu mengoptimalkan
empat sumber: empiri (indra manusia), rasio (akal), intuisi (hati), dan wahyu. Keempat hal
tersebut tidak perlu dipertentangkan sehingga terbentuk mahzab sendiri – sendiri. Namun
perlu disatukan agar terbangun keilmuan yang paripurna. Sejarah ilmu mencatat bahwa
kecenderungan pada salah satu ilmu saja ternyata melahirkan paradigma ekstrem yang
menegasikan sumber kebenaran lain.

Ilmuwan harus memiliki kesadaran dan sikap bahwa ilmu harus dibangun dengan
prosedur yang ketat agar tidak ada kecacatan metodologis, serta harus dilakukan secara
transparan agar dapat diverifikasi. Hanya denga cara itualah kebenaran sebuah ilmu dapat
dipertanggungjawabkan di hadapan publik.
BAB VII

Upaya manusia untuk memikirkan secra mendalam tentang ilmu disebut filsafat ilmu.
Filsafat ilmu memiliki landasan ilmu, konsep – konsep dasar, asas – asas, struktur, dan
ukuran kebenaran ilmu. Filsafat ilmu juga dapat disebut sebagai teori ilmu.

Secara ontologis, filsafat ilmu mempelajari hakikat ilmu, oleh karena itu objek
material filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan sedangkan objek formalnya adalah esensi ilmu
pengetahuan. Ontologi ilmu pada pada intinya merupakan cara pandang terhadap realitas
yang kemudian berpengaruh dalam pengembangan ilmu. Ada dua cara pandang yang
dominan yakni materialisme dan spiritualisme. Materialisme mendorong lahirnya ilmu – ilmu
kealaman sedangkan spiritualisme berpengaruh besar pada munculnya ilmu sosial dan
humaniora.

Secara epistemologis filsafat ilmu mempertanyakan cara mendapat ilmu pengetahuan.


Pembahasan epistemologi ilmu terpusat pada cara atau prosedur ilmu. Secara umum terdapat
dua prosedur yaitu siklus empiris dan cara linier. Dapat juga dengan istilah lain yaitu
nomothetic dan idiographic. Empiris dan nomothetic mejadi prosedur umum dalam ilmu
kealaman. Sedangkan linier dan idiographic lazim digunakan dalam ilmu sosial – humaniora.

Secara aksiologis filsfata ilmu mempertanyakan fungsi ilmu, yaitu apakah ilmu bebas
nilai atau muatan nilai, apakah ilmu untuk ilmu atau ilmu untuk kemanusiaan

Dengan kajian yang mendasar tentang ilmu, maka filsafat ilmu memiliki fungsi ilmu
yang sangat penting. Seiring perkembangan ilmu yang semakin terdiferensisi, maka upaya
untuk mengkritisi ilmu harus terus dilakukan. Dengan filsafat ilmu manusia dapat terus
mengontrol ilmu yang berkembang dalam peradaban, sebab setiap ilmu akan dapat diperiksa
aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya oleh filsafat ilmu.

BAB VIII

RESUME DAN REFLEKSI


Filsafat ilmu memang baru menjadi disiplin tersendiri menjelang akhir abad modern.
Namun filsuf sejak Yunani Kuno telah memberikan kontribusi penting bagi kajian mendalam
tentang ilmu.

Plato mengawali penggunaan penalaran dengan metode deduksi, sedangkan


Aristoteles mengawali metode induksi. Pada masa kejayaan Romawi, tradisi Plato memang
melemah namun Aristotelian menguat dalam rupa ilmu terapan, terutama dipraktikan dalam
ranah matematis dan teknis yang berkontribusi besar bagi pembangunan arsitektur Romawi
dan kemajuan tekniknya.

Pada masa kejayaan Islam abad ke 9 – 13 M, tradisi berpikir filosofis baik bercorak
induktif maupun deduktif sama – sama berkembang, meskipun pewaris logika Aristoteles
lebih mengemuka. Baik Ibnu Sina , Ibn Al Haytham, dan Al Biruni sama – sama penggemar
eksperimen yang ditradisikan dikalangan Aristotelian.

Gagasan filosofis Yunani Kuno yang diselamatkan dan diulas oleh filsuf muslim
tersebut akhirnya kembali lagi ke Eropa terutama berkat kontribusi Roger Bacon pada abad
ke 13. Lalu pada abad 16 dipertajam lagi oleh Francis Bacon sehingga penalaran dan metode
ilmiah di Barat semakin digandrungi. Mereka inilah yang mengantarkan Barat mencapai abad
kelahiran kembali (Renaisance).

Tokoh – tokoh besar setelah Bacon, baik filsuf maupun fisikawan sama –sama
menegaskan metode rasional empiris dan eksperimentatif sebagai arus utama metode ilmiah,
terutama dengan dominanya paradigm positivism di abad modern. Rene Descartes, Galilieo
hingga ke masa Einstein dan Hawking melakukan hal tersebut.

Ilmu mulai benar – benar menjadi disiplin yang terpisah dari filsafat sejak pengaruh
Bacon tersebut. Namun ilmu tampaknya tidak mudah lari dari agama. Setidaknya dengan
munculnya orang – orang yang mencoba mengambil jalan yang tengah antara ilmu yang
empiris logis dan agama yang metafisis. Herscel dan Whewell termasuk pada barisan inti.

Namun pada abad 20, ilmu tmapak seolah menang dan dapat terbebas dari agama,
terutama dengan populernya gagasan evolusi Darwin dan bergulirnya revolusi industry ke
dua.

Pada akhir abad modern atau pertengahan abad 20, kemapanan metode ilmiah
dipertanyakan, di mulai Poincare kemudian Popper, metode ilmu disangkal sebagai tidak
mampu mencapai kebenaran absolute, perlu difasilitasi atau diuji dengan serangkaian
penyangkalan. Lakatos kemudian Thomas Kuhn juga mendobrak arogansi metode ilmiah
dengan gagasan seputar pergeseran paradigma dan revolusi saintifik. Dilanjut pula tuduhan
Feyerabend bahwa metode ilmiah adalah konstruksi buatan yang membelenggu.

Dengan melihat sejarah filsafat ilmu dari masa ke masa tersebut dapat disimpulkan
bahwa dinamika ilmu cukup bergeliat dan terus terjadi, perubahan – perubahan besar terkait
hakikat dan prosedur ilmu masih sangat mungkin terjadi di masa depan. Maka sudah
selayaknya ilmuwan senantiasa terbuka terhadap perkembangan metodologi ilmiah
mengingat ilmu juga semakin berkembang dan permasalahan yang dihadapi manusia
semakin kompleks.

BAB IX

RINGKASAN DAN REFLEKSI

Empirisme adalah paham yang menjadikan pengalaman indrawi sebagai sandaran


kebenaran ilmiah. Empirisme muncul dan berkembang di Inggris pada abad ke 1a7 dengan
John Locke ( 1631 – 1702 ), David Hume dan Bishop Barkeley sebagai tokoh utamanya.

Bagi yang kurang sepakat, empirisme memiliki kekurangan karena keterbatasan indra
dan kemungkinan kemampuan objek yang menipu indra. Meski demikian empirisme menjadi
paham yang sangat digemari di Inggris dan mempunyai pengaruh besar bagi lahirnya paham
paradigm ilmu yang berkembang pesat dalam sejarah filsafat barat, yakni positivism.

Positivisme menjadi digandrungi sejak abad ke 18 karena besarnya optimism manusia


terhadap janji – janji kemajuan sains sejak era renansaince, optimism ini secara bersamaan
melahirkan pesimisme pada agama dan dimensi metafisik. Maka pada era tersebut positivism
seakan menjadi ruh zaman, tren, dan kebenaran umum.

Positivism merupakan paham filsafat yang meyakini bahwa puncak pengetahuan


manusia adalah ilmu – ilmu yang berdasarkan padafakta keras (teramati dan terukur) atau
disebut juga sebagai ilmu – ilmu positif.

Positivism sangat mengedepankan sikap objektif yang dilembagakan dalam doktrin


kesatuan pengetahuan di mana di dalamnya ditentukan criteria pengetahuan, yaitu: bebas nilai
(tanpa bias), fenomenalisme (hanya meneliti yang tampak), nominalisme (realitas bersifat
particular), reduksionisme(boleh menggunakan sampel, naturalism (hokum alam bukan
adikodrati). Mekanisme ( alam bekerja seperti mesin)

Dalam perkembangannya, positivism juga muncul beberapa variasi, misalnya:


positivism social, positivisme revolusioner, positifisme kritis, positifisme logis.

Positivisme logis menjadi aliran yang paling besar semenjak secara politis berlawanan
dengan kalangan romantic etis yang menghendaku kembalinya feodalisme Eropa pasca
Perang Dunia I. positivisme logis menjadi pihak yang brsikukuh bahwa masyarakat harus
bebas dari belenggu primodial baik agama maupun filsafat. Untuk menguatkan posisinya,
positive logis mengembangkan positivism melalui bahasa. Bahasa diupayakan menjadi
cermat seperti matematika. Wittgenstein termasuk tokoh terbesar untuk tahap ini. Positive
logis mendapat kritik tajam dari Orman Quine, dan tokoh strukturalisme, Saussure.

Jika positivism logis menghendaki kepastian bahasa, strukturalisme justru


menyatakan bahwa bahasa bersifat relative. Kecamuk melebih – lebihkan kajian bahasa
antara positivism logis dan strukturalisme ini membuat Jacques Derrida cukup geram karena
melihat adanya indikasi logo sentrisme, melebihkan akal rasio d atas materi atau kembalinya
metafisis Plato. Derrida yang dipandang sebagai post strukturalis berhasil mengembalikan
positivism ke basis materialnya, bukan ke metafisika.

Positivism yang identik dengan penelitian ilmu – ilmu alam juga pernah mencoba
menyentuh ilmu social sejak masa comte. Upaya meng angka kan fenomena social dianggap
masih mungkin dilakukan, namun tidak akan bisa sesukses pada ilmu – ilmu alam .

BAB X

RESUME DAN REFLEKSI

Rasionalisme merupakan paham yang mendaulat akal sebagai sumber dan dalil utama
bagi ilmu pengetahuan manusia. Rasionalisme dapat bekerja secara apriori, artinya tidak
harus diawali bukti empiris. Proses penalaran rasionalisme berbentuk deduktif.

Tokoh utama rasionalisme dalah Rene Descartes, tokoh lain yang turut membesarkan
rasionalisme di antaranya Leihbniz, Christian Wolff, Spinoza, Voltaire, Diderot, dan
D’Alambert. Kemampuan menempatkan hal – hal abstrak sebagai objek kajian utama
dianggap keunggulan nasionalime disbanding rival terdekatnya, empirisme. Namun
rasionalisme memiliki kelemahan karena sifatnya yang subjektif, tidak objektif, sehingga
kebenaran yang dihasilkan bersifat relatif.

Jika Empirisme dilanjutkan oleh Positivisme, maka Rasionalisme dilanjutkan oleh


Post Positivisme. Post Positivisme menyangkal kemampuan pengamatan untuk melihat alam
secara absolut, sebaliknya kemampuan manusia mewlihat realitas adalah terbatas, demikian
pula kemampuan alam menunjukkan diri pada manusia.

Asumsi dasar post positivism adalah : 1) fakta telah selalu bermuatan teori, tidak
netral. 2) Flibilitas teori, tidak ada satu bteoripun yang kebal pada anomali, 3) fakta srat nilai,
bukan bebas nilai. 4) ada interaksi antara subjek dan objek dalam penelitian, bukan otonomi.
Beberapa asumsi dasar tersebut bersebrangan dengan doktrin kesatuan pengetahuan yang
dimiliki positivism.

Beberapa tokoh dan gerakan pos positivism terbesar dalah : 1)Karl Popper yang
sangat dikenal dengan teori Falsifikasinya. Bahwa kebenaran hampir sempurna akan tercapai
ketika ia kebal terhadap banyak upaya falsifikasi. Popper juga dikenal dengan teori tiga
dunia; 2) Thomas Kuhn menolak kesatuan ilmu dan menawarkan gagasan bahwa paradigm
bersifat plural. Kuhn menggagas revolusi saintifik karena paradigm tidak bergerak evolutif
sambung sinambung seperti digagas Popper, namun ada loncatan – loncatan revolusi. 3)
mahzab Franfurt, berisi sekumpulan ilmuan yang mengkritik positivism sebagai gerakan
keilmuan yang tidak peduli moralitas atau value free. Mazhab ini mengembalikan ilmu
sebagai gawang moralitas atau etis. Gerakan ini juga selanjutnya juga disebut sebagai teori
kritis. 4) konstruktivisme, menyatakan bahwa proses social adalah pra kondisi yang ikut
mempengaruhi bangunan teori, sehingga tidak boleh diabaikan. Jika positivism menempatkan
pengetahuan di luar subjek (knower) maka konstruktivisme menyatukan knower dan
pengetahuan.

Dengan demikian, pengagungan pengalaman indrawi sebagai basis ilmu pengetahuan


sebagaimana dilakukan empirisme dan positivisme mendapatkan lawan yang sepadan pada
rasionalisme dan post positivism. Dalam konteks saat ini kedua corak ini sama – sama besar
dan memiliki pengaruh dalam masyarakat akademik maupun kalangan awam. Keduanya
memungkinkan diversifikasi ilmu yang semakin kompleks. Seiring menguatnya tren
collaborative research dan penggunaan mixed method, maka kedua corak tadi pada
praktiknya justru sering dipertemukan untuk saling mendukung, bukan saling
dipertentangkan. Artinya perseteruan yang tampaknya panas dalam sejarah mereka pada
akhairanya tidak terlalu menjadi problem peradaban untuk konteks hari ini. Justru yang
terjadi adalah sinergi yang saling menguatkan untuk memahami fenomena di masyarakat dan
mengembangkan keilmuan.

BAB XI

RANGKUMAN DAN REFLEKSI

Dalam sejarah filsafat, tokoh yang identik sebagai pemikir utama era modern adalah
Francis Bacon (1561 – 1626) Rene Descartes (1596 -1650) dan John Locke ( 1632 – 1704).
Peran mereka terutama pada semangat meneliti alam (naturalism) , pengagungan akal
(rasionalisme) dan kepercayaadirian otonomi manusia (antroposentrisme hingga
individualisme).

Posmodernisme menolak pengagungan rasio. Posmodernisme juga menolak paham


turunan dari rasionalime yaitu individualism. Dengan demikian tertolak pula system
kapitalisme dan liberalism yang menjadi ideology modern. Kemudian secara ontologism,
postmodern menolak adanya objek independen di luar manusia, baik objek yang supra natural
maupun objek yang natural sebagaimana diakui realisme.

Posmodernisme juga identik dengan logosentrisme di mana tingkat kepercayaan


kepada teks dan bahasa menurun karena dianggap sebagai aspek tersier. Sementara perkataan
langsung lebih dapat dipercayai karena bersifat sekunder dalam urutan orisinalitas gagasan.
Logosentris tampak sebagai respons terhadap positivism logis yang cenderung membakukan
definisi operasional setiap kata.

Sebagai kontra terhadap paradigm modern yang positivistic, posmodernisme juga


mengambil jalan bersebrangan, yaitu relativistik. Bahkan relativisme postmodern bersifat
metafisik (tidak ada realitas objektif, semua subjektif), epistemologis (tidak mungkin
ditemukan pengetahuan objektif), dan etis (tidak ada nilai moral yang objektif dan absolute).

Dengan karakternya yang relativistic, postmodern sangat apresiatif terhadap


pluralitas. Namun relativitas postmodern tersebut juga menyisakan pekerjaan rumah baru,
yaitu munculnya fenomena post truth. Hal ini muncul setelah kebenaran objektif tidak lagi
dianggap penting. Akibatnya kebenaran dimainkan oleh hal – hal yang bersifat emosional.
Hal ini dipercepat dengan perkembangan media baru berbasis jaringan internetyang membuat
setiap orang diserang oleh banjir informasi sehingga kesempatan untuk memfilter informasi
tidak lebih cepat dari serbuaninformasi yang belum tentu dapat dipastikan kebenarannya.

BAB XII

RESUME DAN REFLEKSI

Meskipun berpikir logis sudah menjadi kebiasaan para filsuf sejak zaman paling kuno,
namun sebagai sebuah system, logika baru bertata baik sejak Aristoteles menulis To
Organon. Kitab tersebut berisi tentang istilah, prediksi, proposisi, silogisme, metode berdebat,
kesalahan berpikir. Itulah pokok - pokok logika yang terus dipelajari hingga saat ini.

Logika berarti ilmu tentang berpikir lurus. Dengan adanya rumus berpikiryang benar
maka manusia dapat terbebas dari halangan berpikir seperti idola tribus, idola specus, idola
fori, dan idola theatric. Logika dikembangkan pada abad Renaisance seiring menguatnya
kecenderungan rasinalisme di eropa. Logika yang dimaksud disinin adalah logika saintifik,
bukan logika naturalis yang sederhana.

Dalam mempelajari logika perlu diawali dengan membedakan ide (gagasan di dalam
benak manusia) dengan term (ekspresi terucap atau tertulis dari ide). Logika juga
mempelajari cara membuat definisi dari setiap kata atau termyang keluar dari ide manusia.
Untuk menguji kebenaran sebuah definisi, harus dipastikan terlebih dahulu apakah untaian
kata yang dibuat tidak menimbulkan salah paham.

Dengan mempelajari logika, maka seseorang akan terbiasa berhati – hati dalam
berpikir dan mengeluarkan pernyataan maupun membuat keputusan. Ketelitian dalam
menggunakan rumus – rumus logika akan semakin meningkatkan kualitas intelektual
seseorang. Sebaliknya, keenganan menaati hokum logika akan membuat seseorang terjebak
dalam sesat piker.

BAB XIII

RESUME DAN REFLEKSI


Kesalahan dalam berpikir hingga menabrak hukum – hukum logika merupakan
fenomena kemanusiaan yang ada sepanjang sejarah. Hal ini seolah menunjukkan bahwa
memang selalu ada saja manusia yang tidak peduli dengan kaidah berpikir lurus. Yakni
terutama mereka yang enggan berpikir secara mendalam atau filosofis. Dengan kata lain,
sesat piker sangat lazim terjadi pada masyarakat yang awam atau kurang terdidik.namun
dengan demikian bukan berarti insane intelektual sudah terbebas dari logical fallacy. Banya
orang telah paham logika, namun sengaja menabrak dan mempermainkan logika demi tujuan
tertentu, umumnya untuk tujuan politis atau memainkan pengaruh social. Perdebatan di ruang
public sering dibumbui dengan permainan logika yang justru melahirkan kesimpulan yang
sesat. Bukan karena si pelaku tidak paham, tapi karena unsure kesengajaan. Oleh karena itu
logika sebenarnya tidak saja sebenarnya tidak cukup untuk membangun peradaban. Control
moral etis atau dimensi aksiologi, wajib menjadi bagian tak terpisahkan bagi manusia yang
sadar akan peran dan fungsi di masyarakat.

BAB XIV

RESUME DAN REFLEKSI

Meta science adalah studi tentang yang terlihat dan yang tidak terilhat, dan kenyataan
yang ada. Resonansi adalah fondasinya. Alam semesta adalah simfoni energy getaran,
dibanjiri frekuensi elektromagnetik. Materi diatur oleh bentuk gelombang dan frekuensi.
Energy getaran, bentuk gelombang dan frekuensi semuanya hanyalah bentuk pengetahuan
informasi yang berbeda.

Meta science menyajikan paradigm baru, di mana informasi dan pengetahuan diakses
di tingkat terdalam. Seperti melangkah ke arus, pengetahuannya bergerak konstan, setiap
langkah membuka keajaiban informasi baru. Meta science mengungkapkan kepada kita
bahwa pengetahuan nyata pernah hadir di saat ini, sebuah sungai yang dapat diaksessesuai
kebutuhan.

Terkait dengan etika, K. Bertens menyebut 3 bagian kajian etika yang penting. Yaitu:
1) etika deskriptif, 2) etika normative, 3) etika moral.

Ilmu dapat membuat kemampuan akal manusia menjadi optimal,. Pada gilirannya
kemampuan akal yang optimal dapat melahirkan kebudayaan yang tinggi pula.
Manusia tlah membangun kebudayaan dalam berbagai manifestasi. Bentuk
manifestasi kebudayaan manusia :1) system religi dan upacara keagamaan, 2) system
organisasi kemasyarakatan, 3) system pengetahuan, 4) system mata pencaharian, 5) system
teknologi dan peralatan, 6) bahasa, dan 7) kesenian.

Ilmuan, dengan kapasitas dan keunggulannya, bertanggung secara etis kepada


masyarakat dalam banyak hal. Misalnya, ia harus mampu member andil ketika terjadi
masalah dalam masyarakat. Keterampilan dan kemampuan analisis seorang ilmuan sangat
mungkin menjadi solusi bagi masalah yang dihadapi oleh banyak orang.

Anda mungkin juga menyukai