Anda di halaman 1dari 29

Bagian Ilmu Forensik dan Medikolegal

Fakultas Kedokteran REFERAT


Universitas Muslim Indonesia

PROBLEM DAN TANTANGAN DOKTER


UMUM PADA PELAYANAN FORENSIK
MEDIKOLEGAL
Miftahul Jannah Hamzah
11120202048

Dokter Pendidik Klinik


Dr. dr. Annisa Anwar Muthaher, SH, M.Kes, Sp.F
BAB I
PENDAHULUAN
Keterbatasan dokter spesialis forensik di Indonesia memberikan pengaruh terhadap
dokter umum dimana pada saat terdapat permintaan visum dan di instansi tersebut
hanya terdapat dokter umum, maka dokter umum berkewajiban untuk membuatnya.
Hal tersebut merupakan problem dan tantangan dokter umum pada pelayanan
forensik medicolegal. Sebenarnya, semua dokter umum telah mendapatkan
kepaniteraan klinik sewaktu di masa pendidikan mengenai ilmu forensik dan
medikolegal dimana di dalamnya terdapat visum et repertum. Jadi diperlukan
keberanian, ketelitian dan kesungguhan dari para dokter itu sendiri untuk melakukan
pemeriksaan dan diberikan dalam bentuk visum et repertum.
BAB II
PEMBAHASAN
Problem dan Tantangan Dokter
Umum dalam Pembuatan Visum Et
Repertum Korban Hidup
Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban mati, prosedur permintaan
visum et repertum korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam KUHAP.
Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang
harus dan boleh dilakukan oleh dokter. Hal ini berarti bahwa pemilihan jenis
pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan
mengandalkan tanggung jawab profesi kedokteran.
Adanya keharusan membuat visum et repertum pada korban hidup tidak
berarti bahwa korban tersebut, dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak
dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban hidup adalah juga pasien
sehingga mempunyai hak sebagai pasien. Apabila pemeriksaan ini
sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya,
maka hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan
tersebut dari pasien disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin
dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan medis.
Ketentuan tentang bantuan dokter untuk kepentingan peradilan didalam
KUHP tercantum didalam pasal 133 dan 179 dan 180. Seorang dokter jika
dimintakan kepadanya untuk membuatkan visum et repertum, maka secara
hukum dokter wajib melakukan dan tidak ada alasan untuk menolak.
1. Tantangan Dokter Umum dalam
Pemeriksaan Korban Perlukaan
Dalam praktek sehari-hari memungkinkan bahwa korban perlukaan akan
datang lebih dahulu ke dokter baru kemudian melapor ke penyidik.
Keterlambatan permintaan visum et repertum bisa di terima sepanjang
keterlambatan itu cukup beralasan dan tidak menjadi hambatan dalam
pembuatan visum et repertum.
Namun demikian pada saat pemeriksaan pertama kali dokter sering tidak dapat
menentukan apakah seuatu perlukaan yang diperiksa adalah luka sedang atau berat.
Hal ini diakibatkan masih belum berhentinya perkembangan derajat perlukaan sebelum
selesai pengobatan. Jadi dokter membuat visum et repertum sementara yang tidak
menyimpulkan derajat luka melainkan hanya keterangan bahwa hingga saat visum et
repertum dibuat korban masih dalam perawatan di institusi kesehatan tersebut.
2. Tantangan Dokter Umum dalam
Pemeriksaan Korban Kejahatan Seksual
Kejahatan seksual yang diatur dalam undang–undang diantaranya adalah
perkosaaan dan pencabulan. Pada kasus kejahatan seksual tugas dokter adalah
mencari adanya tanda-tanda kekerasan dan adanya tanda-tanda persetubuhan.
Pembuktian persetubuhan dilakukan dengan dua cara yaitu membuktikan
adanya penetrasi (penis) kedalam vagina dan atau anus/oral dan membuktikan
adanya ejakulasi atau adanya air mani didalam vagina/anus. Pembuktian ini
memerlukan waktu yang sangat singkat antara kejadian dengan
pemeriksaan/pengambilan barang bukti.
Pembuktian persetubuhan akan menghadapi kendala jika : korban
dengan selaput dara yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa
sudah lama, korban yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak
lengkap.
Pembuktian persetubuhan yang lain adalah dengan memeriksa cairan
mani di dalam liang vagina korban. Dari pemeriksaan cairan mani akan
diperiksa sel spermatozoa dan cairan mani sendiri. Namun kendala dalam
pemeriksaan cairan mani adalah korban yang sebelumnya berhubungan
seksual dengan orang lain, korban yang terlambat diperiksa, koitus interuptus,
pelaku memakai kondom.
Problem dan Tantangan Dokter
Umum dalam Pembuatan Visum Et
Repertum Korban Mati
Pemeriksaan korban tindak pidana yang sudah meninggal,
permintaan visum biasanya meliputi dua jenis pemeriksaan, yaitu
pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam (otopsi). Dokter umum,
sebenarnya tidak dibebankan untuk bisa melakukan pemeriksaan
dalam, kalau masih memungkinkan untuk mendatangkan dokter
spesialis forensik. Sedangkan untuk pemeriksaan luar jenazah
merupakan kompetensi dokter umum untuk melakukannya.
Pemeriksaan korban tindak pidana yang sudah meninggal,
permintaan visum biasanya meliputi dua jenis pemeriksaan, yaitu
pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam (otopsi). Dokter umum,
sebenarnya tidak dibebankan untuk bisa melakukan pemeriksaan
dalam, kalau masih memungkinkan untuk mendatangkan dokter
spesialis forensik. Sedangkan untuk pemeriksaan luar jenazah
merupakan kompetensi dokter umum untuk melakukannya.
Hambatan Pembuatan VER dalam Pembuktian Tindak Pidana
Pembunuhan dengan menggunakan Racun
1. Keadaan Mayat atau Jenazah yang sudah Membusuk

Dalam keadaan mayat atau jenazah yang sudah membusuk dapat


mengakibatkan pemeriksaan toksikologi kadang-kadang tidak mendukung
kesimpulan yang akan diambil oleh dokter pemeriksa. Biasanya organ- organ
tubuh yang memberikan hasil positif untuk pemeriksaan toksikologi seperti
ginjal, hati, usus, lambung, dan otak sudah mengalami pembusukan juga,
sehingga dapat mengakibatkan hasil pemeriksaan toksikologi menjadi negatif
(tidak ditemukan adanya racun).
1. Keadaan Mayat atau Jenazah yang sudah Membusuk

Permintaan visum telah datang, keluarga Permintaan visum ada, jenazah tidak ada :
korban tidak ada : Dokter tidak bisa segera Jenazahnya sudah dibawa ke rumah/ke rumah
melakukan pemeriksaan karena sering menjadi sosial/ke rumah sakit luar lainnya. Ada yang
persoalan besar, terutama bila keluarga korban meminta supaya dokter datang ke rumah
ternyata keberatan. Penungguan ini kadang- korban/ ke rumah sosial untuk memeriksa dan
kadang bisa berhari-hari. membuat visum.

Permintaan visum et repertum yang kurang/tidak Iengkap : Biasanya hal ini terjadi
karena Polisi meminta visum pada dokter di daerah/Puskesmas karena dokter
tersebut tidak dapat melaksanakan bedah mayat (baik karena fasilitas atau
keberatan mengerjakannya), maka dokter tersebut mengirim jenazah ke Rumah Sakit
yang mampu untuk melakukan pemeriksaan, sementara permintaan visum belum
ditukar melalui pihak yang berwenang.
1. Keadaan Mayat atau Jenazah yang sudah Membusuk

Masalah dari keluarga korban :


Bersedia diperiksa hanya tubuh korban
bagian luar saja (asal tidak melukai
tubuh korban). Bersedia diperiksa
tetapi seperlunya saja.

Identifikasi pada korban yang tidak


dikenal : Apabila ditemukan korban
akibat keracunan tidak memiliki tanda
pengenal, maka akan semakin
mempersulit melakukan pemeriksaan.
2. Kurangnya Koordinasi antara Penyidik dan Dokter

Prosedur pengiriman dan pengambilan hasil dari bahan pemeriksaan untuk


laboratorium kriminal harus dilakukan oleh penyidik yang bersangkutan.
Sehingga prosedur pemeriksaan toksikologi ini kadang-kadang memakan waktu
kurang lebih 3 minggu sejak dokter pemeriksa mengambil bahan untuk
dikirimkan ke laboratorium kriminal. Jadi hasil kesimpulan visum et repertum
untuk kasus tersebut akan lebih lama dikeluarkan.
Problem dan Tantangan Dokter
Umum dalam Penanganan Kasus DOA
DOA (Death on Arrival) adalah merupakan keadaan dimana pasien
atau korban ditemukan dalam keadaan sudah meninggal ditempat
pelayanan. Biasanya kasus DOA masuk ke IGD suatu rumah sakit.
Untuk kasus DOA, prinsip utama yang harus diperhatikan dokter
adalah memperkirakan cara kematian korban, apakah wajar atau
tidak wajar guna penatalaksanaan selanjutnya.
Problem dan Tantangan Dokter
Umum sebagai Saksi Ahli
Saksi ahli diperlukan pada proses pidana/peradilan untuk menjelaskan suatu perkara
yang masih diragukan. Saksi ahli akan memberikan keterangan yang disebut
keterangan ahli.
Saksi ahli haruslah bersikap jujur, obyektif, menyeluruh, ilmiah dan tidak memihak
(imparsial). Saksi ahli tidak boleh melakukan misrepresentasi keahliannya maupun
datanya, dalam arti bahwa data atau fakta yang akan digunakan sebagai dasar
pembuatan pendapatnya harus secara teknis diketahui benar. Ia juga tetap harus
mengikuti perkembangan keilmuannya dengan mengikuti pendidikan berkelanjutan.
Dokter diharapkan untuk menghindari berbicara terlalu banyak, berbicara terlalu dini,
dan berbicara dengan orang yang tidak berhak mendengar.
BAB III
KESIMPULAN
Dalam penanganan medis korban yang masih hidup ataupun korban yang
sudah meninggal mungkin saja akan melibatkan berbagai dokter dengan
keahlian klinis yang tidak hanya dokter spesialis forensik, akan tetapi juga
melibatkan dokter klinisi lain dan yang tidak kalah pentingnya adalah dokter
umum yang ada di Instalasi Gawat Darurat. Siapapun dokter yang terlibat
dalam penanganan korban tindak pidana, haruslah memakai ilmu kedokteran
forensik, yang memegang prinsip pengumpulan barang bukti yang
sebanyak–banyaknya.
TERIMA
KASIH

Anda mungkin juga menyukai