Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

DIABETES MIELITUS

A. DEFENISI
Diabetes melitus adalah gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa) akibat kurangnya hormon insulin,
menurunnya efek insulin atau keduanya. (kowalak, dkk. 2016 ). Diabetes
melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Pada diabetes melitus
kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun atau
pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin (Brunner and
Suddarth, 2015).
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melittus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Diabetes melittus tipe 2 terjadi jika insulin hasil produksi pancreas
tidak cukup atau sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin,
sehingga terjadilah gangguan pengiriman gula ke sel tubuh. Diabetes Tipe 2 ini
merupakan tipe diabetes yang paling umum dijumpai, juga sering disebut
diabetes yang dimulai pada masa dewasa, dikenal sebagai NIDDM (Non-
insulin-dependent diabetes melitus).

B. ETIOLOGY
1. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas.
Kombinasi faktor genetik, imunologi dan lingkungan (misalnya, infeksi
virus) diperkiakan turut menimbulkan destruksi sel beta. Faktor faktor
genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu presdiposisi atau kecendrungan genetik ke arah terjadinya
diabetes tipe satu. Kecendrungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggungjawab atas antigen tansplantasi
dan proses imun lainnya.
a. Faktor imunologi.
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon otoimun.
Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggpanya seolah-olah sebagai jaringan asing. Bahkan beberapa
tahun sebelum timbulnya gejala klinis diabetes tipe 1.
b. Faktor lingkungan.
Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain
agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan
karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan
kehamilan. Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan
faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai
contoh hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin
tertentu dapat memicu prises otoimun yang menimbulkan destruksi sel
beta.

Interaksi antara faktor-faktor genetik, imunologi dan lingkungan dalam


etiologi diabetes tipe 1 merupakan pokok perhatian riset yang terus
berlanjut. Meskipun kejadian yang menimbulkan destruksi sel beta tidak
dimengerti sepenuhnya, namun pernyataan bahwa kerentanan genetik
merupakan faktor dasar yang melandasi proses terjadinya diabetes tipe 1
merupakan hal yang secara umum bisa diterima.

2. Diabetes tipe II
Obesitas. Obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin dari sel target
diseluruh tubuh sehingga insulin yang tersedia menjadi kurang efektif
dalam meningkatkan efek metabolik.
 Usia. Cenderung meningkat di atas 65 tahun
 Gestasional, diabetes mellitus ( DM) dengan kehamilan (diabetes
melitus gaestasional DMG) adalah kehamilan normal yang di sertai
dengan peningkatan insulin resistensi (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia). Pada golongan ini, kondisi diabetes di alami sementara
selama masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes atau intoleransi
glukosa pertama kali di dapat selama kehamilan, biasanya pada
trimester kedua atau ketiga (Brunner & suddarth, 2015).

C. FAKTOR RISIKO
Menurut Kemenkes (2013), faktor risiko DM dibagi menjadi :
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia Di negara berkembang penderita diabetes mellitus berumur antara
45-64 tahun dimana usia tergolong masih sangat produktif. Umur
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan
(Soegondo, 2011). Notoatmodjo (2012) mengungkapkan pada aspek
psikologis dan mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan
dewasa. Menjelaskan bahwa makin tua umur seseorang maka proses
perkembangannya mental bertambah baik, akan tetapi pada umur
tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat
seperti ketika berumur belasan tahun.
b. Riwayat keluarga dengan DM (anak penyandang DM) Menurut Hugeng
dan Santos (2017), riwayat keluarga atau faktor keturunan merupakan
unit informasi pembawa sifat yang berada di dalam kromosom sehingga
mempengaruhi perilaku . Adanya kemiripan tentang penyakit DM yang
di derita keluarga dan kecenderungan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan adalah contoh pengaruh genetik. Responden yang memiliki
keluarga dengan DM harus waspada. Resiko menderita DM bila salah
satu orang tuanya menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua
orang-tuanya memiliki DM adalah 75% (Diabetes UK, 2010).
c. Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir bayi > 4000 gram atau
pernah menderita DM saat hamil (DM Gestasional) Pengaruh tidak
langsung dimana pengaruh emosi dianggap penting karena dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan dan pengobatan. Aturan diit,
pengobatan dan pemeriksaan sehingga sulit dalam mengontrol
kadarbula darahnya dapat memengaruhi emosi penderita (Nabil, 2012).
2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
a. Overweight/berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2 ) Salah
satu cara untuk mengetahui kriteria berat badan adalah dengan
menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT). Berdasarkan dari BMI atau
kita kenal dengan Body Mass Index diatas, maka jika berada diantara
25-30, maka sudah kelebihan berat badan dan jika berada diatas 30
sudah termasuk obesitas. Menurut Nabil (2012), ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk mengurangi berat badan yaitu :
1) Makan dengan porsi yang lebih kecil
2) Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi untuk anda
untuk teman atau anggota keluarga yang lain.
3) Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali anda makan.
4) Ganti snack tinggi kalori dan tinggi lemak dengan snack yang lebih
sehat.
b. Aktifitas fisik kurang Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara
teratur sangat bermanfaat bagi setiap orang karena dapat meningkatkan
kebugaran, mencegah kelebihan berat badan, meningkatkan fungsi
jantung, paru dan otot serta memperlambat proses penuaan. Olahraga
harus dilakkan secara teratur. Macam dan takaran olahraga berbeda
menurut usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan kondisi kesehatan. Jika
pekerjaan sehari-hari seseorang kurang memungkinkan gerak fisik,
upayakan berolahraga secara teratur atau melakukan kegiatan lain yang
setara. Kurang gerakatau hidup santai merupakan faktor pencetus
diabetes (Nabil, 2012).
c. Merokok Penyakit dan tingginya angka kematian (Hariadi S, 2008).
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara merokok dengan
kejadian DM tipe (p = 0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh
Houston yang juga mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko
76% lebih tinggi terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak
(Irawan, 2010). Dalam asap rokok terdapat 4.000 zat kimia berbahaya
untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif
dan yang bersifat karsinogenik. d. Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
Jika tekanan darah tinggi, maka jantung akan bekerja lebih keras dan
resiko untuk penyakit jantung dan diabetes pun lebih tinggi. Seseorang
dikatakan memiliki tekanan darah tinggi apabila berada dalam kisaran >
140/90 mmHg. Karena tekanan darah tinggi sering kali tidak disadari,
sebaiknya selalu memeriksakan tekanan darah setiap kali melakukan
pemeriksaan rutin (Nabil, 2012).

D. Klasifikasi Diabetes Mellitus (DM)


Menurut American Diabetes Associated (ADA) tahun 2015, bahwa klasifikasi
DM dikelompokkan sebagai berikut :
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus Tipe 1 disebabkan akibat dari kerusakan sel beta
pankreas, sehingga dapat menyebabkan defisiensi insulin. Diabetes
Mellitus Tipe 1 tergantung insulin (IDDM) atau disebut insulin dependent
insulin, atau diabetes dicirikan diabetes anak-anak, dicirikan dengan
hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas
sehingga terjadi kekurangan insulin pada tubuh. Diabetes tipe ini dapat di
derita oleh anak-anak maupun orang dewasa. Sampai saat ini, Diabetes
Mellitus Tipe 1 tidak dapat dicegah.
Diit dan olahraga tidak bisa menyembuhkan ataupun mencegah Diabetes
Mellitus Tipe 1. Kebanyakan penderita Diabetes Mellitus Tipe 1 memiliki
kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya.
Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umunya
normal pada penderita diabetes ini, terutama pada tahap awal. Penyebab
terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe ini adalah kesalahan
reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas.
Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, Diabetes Mellitus Tipe 1 hanya dapat diobati dengan
menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat
glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar
Diabetes Mellitus Tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah
penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa
menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga
diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari
pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian dosis
melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24
jam sehari pada tingkat dosis dari insulinyang dibutuhkan pada saat makan.
Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui
“inhaled powder”.
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Mellitus Tipe 2 atau diabetes mellitus tidak tergantung insulin
(NIIDM) yang disebabkan akibat gangguan sekresi insulin yang dapat
menyebabkan resistensi insulin. Diabetes Mellitus Tipe 2 dulu disebut no
insulin dependent diabetes mellitus (NIIDM) atau “diabetes yang tidak
bergantung pada insulin” (adanya efek respon jaringan terhadap insulin)
yang melibatkan reseptor insulin di membran sel. Pada tahap awal
abnormalitas yang paling utama adalah berkurangnya sensitivitas terhadap
insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin didalam darah.
Pada tahap ini, hiperglikemia dapat diatas dengan berbagai cara dan obat
anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin “atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit,
sekresi insulinpun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang
dibutuhkan. Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab dan
mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral (fat
concentrated around the waist in relation to abdominal organs, not it seems,
subcutaneous fat) diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi
terhadap insulin, mungkin dalam kaitan dengan pengeluaran dari
adipokines (suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa.
Abdominal gemuk adalah terutama aktif hormonally. Kegendutan
ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan mendiagnose
dengan jenis 2 kencing manis. Diabetes Mellitus Tipe 2 biasanya awalnya
diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (biasanya peningkatan), diet
(umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat
badan.
3. Gestational Diabetes Mellitus (GDM)
Gestational Diabetes Mellitus (GDM) didiagnosa pada tri semester kedua
atau ketiga kehamilan. Gestational Diabetes Mellitus (GDM) melibatkan
kombinasi dari kemampuan reaksi dan pengeluaran homon insulin yang
tidak cukup.

E. PATOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer,Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe I terdapat
ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel sel beta prankreas
telah dihancurkan oleh proses autoimun.Hiperglikemi puasa terjadi akibat
produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping glukosa yang berasal
dari makanan tidak dapat disimpan dihati meskipun tetap berada dalam darah
menimbulkan hiperglikemia prospandial.jika kosentrasi glukosa daram darah
cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring
keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urine(glikosuria). Ketika
glukosa yang berlebihan dieksresikan kedalam urine,ekresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan
diuresis ostomik,sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan dal berkemih(poliurea),dan rasa haus (polidipsi).
(Smeltzer 2015 dan Bare,2015).
Difisiensi insulin juga akan menganggu metabilisme protein dalam lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan
selera makan (polifagia), akibat menurunan simpanan kalori. Gejala lainya
kelelahan dan kelemahan . dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenolisis(pemecahan glikosa yang tersimpan) dan
glukoneogenesis(pembentukan glukosa baru dari asam asam amino dan
subtansi lain). Namun pada penderita difisiensi insulin,proses ini akan terjadi
tampa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hipergikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk smping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang menganggu keseimbangan asam basa
tubuh apabila jumlahnya berlebih. Ketoasidosis yang disebabkan dapat
menyebabkan tanda tanda gejala seperti nyeri abdomen mual, muntah,
hiperventilas ,mafas berbaun aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
penurunan kesadaran,koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama
cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat
kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta
ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering
merupakan komponen terapi yang penting. (Smeltzer 2015 dan Bare,2015)

DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik utama


adalah terjadinya hiperglikemia kronik. Meskipun pula pewarisannya belum
jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang sangat penting dalam
munculnya DM tipe II. Faktor genetik ini akan berinterksi dengan faktor faktor
lingkungan seperti gaya hidup, obesitas,rendah aktivitas fisik,diet, dan
tingginya kadar asam lemak bebas(Smeltzer 2015 dan Bare,2015). Mekanisme
terjadinya DM tipe II umunya disebabkan karena resistensi insulin dan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terkait dengan reseptor khusus pada
permukaan sel.sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut,terjadi
suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi
insulin DM tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel.
Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi
pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah,harus terjadi peningkatan jumlah
insulin yang disekresikan. (Smeltzer 2015 dan Bare,2015).Pada penderita
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang
berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal
atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel sel B tidak mampu
mengimbangi peningkatan kebutuhan insulin, maka kadar glukosa akan
meningkat dan terjadinya DM tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi
insulin yang berupakan ciri khas DM tipe II, namun masih terdapat insulin
dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi
badan keton yang menyertainya, karena itu ketoasidosis diabetik tidak terjadi
pada DM tipe II, meskipun demikian, DM tipe II yang tidak terkontrol akan
menimbulkan masalah akut lainya seperti sindrom Hiperglikemik
Hiporosmolar Non-Ketotik(HHNK). (Smeltzer 2015 dan Bare,2015)

Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat(selama bertahun tahun)


dan progesif, maka DM tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalannya
dialami pasien, gejala tersebut sering bersifat ringan, seperti: kelelahan,
iritabilitas, poliuria,polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi
vagina atau pandangan kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi.). (Smeltzer
2015 dan Bare,2015).
Pathwey

F.
Reaksi aoutoimun Obeitas,usia,genetik

Dm tipe 1 Dm tipe 2

Sel Beta Pankreas hancur Sel Beta Pankreas Rusak


Defisiensi Insulin

Aanabolisme Proses Penurunan Pemakaian Glukosa


Liposis Meningkat

Kerusakan pada antibodi Hiperglikemi


Gliserol Asam Lemak Bebas

Pholifagi Viskolita
Kekebalan Tubuh
darah
Ateroskeloriss Katogenesis
polidipsi Aliran
Neuropati Sensori Perifer
melambat
Makro,mikro vaskuler Ketonuria Poliurea Iskemik
Klien merasa sakit pada Luka jaringan
Jantung Serebral Ketoasidosis KETIDAKE
KETIDAKEFEKTIF
FEKTIFAN
Miokard infark Nyeri Abdomen,mual,muntah,coma
AN PERFUSI
Nyeri akut Nekrosis Luka JARINGAN
PERIFER
PENURUNAN CURAH JANTUNG PERUBAHAN POLA NUTRISI
Gangren
F. TANDA DAN GEJALA
Manifestasi Klinis Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya
seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi
klinis Diabetes Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang
ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine
(poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu ±
180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa lapar yang
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).
Pasien dengan diabetes tipe I sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, pliuria, turunnya berat badan, polifagia,
lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa
minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta
dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi
insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan
umumnya penderita peka terhadap insulin.
Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa.
Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara
absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih
cukup untuk mnenghambat ketoasidosis (Price dan Wilson, 2012). Gejala
dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala akut dan
gejala kronik (PERKENI, 2015) :

a. Gejala akut penyakit DM Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap


penderita, bahkan mungkin tidakmenunjukkan gejala apa pun sampai
saat tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba
banyak (poli) yaitu banyak makan (poliphagi), banyak minum
(polidipsi), dan banyak kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak
segera diobati maka akan timbul gejala banyak minum, banyak
kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun dengan
cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu), mudah lelah, dan bila
tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual (PERKENI, 2015).
b. Gejala kronik penyakit DM Gejala kronik yang sering dialami oleh
penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa panas atau seperti
tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, mudah mengantuk,
mata kabur, biasanya sering ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan
terutama pada wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas,
kemampuan seksual menurun, dan para ibu hamil sering mengalami
keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi
berat lahir lebih dari 4 kg (PERKENI, 2015).

G. DIAGNOSTIK PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang utama untuk diabetes mellitus adalah
pemeriksaan kadar gula darah. Diabetes didefinisikan sebagai kadar gula
darah puasa di atas 126 mg/dL atau kadar gula darah sewaktu di atas 200
mg/dL. Lakukan pemeriksaan ulang pada pasien yang memiliki gejala
klasik diabetes (polidipsi, poliuria, polifagia) dengan kadar gula darah di
bawah angka tersebut. Jika hasil tetap di bawah batas, lakukan
pemeriksaan toleransi glukosa. Pasien yang tidak memiliki gejala klasik
diabetes memerlukan pemeriksaan toleransi glukosa jika kadar gula
darah sewaktunya di antara 140-199 mg/dL atau kadar gula darah puasa
di antara 100-125 mg/dL. Pasien tanpa gejala klasik dengan kadar gula
darah di bawah angka tersebut dapat langsung didiagnosis sebagai tidak
terkena diabetes mellitus dan tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan penunjang pada pasien DM menurut Smeltze, Bare, Hinkle,
dan Cheever (2015) antara lain :
a. HbA1c (A1c)
b. Profil lipid puasa (Fasting lipid profile)
c. Tes untuk mikroalbuminuria (Test for microalbuminuria)
d. Tingkat kreatinin serum (Serum creatinine level)
e. Urinalisis (Urinalysis)
f. Elektrokardiogram (Electrocardiogram)

H. Proses Asuhan Keperawatan Keluarga


1. Pengertian
Menurut Padila (2012, p. 91), Asuhan keperawatan keluarga
merupakan proses yang kompleks dengan menggunakan pendekatan
yang sistematis untuk bekerja sama dengan keluarga dan individu-
individu sebagai anggota keluarga. Tahap proses keperawatan
keluarga meliputi pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan,
penyusunan perencanaan, perencanaan asuhan dan penilaian.
2. Proses Keperawatan
Menurut Bailon, 1978 (dalam Ali, 2010, p. 37), Proses keperawatan
adalah kerangka kerja dalam melaksanakan tindakan yang digunakan
agar proses pertolongan yang diberikan kepada keluarga menjadi
sistematis. Sekumpulan tindakan yang dipilih secara matang dalam
usaha memperbaiki status kesehatan keluarga serta menambah
kemampuan mereka dalam menyatakan masalah kesehatannya.
a. Tahap Pengkajian Asuhan Keperawatan Keluarga
Menurut Padila (2012, p. 92), Pengkajian merupakan tahapan
dimana perawat mengambil data secara terus menerus terhadap
keluarga yang dibinanya. Hal-hal yang perlu dikumpulkan datanya
dalam pengkajian keluarga adalah sebagai berikut:
a) Beberapa data umum keluarga menurut Padila (2012, p. 92),
adalah sebagai berikut :
1) Nama kepala keluarga (KK).
2) Alamat dan telepon.
3) Pekerjaan kepala keluarga.
4) Pendidikan kepala keluarga.
5) Komposisi keluarga,menjelaskan anggot keluarga yang
diidentifikasi sebagai bagian dari keluarga mereka.
6) Genogram, merupakan alat pengkajian yang digunakan
untuk mengetahui keluarga, riwayat dan sumber-sumber
keluarga. Diagram ini menggambarkan hubungan vertikal
(lintas generasi) dan horizontal (dalam generasi yang sama)
untuk memahami kehidupan keluarga dihubungkan dengan
pola penyakit. Genogram keluarga memuat minimal
informasi tiga generasi.

Laki-laki Perempuan Identifikasi klien


yang sakit

Menikah Pisah
Meninggal

Cerai Tidak menikah Anak angkat

Kembar
Aborsi Tinggal dalam
satu rumah
Gambar 2.1 : Simbol genogram menurut (Padila, 2012).

7) Tipe keluarga, menjelaskan mengenai jenis atau tipe


keluarga beserta kendala atau masalah-masalah yang terjadi
dengan jenis atau tipe keluarga tersebut.
8) Suku bangsa, mengkaji asal suku bangsa keluarga serta
mengidentifikasi budaya suku bangsa tersebut terkait
dengan kesehatan.
9) Agama, mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta
kepercayaan yang dapat mempengaruhi kesehatan.
10) Status sosial ekonomi keluarga, ditentukan oleh pendapatan
baik dari kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya
dan ditentukan oleh kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan
oleh keluarga serta barang-barang yang dimliki oleh
keluarga.
11) Aktivitas rekreasi keluarga, rekreasi keluarga tidak hanya
dilihat dari kapan saja keluarga pergi bersama-sama untuk
mengunjungi tempat rekreasi tertentu, namun dengan
menonton televisi dan mendenganrkan radio juga
merupakan aktivitas rekreasi.

b) Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga menurut Achjar


(2010, p.16), terdiri dari :
1) Tahap perkembangan keluarga saat ini, ditentukan oleh
anak tertua.
2) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi.
3) Riwayat keluarga inti, menjelaskan mengenai riwayat
terbentuknya keluarga inti, penyakit menular atau tidak
menular di keluarga.
4) Riwayat keluarga sebelumnya (suami-istri), menjelaskan
mengenai riwayat penyakit menular di keluarga, dan
riwayat kebiasaan atau gaya hidup yang mempengaruhi
kesehatan.

c) Pengkajian lingkungan menurut Bakri (2017, p. 107), terdiri


dari:

1) Karakteristik rumah, diidentifikasi dengan melihat luas


rumah, tipe rumah, jumlah ruangan dan fungsinya, sirkulasi
udara dan sinar matahari yang masuk, pendingin udara
(AC) atau kipas angin, pencahayaan, jumlah jendela,
penempatan septic tank beserta kapasitas dan jenisnya, jarak
septic tank dengan sumber air, konsumsi makanan olahan
dan sumber air minum keluarga.

2) Karakteristik tetangga dan RT-RW, menjelaskan mengenai


karakteristik dari tetangga dan komunitas setempat meliputi
kebiasaan, lingkungan fisik, aturan atau kesepakatan
penduduk setempat serta budaya setempat yang
mempengaruhi kesehatan.

3) Mobilitas geografis keluarga, ditentukan dengan melihat


apakah keluarga sering berpindah tempat tinggal.

4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat,


menjelaskan mengenai pergaulan keluarga baik di
komunitas hobi, kantor, sekolah, maupun teman main.
Interaksi ini bisa digunakan untuk melacak jejak dari mana
penyakit yang didapatkan oleh pasien.

5) Sistem Pendukung keluarga

menjelaskan mengenai fasilitas berupa perabot bagi anggota


keluarga, dukungan dari anggota keluarga dan dukungan
dari masyarakat setempat.

d) Fungsi Keluarga menurut Padila (2012, p. 99), terdiri dari :


1) Fungsi afektif, yang perlu dikaji yaitu gambaran
diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan
dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga
terhadap anggota keluarga lainnya, bagaimana
kehangatan tercipta pada anggota keluarga dan
bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling
menghargai.
2) Fungsi sosialisasi, dikaji bagaimana interaksi atau
hubungan dalam keluarga, sejauh mana anggota
keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta
perilaku.
3) Fungsi perawatan kesehatan, menjelaskan sejauh
mana keluarga menyediakan makanan, pakaian,
perlindungan serta merawat anggota keluarga
yang sakit.
4) Fungsi reproduksi, yang perlu dikaji adalah
berapa jumlah anak, apakah rencana keluarga
berkaitan dengan jumlah anggota keluarga,
metode yang digunakan keluarga dalam upaya
mengendalikan jumlah anggota keluarga.
5) Fungsi ekonomi, hal yang perlu dikaji adalah
sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan
sandang, papan, dan pangan, sejauh mana
keluarga memanfaatkan sumber yang ada di
masyarakat dalam upaya peningkatan status
kesehatan keluarga.

e) Stres Dan Koping Keluarga menurut Padila (2012, p.104),


terdiri dari:
1) Stressor jangka panjang dan pendek
Stressor jangka pendek yaitu stressor yang
dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian
dalam waktu kurang dari enam bulan. Sedangkan
Stressor jangka panjang yaitu stressor yang
dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian
dalam waktu lebih dari enam bulan.
2) Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor,
dikaji sejauh mana keluarga berespon terhadap
stressor.
3) Strategi koping yang digunakan, dikaji strategi
koping yang digunakan keluarga bila menghadapi
permasalahan.
4) Strategi adaptasi disfungsional, dijelaskan
mengenai strategi adaptasi disfungsional yang
digunakan keluarga bila menghadapi
permasalahan.
f) Pemeriksaan Fisik, dilakukan pada semua anggota keluarga.
Menurut Mubarak dkk (2012, p.102) Metode yang
digunakan sama dengan pemeriksaan fisik klinik.
g) Harapan Keluarga
Menurut Mubarak dkk (2012, p.102) pada akhir
pengkajian perawat menanyakan harapan keluarga
terhadap petugas atau pelayanan kesehatan yang ada.

b. Sumber Data Pengkajian


Metode pengumpulan data yang digunakan menurut Ali (2010,
p.43), yaitu :
1) Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mengetahui data subjektif dalam
aspek fisik, mental, sosial budaya, ekonomi, kebiasaan, adat
istiadat, agama, lingkungan.
2) Pengamatan atau Observasi
Pengamatan atau observasi dilakukan untuk mengetahui hal
yang secara langsung bersifat fisik (ventilasi, kebersihan,
penerangan) atau benda lain (data objektif).
3) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada anggota keluarga yang
mempunyai masalah kesehatan dan keperawatan yang berkaitan
dengan keadaan fisik (data objektif).
4) Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dengan cara menelusuri dokumen
yang ada, misalnya catatan kesehatan, kartu keluarga,kartu
menuju sehat, literatur, catatan pasien (data subjektif).

c. Analisa data
Menurut Achjar (2010, p. 19), setelah dilakukan pengkajian ,
selanjutnya data dianalisis untuk dapat dilakukan perumusan
diagnosa keperawatan.

d. Diagnosa Keperawatan
Menurut Suprajitno (2014, p. 42), diagnosa keperawatan keluarga
dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Diagnosis aktual, adalah masalah keperawatan yang
sedang dialami oleh keluarga dan memerlukan
bantuan dari perawat dengan cepat.
2) Diagnosa resiko/resiko tinggi, adalah masalah
keperawatan yang belum terjadi, tetapi tanda untuk
menjadi masalah keperawatan aktual dapat terjadi
dengan cepat apabila tidak segera mendapat bantuan
perawat.
3) Diagnosa potensial, adalah suatu keadaan sejahtera
dari keluarga ketika keluarga telah mampu memenuhi
kebutuhan kesehatannya dan mempunyai sumber
penunjang kesehatan yang memungkinkan dapat
ditingkatkan.
Menurut Achjar (2010, p. 21), etiologi dari diagnosa
keperawatan keluarga mengacu pada ketidakmampuan
keluarga dalam melaksanakan lima tugas keluarga yaitu:
1) Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah,
meliputi :
a. Persepsi terhadap keparahan penyakit
b. Pengertian
c. Tanda dan gejala
d. Faktor penyebab
e. Persepsi keluarga terhadap masalah

2) Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan, meliputi :

a. Sejauh mana keluarga mengerti mengenai sifat


dan luasnya masalah.
b. Masalah dirasakan keluarga.
c. Keluarga menyerah terhadap masalah yag dialami.
d. Sifat negatif terhadap masalah kesehatan.
e. Kurang percaya terhadap tenaga kesehatan.
f. Informasi yang salah.

4) Ketidakmampuan keluarga merawat keluarga yang sakit,


meliputi:
a. Bagaimana keluarga mengetahui keadaan sakit.
b. Sifat dan perkembangan perawatan
keluarga yang
dibutuhkan.
c. Sumber-sumber yang ada dalam keluarga.
d. Sikap keluarga terhadap yang sakit.

5) Ketidakmampuan keluarga memelihara lingkungan, meliputi:


a. Manfaat pemeliharaan lingkungan.
b. Pentingnya higyene sanitasi.
c. Upaya pencegahan penyakit.

6) Ketidakmampuan keluarga menggunakan fasilitas


kesehatan, meliputi:
a. Keberadaan fasilitas kesehatan.
b. Keuntungan yang didapat.

c. Kepercayaan keluarga terhadap petugas kesehatan.


d. Pengalaman keluarga yang kurang baik.
e. Pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh keluarga.

Diagnosa dan intervensi keperawatan keluarga dengan


diabetes mellitus yang muncul menurut Achjar (2010, p.
21); Ernawati (2013, p. 134); Padila (2012, p. 7);
NANDA (2015), adalah:
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan
dalam melakukan tindakan yang tepat (00027) p:193
a) Definisi : Penurunan cairan
intravaskuler,interstisial,dan/atau intraselular. Ini
mengacu pada dehidrasi, kehilangan cairan saja
tanpa perubahan kadar natrium
b) Batasan karakteristik :
1) Haus
2) Kelemahan
3) Peningkatan konsentrasi urine.
c) Faktor yang berhubungan :
1) kegagalan mekanisme regulasi.
2) kehilangan cairan aktif
d) Kriteria hasil (NOC): p:667
1) Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam.
2) Tidak ada rasa kehausan.
3) Turgor kulit baik.

e) Intervensi (NIC): p:594 Manajemen cairan :


1) Monitor status hidrasi.
2) Jaga intake/asupan yang adekuat dan catat output
pasien.
3) Dukung pasien dan keluarga untuk membantu dalam
pemberian makan dengan baik.
2. Risiko cidera berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga memodifikasi lingkungan. (00035) p:412
a) Definisi : rentan mengalami cidera fisik akibat
kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan
sumber adatif dan sumber defensif individu,
yang dapat mengganggu kesehatan.
b) Faktor risiko :
1) Gangguan sensasi (diabetes mellitus).
2) Usia ekstrem.
3) Disfungsi integrasi sensori.
c) Kriteria hasil (NOC): p:669
1) Tidak jatuh saat berjalan.
2) Pengetahuan banyak tentang penggunaan alat
bantu yang benar.
3) Pengetahuan banyak tentang alas kaki yang tepat.
4) Pengetahuan yang banyak tentang penggunaan
pencahayaan lingkungan yang benar.

d) Intervensinsi (NIC): p:502 Pencegahan jatuh :


1) Identifikasi perilaku dan faktor yang mempengaruhi
risiko jatuh.
2) Letakkan benda-benda dalam jangkauan yang mudah
bagi pasien.
3) Sediakan pencahayaan yang cukup dalam
rangka meningkatkan pandangan.
4) Bantu keluarga mengidentifikasi bahaya di rumah dan
memodifikasi bahaya tersebut.
5) Sarankan menggunakan alas kaki yang aman.

3. Ketidakpatuhan (diit) berhubungan dengan ketidakmampuan


keluarga merawat anggota keluarga yang sakit (00002) p:177
a) Definisi : perilaku individu dan/atau pemberi asuhan yang
tidak sesuai dengan rencana promosi kesehatan atau
terapeutik yang ditetapkan oleh individu serta profesional
pelayanan kesehatan. Perilaku pemberi asuhan atau
individu yang tidak mematuhi ketetapan, rencana promosi
kesehatan atau terapeutik secara keseluruhan atau sebagian
dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif atau
sebagian tidak efektif secara klinis..
b) Batasan karakteristik
1) Gagal mencapai hasil.
2) Komplikasi terkait perkembangan.

3) Mengingkari perjanjian.
4) Perilaku tidak taat.
c) Faktor-faktor yang berhubungan
1) Ketidakefektifan komunikasi penyedia layanan
kesehatan.
2) Kurang motivasi.
3) Durasi pengobatan.
4) Kurang pengetahuan tentang pengobatan.
d) Kriteria Hasil (NOC): p: 626
1) Memilih makanan sesuai dengan panduan nutrisi yang
direkomendasikan.
2) Menggunakan panduan nutrisi yang direkomendasikan
untuk merencanakan menu makanan.
3) Memilih porsi sesuai dengan panduan nutrisi yang
direkomendasikan.
e) Intervensi (NIC): p: 538
1) Kaji asupan makanan dan kebiasaan makan pasien.
2) Berikan informasi sesuai kebutuhan.
3) Motivasi agar mendukung kepatuhan diit.
4) Evaluasi kemajuan tujuan modifikasi diit.

4. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan


ketidakmampuan mengenal masalah kesehatan. (00126) p: 274
a) Definisi : Ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang
berkaitan dengan topik tertentu.

b) Batasan karakteristik :
1) Ketidakakuratan mengikuti perintah.
2) Kurang Pengetahuan.
3) Perilaku tidak tepat.
c) Faktor yang berhubungan
1) Gangguan fungsi kognitif.
2) Kurang informasi.
3) Kurang minat untuk belajar.
4) Kurang sumber pengetahuan.
d) Kriteria hasil (NOC): p: 600
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang
penyakit, kondisi, prognosis dan progam pengobatan.
2) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali
apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.
e) Intervensi (NIC): p: 504
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit.
2) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada
penyakit.
3) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal
ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan
cara yang tepat.
5. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan
ketidakmampuan memanfaatkan fasilitas kesehatan di
masyarakat. (00046) p: 431

a) Definisi : cedera pada membran mukosa, kornea, sistem


integumen, facia muskular, otot, tendon, tulang, kartilago,
kapsul sendi, dan/atau ligamen.
b) Batasan karakteristik :
1) Cedera jaringan.
2) Jaringan rusak.
c) Faktor yang berhubungan :
1) Agens cedera kimiawi.
2) Gangguan sirkulasi.
3) Usia ekstrem.
d) Kriteria Hasil (NOC): p: 617
1) Luka mengecil dalam ukuran dan
peningkatan granulasi jaringan.
2) Tidak terjadi nekrosis.
e) Intervensi (NIC): p: 524
1) Catat karakteristik luka: tentukan ukuran
dan kedalaman luka, dan klasifikasi
pengaruh ulcers.
2) Catat karakteristik cairan secret yang keluar.
3) Bersihkan dengan cairan anti bakteri.
4) Lakukan nekrotomi jika perlu.
5) Ajarkan keluarga tentang luka dan perawatan luka.
e. Perumusan Masalah
1. Prioritas Masalah
Jika dalam satu keluarga menemukan lebih dari satu masalah maka
dapat menyusun masalah kesehatan keluarga sesuai dengan
prioritasnya.

Tabel 2.3 rumus skala skoring menurut Bailon dan Maglaya, 1978
(dalam Mubarak dkk 2012, p. 105)

Skala Prioritas Masalah Kesehatan Keluarga

No Kriteria Skor Bobot


Sifat masalah
Skala : Tidak/kurang sehat 3
1. Ancaman kesehatan 2
1
Krisis atau keadaan sejahtera 1
Kemungkinan masalah dapat diubah
Skala : Dengan mudah 2
2.
Hanya sebagian 1 2
Tidak dapat 0
Potensi masalah untuk dicegah
Skala : Tinggi 3
3. Cukup 2 1
Rendah 1
Menonjolnya masalah
Skala :
Masalah berat, harus segera 2
ditangani. 1
4.
Ada masalah, tetapi tidak perlu 1
segera ditangani.
Masalah tidak dirasakan. 0
2. Proses scoring dilakukan bila perawat merumuskan diagnosa
keperawatan lebih dari satu. Menurut Suprajitno (2014, p. 45),
proses skoring dilakukan untuk setiap diagnosa keperawatan dengan
cara sebagai berikut :
3. Tentukan skornya sesuai dengan kriteria yang dibuat perawat.
4. Selanjutnya skor dibagi dengan skor tertinggi dan dikalikan
dengan bobot.

Skore yang diperoleh

X Bobot Skor tertinggi

5. Jumlahkan skor untuk semua kriteria (skor maksimum sama


dengan jumlah bobot, yaitu 5).
6. Empat kriteria yang dapat mempengaruhi penentuan prioritas
masalah menurut Mubarak dkk (2012, p. 105), yaitu :

a. Sifat Masalah
Sifat masalah kesehatan dapat dikelompokkan kedalam tidak atau
kurang sehat diberikan bobot yang lebih tinggi karena masalah
tersebut memerlukan tindakan yang segera dan biasanya
masalahnya dirasakan oleh keluarga. Krisis atau keadaan
sejahtera diberikan bobot paling sedikit karena faktor kebudayaan
dapat memberikan dukungan bagi keluarga untuk mengatasi
masalahnya dengan baik.

b. Kemungkinan Masalah Dapat Diubah


Kemungkinan berhasilnya mengurangi atau mencegah masalah
jika ada tindakan (intervensi). Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam menentukan skor kemungkinan masalah
dapat diperbaiki :
1) Pengetahuan dan teknologi serta tindakan yang dapat
dilakukan untuk menangani masalah.
2) Sumber-sumber yang ada pada keluarga baik dalam
bentuk fisik, keuangan, atau tenaga.
3) Sumber-sumber dari keperawatan, misalnya dalam bentuk
pengetahuan, ketrampilan, dan waktu.
4) Sumber-sumber di masyarakat, misalnya dalam bentuk
fasilitas kesehatan, organisasi masyarakat, dan dukungan
sosial masyarakat.

c. Potensi Masalah Bisa Dicegah


Menyangkut sifat dan beratnya masalah yang akan timbul dapat
dikurangi atau dicegah. Hal yang perlu diperhatikan dalam
menentukan skor kriteria potensi masalah bisa dicegah :
1) Kepelikan dari masalah
Berkaitan dengan beratnya penyakit atau masalah, prognosis
penyakit atau kemungkinan mengubah masalah.
2) Lamanya masalah
Berkaitan dengan jangka waktu terjadinya masalah tersebut.
Biasanya lamanya masalah mempunyai dukungan langsung
dengan potensi masalah bila dicegah.

3) Adanya kelompok risiko tinggi atau kelompok yang peka


atau rawan. Adanya kelompok tersebut pada keluarga
akan menambah potensi masalah bila dicegah.

d. Menonjolnya Masalah
Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan skor pada kriteria
ini, perawat perlu menilai presepsi atau bagaimana keluarga
tersebut melihat masalah. Jika keluarga menyadari masalah
dan merasa perlu untuk menangani segera maka diberi skor yang
tinggi.

f. Perencanaan Keperawatan Keluarga


Menurut Suprajitno (2014, p. 49), perencanaan keperawatan mencakup
tujuan umum dan khusus yang didasarkan pada masalah yang dilengkapi
dengan kriteria dan standar yang mengacu pada penyebab.
Hal penting dalam penyusunan rencana asuhan keperawatan :
1. Tujuan hendaknya logis, sesuai masalah, dan mempunyai
jangka waktu yang sesuai dengan kondisi klien.
2. Kriteria hasil hendaknya dapat diukur
dengan alat ukur dan diobservasi dengan
panca indra perawat yang objektif.
3. Rencana tindakan disesuaikan dengan sumber daya
dan dana yang dimiliki oleh keluarga dan mengarah
ke kemandirian klien sehinggga tingkat
ketergantungan dapat di minimalisasi.

g. Implementasi
Pelaksanaan merupakan salah satu tahap dari proses keperawatan
keluarga dimana perawat mendapatkan kesempatan untuk
membangkitkan minat keluarga dalam mengadakan perbaikan ke arah
perilaku hidup sehat. Menurut Mubarak dkk (2012, p.108), tindakan
keperawatan keluarga mencakup hal-hal dibawah ini :

i. Menstimulasi kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai


masalah dan kebutuhan kesehatan dengan cara memberikan
informasi, mengidentifikasi kebutuhan dan harapan tentang
kesehatan, serta mendorong sikap emosi yang sehat terhadap
masalah yang sedang dihadapi oleh keluarga.
ii. Menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan
yang tepat dengan cara mengidentifikasi konsekuensi jika
tidak melakukan tindakan, megidentifikasi sumber-sumber
yang dimiliki keluarga, dan mendiskusikan konsekuensi setiap
tindakan.
iii. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota
keluarga yang sakit dengan cara mendemonstrasikan cara
perawatan, menggunakan alat dan fasilitas yang ada di rumah
dan mengawasi keluarga melakukan perawatan.
iv. Membantu keluarga bagaimana membuat lingkungan menjadi
sehat dengan menemukan sumber-sumber yang dapat
digunakan keluarga dan melakukan perubahan lingkungan
keluarga seoptimal mungkin.
v. Memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan
dengan cara mengenalkan fasilitas kesehatan yang ada di
lingkungan keluarga dan membantu keluarga menggunakan
fasilitas tersebut.

h. Evaluasi
Evaluasi menurut Ali (2010, p. 81), adalah upaya untuk menentukan
apakah seluruh proses sudah berjalan dengan baik. Alasan mengapa
perawat harus menilai tindakan mereka, yaitu :

1) Untuk menghilangkan atau menghentikan tindakan tidak


berguna.
2) Untuk menambah ketepatgunaan tindakan keperawatan.
3) Sebagai bukti tindakan keperawatan serta sebagai alasan
mengapa biaya keperawatan tinggi.
4) Untuk mengembangkan profesi perawat dan menyempurnakan
praktik keperawatan.

Metode yang sering dipakai untuk mengevaluasi keperawatan


keluarga adalah :
1) Observasi langsung.
2) Memeriksa laporan atau catatan.
3) Wawancara atau kuesioner.
4) Latihan simulasi.

Langkah-langkah dalam evaluasi adalah sebagai berikut :


1) Tetapkan data dasar (baseline) dari masalah kesehatan
individu atau masalah keluarga.
2) Rumuskan tujuan keperawatan khusus dalam bentuk hasil klien.
3) Tentukan kriteria dan standar untuk evaluasi.
4) Tentukan metode/teknik evaluasi serta sumber data.
5) Bandingkan keadaan nyata (sesudah perawatan) dengan
kriteria dan standar untuk evaluasi.
6) Carilah penyebab dari intervensi yang kurang memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA

Kowalak. 2016. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran:


EGC. Smeltzer, Suzanne C. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Burnner and Suddarth. Ed.8. Vol. 3. Jakarta :
ADA, 2010. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus Diabetes Care
USA. 27 : 55
Smeltzer, S.C. dan B.G Bare. 2015. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai