Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

SALEP MATA

KELOMPOK III
OLEH :

1. Nadiya Mauliduzzahro (AKF20028)


2. Kurniawati Oktaviana (AKF20095)
3. Hendi Prastya (AKF20099)
4. Fahrul Hadi (AKF20100)
5. Siska Shaila Irfania(AKF20110)
6. Divi Danita (AKF20123)
7. Okpia Hendira (AKF20124)

AKADEMI FARMASI PUTRA INDONESIA MALANG


TAHUN AJARAN 2022
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Sakit mata kerap menimbulkan rasa tidak nyaman bagi setiap
penderitanya. Berbagai hal dapat menjadi penyebab sakit mata, mulai dari
infeksi hingga alergi. Dengan mengetahui penyebab sakit mata yang dialami,
penanganan yang tepat pun dapat lebih mudah dilakukan. Hampir semua
orang Indonesia mungkin pernah mengalami sakit mata. Kondisi ini umumnya
ditandai dengan berbagai gejala, seperti mata merah, terasa gatal dan perih,
serta banyak mengeluarkan air mata.
Penyakit - penyakit yang menyerang mata dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan, misalnya penyakit katarak, konjungtivitis, dan pterygium.
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva atau radang selaput
lendir yang menutupi belakang kelopak dan bola mata, dalam bentuk akut
maupun kronis. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh bakteri, klamidia, alergi,
viral toksik, berkaitan dengan penyakit sistemik Peradangan konjungtiva atau
konjungtivitis dapat terjadi pula karena asap, angina dan sinar (Ilyas, 2014).
Konjungtivitis juga diestimasi sebagai salah satu penyakit mata yang
paling umum di Nigeria bagian timur, dengan insidensi 32,9% dari 949
kunjungan di departemen mata Aba Metropolis, Nigeria, pada tahun 2004
hingga 2006 (Amadi, 2009). PadaNkonjungtivitis bakteri, patogen yang umum
adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenzae, Staphylococcus
aureus, dan Neisseria meningitidis (Marlin, 2009).
Salah satu pemberian dan opsi dari diagnosa ini adalah pemberian
antibiotik topikal berbentuk salep mata. Antibiotik ini adalah
Chloramphenicol. Chloramphenicol atau kloramfenikol adalah obat antibiotik
untuk mengatasi beragam infeksi bakteri serius, terutama saat penyakit infeksi
tidak membaik dengan obat lain. Obat ini tersedia dalam bentuk tetes (mata
dan telinga), salep mata, tablet, kapsul, sirop, serta suntik.
Pemilihan salah satu antibiotik golongan bakterisidal ini karena memiliki
cara kerja dengan menghambat pertumbuhan ataupun membunuh bakteri
tersebut. Menghambat pertumbuhan bakteri di sini adalah dengan langsung
menuju fungsi biologis dari bakteri tersebut. Sehingga tidak bisa berkembang-
biak lagi. Chloramphenicol adalah antibiotik dengan spektrum kinerja yang
luas, artinya dapat digunakan untuk melawan infeksi dari berbagai jenis
bakteri sekaligus.
Salep mata adalah salep yang digunakan pada mata. Pada pembuatan
salep mata harus diberikan perhatian khusus. Sediaan dibuat dari bahan yang
sudah disterilkan dengan perlakuan aseptik yang ketat serta memenuhi syarat
uji sterilitas (Anonim, 1995, hal: 12). Salep adalah sediaan setengah padat
yang mudah dioleskan dan digunakan sebagai obat luar. Bahan obatnya harus
larut atau terdispersi homogen dalam dasar salep yang cocok (Anief,
2000). Obat biasanya dipakai untuk mata untuk maksud efek lokal pada
pengobatan bagian permukaan mata atau pada bagian dalamnya.
Kami sebagai kelompok 3 teknologi sediaan steril tergerak untuk
membuat dan melakukan formulasi sediaan salep mata. Pada semester
sebelumnya, kami telah familiar dengan teknik sediaan semisolid. Oleh karena
itu peningkatan mutu dari kompetensi kami akan diasah dan dikembangkan
dengan pembuatan sediaan ini. Perlakuan pembuatan salep mata ini harus
memperhatikan teknik aseptis dan memenuhi uji sterilitas dalam setiap
tindakan praformulasi, formulasi dan produksi. Beberapa alasan lain ialah
adalah karena salep mata memiliki beberapa keunggulan dalam bentuk fisik,
visual, dan efek farmakologinya. Beberapa keunggulan salep mata ialah tidak
menimbulkan rasa menyengat saat diaplikasikan pada mata, memiliki
bioavailabilitas okular yang baik, memfasilitasi pelepasan obat lebih lama, dan
durasi kontak dengan permukaan mata yang lebih panjang.

1.2 Tujuan
1. Mampu melakukan formulasi sediaan steril salep mata secara baik dan
benar.
2. Mampu memahami wawasan tentang zat aktif bahan.
3. Mampu memahami tinjauan penyakit dari zat aktif.
4. Mampu melakukan praformulasi sediaan steril salep mata.
5. Mampu melakukan standart evaluasi sediaan steril salep mata.
1.3 Manfaat

1. Menambah profesionalitas dan kompetensi mahasiswa ketika terjun


langsung di lapangan karena penguasaan materi dan praktek yang
mumpuni dalam sterilisasi.
2. Meningkatkan pengalaman masa praktek mahasiswa sebagai bentuk
penguasaan teori dan praktek yang mumpuni.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Penyakit


2.1.1 Penyebab
Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan
dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan
melekat erat ke tarsus. Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening
yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata.
Peradangan tersebut menyebabkan berbagai macam gejala, salah satunya
yaitu mata merah. Setiap peradangan pada konjungtiva dapat menyebabkan
melebarnya pembuluh darah sehingga menyebabkan mata terlihat merah.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, seperti:
a. Infeksi oleh virus, bakteri, atau clamidia.
b. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang.
c. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya; sinar
ultraviolet.
d. Pemakaian lensa kontak, terutama dalam jangka panjang,

juga bisa menyebabkan konjungtivitis. Konjungtivitis yang disebabkan oleh


mikroorganisme (terutama virus dan kuman atau campuruan keduanya)
ditularkan melalui kontak dan udara. Dalam waktu 12 sampai 48 jam setelah
infeksi mulai, mata menjadi merah dan nyeri.

2.1.2 Gejala dan akibat


Berikut adalah gejala dan akibat dari penyakit konjutivitis yang terjadi
pada mata :
A. Mata merah
Salah satu ciri dan gejala konjungtivitis yang  utama adalah mata
merah bila mengalami masalah peradangan ini, bagian putih mata
akan terlihat berwarna merah atau merah muda. Karena
menimbulkan kemerahan di mata, konjungtivitis seringkali disebut
sebagai mata merah atau red eye.
B. Bengkak di mata
Karena mengalami peradangan, mata penderita konjungtivitis akan
menunjukkan gejala berupa pembengkakan. Secara spesifik,
pembengkakan tersebut terjadi di lapisan tipis yang disebut
konjungtiva.Pembengkakan akibat konjungtivitis juga dapat terlihat
di kelopak mata.
C. Peningkatan produksi air mata
Gejala konjungtivitis lainnya yaitu peningkatan produksi air mata.
Mata yang mengalami iritasi biasanya akan menghasilkan air mata
lebih banyak sebagai usaha untuk mengeluarkan iritan.
D. Keluarnya cairan dari mata dan belekan
menunjukkan gejala berupa keluarnya cairan, termasuk nanah.
Jenis konjungtivitis yang menimbulkan gejala ini yaitu
konjungtivitis akibat Selain peningkatan produksi air mata, pasien
yang mengalami konjungtivitis juga infeksi bakteri.
E. Sensasi mengganjal di mata
Gejala konjungtivitis lain yang bisa dialami pasien adalah sensasi
mengganjal atau sensasi ada benda asing di dalam mata.
Mengalami sensasi tersebut biasanya juga membuat pasien ingin
terus menggosok mata yang terkena konjungtivitis.
F. Gatal dan perih
Mata yang bermasalah, entah itu terkena infeksi, iritasi, atau alergi
yang menimbulkan konjungtivitis, dapat memicu gejala berupa
sensasi perih di mata. Penderitanya juga akan merasakan gatal pada
mata yang terserang konjungtivitis.
G. Sulit membuka mata di pagi hari
Belekan di mata akibat cairan yang mengeras saat mengalami
konjungtivitis dapat membuat pasien kesulitan membuka mata di
pagi hari.
2.2 Tinjauan Zat Aktif
2.2.1 Definisi Chloramphenicol

Struktur kimia Chloramphenicol

a. Nama kimia : D-treo-(-)-2,2-Dikloro-N-[β-hidroksi-α-


(hidrosimetil)-p-nitrofenetil]asetamida [56-75-7]
b. Rumus molekul : C11 H12 Cl 2N2 O5
c. Berat molekul : 323,13
Chloramphenicol merupakan antibiotik yang dihasilkan oleh
Streptomyces venezuelae yang memiliki aktivitas antimikroba
berspektrum luas (Gilman, 2008). Chloramphenicol termasuk ke dalam
golongan antibiotik bakterisidal (bekerja dengan membunuh bakteri).
Selain pengertian itu, Chloramphenicol juga disebut dengan suatu
zat anti bakteri spektrum luas semi sintetik dengan aktivitas primer
sebagai bakteriostatik. Chloramphenicol dapat digunakan dalam
tatalaksana meningitis, abses otak, gastroenteritis berat, konjungtivitis,
dan otitis eksterna.
Chloramphenicol memiliki aktivitas antimikrobial yang tinggi
terhadap bakteri gram negatif, gram positif, Rickettsia, Chlamydia,
dan Mycoplasma. Obat ini dilaporkan efektif terutama pada
infeksi Salmonella typhi dan Haemophilus influenzae.
Chloramphenicol berdifusi ke dalam dinding sel bakteri dan secara
reversibel berikatan dengan subunit ribosom 50S bakteri. Ikatan ini
mengganggu aktivitas peptidyl transferase, sehingga mencegah transfer
asam amino ke rantai peptida. Efeknya, sintesis protein bakteri
terhambat dan proliferasi tidak terjadi.
2.2.2 Indikasi dan Dosis
A. Indikasi kloramfenikol
Sebagai antibiotik alternative pada infeksi berat yang
mikroorganisme penyebabnya. Mengatasi masalah mata seperti
trachoma, keratitis (peradangan selaput kornea mata), konjungtivitas
(peradangan selaput ikat mata), dakriosistitis (peradangan kantung
air mata) dan uveitis (peradangan lapisan mata yang terdiri dari iris,
badan ciliaris dan koroid).
B. Dosis Chloramphenicol
Dosis chloramphenicol akan disesuaikan dengan kondisi pasien.
Berikut adalah dosis umum penggunaan chloramphenicol sesuai
bentuk sediaannya:
a. Chloramphenicol tetes
1. Dosis tetes mata: 1 tetes setiap 2 jam, selama 2 hari
pertama. Setelah itu, kurangi dosis menjadi 1 tetes, 3-4 kali
per hari, selama 3 hari.
2. Dosis tetes telinga: 3-4 tetes, setiap 6-8 jam, selama 1
minggu.
b. Chloramphenicol salep
1. Dosis pada sediaan topikal kulit : Sekali oles sebanyak 4-5
kali sehari hingga infeksi sembuh, atau sesuai anjuran
dokter. Jangan menggunakan obat lebih dari 1 minggu,
kecuali atas saran dokter.
2. Dosis pada sediaan steril salep mata : dioles tipis-tipis ke
area mata yang sakit setiap 3-4 jam atau lebih sering sesuai
kebutuhan. Durasi pengobatan 5 hari.
c. Chloramphenicol oral (tablet, kapsul, sirop)
1. Dewasa: 50 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis. Pada
infeksi berat, dosis dapat dinaikkan hingga 100 mg/kgBB
per hari.
2. Anak-anak: 25-50 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis.
Pada infeksi berat, dosis dapat dinaikkan hingga 100 mg/kg
per hari.
d. Dosis chloramphenicol suntik akan disesuaikan kondisi pasien.
Chloramphenicol suntik hanya boleh diberikan oleh dokter atau
oleh perawat di bawah pengawasan dokter.
2.2.3 Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja Chloramphenicol termasuk kedalam golongan


antibiotik bakterisidal (bekerja dengan membunuh bakteri).
Chloramphenicol adalah antibiotik dengan spektrum kinerja yang luas,
artinya dapat digunakan untuk melawan infeksi dari berbagai jenis
bakteri sekaligus.

Chloramphenicol menghambat sintesis protein bakteri dengan


mengikat secara terbalik ke subunit 50S ribosom sehingga menghambat
pembentukan ikatan peptida. Chloramphenikol merupakan antibiotik
broad-spectrum yang berkhasiat bakteriostatik terhadap gram positif
aerob maupun anaerob dan bakteri gram negatif. Chloramphenicol
dapat bersifat bakterisid terhadap H. influenza, Neisseria meningitides,
dan beberapa jenis Bacteroides.

2.2.4 Efek Samping


Efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat adalah
perih dan iritasi sementara (oftalmik), neuritis optic (penggunaan lama).
Berikut beberapa efek lain ynag ditimbulkan dari Chloramphenicol :
a. Pusing
b. Sakit kepala
c. Mual atau muntah
d. Diare
e. Kebingungan atau linglung
f. Sariawan
g. Sensasi tersengat pada mata atau telinga
h. Pandangan kabur
Efek samping chloramphenicol di atas bersifat ringan dan hanya
terjadi sebentar setelah menggunakan obat. Jika efek samping tersebut
terasa lebih berat atau tidak kunjung hilang, segeralah periksakan ke
dokter. Pengguna juga dianjurkan untuk segera ke dokter jika
mengalami reaksi alergi obat atau efek samping yang serius, seperti:
a. Mudah memar
b. Mudah terkena infeksi
c. Merasa sangat lemas atau lelah
d. Sulit bernapas
Penggunaan chloramphenicol dalam jangka waktu yang lama juga bisa
menyebabkan anemia aplastik. Oleh karena itu, harus dilakukan
pemeriksaan rutin sesuai anjuran dokter.
2.3 Tinjauan Sediaan Salep Mata
2.3.1 Definisi Sediaan Salep Mata

Salep mata adalah salep yang digunakan pada mata.(menurut


farmakope edisi IV hal. 12) sedangkan menurut BP 1993, salep mata
adalah sediaan semisolida steril yang mempunyai penampilan
homogen dan ditujukan untuk pengobatan konjungtiva. Basis yang
umum digunakan adalah lanolin, vaselin, dan parafin liquidum serta
dapat mengandung bahan pembantu yang cocok seperti antioksidan,
zat penstabil, dan pengawet. Dasar salep harus mempunyai titik
lebur/titik leleh mendekati suhu tubuh (Ansel, 2008). Salep mata
digunakan untuk tujuan terapeutik dan diagnostik, dapat mengandung
satu atau lebih zat aktif (kortikosteroid, antimikroba (antibakteri dan
antivirus), antiinflamasi nonsteroid dan midriatik) yang terlarut atau
terdispersi dalam basis yang sesuai (Voight, 1994).

2.3.2 Persyaratan Sediaan Salep Mata


Persyaratan dalam pembuatan atau formulasi salep mata sebagai
berikut:
a. Salep mata dibuat dari bahan yang disterilkan dibawah kondisi
yang benar-benar aseptik dan memenuhi persyaratan dari tes
sterilisasi resmi.
b. Sterilisasi terminal dari salep akhir dalam tube disempurnakan
dengan menggunakan dosis yang sesuai dengan radiasi gamma.
c. Salep mata harus mengandung bahan yang sesuai atau campuran
bahan untuk mencegah pertumbuhan atau menghancurkan
mikroorganisme yang berbahaya ketika wadah terbuka selama
penggunaan. Bahan antimikroba yang biasa digunakan adalah
klorbutanol, paraben atau merkuriorganic
d. Salep akhir harus bebas dari partikel besar.
e. Basis yang digunakan tidak mengiritasi mata,membiarkan difusi
obat melalui pencucian sekresi mata dan mempertahankan
aktivitas obat pada jangka waktu tertentu pada kondisi
penyimpanan yang sesuai.
f. Sterilitas merupakan syarat yang paling penting,tidak layak
membuat sediaan larutan mata yang mengandung banyak
mikroorganisme yang paling berbahaya adalah Pseudomonas
aeruginosa. Infeksi mata dari organisme ini dapat menyebabkan
kebutaan, bahaya yang paling utama adalah memasukkan produk
nonsteril kemata saat kornea digosok. Bahan partikulat yang
dapat mengiritasi mata menghasilkan ketidaknyamanan pada
pasien.
g. Salep mata harus memenuhi syarat kebocoran dan partikel logam
pada uji salep mata.
h. Wadah untuk salep mata harus dalam keadaan steril pada waktu
pengisian dan penutupan, harus tertutup rapat dan disegel untuk
menjamin sterilitas pada pemakaian pertama.
2.3.3 Keunggulan dan Kelemahan Salep Mata
A. Keunggulan salep mata (Remington, 1965) adalah :
a. Dapat memberikan bioavailabilitas lebih besar daripada
sediaan larutan dalam air yang ekuivalen.
b. Onset dan waktu puncak absorbsi lebih lama.
c. Waktu kontak yang lebih lama sehingga jumlah obat yang
diabsorbsi lebih tinggi.
B. Kelemahan salep mata (Remington, 1965) adalah :
a. Dapat mengganggu penglihatan, kecuali jika akan digunakan
saat akan tidur
b. Dari tempat kerjanya yaitu berkerja pada kelopak mata,
kelenjar sebasea, konjungtiva, korne dan iris
2.4 Penggolongan Salep
A. Menurut Konsistensinya salep dapat dibagi:
a. Unguenta adalah salep yang mempunyai konsistensinya seperti
mentega, tidak mencair pada suhu biasa, tetapi mudah
dioleskan tanpa memakai tenaga.
b. Cream (krim) adalah salep yang banyak mengandung air,
mudah diserap kulit, suatu tipe yang dapat dicuci dengan air.
c. Pasta adalah salep yang mengandung lebih dari 50% zat padat
(serbuk), suatu salep tebal karena merupakan penutup atau
pelindung bagian kulit yang diolesi.
d. Cerata adalah salep lemak yang mengandung presentase lilin
(wax) yang tinggi sehingga konsistensinya lebih keras
(ceratum labiale).
e. Gelones/spumae/jelly adalah salep yang lebih halus, umumnya
cair dan sedikit mengandung atau tanpa mukosa, sebagai
pelicin atau basis, biasanya terdiri atas campuran sederhana
dari minyak dan lemak dengan titik lebur rendah.
B. Menurut sifat farmakologi/terapeutik dan penetrasinya, salep
dapat dibagi:
a. Salep epidermis digunakan untuk melindungi kulit dan
menghasilkan efek lokal, tidak diabsorpsi, kadang-kadang
ditambahkan antiseptik anstrigensia untuk meredakan
rangsangan atau anasteti lokal. Dasar salep yang baik adalah
dasar salep senyawa hidrokarbon.
b. Salep endodermis adalah salep yang bahan obatnya menembus
ke dalam kulit, tetapi tidak melalui kulit, terabsorpsi sebagian,
digunakan untuk melunakkan kulit atau selaput lendir. Dasar
salep yang terbaik adalah minyak lemak.
c. Salep diadermis adalah salep yang bahan obatnya menembus
ke dalam tubuh melalui kulit dan mencapai efek yang
diinginkan, misalnya salep yang mengandung senyawa
merkuri iodida, beladona.
C. Menurut dasar salepnya. Salep dapat dibagi:
1. Salep hidrofobik yaitu salep yang tidak suka air atau salep
dengan dasar salep berlemak (greasy bases) tidak dapat dicuci
dengan air misalnya campuran lemak-lemak dan minyak
lemak.
2. Salep hidrofilik yaitu salep yang suka air atau kuat menarik air,
biasanya dasar tipe M/A (Syamsuni, 2006).
2.5 Praformulasi
2.5.1 Monografi
A. Chloramphenikol ( Martindale edisi 30 hal. 142, FI edisi III hal.
143 )
a. Warna : Putih sampai putih kelabu / putih
kekuningan
b. Bau : Tidak berbau
c. Rasa : Sangat Pahit
d. Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum , atau
lempeng memanjang.
e. Kelarutan : Larut dalam lebih kurang 400
bagian air, dalam 2,5 bagian etanol 95 % P dan dalam 7 bagian
propilen glikol P , sukar larut dalam kloroform P , dan dalam
eter P.
f. Titik lebur/titik leleh : Antara 149 dan 1530C
g. pH larutan : Antara 4,5 dan 7,5
h. Stabilitas : Salah satu antibiotik yang secara
kimiawi diketahui paling stabil dalam segala pemakaian.
Stabilitas baik pada suhu kamar dan kisaran pH 2-7, suhu 25
0C dan pH mempunyai waktu paruh hampir 3 tahun. Sangat
tidak stabil dalam suasana basa. Kloramfenikol dalam media
air adalah pemecahan hidrofilik pada lingkungan amida. Stabil
dalam basis minyak dalam air, basis adeps lanae.
i. Inkompatibilitas : Endapan segera terbentuk bila
kloramfenikol 500mg dan eritromisin 250 mg atau tetrasiklin
Hcl 500 mg dan dicampurkan dalam 1liter larutan dekstrosa
5%.
j. Khasiat : Antibiotikum
B. Klorobutanol ( Handbook Pharmaceutical and exipients edisi 6 hal.
166 )
a. Warna : Putih
b. Bau : Tidak berbau
c. Rasa : Tidak berasa
d. Pemerian : Serbuk hablur putih,mudah
menyublim .Melebur pada suhu lebih kurang78 0C. Lakukan
penetepan tanpa dikeringkan terlebih dahulu.
e. Kelarutan : Sukar larut dalam air,mudah larut
dalam 0,6 bagian etanol dan dalam eter, sangat mudah larut
dalam kloroform, larut dalam 85%.
f. Titik lebur/titik leleh : 95-970C
g. Berat jenis : 0,811-0,830 g/cm3
h. Stabilitas : Klorobutanol mudah menguap dan
menyublim. Stabil pada pH 3 tetapi menjadi buruk pada
peningkatan pH.
i. Inkompatibilitas : Inkompatibel dengan vial lastik,
bentonit, magnesium trisilikat,polietilen dan polihidrok
dietilmetakrilat.
j. Kegunaan : Sebagai pengawet
antimikroba( antibakteri dan antijamur) ,plasticzer
C. Alfa Tokoferol ( Farmakope edisi III hal. 610 )
a. Rumus molekul : C29H50O2
b. Berat molekul : 430.7
c. Pemerian : Jernih, kuning, kuning kehijauan,
tidak berbau, minyak kental.
d. Stabilitas : Tidak stabil pada udara dan cahaya,
khususnya media basa.
e. Kelarutan : Tidak larut dalam air; larut dalam
alkohol; larut dengan aseton, dengan kloroform, dengan eter,
dan dengan minyak nabati.
f. Penyimpanan : Simpan di bawah gas inert dalam
wadah kedap udara, terlindung dari cahaya.
g. Khasiat : Vitamin dan antioksidan
D. Parrafin liquid ( FI edisi III hal. 475, Fi edisi III hal 652 )
a. Warna : Tidak berwarna atau putih
b. Bau : Tidak berbau
c. Rasa : Tidak berasa
d. Pemerian : Hablur tembus cahaya, atau sedikit
buram,agak berminyak
e. Kelarutan : Tidak larut dalam air dan dalam
etanol, mudah larut dalam kloroform, dalam eter, dalam
minyak menguap, dalam hampir semua jenis minyak lemak
hangat, sukar larut dalam etanol mutlak.
f. Kegunaan : Emolien
g. Konsentrasi penggunaan : 3-60%(Opthalmic oinments)
E. Vaselin Flavum ( FI edisi IV hal. 823 )
a. Warna : Kuning
b. Bau : Tidak berbau
c. Rasa : Tidak berasa
d. Pemerian : Masa seperti lemak ,amber lemah
e. Kelarutan :Tidak larut dalam air, mudah larut
dalam benzena, dalam karbon disulfida, dalam kloroform dan
dalam miny terpentin; larut dalam eter, dalam heksana, dan
umumnya dalam minyak lemak dan minyak atsiri; praktis tidak
larut dalam etanol dingin dan etanol panas dan dalam etanol
mutlak dingin.
f. Berat jenis : 0.815-0.880g/cm3
g. Titik lebur /titik leleh : 36-600C
h. Stabilitas :Vaselin Kuning adalah bagian stabil
dari komponen hidrokarbon alam non-reaktif, banyak masalah
stabilitas terjadi karena adanya sejumlah kecil kontaminan.
Vaselin dapat disterilisasi menggunakan panas. Walaupun
Vaselin Kuning dapat disterilisasi dengan radiasi sinar gamma,
proses ini berpengaruh kepada fisik vaselin Kuning seperti
swelling, perubahan warna, bau, dan sifat rheologi.
i. Inkompatibilitas : Merupakan material inert terhadap
beberapa inkompatibilitas
j. Kegunaan : Sebagai basis salep,emolien
2.5.2 Alasan pemilihan bahan
A. Chloramphenicol
Sebagai zat aktif antibiotik yang digunakan sebagai
alternative pada infeksi berat yang mikroorganisme penyebabnya.
Mengatasi masalah mata seperti trachoma, keratitis (peradangan
selaput kornea mata), konjungtivitas (peradangan selaput ikat
mata), dakriosistitis (peradangan kantung air mata) dan uveitis
(peradangan lapisan mata yang terdiri dari iris, badan ciliaris dan
koroid).
D. Klorobutanol
Klorobutanol Pengawet pertama yang direkomendasikan
untuk digunakan dalam sediaan optalmik sebagai pengawet
antimikroba pada konsentrasi di atas 0,5% b/v. Umumnya
digunakan sebagai antibakteri untuk preparasi optalmik yang
dirancang untuk pengobatan miosis, terutama digunakan dalam
formulasi non-cair. Klorobutanol memiliki kedua sifat antifungi
dan antibakteri. Ia efektif terhadap bakteri gram Positif dan
Negatif dan beberapa fungi seperti Candida albicans,
Pseudomonas aeruginosa, dan Staphylococcus.
Sebuah pengawet dalam sediaan optalmik harus
mempunyai kualitas iritasi dengan tingkatan rendah secara
ekstrim, yang mana ini merupakan karakteristik dari
klorobutanol, yang seringkali digunakan dalam sediaan optalmik.
Konsentrasi dalam formula adalah >0.5%.
E. Alfa Tokoferol
Sebagai antioksidan yang kuat. Alfa tokoferol mencegah
penyebaran radikal bebas pada membran dan plasma lipoprotein.
Alfa tokoferol juga berperan dalam penguatan sistem kekebalan
tubuh dengan menstabilisasi membran sel dan menjaga jaringan
(seperti mata, kulit, dan hati). Alfa tokoferol adalah senyawa yang
sangat lipofilik, dan merupakan pelarut yang sangat baik untuk
banyak obat yang sukar larut. Dengan rentang konsentrasi
yang digunakana adalah 0,001% -0,05%. Digunakan antioksidan
pda sediaan yang mengadung lanolin yang dapat
terdekomposisi selama penyimpanan. Konsentrasi sediaan dalam
formula adalah rentang 0.001 - 0.05%
F. Parrafin liquid
Parafin cair digunakan terutama sebagai bahan
tambahan dalam formulasi sediaan topikal dimana digunakan
dalam basis salep, juga digunakan dalam formulasi optalmik.
Merupakan basis hidrokarbon yang secara luas digunakan dalam
salep mata dan secara umum tersusun dari campuran parafin,
yang mana berhubungan dengan potensi yang lebih rendah
untuk iritasi okular. Bahan ini biasanya terdiri atas parafin lunak
atau campuran dengan parafin keras, mencegah kehilangan
kelembaban dan memperbaiki hidrasi dalam kondisi bersisik
kering. Konsentrasi dalam sediaan formula ialah ≤ 15 %.
G. Vaselin Flavum
Dipilih basis dasar hidrokarbon seperti Vaselin Flavum
( Vaselin kuning) . Selain itu karena Vaselin merupakan basis salep
yang paling banyak digunakan dalam pembuatan salep mata.
Pemilihan basis Vaselin Flavum karena Vaselin ini tidak
mengalami proses pemutihan ( bleaching ) yang dikhawatirkan
masih mengandung spora bahan pemutih yang tertinggal dalam
masa Vaselin tersebut. Vaselin yang digunakan harus mengandung
pengotor seminimal mungkin. Dengan demikian kemungkinan
teroksidasinya senyawa ini menjadi lebih kecil.Oleh karena itu
tidak diperlukan penambahan antioksidan.
H. Lanolin
Lanolin merupakan bahan non toksik dan non iritasi. Dapat
dipergunakan dalam sediaan topikal dan kosmetik, juga dapat
digunakan sebagai pembawa hidrofobik untuk sediaan krim atau
salep minyak dalam air. Sebagai bahan dasar salep yang berair,
sehinga dapat memberikan hasil yang meningkatkan absorbsi
dari bahan aktif dan menjaga keseragaman konsistensi dari sediaan
salep pada suhu yang berbeda beda.
2.6 Produksi
A. White Area
Area ini disebut juga area kelas C, B dan A (dibawah LAF).
Ruangan yang masuk dalam area ini adalah ruangan yang digunakan
untuk penimbangan bahan baku produksi steril, ruang mixing untuk
produksi steril , background ruang filling , laboratorium mikrobiologi
(ruang uji sterilitas). Setiap karyawan yang akan memasuki area ini
wajib mengenakan pakaian antistatik (pakaian dan sepatu yang tidak
melepas partikel). Antara grey area dan white area dipisahkan oleh
ruang ganti pakaian white dan airlock.
B. Syarat personil
Berbeda dengan grey area, white area digunakan untuk
menyiapkan sediaan obat awal hingga dikemas dalam kemasan primer,
dengan demikian memiliki tingkat kebersihan yang lebih tinggi. Dalam
ruangan tersebut harus memakai baju APD yang benar dengan bagian
ujung celana diselipkan ke penutup kaki, begitu juga ujung lengan agar
diselipkan ke dalam sarung tangan. Kemudian, pakaian yang digunakan
harus teruji untuk menahan pertikel dari tubuh agar tidak keluar, serta
partikel dari luar agar tidak mengenai tubuh. Untuk perlindungan yang
lebih baik, beberapa prosedur memerlukan pelindung mata (safety
google). Kelengkapan baju kerja (baju steril lengkap) dengan mentaai
instruksi instruksi penggunaan baju kerja steril di area ini. Setelah
proses penggunaan baju kerja steril beserta apd lain. Penggunaan
sarung tangan (gloves) merupakan hal yang penting. Hal ini karena
tangan kita merupakan bagian yang paling banyak kontak dengan
sediaan. Dengan demikian penting untuk memahami teknik memakai
sarung tangan yang benar.
C. Metode
Peraturan – peraturan yang harus diperhatikan dalam pembuatan salep
mata :
a. Dapat digunakan basis salep hidrokarbon seperti kombinasi adeps
lanae dan parrafin liquid.
b. Jangan menggunakan Vaseline Album.
c. Basis emulsi kurang cocok.
d. Perhatikan pengaruh jenis dan jumlah basis terhadap viskositas
hasil.
e. Proses formulasi pembuatan harus secara aseptis di ruang steril
( Perhatikan stabilitas bahan – bahan komposisi sediaan karena
mempengaruhi proses sterilisasi dengan proses pemanasan ).
f. Alat – alat yang di gunakan harus steril.
g. Perhatikan ukuran partikel untuk pemastian sediaan sesuai dengan
salep mata.
2.7 Evaluasi Sediaan Salep Mata
A. Uji homogenitas
Oleskan sediaan pada kaca objek tipis-tipis, dan amati homogenitas
sediaan. Untuk mendapatkan permukaan sediaan yang homogen,
dilakukan dengan menggeserkan sejumlah sediaan dari ujung kaca
objek dengan bantuan batang pengaduk sampai kaca objek yang lain.
Standart :

B. Uji pH
Penetapan pH dilakukan dengan menggunakan pH meter atau kertas
indikator universal. Sebelum diuji ,salep terlebih dahulu dilarutkan
untuk mempermudah penetapan pH sediaan.
Standart :

C. Uji Bobot Minimum


Salep yang dimasukan kedalam tube salep dikeluarkan lalu ditimbang
bobotnya sesuai tidak dengan yang tertera pada etiket.
Standart :

D. Uji Daya Sebar


Pengujian daya sebar dilakukan untuk mengetahui kemampuan
kecepatan penyebaran krim pada kulit saat dioleskan pada kulit. Adanya
variasi konsentrasi trietanolamin dan asam stearat mempengaruhi daya
sebar dari sediaan krim yang dihasilkan.
Standart :

E. Uji viskositas
Data viskositas adalah uji untuk mengetahui kekentalan dari sediaan
salep mata. Dari standartyang ada ditunjukkan bahwa perbedaan tipe
basis menyebabkan perbedaan nilai viskositas, salep basis hidrokarbon
diperoleh nilai viskositas 140-147 posie, sedangkan pada salep basis
serap diperoleh nilai viskositas 117- 120 poise.
Standart :
BAB III
FORMULASI

3.1 Formula

Komposisi basis
Parrafin liquid 10 %
Lanolin 10 %
Vaseline Flavum 80 %

Kloramfenikol 1%
Klorbutanol 0.5 %
Alfa Tokoferol 0.05 %
Basis ad 20 g

3.2 Alat dan bahan

No. Alat Bahan

1 Mortir Adeps lanae

2 pipet Alfa tokoferol

3 Sendok tanduk aquadest

4 Spatel Etanol 95%

5 Stamper Karbutanol

6 Sudip Kloramfeikol

7 Timbangan dan anak timbangan Parafin cair

8 Autoklaf Vaselin flavum

9 Beaker glass

10 Cawan penguap
11 Kain batis

12 Kertas perkamen

13 LAF

3.3 Perhitungan Bahan


Chloramphenikol = 1/100 x 20 gram = 0,2 gram
Karbutanol = 0,5/100 x 20 gram = 0,1 gram
Alfa tokoferol = 0,05/100 x 20 gram = 0,01 gram
Basis = 20 gram – ( 0,2 gram + 0,1 gram + 0,01 gram )
= 20 gram – 0,31 gram
= 19,69 gram
Perhitungan Basis
Parafin cair = 10/100 x 19,69 gram = 1,969 gram
Lanolin = 10/100 x 19,69 gram = 1,969 gram
Terdiri dari 75% adeps lanae dan 25% aquadest
Adeps lanae = 75/100 x 1,969 gram = 1,477 gram
Aqua = 25/100 x 1,969 g = 0,492 g = 0,492 mL
Vaselin Flavum = 80/100 x 19,69 gram = 15,752 gram

3.4 Prosedur kerja


3.3.1 Prosedur Sterilisasi
A. Disiapkan alat dan bahan, sterilkan sesuai metode masing-
masing
B. Dicuci alat gelas dengan deterjen lalu dibebas-alkalikan
dengan cara direndam dalam HCl 0,1 N panas selama 30
menit lalu dibilas dengan air suling, dinginkan lalu
disterilkan dengan autoklaf.
C. Alat karet dibersihkan dan direbus di dalam baskom berisi
air selama 15 – 30 menit. Setelah selesai dinginkan, lalu
dibilas dengan air suling steril dan disterilkan dalam
autoklaf.
D. Masing-masing basis secukupnya disterilkan dalam oven
suhu 100oC selama 1 jam dengan filtrasi. Ruangan
disterilkan dengan menyemprot alkohol 70%. Seluruh
pekerjaan dilakukan secara aseptik.
E. Salep kemudian dimasukkan ke dalam tube yang telah
disterilkan.
F. Diberi etiket dan dimasukkan dalam wadah.
3.3.2 Prosedur Sterilisasi Produk jadi
A. Diambil dan disiapkan alat dan bahan.
B. Diambil dan ditimbang Vaselin kuning sebanyak 15,752
gram.
C. Diambil dan ditimbang alfa tokoferol sebanyak 0,01 gram.
D. Diambil dan ditimbang Chloramfenikol sebanyak 0,2 gram.
E. Diambil dan ditimbang karbutanol sebanyak 0,1 gram.
F. Diambil dan ditimbang basis salep sebanyak total 19,87
gram.
G. Diambil dan ditimbang Parafin cair sebanyak 1,969 gram.
H. Diambil dan ditimbang adeps lanae sebanyak 1,477 gram
masukan mortir + aquadest 0,492 ml gerus ad homogen.
Kemudian lanolin telah jadi dengan bobot sebanyak 1,969
gram.
I. Disiapkan cawan penguap, diletakkan kain wol diatas
cawan penguap dengan menutupi mulut cawan penguap
sebagai penadah uap air.
J. Dimasukkan vaselin flavum + lanolin + paraffin liquid ke
dalam cawan.
K. Dimasukkan ke dalam autoklaf suhu 121℃ selama 15
menit, biarkan hingga meleleh.
L. Dimasukkan chloramphenikol ke dalam mortir yang steril,
kemudian gerus ad halus selama beberapa menit karena
berbentuk hablur jarum sehingga partikel harus sangat
halus.
M. Dilarutkan karbutanol dalam etanol 96 % 1 – 3 tetes,
kemudian dimasukkan dalam mortir yang berisi
Chloramphenikol gerus ad homogen.
N. Setelah 15 menit, cawan yang berada di autoklaf segera
diambil.
O. Dimasukkan basis di dalam mortir kemudian di gerus kuat
dan konstan ad homogen.
P. Dimasukkan Chloramphenikol dan karbutanol ke dalam
basis salep, gerus ad homogen.
Q. Dimasukkan alfa tokoferol ke dalam campuran zat aktif +
basis gerus ad homogen.
R. Dimasukkan bahan kedalam tube salep. (dikerjakan dalam
Laminar Air Flow {LAF}).
S. Dilakukan evaluasi stabilitas fisik sediaan salep mata.
3.5 Prosedur Evaluasi Stabilitas Fisik Sediaan Salep Mata

A. Uji Organoleptis

No. Prosedur Kerja

1
pemeriksaan berupa bentuk,bau, dan warna

Hasil :

bentuk bau warna

B. Uji Homogenitas

No. Prosedur Kerja

1 Disiapkan salep yang sudah ditimbang sebanyak 0,5 g.


2 Diololeskan salep mata diatas kaca preparat.

3 Homogenitas ditunjukkan ketika tidak ada butiran kasar pada

sediaan salep.

Hasil :

Homogen

Tidak Homogen

C. Uji pH

No. Prosedur Kerja

1 Oles salep pada stik pH universal.

2 Tunggu beberapa saat.

3 Hasilnya disesuaikan dengan Standar pH universal.

Hasil :

pH

D. Uji Bobot Minimum

No. Prosedur Kerja

1 Ambil dan timbang bobot sediaan salep + pot salep kosong

2 Sesuaikan bobot salep dengan bobot salep pada etiket


3 Hitung presentase kesalahan

Hasil :

Bobot teori perhitungan

Bobot Praktikum

Presentase Kesalahan

E. Uji Daya Sebar

No. Prosedur Kerja

1 Ditimbang salep mata 0,5 g.

2 Letakkan ditengah cawan petri kemudian letakkan satu cawan

petri diatas masa salep mata.

3 Beri pemberat di atas cawan petri dengan bobot kelipatan 50

g, 100 g, 150 g, 200 g, 250g, hingga 300 g

3 Kemudian diamkan selama 60 detik lalu ukur tiap - tiap

diameter salep yang menyebar.

Hasil :

Bobot Pemberat Diameter x Lebar

50 g

100 g
150 g

200 g

250 g

300 8

Hasil rerata

F. Uji Viskositas

No. Prosedur Kerja

1 Dimasukkan sediaan salep mata kedalam wadah.

2 Pasang spindle yang sesuai dan masukkan kedalam wadah

yang sudah berisi sediaan salep mata hingga tenggelam.

3 Kemudian putar spindle.

Hasil :

Cpass

G. Uji Daya Lekat

No. Prosedur Kerja

1 Sebanyak 0,5 gram salep diletakkan di atas kaca preparat.

2 Letakkan kaca preparat yang lain yang telah diberi tali.

3 Catat waktu saat salah satu kaca preparat tersebut lepas.


4 Ulangi sebanyak 3 kali, hitung rata – rata waktu daya lekat

pada sediaan salep, catat hasilnya.

Hasil :

Percobaan Waktu

Rerata

H. Uji Kebocoran

No. Prosedur Kerja

1 Ambil tube salep mata, bersihkan permukaan luar tiap tube

dengan kertas penyerap.

2 Letakkan tube di atas loyang posisi horizontal.

3 Masukkan ke dalam oven diamkan selama 1 jam, suhu 60°.

(Tidak boleh terjadi kebocoran (kertas penyerap harus tetap

kering).

Hasil :

Bocor
Tidak bocor
Daftar Pustaka

1. American Pharmaceutical Association. 1994. Handbook of Excipients 2nd


Edition.
Washington: The Pharmaceutical Press. hal 45-47
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia.
Edisi
III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1995. Farmakope Indonesia. Edisi
IV.
4. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 112
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional ed
2.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
5. Scoville’s : The Art of Compounding, Glenn L. Jenkins et.all., 1957, New
York : MC-Graw Hill Book Companies.
6. Wade, Ainley and Paul J.Weller. 1994. Handbook of Pharmaceutical
Excipients, Fifth edition. London : The Pharmaceutical Press
7. Direction of the Council of The Pharmaceutical Society of Great Britain.
1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia Twenty eight Edition. London :
The Pharmaceutical Press.
8. ANSEL, Howard C. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press) , 1989.
9. ISO Indonesia vol 46. Jakarta: PT. Otsuka Indonesia, 2011.
10. Carroll KC, Brooke GF, Butel JS. Jawetz, Melnick,Daftar Pustaka &
Whitcher JP, Cevallos V. Moraxella, down but not out--the eye bug that
won’t goaway.BrJOphthalmol.2006.

Anda mungkin juga menyukai