DIABETES MIELITUS
A. DEFENISI
Diabetes melitus adalah gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia (kenaikan kadar glukosa) akibat kurangnya hormon insulin,
menurunnya efek insulin atau keduanya. (kowalak, dkk. 2016 ). Diabetes
melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh
kenaikan glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Pada diabetes melitus
kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun atau
pankreas dapat menghentikan sama sekali produksi insulin (Brunner and
Suddarth, 2015).
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melittus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya. Diabetes melittus tipe 2 terjadi jika insulin hasil produksi pancreas
tidak cukup atau sel lemak dan otot tubuh menjadi kebal terhadap insulin,
sehingga terjadilah gangguan pengiriman gula ke sel tubuh. Diabetes Tipe 2 ini
merupakan tipe diabetes yang paling umum dijumpai, juga sering disebut
diabetes yang dimulai pada masa dewasa, dikenal sebagai NIDDM (Non-
insulin-dependent diabetes melitus).
B. ETIOLOGY
1. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe 1 ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas.
Kombinasi faktor genetik, imunologi dan lingkungan (misalnya, infeksi
virus) diperkiakan turut menimbulkan destruksi sel beta. Faktor faktor
genetik. Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu presdiposisi atau kecendrungan genetik ke arah terjadinya
diabetes tipe satu. Kecendrungan genetik ini ditemukan pada individu yang
memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) tertentu. HLA
merupakan kumpulan gen yang bertanggungjawab atas antigen tansplantasi
dan proses imun lainnya.
a. Faktor imunologi.
Pada diabetes tipe I terdapat bukti adanya suatu respon otoimun.
Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada
jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut
yang dianggpanya seolah-olah sebagai jaringan asing. Bahkan beberapa
tahun sebelum timbulnya gejala klinis diabetes tipe 1.
b. Faktor lingkungan.
Faktor-faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain
agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan
karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan, obesitas dan
kehamilan. Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan
faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai
contoh hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin
tertentu dapat memicu prises otoimun yang menimbulkan destruksi sel
beta.
2. Diabetes tipe II
Obesitas. Obesitas menurunkan jumlah reseptor insulin dari sel target
diseluruh tubuh sehingga insulin yang tersedia menjadi kurang efektif
dalam meningkatkan efek metabolik.
Usia. Cenderung meningkat di atas 65 tahun
Gestasional, diabetes mellitus ( DM) dengan kehamilan (diabetes
melitus gaestasional DMG) adalah kehamilan normal yang di sertai
dengan peningkatan insulin resistensi (ibu hamil gagal mempertahankan
euglycemia). Pada golongan ini, kondisi diabetes di alami sementara
selama masa kehamilan. Artinya kondisi diabetes atau intoleransi
glukosa pertama kali di dapat selama kehamilan, biasanya pada
trimester kedua atau ketiga (Brunner & suddarth, 2015).
C. FAKTOR RISIKO
Menurut Kemenkes (2013), faktor risiko DM dibagi menjadi :
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia Di negara berkembang penderita diabetes mellitus berumur antara
45-64 tahun dimana usia tergolong masih sangat produktif. Umur
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan
(Soegondo, 2011). Notoatmodjo (2012) mengungkapkan pada aspek
psikologis dan mental taraf berfikir seseorang semakin matang dan
dewasa. Menjelaskan bahwa makin tua umur seseorang maka proses
perkembangannya mental bertambah baik, akan tetapi pada umur
tertentu bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat
seperti ketika berumur belasan tahun.
b. Riwayat keluarga dengan DM (anak penyandang DM) Menurut Hugeng
dan Santos (2017), riwayat keluarga atau faktor keturunan merupakan
unit informasi pembawa sifat yang berada di dalam kromosom sehingga
mempengaruhi perilaku . Adanya kemiripan tentang penyakit DM yang
di derita keluarga dan kecenderungan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan adalah contoh pengaruh genetik. Responden yang memiliki
keluarga dengan DM harus waspada. Resiko menderita DM bila salah
satu orang tuanya menderita DM adalah sebesar 15%. Jika kedua
orang-tuanya memiliki DM adalah 75% (Diabetes UK, 2010).
c. Riwayat melahirkan bayi dengan berat lahir bayi > 4000 gram atau
pernah menderita DM saat hamil (DM Gestasional) Pengaruh tidak
langsung dimana pengaruh emosi dianggap penting karena dapat
mempengaruhi hasil pemeriksaan dan pengobatan. Aturan diit,
pengobatan dan pemeriksaan sehingga sulit dalam mengontrol
kadarbula darahnya dapat memengaruhi emosi penderita (Nabil, 2012).
2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi
a. Overweight/berat badan lebih (indeks massa tubuh > 23kg/m2 ) Salah
satu cara untuk mengetahui kriteria berat badan adalah dengan
menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT). Berdasarkan dari BMI atau
kita kenal dengan Body Mass Index diatas, maka jika berada diantara
25-30, maka sudah kelebihan berat badan dan jika berada diatas 30
sudah termasuk obesitas. Menurut Nabil (2012), ada beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk mengurangi berat badan yaitu :
1) Makan dengan porsi yang lebih kecil
2) Ketika makan diluar rumah, berikan sebagian porsi untuk anda
untuk teman atau anggota keluarga yang lain.
3) Awali dengan makan buah atau sayuran setiap kali anda makan.
4) Ganti snack tinggi kalori dan tinggi lemak dengan snack yang lebih
sehat.
b. Aktifitas fisik kurang Lakukan kegiatan fisik dan olahraga secara
teratur sangat bermanfaat bagi setiap orang karena dapat meningkatkan
kebugaran, mencegah kelebihan berat badan, meningkatkan fungsi
jantung, paru dan otot serta memperlambat proses penuaan. Olahraga
harus dilakkan secara teratur. Macam dan takaran olahraga berbeda
menurut usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan dan kondisi kesehatan. Jika
pekerjaan sehari-hari seseorang kurang memungkinkan gerak fisik,
upayakan berolahraga secara teratur atau melakukan kegiatan lain yang
setara. Kurang gerakatau hidup santai merupakan faktor pencetus
diabetes (Nabil, 2012).
c. Merokok Penyakit dan tingginya angka kematian (Hariadi S, 2008).
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan antara merokok dengan
kejadian DM tipe (p = 0,000). Hal ini sejalan dengan penelitian oleh
Houston yang juga mendapatkan bahwa perokok aktif memiliki risiko
76% lebih tinggi terserang DM Tipe 2 dibanding dengan yang tidak
(Irawan, 2010). Dalam asap rokok terdapat 4.000 zat kimia berbahaya
untuk kesehatan, dua diantaranya adalah nikotin yang bersifat adiktif
dan yang bersifat karsinogenik. d. Hipertensi (TD > 140/90 mmHg)
Jika tekanan darah tinggi, maka jantung akan bekerja lebih keras dan
resiko untuk penyakit jantung dan diabetes pun lebih tinggi. Seseorang
dikatakan memiliki tekanan darah tinggi apabila berada dalam kisaran >
140/90 mmHg. Karena tekanan darah tinggi sering kali tidak disadari,
sebaiknya selalu memeriksakan tekanan darah setiap kali melakukan
pemeriksaan rutin (Nabil, 2012).
E. PATOFISIOLOGI
Menurut Smeltzer,Diabetes tipe I. Pada diabetes tipe I terdapat
ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel sel beta prankreas
telah dihancurkan oleh proses autoimun.Hiperglikemi puasa terjadi akibat
produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping glukosa yang berasal
dari makanan tidak dapat disimpan dihati meskipun tetap berada dalam darah
menimbulkan hiperglikemia prospandial.jika kosentrasi glukosa daram darah
cukup tinggi maka ginjal tidak dapat menyerap kembali glukosa yang tersaring
keluar, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urine(glikosuria). Ketika
glukosa yang berlebihan dieksresikan kedalam urine,ekresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan, keadaan ini dinamakan
diuresis ostomik,sebagai akibat dari kehilangan cairan berlebihan, pasien akan
mengalami peningkatan dal berkemih(poliurea),dan rasa haus (polidipsi).
(Smeltzer 2015 dan Bare,2015).
Difisiensi insulin juga akan menganggu metabilisme protein dalam lemak yang
menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami peningkatan
selera makan (polifagia), akibat menurunan simpanan kalori. Gejala lainya
kelelahan dan kelemahan . dalam keadaan normal insulin mengendalikan
glikogenolisis(pemecahan glikosa yang tersimpan) dan
glukoneogenesis(pembentukan glukosa baru dari asam asam amino dan
subtansi lain). Namun pada penderita difisiensi insulin,proses ini akan terjadi
tampa hambatan dan lebih lanjut akan turut menimbulkan hipergikemia.
Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan peningkatan
produksi badan keton yang merupakan produk smping pemecahan lemak.
Badan keton merupakan asam yang menganggu keseimbangan asam basa
tubuh apabila jumlahnya berlebih. Ketoasidosis yang disebabkan dapat
menyebabkan tanda tanda gejala seperti nyeri abdomen mual, muntah,
hiperventilas ,mafas berbaun aseton dan bila tidak ditangani akan menimbulkan
penurunan kesadaran,koma bahkan kematian. Pemberian insulin bersama
cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat
kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemi serta
ketoasidosis. Diet dan latihan disertai pemantauan kadar gula darah yang sering
merupakan komponen terapi yang penting. (Smeltzer 2015 dan Bare,2015)
F.
Reaksi aoutoimun Obeitas,usia,genetik
Dm tipe 1 Dm tipe 2
Pholifagi Viskolita
Kekebalan Tubuh
darah
Ateroskeloriss Katogenesis
polidipsi Aliran
Neuropati Sensori Perifer
melambat
Makro,mikro vaskuler Ketonuria Poliurea Iskemik
Klien merasa sakit pada Luka jaringan
Jantung Serebral Ketoasidosis KETIDAKE
KETIDAKEFEKTIF
FEKTIFAN
Miokard infark Nyeri Abdomen,mual,muntah,coma
AN PERFUSI
Nyeri akut Nekrosis Luka JARINGAN
PERIFER
PENURUNAN CURAH JANTUNG PERUBAHAN POLA NUTRISI
Gangren
F. TANDA DAN GEJALA
Manifestasi Klinis Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya
seringkali tidak dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi
klinis Diabetes Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang
ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine
(poliuria) jika melewati ambang ginjal untuk ekskresi glukosa yaitu ±
180 mg/dl serta timbulnya rasa haus (polidipsia). Rasa lapar yang
semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat
kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).
Pasien dengan diabetes tipe I sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, pliuria, turunnya berat badan, polifagia,
lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa
minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta
dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi
insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan
umumnya penderita peka terhadap insulin.
Sebaliknya pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa.
Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara
absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih
cukup untuk mnenghambat ketoasidosis (Price dan Wilson, 2012). Gejala
dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala akut dan
gejala kronik (PERKENI, 2015) :
G. DIAGNOSTIK PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang utama untuk diabetes mellitus adalah
pemeriksaan kadar gula darah. Diabetes didefinisikan sebagai kadar gula
darah puasa di atas 126 mg/dL atau kadar gula darah sewaktu di atas 200
mg/dL. Lakukan pemeriksaan ulang pada pasien yang memiliki gejala
klasik diabetes (polidipsi, poliuria, polifagia) dengan kadar gula darah di
bawah angka tersebut. Jika hasil tetap di bawah batas, lakukan
pemeriksaan toleransi glukosa. Pasien yang tidak memiliki gejala klasik
diabetes memerlukan pemeriksaan toleransi glukosa jika kadar gula
darah sewaktunya di antara 140-199 mg/dL atau kadar gula darah puasa
di antara 100-125 mg/dL. Pasien tanpa gejala klasik dengan kadar gula
darah di bawah angka tersebut dapat langsung didiagnosis sebagai tidak
terkena diabetes mellitus dan tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.
Pemeriksaan penunjang pada pasien DM menurut Smeltze, Bare, Hinkle,
dan Cheever (2015) antara lain :
a. HbA1c (A1c)
b. Profil lipid puasa (Fasting lipid profile)
c. Tes untuk mikroalbuminuria (Test for microalbuminuria)
d. Tingkat kreatinin serum (Serum creatinine level)
e. Urinalisis (Urinalysis)
f. Elektrokardiogram (Electrocardiogram)
Menikah Pisah
Meninggal
Kembar
Aborsi Tinggal dalam
satu rumah
Gambar 2.1 : Simbol genogram menurut (Padila, 2012).
c. Analisa data
Menurut Achjar (2010, p. 19), setelah dilakukan pengkajian ,
selanjutnya data dianalisis untuk dapat dilakukan perumusan
diagnosa keperawatan.
d. Diagnosa Keperawatan
Menurut Suprajitno (2014, p. 42), diagnosa keperawatan keluarga
dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Diagnosis aktual, adalah masalah keperawatan yang
sedang dialami oleh keluarga dan memerlukan
bantuan dari perawat dengan cepat.
2) Diagnosa resiko/resiko tinggi, adalah masalah
keperawatan yang belum terjadi, tetapi tanda untuk
menjadi masalah keperawatan aktual dapat terjadi
dengan cepat apabila tidak segera mendapat bantuan
perawat.
3) Diagnosa potensial, adalah suatu keadaan sejahtera
dari keluarga ketika keluarga telah mampu memenuhi
kebutuhan kesehatannya dan mempunyai sumber
penunjang kesehatan yang memungkinkan dapat
ditingkatkan.
Menurut Achjar (2010, p. 21), etiologi dari diagnosa
keperawatan keluarga mengacu pada ketidakmampuan
keluarga dalam melaksanakan lima tugas keluarga yaitu:
1) Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah,
meliputi :
a. Persepsi terhadap keparahan penyakit
b. Pengertian
c. Tanda dan gejala
d. Faktor penyebab
e. Persepsi keluarga terhadap masalah
3) Mengingkari perjanjian.
4) Perilaku tidak taat.
c) Faktor-faktor yang berhubungan
1) Ketidakefektifan komunikasi penyedia layanan
kesehatan.
2) Kurang motivasi.
3) Durasi pengobatan.
4) Kurang pengetahuan tentang pengobatan.
d) Kriteria Hasil (NOC): p: 626
1) Memilih makanan sesuai dengan panduan nutrisi yang
direkomendasikan.
2) Menggunakan panduan nutrisi yang direkomendasikan
untuk merencanakan menu makanan.
3) Memilih porsi sesuai dengan panduan nutrisi yang
direkomendasikan.
e) Intervensi (NIC): p: 538
1) Kaji asupan makanan dan kebiasaan makan pasien.
2) Berikan informasi sesuai kebutuhan.
3) Motivasi agar mendukung kepatuhan diit.
4) Evaluasi kemajuan tujuan modifikasi diit.
b) Batasan karakteristik :
1) Ketidakakuratan mengikuti perintah.
2) Kurang Pengetahuan.
3) Perilaku tidak tepat.
c) Faktor yang berhubungan
1) Gangguan fungsi kognitif.
2) Kurang informasi.
3) Kurang minat untuk belajar.
4) Kurang sumber pengetahuan.
d) Kriteria hasil (NOC): p: 600
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang
penyakit, kondisi, prognosis dan progam pengobatan.
2) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali
apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.
e) Intervensi (NIC): p: 504
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang proses
penyakit.
2) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada
penyakit.
3) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal
ini berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan
cara yang tepat.
5. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan
ketidakmampuan memanfaatkan fasilitas kesehatan di
masyarakat. (00046) p: 431
Tabel 2.3 rumus skala skoring menurut Bailon dan Maglaya, 1978
(dalam Mubarak dkk 2012, p. 105)
a. Sifat Masalah
Sifat masalah kesehatan dapat dikelompokkan kedalam tidak atau
kurang sehat diberikan bobot yang lebih tinggi karena masalah
tersebut memerlukan tindakan yang segera dan biasanya
masalahnya dirasakan oleh keluarga. Krisis atau keadaan
sejahtera diberikan bobot paling sedikit karena faktor kebudayaan
dapat memberikan dukungan bagi keluarga untuk mengatasi
masalahnya dengan baik.
d. Menonjolnya Masalah
Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan skor pada kriteria
ini, perawat perlu menilai presepsi atau bagaimana keluarga
tersebut melihat masalah. Jika keluarga menyadari masalah
dan merasa perlu untuk menangani segera maka diberi skor yang
tinggi.
g. Implementasi
Pelaksanaan merupakan salah satu tahap dari proses keperawatan
keluarga dimana perawat mendapatkan kesempatan untuk
membangkitkan minat keluarga dalam mengadakan perbaikan ke arah
perilaku hidup sehat. Menurut Mubarak dkk (2012, p.108), tindakan
keperawatan keluarga mencakup hal-hal dibawah ini :
h. Evaluasi
Evaluasi menurut Ali (2010, p. 81), adalah upaya untuk menentukan
apakah seluruh proses sudah berjalan dengan baik. Alasan mengapa
perawat harus menilai tindakan mereka, yaitu :