Anda di halaman 1dari 19

Peran Strategis UMKM dan Tantangan di Era Globalisasi

Disusun Oleh:

Vita Setyawati ( 21808141084 )

Abel Anggun Saputri ( 21808141096 )

Ayunda Robby Arini ( 21808141108 )

Febriana Mulia Insani ( 21808141120 )

Program Studi Manajemen

Universitas Negeri Yogyakarta

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“ Peran Strategis UMKM dan Tantangan Di Era Globalisasi “ ini dengan tepat waktu.
Tugas makalah ini adalah tugas mata kuliah Manajemen UMKM di Jurusan
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Lina Nurhidayah S.E.,M.M


selaku dosen pengampu mata kuliah Manajemen UMKM yang telah memberikan
petunjuk, bimbingan dan arahannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan
pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung selama pembuatan makalah ini.

Kami sangat menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak luput dari
kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami mohon maaf atas
ketidaksempurnaan dalam pembuatan makalah ini. Kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan baik dari Ibu Dosen maupun teman-teman. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca.

Yogyakarta, 1 Oktober 2021

Kelompok 4

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

A. Peran Strategis UMKM...................................................................................................3

B. UMKM dan Tantangan Globalisasi................................................................................5

BAB III PENUTUP..................................................................................................................15

A. Kesimpulan...................................................................................................................15

B. Saran..............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
UMKM merupakan salah satu sektor dalam pilar perekonomian Indonesia.
Dalam fakta sejarahnya, UMKM merupakan sektor yang mampu bertahan saat
Indonesia dilanda krisis ekonomi. Kebanyakan pengusaha Indonesia juga masih
berkecimpung di sektor UMKM sehingga UMKM adalah sektor industri yang paling
digeluti oleh rakyat Indonesia.

UMKM juga menyumbang sebagian besar pendapatan negara. Dengan hal ini
bisa diketahui bahwa UMKM memiliki kedudukan dan peran yang penting serta
strategis dalam perekonomian Indonesia. UMKM adalah penyokong penerimaan
nasional.

Ditengah-tengah perannya yang besar dan strategis UMKM harus menghadapi


tantangan globalisasi. Globalisasi mempengaruhi perubahan kebutuhan, selera,
budaya dan teknologi. Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut UMKM harus
mampu menghadapi tantangan-tantangan yang ada di era globalisasi agar tetap bisa
bertahan di persaingan industri saat ini.

B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan pemahaman, rumusan masalah dalam makalah ini, antara
lain:
1. Apa saja peran-peran strategis UMKM?
2. Bagaimana UMKM bisa memegang peran-peran stategis itu?
3. Apa saja tantangan bagi UMKM di era Globalisasi?
4. Apa saja dampak dari liberalisasi perdagangan?

1
C. Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui peran-peran strategis UMKM
2. Memahami peran-peran strategis UMKM
3. Mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi UMKM di era globalisasi
4. Mengetahui dampak-dampak dari liberalisasi perdagangan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peran Strategis UMKM


Sektor UMKM menjadi titik sentral didalam konteks pengembangan ekonomi
rakyat. Berdasarkan data Berita Statistika BPS dan Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah tahun 2010, terdapat 102,2 juta orang, sekitar 99,4 juta orang (97,2%)
berada pada sektor UMKM. Data ini menunjukkan bahwa sector UMKM memiliki
kontribusi dalam penyerapan tenaga kerja. Selain memberikan kontribusi pada
penyerapan tenaga kerja, sector UMKM juga memiliki peran dalam perekonomian
nasional. Kontribusi UMKM berkisar 57% terhadap PDB pada tahun 2010. Data diatas
menunjukkan bahwa usaha kecil dan mikro menjadi salah satu elemen penting dalam
pengembangan ekonomi masyarakat sehingga menjadikan UMKM sebagai salah satu
sokoguru pengembangan system ekonomi kerakyatan sebagai wujud bangunan ekonomi
nasional.

Angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia masih sangar besar. Jumlah


penduduk miskin hingga Maret 2012 tercatat sekitar 29,13 juta jiwa (BPS,2012)
sedangkan jumlah pengangguran mutlak, yaitu mereka yang sama sekkali tidak memiliki
pekerjaan, tak kurang dari 12 juta orang. Dengan adanya data tersebut, tentu program
sinergis dan komprehensif dibutuhkan untuk mengatasi hal tersebut. Dengan demikian,
sector usaha kecil dan menengah bisa lebih diharapkan untuk mengatasi salah satu
masalah utama di negeri ini, yakni masalah kemiskinan dan pengangguran. Oleh karena
itu, pengurangan pengangguran membutuhkan perubahan paradigma yang tidak bisa pada
skala usaha besar, tetapi memberikan kesempatan lebih banyak pada unit usaha ekonomi
rakyat, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.

UMKM telah mampu membuktikan diri sebagai salah satu solusi pertumbuhan
Angkatan kerja baru di Indonesia yang sangat tinggi, memiliki bentuk usaha yang
dinamis, responsive, fleksibel, serta adaptif dalam merespon dinamika tantangan masalah
eksternal. Peranannya yang signifikan dalam penyerapan tenaga kerja itu menjadikan
UMKM sangat efektif sebagai peranti memperkuat stabilitas nasional.

3
Krisis ekonomi yang tak bisa dihindari oleh Indonesia yang ditandai dengan
ketidakstabilan perekonomian negara, dapat diatasi oleh UMKM dimana UMKM dapat
terus tumbuh dan bahkan sangat membantu perekonomian nasional. Jumlah usaha kecil
dan menengah secara keseluruhan meningkat dari sekitar 1.411 juta unit pada tahun 1998
menjadi 1.452 juta unit pada tahun 1999. Lebih jauh, di tengah krisis multidimensi yang
masih belum sepenuhnya mampu diatasi, UMKM tetap memberikan kontribusi signifikan
dalam menopang PDB Indonesia.

Beberapa sebab yang membuat sektor usaha kecil bisa bertahan di masa krisis
diantaranya adalah karena sector usaha kecil tidak terlaly tergantung pada bahan baku
impor dalam proses produksinya dan sumber dana usaha kecil umumnya berasal dari
dalam negeri sehingga tidak terlalu terpengaruh akan depresiasi rupiah. Selain itu, kondisi
tersebut tidak terlepas dari karakteristik pelaku UMKM, yaitu :

1. Fleksibel, dalam arti jika menghadapi hambatan dalam menjalankan usahanya


akan mudah berpindah ke usaha lain.
2. Dalam permodalannya, tidak selalu tergantung pada modal dari luar, tetapi dia
bisa berkembang dengan kekuatan modal sendiri.
3. Dalam hal pinjaman (terutama pengusaha kecil sector tertentu seperti pedagang)
sanggup mengembalikan pinjaman dengan bunga yang cukup tinggi.
4. UMKM tersebar di seluruh Indonesia dengan kegiatan usaha diberbagai sector,
merupakan sarana dan distributor barang dan jasa dalam melayani kebutuhan
masyarakat.

Adanya sifat alamiah yang ada pada sektor usaha kecil, menyebabkan usaha
kecil tidak terlalu bergantung kepada fasilitas – fasilitas pemerintah termasuk skim-
skim kredit murah. Ketergantungan usaha kecil terhadap modal dan sumber-sumber
daya informal jauh lebih besar daripada terhadap kredit perbankan karena berbagai
alasan. Hal inilah yang juga menyebabkan usaha kecil lebih kuat dalam menghadapi
guncangan krisis ekonomi.

Peran strategi UMKM juga telah dibuktikan oleh pengalaman di berbagai


negara, seperti Jepang, Cina, Korea, dan Thailand. Di negara-negara tersebut, UMKM
merupakan pelaku ekonomi yang dinamis, tumbuh menjadi bagian dan mendukung
proses industrialisasi melalui keharmonisan hubungan sinergi antara UMKM dengan
usaha-usaha besar. Koeksitensi ini melahirkan efisiensi dan kemampuan daya saing di

4
pasar global. Dengan peran strategi tersebut, sudah sepantasnya sektor ini menjadi
prioritas dalam pembangunan nasional. Ahmad Erani Yustika (2007 : 182)
mengungkapkan bahwa pengembangan usaha kecil dan menengah menjadi relevan
untuk dilakukan di Indonesia karena beberapa pertimbangan. Pertama, struktur usaha
di Indonesia selama ini sebenarnya bertumpu pada keberadaan indutsri kecil dan
mennegah akan tetapi dengan kondisi yang memprihatinkan, baik dari segi nilai
maupun keuntungan yang bisa diraih. Kedua, Sebagian sektor industry kecil dan
menengah selama ini ternyata telah berorientasi ekspor sehingga sangat membantu
pemerintah didalam mendapatkan devisa. Ketiga, sektor IKM terbukti lebih fleksibel
dalam berbagai kondisi perekonomian yang tidak menguntungkan seperti yang saat
ini dialami oleh Indonesia. Keempat, sektor IKM tersebut lebih banyak menggunakan
bahan baku atau bahan antara dari dalam negeri sehingga tidak membebani nilai
impor seperti yang selama ini dipraktikkan oleh usaha besar.

Berpijak dari potensi yang cukup besar itulah, dukungan dan fasilitas akan
pengembangan sektor UMKM perlu terus dilakukan agar keberadaan UMKM benar-
benar mampu menjadi tumpuan perekonomian nasional. Kegagalan mengembangkan
ekonomi rakyat akan berakibat pada kegagalan mengembangkan ekonomi secara
menyeluruh. Jika pemerintah mampu mendorong dan mengembangkan usaha kecil
dan menengah, perekonomian nasional juga akan dapat bangkit dan berkembang.

B. UMKM dan Tantangan Globalisasi


Globalisasi telah menjadi konsep yang sering digunakan untuk
menggambarkan fenomena dunia kontemporer. Tanda tahap globalisasi adalah
proses memasukkan perekonomian nasional ke dalam sistem ekonomi yang
didasarkan pada kepercayaan pada perdagangan bebas. Dengan mengubah semua
aturan kebijakan yang menghalangi para pemain global, khususnya perusahaan
transnasional (TNCs) untuk beroperasi dalam bentuk perluasan produksi, pasar, dan
investasi, kami berupaya membuka jalan bagi integrasi. Logika perdagangan bebas
ini didasarkan pada asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara akan tercapai
bila ada keuntungan pasar bebas dan kebebasan individu (Friedman, dalam O'Brien
dan Penna, 1998: 92).
Di era globalisasi ekonomi, kita akan melihat bagaimana barang, industri,
dan jasa suatu negara dapat dengan leluasa menyusup ke wilayah negara lain. Oleh
karena itu, hambatan teknis dan budaya diterapkan di masing-masing negara selama

5
ini guna melindungi perekonomian negaranya yang harus ditekan dan
diminimalisasi serendah mungkin. (Chepra dan Tara, 2001:38)

Globalisasi ekonomi memiliki dampak positif dan negatif. Dari sisi pengaruh
internal, globalisasi ekonomi akan mengubah pola perilaku entitas ekonomi dalam
proses produksi. Salah satu cirinya adalah meningkatnya penggunaan faktor
produksi yang berdaya saing, investasi di sektor perdagangan dan pasar, serta
berkembangnya industri nasional yang berdaya saing. Perubahan ini telah
menyebabkan fragmentasi industri yang tidak dapat mengikuti logika global. Selain
itu, secara struktural, kebijakan ekonomi pemerintah juga akan berubah. Untuk
dapat bertahan di pentas global, pemerintah akan mengalihkan perhatiannya dari
sektor ekonomi yang berorientasi tradisional ke sektor modern. Perkembangan
tersebut berdampak pada perubahan kebijakan ekonomi mikro dan makro, kebijakan
pasar dan aspek lainnya. Dalam kondisi eksternal, kemungkinan perubahan
termasuk kebijakan perdagangan dan investasi internasional, sistem moneter
internasional, dan hubungan ekonomi internasional lainnya. Perubahan-perubahan
tersebut tidak lagi diidentifikasi sebagai kegiatan nasional, tetapi sudah bersifat
global (Tara 2001: 40).

Indonesia harus menghadapi liberalisasi perdagangan dunia, dalam kerangka


perjanjian multilateral seperti World Trade Organization (WTO), General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT), Asia-Pacific Economic Cooperation
(APEC), dan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA), yang mengharuskan semua
sumber daya nasional memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Pasar semakin luas
dan volume transaksi semakin tinggi. Inilah salah satu wajah utama di era
globalisasi, dan daya saing merupakan senjata pamungkas untuk bertahan dan
memenangkan pasar. Namun di samping itu, selama sistem ekonomi yang
dikembangkan adalah sistem moralistis, manusiawi nasionalistis, dan kerakyatan
yang dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka akan
mampu mengatasi tantangan globalisasi. Di dalamnya terkandung mekanisme untuk
mendukung dan melindungi kepentingan ekonomi rakyat melalui upaya dan rencana
pemberdayaan ekonomi rakyat (Muhyarto, 2002).
Penelitian oleh Pasific Economic Cooperation Council menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan anggota APEC yang diklasifikasikan sebagai negara
berkembang, ekonomi anggota maju APEC umumnya memiliki rasio pengusaha

6
terhadap populasi yang lebih tinggi. Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
APEC, dibutuhkan satu unit kelas UMKM untuk setiap 20 penduduk. Artinya pada
tahun 2020, kawasan anggota APEC masih membutuhkan 70 juta usaha kecil,
menengah dan mikro (Harfi, 2003). Untuk Indonesia, (Sutrisno, 2003) menyebutkan
bahwa dibutuhkan 20 juta unit UMKM selain sektor pertanian pada tahun 2020. Hal
ini penting untuk meningkatkan daya dukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan
lapangan kerja. Situasi ini merupakan tantangan besar bagi pembangunan ekonomi
rakyat, dan juga merupakan peluang yang baik.
Dari perspektif lain, proses globalisasi telah menyebabkan pengusaha kecil
yang mungkin jatuh ke dalam kesulitan dan rentan terhadap kehancuran. Ada
banyak cara untuk bersaing, termasuk harga, kualitas, bahkan bentuk layanan purna
jual dan desain produk. Keterbatasan pengusaha kecil ini menyebabkan daya saing
rendah. Apalagi saat ini industri besar dan beretika siap berorientasi pasar,
meningkatkan efisiensi produksi, dan mengelola sumber daya secara lebih efektif
(Tjiptoherijanto, 1997 dalam Sunartiningsih dan Suyatna, 2019). Globalisasi juga
telah mempermudah akses terhadap media, termasuk media baru seperti media
cetak, media elektronik, dan media sosial. Hal ini dengan mudah membuat tren
terbaru di berbagai bidang dikenal masyarakat. Akibatnya terjadi perubahan selera
konsumen yang lebih memilih merek ternama, suatu kondisi yang tentunya menjadi
tantangan besar bagi pengusaha dalam negeri.
Dalam perkembangannya, era globalisasi dan liberalisasi perdagangan benar-
benar membawa peluang dan dilema bagi masyarakat. Beberapa negara yang dapat
memanfaatkan globalisasi sebagai peluang antara lain Cina. Di Cina, Wang dan Yao
(2002) menemukan bahwa liberalisasi perdagangan internasional sejak akhir 1970-an
telah membuat UMKM negara itu sangat dinamis (Tambunan, 2012: 84 ). Di Cina,
keberadaan usaha kecil menengah dan perusahaan swasta lokal yang dikenal sebagai
Township and Village Enterprises (TVEs) memang memainkan peran penting dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi. TVEs adalah pengembangan industri pedesaan
yang dipromosikan oleh pemerintah Cina. Sementara pada tahun 1960 jumlahnya
hanya 117 ribu, sejak reformasi 1978 jumlahnya meningkat drastis. Pada saat itu,
tahun 1990-an memiliki setengah tenaga kerja di pedesaan Cina. Produksi TVEs
meningkat rata-rata 22,9% antara 1978-1994 .Secara nasional, produksi TVEs pada
tahun 1994 mencapai 42% dari seluruh produksi nasional, sedangkan untuk ekspor,

7
TVEs menyumbang sepertiga dari total ekspor Cina dalam beberapa tahun terakhir
1990-an (Pramuji, 2004 ).
Di India, sektor UKM juga mengalami pertumbuhan yang pesat, terutama di
sektor energi, farmasi, otomotif, tekstil, dan TI. Kemajuan ekonomi sebagian besar
didukung oleh usaha kecil dan menengah. Sektor usaha kecil mampu memberikan
kontribusi 32% dari total nilai ekspor dan 40% dari nilai output industri manufaktur
nasional (Tambunan, 2002: 19). Di India, ada banyak usaha kecil dan menengah yang
berkembang pesat. Mereka terutama aktif di sektor energi dan medis, otomotif, tekstil
dan teknologi informasi. Selain itu, mereka juga menjadi pasar bagi produk-produk
dari India. Beberapa nama ritel asing terkenal yang menjadi penyumbang utama
devisa bagi industri garmen seperti Carrefour, Decathlon, Gap, H&M, JC Penny, Levi
Strauss, Mark and Spencer, Metro Group, Nike, Reebok, Tesco, Tommy Hilfiger dan
Walmart. Menyusul penghapusan kuota, India menjadi produsen tekstil terbesar di
dunia yang didukung oleh perusahaan tekstil yang sangat kompetitif (Sunartiningsih
dan Suryatna, 2009: 55).

Sejak tahun 1990-an perkembangan Industri teknologi informasi di India juga


berkembang pesat terutama di dua negara bagian,yaitu Bangalore dan Andhra Pradesh
yang berkembang lebih cepat sehingga diarahkan menjadi kota-kota digital. Dua
negara bagian ini mencatat pertumbuhan ekonomi 25% per tahun. Di seluruh India,
sekarang terdapat ribuan perusahaan software dengan berbagai skala. Produksinya
telah menerobos pasar Amerika Serikat, Eropa, dan tentunya Asia. Dari 12
perusahaan Software yang dianalisis saham, 6 diantaranya perusahaan India, yakni
Infosys Technologies, Satyam Computer, Tata Infitech, Aptech Software Solution,
BFL Software, dan National of Information Technology ( Wedison,1999 dalam
Sunartiningsih dan Hempri, 2009 :56 ).

Negara yang juga berkembang sektor industri kecilnya di era globalisasi ini
adalah Jepang. Dalam perkembangannya sampai tahun 2007, jumlah IKM di Jepang
telah mencapai 4,69 juta unit dibandingkan dengan jumlah perusahaan besar ( 13 ribu
unit ). Semua IKM tersebut mampu menyerap tenaga kerja sekitar 30 juta orang dan
menghasilkan nilai ekspor sebesar 137 miliar yen ( Ammari, Fauzi, Wempi Saputra,
Budhi Setiawan, 2008 ).

8
Meskipun era globalisasi memberikan dampak positif bagi beberapa sektor
UMKM di beberapa negara, namun kenyataannya proses globalisasi juga
menimbulkan dampak yang tidak menyenangkan bagi masyarakat pedesaan. Dari
hasil penelitian yang dilakukan di Sri Lanka menunjukkan bahwa liberalisasi
perdagangan telah berdampak buruk bagi eksistensi industri kecil. Sektor industri
kecil ternyata menerima keuntungan yang sangat kecil akibat dari ekspansi beberapa
sektor unggulan seperti garmen dan produk-produk kimia. Di pedesaan, beberapa
industri utama seperti kerajinan tangan dan barang tembikar mengalami kemunduran
sebagai akibat dari liberalisasi ekonomi ( Islam (ed), 1987:189 ).

Dampak buruk liberalisasi perdagangan juga terjadi di beberapa negara lain


seperti di negara-negara Afrika. Di Ghana, Steel dan Webster ( Tambunan, 2012: 85 )
menemukan bahwa adanya liberalisasi perdagangan luar negeri, membuat banyak
UMKM dinegara tersebut mengalami penurunan keuntungan akibat peningkatan
biaya input, lemahnya permintaan domestik terhadap produk-produk mereka dan
masuknya barang-barang impor dengan daya saing yang lebih baik. Navaretti dalam
pengamatannya di Chad dan Gabon ( dalam Tambunan,2012 :85 ) juga
mengemukakan bahwa reformasi perdagangan luar negeri menuju sistem yang lebih
terbuka bersamaan dengan devaluasi nilai mata uangnya gagal menciptakan
pertumbuhan bagi UMKM lokal. Sebaliknya, banyak kelompok dari usaha ini
ditemukan mengalami kesulitan keuangan akibat tingginya biaya bahan baku dan
input lainnya.

Di Indonesia, kebijakan liberalisasi perdagangan juga menimbulkan banyak


dampak buruk bagi masyarakat pedesaan. Ketidaksiapan produk-produk dalam negeri
untuk bersaing dengan produk-produk global mengakibatkan banyak industri kecil
yang akhirnya gulung tikar. Usaha yang paling terdampak adalah sektor usaha
makanan. Hal ini dikarenakan sekitar 60% dari 48,93 juta usaha kecil menengah di
Indonesia berbasis pada komoditas pangan yang sebagian besar diimpor. Berdasarkan
data gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia, sedikitnya 25 %
anggota sudah gulung tikar karena lonjakan harga terigu. Nasib lebih menyedihkan
dialami para pengrajin tempe tahu yang harus menghadapi kenaikan harga kedelai
lebih dari 100 persen. Padahal selama ini sekitar 70% dari kedelai harus diimpor
untuk mencukupi permintaan nasional. Di sektor manufaktur padat karya seperti
tekstil dan alas kaki, sudah banyak usaha yang gulung tikar bahkan sebelum adanya

9
kenaikan bahan bakar. Keterbatasan modal untuk restrukturisasi mesin dan
ketidakmampuan bersaing dengan produk murah seludupan dari Cina juga menjadi
faktor penyebab gulung tikarnya usaha di sektor manufaktur padat karya. Sama
seperti industri lainnya, industri pengecoran logam juga banyak yang gulung tikar
karena kelangkaan bahan baku dan kenaikan biaya bahan bakar ( Kompas, 29
Februari 2008 ).

Pada periode tahun 1997-2002 , Cina dan Vietnam mampu mengungguli


Indonesia terutama dalam 30 besar komoditas ekspor nonmigas termasuk tekstil,
furnitur, garmen dan sepatu. Serbuan tekstil dan produk tekstil ( TPT ) asal Cina
membuat tekstil lokal kehilangan pasar dan akhirnya bangkrut.

Usaha lain yang terancam gulung tikar adalah industri pedesaan yang
memproduksi alat rumah tangga dengan bahan baku tanah dan bambu. Mereka tidak
mampu bersaing dengan produk industri plastik modern. Meskipun ada beberapa yang
mampu bertahan dengan melakukan diversifikasi dan meningkatkan kualitas produksi
seperti yang terjadi di Kasongan, bantul, Yogyakarta. Namun, pada umumnya mereka
dalam kondisi yang sangat memprihatinkan ( Effendi, 2005: 149 ).

Berdasarkan catatan IGJ ( Institute of Global Justice ) selama kurun waktu


2006-2008 , ada sekitar 1650 industri yang mengalami kebangkrutan karena kalah
bersaing dengan produk-produk Cina. Implikasinya, tidak kurang 140.584 tenaga
kerja menganggur akibat gulung tikarnya industri tersebut. Dengan demikian, tidak
adil jika di satu sisi pemerintah kurang memberikan dukungan kepada para pelaku
UMKM, tetapi di sisi lain persaingan dibuka lebar dengan pelaku ekonomi asing
( yang di negaranya didukung oleh pemerintah dengan aneka insentif ekonomi ).
Roubini dan Mihm mengatakan bahwa tanpa kehati-hatian yang luar biasa globalisasi
akan menjerumuskan negara yang lemah dengan meningkatnya ketimpangan,
volatilitas harga aset, pengangguran, dan krisis ekonomi yang makin kerap
menghampiri ( Yustika dalam Basri dkk.,2012: 83 ).

Disektor industri pangan, produk-produk makanan impor dalam bentuk


kemasan telah lama membanjiri produk dalam negeri. Produk- produk tersebut
diproduksi, diolah, diangkut, dan dipasarkan bukan lagi dengan cara-cara tradisional
atau lokal, melainkan dengan cara-cara modern. Usaha industri pangan yang tidak
mampu berkompetisi harus rela untuk semakin terpinggirkan. Beberapa perusahaan

10
multinasional paling berpengaruh dalam industri pangan seperti Monsanto ( AS ),
Aventis ( Prancis ), Syngenta ( AS ), Cargill ( AS ), Nestle ( Switzerland ), Unilever
( UK/ Netherlands ), Pepsico ( AS ), Coca-cola ( AS ), Conagra ( AS ), RJR Nabisco
( AS ), Grand Metropolitan ( UK ), Elders IXL ( Australia ), Ansheuser Busch ( AS ),
dan BSN Group ( Prancis ) mendapat sorotan tajam karena dominasi mereka yang
tidak bisa dibendung di sektor industri pangan global saat ini. Perusahaan-perusahaan
ini mulai bergerak dari penyediaan bibit unggul, pupuk, obat-obatan, sampai dengan
produk akhir pengolahan pascapanen ( Wiryono dalam Wibowo dan Wahono,2003:
190 )

Dampak negatif dari globalisasi dikhawatirkan semakin banyak terjadi di


Indonesia ketika pemerintah semakin meliberalisasikan perdagangannya dengan
perjanjian-perjanjian perdagangan, misalnya dengan penerapan kebijakan ASEAN-
China Free Trade Area ( ACFTA ) pada tahun 2010 dan ASEAN Community tahun
2015. Secara umumnya, adanya ACFTA ini diharapkan dapat memperkuat dan
meningkatkan kerja sama serta meliberalisasikan perdagangan barang dan jasa
melalui pengurangan bahkan penghapusan tarif atau bea masuk. Namun, karena
kurangnya sosialisasi kepada pelaku UMKM dan persiapan yang belum matang dalam
menghadapi ACFTA, menimbulkan kekhawatiran hancurnya sektor UMKM ( Usaha
Mikro Kecil dan Menengah ) Indonesia karena gagal bersaing dengan produk-produk
dari ASEAN, khususnya Cina. Kehadiran produk-produk dari ASEAN dan Cina
memang akan menyebabkan persaingan menjadi semakin kompetitif karena para
pelaku usaha akan semakin terpacu untuk dapat bersaing dan sisi lain konsumen juga
memiliki banyak variasi pilihan produk. Meskipun demikian, persaingan dengan
produk-produk dari Cina yang lebih variatif dan harganya yang lebih murah akan
menyebabkan pelaku usaha dalam negeri kelimpungan. Oleh karena itu,dapat
dipastikan jika keran perdagangan bebas dibuka, yang mampu bertahan adalah negara
yang sanggup memproduksi barang secara efisien sehingga barang yang dihasilkan
memiliki harga lebih murah tetapi kualitasnya setara atau bahkan lebih baik. Posisi
inilah yang dimiliki oleh Cina yang bisa menekan ongkos produksi mereka serendah
mungkin karena berbagai biaya faktor produksi yang lebih murah.

Sector UMKM di Indonesia akan menghadapi proses deindustrialisasi.


Deindustrialisasi ini dapat dilihat dari penurunan dalam aktivitas industry manufaktur
yang dilihat dari penurunan penyerapan lapangan kerja dan penurunan unit usaha

11
dalam suatu daerah. Ketidakmampuan produk-produk Indonesia untuk bersaing di era
ACFTA akan menyebabkan penutupan unit-unit usaha tersebut tentunya juga akan
membawa pengaruh yang signifikan terhadap penurunan nilai investasi di sector
industry manufaktur. Dampak lebih luas dari penutupan sentra-sentra industry
tersebut ialah munculnya masalah sosial seperti pengangguran akibat pemutusan
hubungan kerja. Jika ini terus terjadi, Indonesia hanya akan menjadi negara pedagang,
bukan negara industry. Para pelaku UMKM tidak menjadi produsen yang
memproduksi barang, melainkan hanya sebagai sales dan barang-barang produksi
Cina dan negara-negara importir lain (Suyatna :2010).

Perjanjian ACFTA yang mulai diimplementasikan pada 1 Januari 2010,


banyak memberikan efek negative bagi UMKM Indonesia. Pada bulan oktober 201,
Indonesia sebenarnya mengalami surplus perdagangan dengan cina. Nilai ekspor ke
Cina sebesar US$ 2,2 Miliar. Meskipun demikian, secara umum berdasarkan data
BPS, neraca perdagangan Indonesia-Cina dari bulan Januari-Oktober 2011 masih
mengalami deficit sebesar US$ 3,57 miliar. Implementasi ACFTA juga cenderung
tidak memberikan keuntungan bagi Indonesia. Pasar domestic Indonesia telah
dibanjiri produk-produk dari Cina dan negara-negara ASEAN yang menyebabkan
produk-produk local seperti tekstil, garmen, industry alas kaki, makanan dan
minuman terancam eksistensinya. Proses deindusrialisasi telah terjadi di beberapa
sector UMKM Indonesia. Contohnya dalam catatan Asosiasi Pengusaha Indonesia,
akibat ACFTA jumlah produksi industry alas kaki turun menjadi 20% dan sekitar
300.000 orang pekerja harus diberhentikan. Di Jawa Barat, menurut catatan APINDO
Jawa Barat, sekitar 20% perusahaan di Jawa Barat gulung tikar akibat ACFTA.

Strategi dalam menghadapi ACFTA yang memang telah banyak


diimplementasikan oleh pemerintah diantaranya adalah peningkatan manajemen
sumber daya manusia, kemudahan dalam akses permodalan dan pemasaran,
peningkatan kualitas, standardisasi produk dan sebagainya. Skema-skema permodalan
tidak diprioritaskan untuk menghadapi sector-sektor yang terkena dampak negative
ACFTA. Integrasi skema permodalan antara pemerintah, program CSR perusahaan,
dan berbagai organisasi sosil kemasyarakatan/keagamaan belum terlihat berhasil.
Program-program pengembangan UMKM yang dibuat oleh pemerintah tidak
tersosialisasikan secara baik sehingga banyak pelaku UMKM yang tidak mampu
mengakses fasilitas-fasilitas kebijakan yang dilakukan pemerintah.

12
Kasus yang ada di Indonesia menunjukan bahwa tidak adanya proteksi dari
negara terhadap produk-produk dalam negeri berimbas pada kekalahan produk dalam
negeri untuk bersaing dengan produk produk dari luar negeri. Perubahan proteksi ke
liberalisasi menyebabkan banyak sector UMKM mengalami penurunan pangsa pasar
dan mengalami kemunduran karena produk mereka tidak mampu bersaing dengan
barang impor yang lebih murah dan kualitas lebih baik. Persoalan klasik seperti
minimnya modal, teknologi, keterampilan dan ditambah kebijakan yang kurang
mendukung dalam pengembangan UMKM menyebabkan sector ini tidak dapat
bersaing. Perubahan kebijakan dari pemerintah yang mengacu pada pasar bebas
semakin memperburuk keadaan ini. Di masa orde baru, kebijakan-kebijakan dengan
model patron client seperti pola kemitraan, “bapak-angkat” masih mendominasi
perkembangan industry kecil. Dalam model patron client ini ada semacam
perlindungan yang dilakukan oleh sesorang yang lebih tinggi kedudukan sosial
ekonominya (patron) dengan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki kepada orang
yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian
tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa
pribadi kepada patron (Scott dalam Ahimsa Putra,2001:4). Model-model patron
client dari pemerintah akhirnya menghasilkan kebijakan yang bersifat “government
and protection policy”. Terlepas dari kebijakan yang cenderung government and
protection policy ini akan lebih populis serta lebih cepat hasilnya. Pasca-Orde Baru,
kebijakan-kebijakan patron client seperti proteksi terhadap sector UMKM tersebut
perlahan mulai hilang dan tergantikan dengan mekanisme pasar bebas dan industry
kecil dipaksa untuk bersaing di pasar ebebas. Akibatnya, industry kecil banyak yang
kalah bersaing dan hancur. Hal ini menjadi indikasi bahwa aspek structural (kebijakan
negara dalam memberikan perlindungan terhadap industry kecil) memainkan peran
penting dalam keberlangsungan sebuah industry kecul.

Studi CESS dan Swisscontact tahun 2003 (Tambunan dan Ubaidillah:2004)


menunjukan bahwa kondisi pasar yang semakin kompetitif dan lingkungan bisnis
yang tidak kondusif dan menambah beban biaya menjadi masalah yang sangat
menganggu kenyamanan berusaha eksportir/trading house dari Bali yang notabene
berasal dari usaha kecil menengah menurun tajam karena sulit bersaing dengan
produk dari negara yang ongkos produksinya lebih murah. Bali yang merupakan salah
satu andalan ekspor UMKM (termasuk dalam produk dari daerah lain) diharapkan

13
pada semakinmemburuknya oklim usaha akibat semakin banyaknya pungutan dan
perizinan. Akibatnya trading house yang menjadi saluran ekspor bagi produk usaha
kecil menengah untuk meraih pasar mancanegara semakin merasa berat
mempertahankan usahanya.

Ilustrasi di atas menunjukan bahwa negara-negara yang tampaknya berhasil


memanfaatkan perubahan adalah negara-negara yang kuat orientasinya dalam
perdagangan internasional. Kemampuan dalam bersaing di pasar global akan sangat
menentukan keberhasilan suatu negara untuk tetapa berpacu dalam perlombaan
ekonomi. Kebijakan yang dilakukan harus secara simultan. Meskipun masalah
internal dapat diatasi, jika lingkungan eksternalnya belum mendukung, bsik usaha
kecil maupun koperasi akan tetap sulit berkembang. Terlebih lagi dalam menghadapi
lingkungan strategis yang dicirikan oleh semakin ketatbya persaingan. Lingkungan
yang kondusif perlu terus ditumbuhkan agar pengusaha kecil dan koperasi
memperoleh kesempatan beusaha yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Kalau
lingkungan bagi pengusaha kecil belum ditumbuhkan,akan sulit kita wujudkan cita-
cita pembangunan nasioanal yang didukung oleh perekonomian nasional yang
Tangguh (Prawirokusumo, 2009:95).

Dengan demikian, prospek bisnis usaha kecil menengah dalam era


perdagangan bebas akan tergantung pada upaya yang ditempuh oleh pemerintah
dalam mengembangkan bisnis usaha kecil menengeh. Upaya yang perlu dilakukan
adalah dengan mengembangkan ilim yang kondusif bagi usaha kecil menengah seperti
penghapusan berbagai peraturan-peraturan yang menghambat kegiatan usaha kecil
menengah.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

Budiarto, Rachmawan. (2019). Pengembangan UMKM: Antara Konseptual dan Pengalaman


Praktis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

16

Anda mungkin juga menyukai