Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

TEORI-TEORI ETIKA

OLEH:
KELOMPOK 2

RAHMADILLAH B1C1 19 151


RISKA DAMAYANTI B1C1 19 159
SELFIANTI B1C1 19 161
SISKA B1C1 19 163
CITRA PRATIWI B1C1 19 192
DEBY WAHYUNI B1C1 19 193
ALNI FITRIANINGSIH B1C1 19 184
DINA SAFIRATANUR B1C1 19 196
ASIS ENDANG B1C1 19 189

KELAS D

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan

Puji syukur kami panjatkan


kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena dengan rahmat
dan
karunia-Nya yang telah
memberikan kesehatan
dan kesempatan untuk
dapat menyelesaikan
makalah ini dengan
lengkap, dan tepat waktu.
Yang berjudul “TEORI-
TEORI ETIKA UTAMA
DAN TEORI-TEORI
KONTEMPORER”. Kami
berharap makalah ini dapat
berguna bagi para
pembaca, dalam rangka
menambah wawasan
serta pengetahuan kita
tentang Kepemimpinan
dalam organisasi
Karena keterbatasan dari
pengetahuan , yakin masih
banyak kekurangan dalam
makalah
ini. Oleh karena itu, saya
sangat mengharapkan
saran dan kritik dari para
pembaca.
Puji syukur kami panjatkan
kepada Tuhan Yang Maha
Esa, karena dengan rahmat
dan
karunia-Nya yang telah
memberikan kesehatan
dan kesempatan untuk
dapat menyelesaikan
makalah ini dengan
lengkap, dan tepat waktu.
Yang berjudul “TEORI-
TEORI ETIKA UTAMA
DAN TEORI-TEORI
KONTEMPORER”. Kami
berharap makalah ini dapat
berguna bagi para
pembaca, dalam rangka
menambah wawasan
serta pengetahuan kita
tentang Kepemimpinan
dalam organisasi
Karena keterbatasan dari
pengetahuan , yakin masih
banyak kekurangan dalam
makalah
ini. Oleh karena itu, saya
sangat mengharapkan
saran dan kritik dari para
pembaca.
rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan
untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan lengkap, dan tepat waktu. Yang
berjudul “TEORI-TEORI ETIKA”.

Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi para pembaca, dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang Kepemimpinan dalam
organisasi Karena keterbatasan dari pengetahuan , yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran
dan kritik dari para pembaca.

Kendari, Maret 2022

Penulis,
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
BAB II
PEMBAHASAN

A. Etika Absolut Versus Etika Relatif


Sampai saat ini masih terjadi perdebatan dan perbedaan di antara
para etikawan tentang apakah etika bersifat absolut atau relative.Para
penganut paham etika absolut dengan berbagai argumentasi yang masuk
akal meyakini bahwa ada prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak,
berlaku universal kapanpun dan dimanapun. Sementara itu, para penganut
etika relative dengan berbagai argumentasi yang juga tampak masuk akal
membantah hal ini. Mereka justru menetapkan bahwa tidak ada prinsip
atau nilai moral yang berlaku umum.Prinsip atau nilai moral yang ada
dalam masyarakat berbeda-beda untuk masyarakat yang berbeda dan untuk
situasi yang berbeda pula. Untuk mendukung argumentasi para penganut
etika relative dimana kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan kode
moral yang berbeda pula, Rachles (2004), memberikan contoh tentang
keyakinan dua suku yang amat berbeda dalam perlakuan orang tua mereka
saat meninggal dunia, yaitu suku Callatia yang memakan jenazah orang
tua mereka, sedangkan orang-orang yunani membakar jenazah orang tua
mereka. Menyangkut dengan contoh dari etika relative tersebut Rachles
dan Immanuel Kant yang juga pendukung teori absolut menyatakan
bahwa, ada pokok teoretis yang umumnya dimana ada aturan-aturan moral
tertentu yang dianut secara bersama-sama oleh semua masyarakat karena
aturan itu penting untuk kelestarian masyarakat.Misalnya, aturan melawan
kebohongan dan pembunuhan.Hanyalah dua contoh yang masih berlaku
dalam semua kebudayaan yang tetap hidup, walaupun juga diakui bahwa
dalam setiap aturan umum tentu saja ada pengecualianya.
Konsep tentang hakikat alam semesta dan hakikat manusia serta
poko-pokok pikiran dari berbagai macam teori etika yang berkembang.
Maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Tampaknya sampai saat ini telah muncul beragam paham atau teori
etika dimana masing-masing teori mempunyai pendukung dan
penentang yang cukup berpengaruh.
b. Munculnya beragam teori etika karena adanya perbedaan
paradigma, pola pikir, atau pemahaman tentang hakikat hidup
sebagai manusia.
c. Hampir semua teori etika yang ada didasarkan atas paradigma tidak
utuh tentang hakikat manusia.
d. Dilihat dari semua proses evolusi kesadaran diri, semua teori yang
ada menjelaskan tahapan-tahapan moralitas sejalan dengan
pertumbuhan tingkat kesadaran diri seseorang.
e. Teori-teori yang tampak bagaikan potongan-potongan terpisah
dapat dipadukan.

B. Perkembangan Perilaku Moral


Teori perkembangan moral banyak dibahas dalarn ilmu psikologi.
Salah satu teori yang sangat berpengaruh dikemukakan oleh Kohlbcrg
(dalam Atkinson et.al., I996) dengan mengemukakan tiga tahap
perkembangan moral dihubungkan dengan pertumbuhan (usia) anak.
Masing-masing tahap dibagi lagi ke dalam dua subtahap sehingga secara
keseluruhan ada enam tahap perkembangau. Namun sebelum membahas
lebih lanjut mengenai teori ini, ada baiknya dijelaskan dulu beberapa
konsep yang erat kaitannya dengan pemahaman teori perkembangan moral
Lni. Beberapa konsep yang memerlukan penjelasan, antara lain: perilaku
moral (moral behavior), perilaku tidak bermoraJ (immoral behavior),
perilaku di luar kesadaran moral (unmoral behavior), dan perkembangan
moral (moral development) itu sendiri. Perilaku moral adalah perilaku
yang mengikuti kode moral ketompok masyarakat tertentu. Moral dalam
halini berarti ad:it kebiasaan atau tradisi. Perilaku tidak bermoral berarti
perllaku yang gagal mematuhi harapan kelompok sosial tersebut.
Ketidakpatuhan ini bukan karena ketidakmampuan memahami harapan
keIompok tersebut, tetapi lebih disebablcan oleh ketidaksetujuan terhadap
harapan kelompok sosial tersebut, atau karena kurang merasa wajib untuk
mematuhinya. Perilaku di luar kesadaran moral adalah perilaku yang
menyimpang dari harapan kelompok sosial yang lebih disebabkan oleh
ketidakmampuan yang bersangkutan daJam memahami harapan kelompok
sosial. Kebanyakan perilaku anak balita dapat digolongkan ke dalam
perilaku di luar kesadaran moral (unmoral behavior). Perkembangan moral
(moral development) b:rg,:mtung pada perkembangan intelektual
seseorang. Perkembangan moral ada hubungannya dengan tahap-tahap
perkembangan intelektual ini. TatkaJa kemampuan persepsi atau
kemampuan pemahaman seorang anak meningkat, maka tahap
perkembangan moral anak tersebut juga meningkat. Berdasarkan asumsi
ini, Kohlberg membuat model perkembangan moral sebagaimana
diringkas dalam label 3.1. .
Dengan model ini. Kohlberg sebenarnya ingin menyimpulkan
bahwa ada hubungan antara pertambahan umur dengan tingkat
perkembangan moral seseorang. Pada usia dini. kesadaran moral
seseorang belum berkembang. Setiap tindakannya akan didasarkan atas
kepentingan diri (self-interest, egoisme) sehingga yang dapat mengontrol
atau membatasi tindakannya adalah faktor-faktor eksternal atau kekuatan
dariluar dirinya (external.factors/forces). Makin beriambah usia seseorang
diharapkan makin meningkat pula kesadaran moralnya, artinya
kecenderungan setiap tindalannya akan Jebih banyak dikendalikan oleh
faktor-faktor internal atau prinsip kesadaran etika dari dalam dirinya (self-
control, self consciousness). Kode etik atau prinsip-prinsip etika akan
maldn mudah diimplementasikan dalam suatu masyarakat yang kesadaran
moralnya teJah rnencapai tingkar tinggi (tingkat III).
Dalam praktiknya, model Kohlbcrg tidak selalu menunjukkan
adanya hubungan antara pertambahan usia dengan peningkatan kesadaran
moral. Dewasa ini. banyak fakta baik di Indonesia maupun di belahan
dunia Jain di mana pertambahan usia seseorang tidak serta-mcrta diikuti
oleh pertumbuhan tingkat kesadaran moralnya. Korupsi dan manipulasi
banyak dilakukan uleh golor tua yang secara moral seharusnya sudah
berada pada ungkat III.
Tabel 3.1
Tahap-tahap Perkembangan Moral Anak Menurut Kohlberg
Tingkat (Level) Sublevel Ciri Menonjol
Mematuhi peraturan
1. orientasi pada hukuman untuk menghindari
Tingkat I
hukuman
(Preconventional)
Menyesuaikan diri
Usia < 10 tahun
2. orientasi pada hadiah untuk memperoleh
celaan orang lain
Menyesuaikan diri
3. orientasi anak baik untuk menghindari
celaan orang lain
Mematuhi hukum dan
Tingkat II peraturan sosial untuk
(Conventional) menghindari kecaman
Usia 10-13 tahun dari otoritas dan
4. orientasi otoritas
perasaan bersalah
karena tidak
melakukan tidak
melakukan kewajiban
Tingkat III 5. orientasi kontrak sosial Tindakan yang
(Postconventional) dilaksanakan atas
Usia > 13 tahun dasar prinsip yang
disepakati bersama
masyarakat demi
kehormatan diri
Tindakan yang
didasarkan atas
prinsip etika yang
6. orientasi prinsip etika
diyakini diri sendiri
untuk menghindari
penghukuman

C. Beberapa Teori Etika


Sebelum membahas berbagai teori etika yang ada, terlebih dahulu
perlu dipahami apa yang dimaksud dengan teori dan apa hubungan teori
dengaa ilmu. Suatu pengetahuan tentang suatu objek baru bisa dianggap
sebagai disiplin ilmu bila pengetahuan tersebut telah dilengkapi dengan
seperangkat teori tentang objek yang dikaji. Jadi, teori merupakan tulang
punggung suatu ilmu.
Ilmu pada dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang bersifat
menjelaskan bcrbagai alam (dan sosial) yang memungkinkan manusia
melakukm serangkaian tindakan untuk men gejaIa tersebut berdasarkan
penjelasan yang ada, sedangkan teori adalah pengetahuan ilmiah
mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin
keihnuan (Suri;isun 2000). Fungsi teori dan ilmu pengetahuan adalah
untuk menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol, MisaInya, dalam ilmu
Fisika dikenal teori gravitasi. Teori ini menjelaskan mengapa setiap benda
ka'au dilemparkan ke alas pada akhirnya akan jatuh kembali ke bumi.
Teori ini juga mampu menjelaskani pergerakan planet-planet di alam
semesta yang disebabkan oleh gaya gravitasi. Contoh lain, d'dantg iJmu
ckonomi dikenal teori harga. Teori ini menjelaskan proses terbentuknya
harga barang dan jasa di pasar dalam sistem ekonomi pasar, yaitu melaIui
proses pertemuan kekuatan hukum permintaan (demand) dan hukum
penawaran (supply). Melalui pemahaman tentang teori harga dan sistem
ekonomi pasar, pemerintah dapat memanfaatkan pengetahuan ini untuk
menjelaskan mengapa terjadi kenaikan harga barang, atau meramalkan
apakah akan terjadi kenaikan atau penurunan harga jenis barang tertentu,
atau pemerintah dapat membuat kebijakan/tindakan untuk
mengendalikan/mengontrol harga barang.
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis
tentang adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma perilaku manusia
yang dianggap baik atau tidak baik. Sebagai ilrnu, etika belum semapan
ilmu fisika atau ilmu ekonomi. Dalam etika masih dijumpai banyak teori
yang mencoba untuk menjelaskan suaru tindakan. sifat, atau objek
perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan.
Sebagaimana dikatakan oleh Peschke S V.D. (2003), pelbagai teori etika
muncul antara lain karena adanya perbedaan perspektif dan penafsiran
tentang apa yang menjadi tujuan akhir hidup umat manusia. Di samping
itu, sifat teori dalam ilmu etika masih lebih banyak untuk menjelaskan
sesuatu, belum sampai pada tahap untuk meramalkan, apalagi untuk
mengontrol suatu tindakan atau perilaku.
Banyaknya teori etika yang berkembang tampak cukup
membingungkan. Padahal, sifat teori yang makin sederhana dan makin
mengerucut menuju suatu teori tunggal yang mampu menjelaskan suatu
gejala secara komprehensif, justru makin menunjukkan kemapanan
disiplin ilmu yang bersangkutan. Untuk memperoleh pemahaman tentang
berbagai teori etika yang berkembang, berikut ini diuraikan secara garis
besar beberapa teori yang berpengaruh.

Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan
egoisme, yaitu: egoisme psikologis dan egoisme etis. Kedua konsep ini
tampak mirip karena keduanya menggunakan istilah egoisme, namun
sebenarnya keduanya mempunyai pengertian yang berbeda.
Egoisme psikologis adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa
semua tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri
(selfish). Menurut teori ini, orang boleh saja yakin bahwa ada tindakan
mereka yang bersifat luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan
yang terkesan luhur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut
hanyalah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya peduli pada dirinya
sendiri. Jadi, menurut teori ini, tidak ada tindakan yang sesungguhnya
bersifat altruisme. Altruisme adalah suatu tindakan yang peduli pada orang
lain atau mengutamakan kepentingan orang lain dengan mengorbankan
kepentingan dirinya. Para penganut paham ini, misalnya. meragukan
tindakan lbu Teresa apakah benar-benar bersifat altruisme. Bukankah
tindakan Ibu Teresa sebenarnya dilandasi oleh keinginan masuk surga?
Jadi, keinginan masuk surga ini juga sebenarnya merupakan tindakan
berkutat diri.
Rachels sendiri juga menjelaskan paham egoisme etis yang
pengertiannya sering dikacaukan dengan paham egoisme psikologis.
Egoisme etis adalah tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri
(self-interest). Bila saya belajar sampai larut malam agar bisa lulus ujian,
atau saya bekerja keras agar memperoleh penghasilan yang lebih besar.
atau saya mandi agar badan saya bersih, maka semua tindakan saya ini
dapat dikatakan dilandasi oleh kepentingan diri, namun tidak dapat
dianggap sebagai tindakan berkutat diri. Jadi, yang membedakan tindakan
berkutat diri (egoisme psikologis) dengan tindakan untuk kepentingan diri
(egoisme etis) adalah pada akibatnya terhadap orang lain.
Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau
merugikan kepentingan orang lain, sedangkan tindakan mementingkan
diri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain. Membeli minyak
tanah sebanyak satu liter untuk keperluan memasak adalah tindakan
mementingkan diri. sedangkan membeli minyak tanah sebanyak satu
tangki mobil dengan tujuan bisa dijual kembali dengan keuntungan tinggi
disebut tindakan berkutat diri karena akibat tindakan ini sangat merugikan.
Banyak ibu-ibu rumah tangga yang dirugikan karena sulit memperoleh
minyak tanah, atau kalau pun bisa memperolehnya harus membayar
dengan harga tinggi.
Dengan perbedaan pemahaman seperti di atas, jelas bahwa paham
egoisme psikologis dilandasi oleh ketamakan sehingga tidak dapat
dikatakan tindakan tersebut bersifat etis. Namun, marilah dibahas apakah
egoisme etis dapat dianggap sebagai teori etis? Sebelum menjawab hal ini.
marilah dirangkum terlebih dahulu pokok-pokok pandangan egoisme etis
ini (Rachels. 2004).
a. Egoisme etis tidak mengatakan bahwa orang harus membela
kepentingannya sendiri maupun kepentingan orang lain.
b. Egoisme etis hanya berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah
membela kepentingan diri.
c. Meski egoisme etis berkeyakinan bahwa satu-satunya tugas adalah
membela kepentingan diri, tetapi egoisme etis juga tidak
mengatakan bahwa Anda harus menghindari tindakan menolong
orang lain.
d. Menurut paham egoisme etis, tindakan menolong orang lain
dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri karena
mungkin saja kepentingan orang lain tersebut bertautan dengan
kepentingan diri sehingga dalam menolong orang lain sebenarnya
juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
e. Inti dari paham egorsme etis adalah bahwa kaiau ada tindakan yang
menguntungkan orang lain. maka keuntungan bagi orang lain ini
bukanlah alasan yang membuat tindakan itu benar. Yang membuat
tindakan itu benar adalah kenyataan bahwa tindakan itu
menguntungkan diri sendiri.
Paham/teori egoisme etis ini menimbulkan banyak dukungan
sekaligus kritikan. Alasan yang mendukung teori egoisme etis. antara lain:
a. Argumen bahwa altruisme adalah tindakan menghancurkan diri
sendiri. Tindakan peduli terhadap orang lain merupakan gangguan
ofensif bagi kepentingan sendiri. Selain itu, cinta kasih kepada
orang lain juga akan merendahkan martabat dan kehormatan orang
tersebut.
b. Pandangan tentang kepentingan diri adalah pandangan yang paling sesuai
dengan moralitas akal sehat. Pada akhirnya semua tindakan dapat
dijelaskan dari prinsip fundamental kepentingan diri. Misalnya,
kewajiban untuk tidak berbohong sebenarnya berangkat dari kepentingan
diri. Kalau kita sendiri sering berbohong kepada orang lain, maka orang
lain juga akan berbohong kepada kita yang pada gilirannya tentu
berakibat merugikan diri sendiri.

Alasan yang menentang teori egoisme etis antara lain:


a. Egoisme etis tidak mampu memecahkan konflik-konflik kepentingan.
Kita memerlukan aturan moral karena dalam kenyataannya sering kali
dijumpai kepentingan-kepentingan yang bertabrakan
b. Egoisme etis bersifat sewenang-wenang. Misalnya, dalam suatu keadaan
di mana kepentinganku, agamaku, sukuku, atau negaraku berbeda dengan
kepentingannya, agamanya, sukunya, atau negaranya, maka menurut
paham ini tentu yang diutamakan adalah kepentinganku, agamaku,
sukuku, atau negaraku. Bila hal ini terjadi, apakah tindakan ini dapat
diterima? Egoisme etis dapat dijadikan sebagai pembenaran atas
timbulnya rasisme, seperti yang pernah dilakukan oleh Nazi Hitler dan
politik apartheid yang pernah terjadi di Afrika Selatan.

Utilitarianisme

Utilitarianisme sebagai teori etika dipelopori oleh David Hume


(17I1-1776), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Jeremy Bentham
(1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Bentham sebagai
pendukung utama paham ini mengatakan bahwa moralitas tidak lain
adalah suatu upaya untuk sedapat mungkin memperoleh kebahagiaan di
dunia ini. Ia menolak paham bahwa moralitas berhubungan dengan
tindakan untuk menyenangkan Tuhan, atau soal kesetiaan pada aturan-
aturan abstrak. la mengatakan bahwa setiap kali kita dihadapkan pada
pilihan-pilihan di antara alternatif yang ada, kita harus mengambil satu
pilihan yang mempunyai konsekuensi yang secara menyeluruh paling baik
bagi setiap orang yang terlibat di dalamnya (Rachels, 2004).

Utilitarianisme berasal dari kata Latin utilis, kemudian menjadi


kata Inggris utility yang berarti bermanfaat (Bertens, 2000). Menurut teori
ini, suatu tindakan dapat dikatakan baik jika membawa manfaat bagi
sebanyak mungkin anggota masyarakat, atau dengan istilah yang sangat
terkenal "the greatest happiness of the greatest numbers". Jadi, ukuran baik
tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari
tindakan itu-apakah memberi manfaat atau tidak. Itulah sebabnya, paham
ini disebut juga paham teleologis. Teleologis berasal dari kata Yunani telos
yang berarti tujuan (Bertens, 2000).

Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis


terletak pada siapa yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari
sudut pandang kepentingan individu, sedangkan paham utilitarianisme
melihat dari sudut kepentingan orang banyak (kepentingan bersama,
kepentingan masyarakat).

Dari uraian sebelumnya, paham utilitarianisme dapat diringkas


sebagai berikut:

1) Tindakan harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya


(akibat, tujuan, atau hasilnya).

2) Dalam mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya


parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan atau jumlah
ketidakbahagiaan.

3) Kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.

Teori ini mendapat dukungan luas karena mengaitkan moralitas


dengan kepentingan orang banyak dan kelestarian alam. Teori ini
memperoleh pijakannya dalam ilmu ekonomi dan manajemen dengan
diperkenalkannya konsep cost and benefit dan paham stakeholders. Uraian
mengenai konsep cost and benefit dan paham stakeholders akan diberikan
pada pembahasan bab berikutnya. Walaupun teori utilitarianisme
mendapat dukungan luas, namun tidak urung juga memperoleh kritikan
tajam. Beberapa kritik yang dilontarkan terhadap paham ini antara lain:

1) Sebagaimana paham egoisme, utilitarianisme juga hanya


menekankan tujuan/manfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi
dan mengabaikan aspek rohani (spiritual).

2) Utilitarianisme mengorbankan prinsip keadilan dan hak


individu/minoritas demi keuntungan sebagian besar orang
(mayoritas). Contoh: kasus dalam pembebasan tanah untuk
pembangunan jalan tol. Demi alasan untuk kepentingan sebagian
besar masyarakat, pemerintah atau pengelola jalan tol dapat saja
memberikan ganti rugi paksa (dengan harga di bawah harga pasar)
kepada para pemilik tanah yang terkena jalur jalan tol tersebut.
Demi kepentingan yang lebih besar-sering demi alasan untuk
kepentingan nasional-pemerintah dibenarkan untuk melanggar rasa
keadilan atau mengorbankan hak individu pemilik tanah yang
tanahnya digusur untuk pembangunan jalan tol tersebut. Contoh
serupa, demi kepentingan keamanan nasional, pemerintah
dibenarkan melakukan penembakan misterius terhadap para
penjahat tanpa memberikan kesempatan kepada para penjahat
tersebut membela diri melalui proses peradilan yang transparan dan
adil. Banyak kasus serupa yang dapat dijadikan alasan pembenaran
bagi pejabat/otoritas untuk melakukan tindakan tidak adil atau
tindakan melanggar hak individu/minoritas, asal sebagian besar
orang (mayoritas) memperoleh manfaat.

Deontologi

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti


kewajiban (Bertens, 2000). Paham ini dipelopori oleh Immanuel Kant
(1724-1804) dan kembali mendapat dukungan dari filsuf abad ke-20,
Anscombe dan suaminya, Peter Geach (Rachels, 2004).

Paradigma teori deontologi sangat berbeda dengan paham egoisme


dan utilitarianisme yang sudah dibahas. Kedua teori yang disebut terakhir,
yaitu teori egoisme dan utilitarianisme sama-sama menilai baik buruknya
suatu tindakan dari akibat, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut.
Bila akibat dari suatu tindakan memberikan manfaat entah untuk individu
(egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat
(utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat
suatu tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok
masyarakat, maka tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang
menilai suatu tindakan berdasarkan hasil, konsekuensi, atau tujuan dari
tindakan tersebut disebut teori teleologi.

Sangat berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau


tidaknya suatu tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari
tindakan tersebut, paham deontologijustru mengatakan bahwa etis tidaknya
suatu tindakan tidak ada kaitannya sama sekali dengan tujuan,
konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut. Konsekuensi suatu
tindakan tidak boleh menjadi pertimbangan untuk menilai etis atau
tidaknya suatu tindakan. Suatu perbuatan tidak pernah menjadi baik karena
hasilnya baik. Hasil baik tidak pernah menjadi alasan untuk membenarkan
suatu tindakan, melainkan hanya karena kita wajib melaksanakan tindakan
tersebut demi kewajiban itu sendiri. Contohnya adalah kisah terkenal
Robinhood yang merampok kekayaan orang-orang kaya dan hasilnya
dibagikan kepada rakyat miskin. Tujuan tindakan Robinhood sangat mulia,
yaitu membantu orang miskin. Namun alasan membantu orang miskin ini
tidak serta-merta membenarkan tindakan merampok tersebut.

Untuk memahami lebih lanjut tentang paham deontologi ini,


sebaiknya dipahami terlebih dahulu dua konsep penting yang dikemukakan
oleh Kant, yaitu konsep imperative hypothesis dan imperative categories.
Imperative hypothesis adalah perintah-perintah (ought) yang bersifat
khusus yang harus diikuti jika seseorang mempunyai keinginan yang
relevan. Perhatikan contoh-contoh berikut.

a. Kalau Anda ingin menjadi sarjana akuntansi, Anda harus (ought)


memasuki Fakultas Ekonomi jurusan akuntansi.

b. Kalau Anda ingin menjadi pemain bola yang berhasil, Anda harus
rajin berlatih sepak bola.

c. Kalau Anda ingin berhasil dalam studi, Anda harus rajin belajar,
dan seterusnya.

Dari beberapa contoh di atas, jelas sekali bahwa kekuatan yang


mengikat dari kata harus atau wajib bergantung pada keinginan atau tujuan
yang relevan. Kalau Anda tidak menginginkan hasil dari suatu tindakan,
maka Anda tidak wajib atau tidak harus melaksanakan tindakan tersebut.
Tindakan yang dilandasi oleh perintah-perintah yang bersifat hipotesis ini
banyak sekali dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun tindakan-
tindakan ini tidak serta-merta dapat diartikan sebagai kewajiban moral.

Imperative categories adalah kewajiban moral yang mewajibkan kita


begitu saja tanpa syarat apa pun. Dalam hal ini, kewajiban moral bersifat
mutlak tanpa ada pengecualian apa pun dan tanpa dikaitkan dengan
keinginan atau tujuan apa pun. Bertens (2004) menyebutnya sebagai Du
sollst (engkau harus begitu saja). Peschke S.V.D. (2003) merumuskan
etika Kant sebagai "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip
kehendakmu sekaligus dapat menjadi prinsip pemberian hukum umum."
Ini berarti bahwa pedoman yang mengatur perilaku moral manusia harus
dapat menjadi hukum universal dan bahwa manusia hendaknya berperilaku
sebagaimana la menginginkan orang lain juga berperilaku yang sama.

Kant berpandangan bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan demi


kewajiban itu sendiri, bukan karena keinginan untuk memperoleh tujuan
kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral itu diperintahkan oleh
Tuhan (Allah). Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus berpusat
pada pengertian manusia berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu
sendiri. Dengan kata lain, kewajiban moral mutlak itu bersifat rasional.
Sebagai contoh, tindakan jujur dapat dikategorikan sebagai kewajiban
moral yang bersifat universal, kapan pun dan di mana pun. Alasan
rasionalnya dapat dijelaskan sebagai berikut. Dengan berbagai
keterbatasan (fisik) manusia, maka untuk dapat hidup aman manusia
memerlukan kerja sama dan hubungan dengan manusia lain. Itulah
sebabnya, sejak zaman dahulu manusia selalu ingin hidup berkelompok
sehingga manusia disebut makhluk sosial. Dalam hidup bermasyarakat
diperlukan landasan kepercayaan antara satu dengan lainnya, dan untuk
menanamkan kepercayaan tersebut diperlukan kejujuran dari semua
anggota kelompok. Bila satu anggota kelompok bertindak tidak jujur,
maka jangan diharapkan anggota kelompok lainnya akan bertindak jujur.
Bila tidak ada kejujuran sesama anggota kelompok, jangan harap ada
kepercayaa di antara anggota kelompok tersebut.

Anda mungkin juga menyukai