Anda di halaman 1dari 23

PENATALAKSANAAN SYOK HIPOVOLEMIK

Mohammad Rudiansyah
Bagian Ikm & Ilmu Penyakit Dalam FK UNLAM/RSUD Ulim Banjarmasin

PENGANTAR

Pengetahuan luas tentang fisiologi hemodinamik dasar dan dokumentasi

patofisiologi yang sedang terjadi dengan menggunakan teknik pemantauan yang

tersedia masih merupakan pendekatan paling tepat untuk merancang intervensi

terapeutik untuk pasien syok. Pemberian cairan intravena untuk mengembalikan

volume darah merupakan bentuk terapi medis yang paling efektif dan yang paling

baik1.

Syok merupakan keadaan patofisiologik yang mengakibatkan hipoksia

jaringan dan sel. Syok bukanlah diagnosis, tetapi sindrom klinis kompleks yang

mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik. Syok

dapat terjadi setiap waktu pada penderita dan bersifat progresif serta terus

memburuk. Secara garis besar berdasarkan penyebabnya syok dapat dibagi

menjadi syok hipovolemik, syok kardiogenik, syok anafilaktik, syok neurogenik,

syok obstruktif, dan syok distributive. Penanggulangan didasarkan pada diagnosis

dini yang tepat2,3.

Pada syok hipovolemik, tujuan resusitasi cairan adalah untuk

mengembalikan perfusi jaringan dan pengiriman oksigen ke sel sehingga

mengurangi iskemia jaringan dan kemungkinan kegagalan organ. Titik akhir

terapi yang dipilih harus mempertimbangkan bukti adanya perbaikan dalam aliran

jaringan, perfusi jaringan dan juga bahaya atau kerugian bila terapi diteruskan.
Salah satu tantangan terbesar adalah memperkirakan cukup tidaknya curah

jantung setelah terapi1.

Penggunaan optimum cairan dalam resusitasi pada pasien dengan syok

memerlukan pertimbangan kondisi pasien sebelum sakit, penyebab syok,

pengetahuan fisiologi kardiovaskular yang baik dan pemahaman sifat-sifat ciran

yang tersedia. Resusitasi cairan hendaknya sesuai untuk setiap pasien. Seperti

halnya penggantian cairan yang tidak adekuat dapat mengakibatkan kegagalan

organ dan kematian, kelebihan cairan juga dapat mengakibatkan morbiditas yang

cukup tinggi1.

SYOK HIPOVOLEMIK

DEFINISI

Syok hipovolemik merupakan suatu keadaan dimana oksigen gagal

dihantarkan ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan karena keadaan kehilangan

cairan dalam waktu singkat dari ruang intravaskular. Keadaan ini secara luas

menyebabkan hipoksia jaringan, metabolisme anaerobik, kerusakan seluler dan

kerusakan organ vital yang ireversibel. Meskipun perdarahan di luar terlihat jelas,

namun perdarahan tersembunyi dari rongga dada, abdomen, dan pelvis harus

dipertimbangkan pada pasien syok hipovolemik2,4.

PENYEBAB

Penyebab syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah) antara

lain : 2,3,5

(a) Kehilangan darah, misalnya perdarahan aktif dan pasif

2
(b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar

(c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar

yang banyak (misalnya diare, muntah-muntah, fistula, obstruksi usus dengan

penumpukan cairan di lumen usus).

Pada pasien-pasien dengan penyakit kritis yang dirawat di ICU sering

terjadi anemia hampir 95% dan rata-rata yang memerlukan transfusi darah sekitar

45% dengan 5 kantong darah6.

PATOFISIOLOGI 7

Penurunan volume sirkulasi secara akut menyebabkan penurunan cardiac

aoutput dan tekanan nadi. Perubahan ini dipicu oleh baroreseptor pada arkus aorta

dan atrium. Dengan penurunan volume sirkulasi, refleks neural menyebabkan

peningkatan aliran simpatik ke jantung dan organ lain. Respon yang muncul

berupa peningkatan denyut jantung, vasokontriksi, dan redistribusi aliran darah

menjauhi organ non vital seperti kulit, traktus gastrointestinal dan ginjal.

Secara bersamaan, respon multisistem hormonal terjadi. Corticotropin-

releasing hormone distimulasi secara langsung. Sebagai akibatnya dilepaskan

glucocorticoid dan beta-endorphin. Vasopresin dari hipofisis posterior dilepaskan,

menyebabkan retensi air pada tubulus distal. Renin dilepaskan sebagai respon

penurunan tekanan arteri rata-rata, menyebabkan peningkatan aldosteron dan

akibatnya terjadi resorpsi air dan natrium. Hiperglikemia umumnya terjadi

berhubungan dengan glukagon dan growth hormon yang menginduksi

glukoneogenesis dan glikogenolisis. Sirkulasi katekholamines menghambat secara

relatif pelepasan insulin yangmenyebabkan peningkatan glukosa plasma.

3
Perubahan secara global ini menyebabkan terjadinya respon beberapa

organ spesifik. Otak memiliki autoregulasi untuk menjaga aliran darah otak tetap

konstan dalam rentang luas tekanan darah arteri sistemik rata-rata. Ginjal dapat

mentoleransi 90% penurunan aliran darah untuk waktu yang singkat. Dengan

penurunan volume sirkulasi secara signifikan, secara dramatis aliran darah usus

menurun oleh karena vasokontriksi splanknik.

DIAGNOSIS

Diagnosis syok dapat dibuat dengan riwayat adanya trauma baik dengan

perdarahan yang terlihat jelas atau tidak, penyakit dengan dehidrasi atau penyakit

yang dapat menyebabkan syok hipovolemik dan kemudian melihat tanda dan

gejala syok yaitu :5,7

Sistem Kardiovaskular

 Gangguan sirkulasi perifer : pucat, ekstremitas dingin. Kurangnya

pengisian vena perifer lebih bermakna dibandingkan penurunan tekanan

darah

 Nadi cepat dan halus.

 Tekanan darah rendah. Hal ini kurang bisa menjadi pegangan,karena

adanya mekanisme kompensasi sampai terjadi kehilangan 1/3 dari volume

sirkulasi darah. Vena perifer kolaps. Vena leher merupakan penilaian yang

paling baik.

 CVP rendah.

Sistem Respirasi

4
Pernapasan cepat dan dangkal. Hal ini untuk mengantisipasi penghantaran

oksigen yang menurun akibat pembawanya berkurang

Sistem saraf pusat

Perubahan mental pasien syok sangat bervariasi. Bila tekanan darah rendah

sampai menyebabkan hipoksia otak, pasien menjadi gelisah sampai tidak

sadar. Obat sedatif dan analgetika jangan diberikan sampai yakin bahwa

gelisahnya pasien memang karena kesakitan.

Sistem Saluran Cerna

Bisa terjadi mual dan muntah. Kondisi ini justru memperberat syok, karena

cairan semakin berkurang.

Sistem Saluran Kencing

Produksi urin berkurang. Normal rata-rata produksi urin pasien dewasa adalah

60 ml/jam (1/5-1 ml/kg/jam).

Pemeriksaan Laboratorium7

5
Pemeriksaan laboratorium darah pada awal tidak banyak membantu

sebab nilai tidak akan berubah dari normal sampai redistribusi cairan

interstitial ke dalam plasma darah yang terjadi setelah 8-12 jam.

- pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit akan bermakna bila terjadi

perdarahan akut yang banyak sebagai penyebab syok, namun nilai ini tidak

berubah secara langsung setelah perdarahan. Nilai hematokrit juga akan

menurun setelah infus kristaloid akibat masuknya cairan ekstraseluler ke

intravaskular. Pasien penyakit jantung berisiko tinggi iskemia miokard

dengan anemia, dan harus dipikirkan transfusi bila nilan Hb di bawah 7

mg/dl.

- Pemeriksaan analisa gas darah penting untuk dilakukan pada pasien

dengan syok yang berat. Asidosis merupakan indikator dini terjadinya

ketidakseimbangan oksigen di jaringan.

- Pemeriksaan koagulasi perlu dilakukan pada pasien dengan riwayat

mendapat warfarin, heparin atau antiplatelet. Bila tidak ada riwayat

tersebut maka tes primer untuk koagulasi harus dilakukan, termasuk

protrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT)

untuk tes sekunder.

- Pemeriksaan elektrolit tidak banyak membantu pada periode akut tetapi

nilai abnormal dapat terjadi setelah resusitasi masif, khususnya natrium,

kalsium, dan kalium.

- Pemeriksaan cocok serasi (crossmatch) perlu dilakukan untuk persiapan

transfusi.

6
- Pemeriksaan ureum dan kreatinin biasanya normal pada awalnya tetapi

dapat meningkat bila telah terjadi tanda-tanda gagal ginjal akibat dehidrasi

dan perdarahan (pre renal).

Pemeriksaan Radiologis7

Pemeriksaan radiologis dilakukan pada pasien syok hipovolemik tanpa

sebab yang jelas atau dugaan perdarahan yang tidak tampak. Perdarahan yang

sering terjadi adalah di daerah rongga abdomen, dada, kepala (otak) dan jaringan.

Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu :

- Rontgen dada dan Foto abdomen

- Esophagogastroduodenoscopy

- Kolonoskopi

- Ultrasonografi/FAST (The focused abdominal sonographic technique)

- CT scan

KLASIFIKASI

Syok hipovolemik diklasifikasikan menjadi 4 kelas yaitu :4

 Kelas I kehilangan darah kurang dari 15% total volume darah (750 ml)

dengan perubahan fisiologis sedikit.

 Kelas II kehilangan darah 15-30% (800-1500 ml), yang menyebabkan

takikardi moderat dan terlambatnya capillary refill tetapi tidak menyebabkan

perubahan tekanan darah sistolik

 Kelas III kehilangan darah of 30-40% (1500-2000 ml), yang berhubungan

dengan takikardi, hipotensi sistolik, pucat, dan terlambatnya capillary refill

7
 Kelas IV kehilangan darah lebih dari 45% (lebih dari 2000 ml) dan

berhubungan dengan sulitnya teraba pulsasi, hipotensi ekstrim, dan penurunan

kesadaran.

Klasifikasi syok hipovolemik dab perubahan variabel fisiologis4

Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Kehilangan Darah
% <15 15-30 30-40 >40
ml 750 800-1500 1500-2000 >2000

Tekanan Darah
Sistolik Normal Normal Menurun Sangat Rendah
Diastolik Normal Menurun Menurun Tidak terekam

Nadi (kali/menit) Normal 100-200 120 (lemah 120 (sangat lemah)

Pengisian kapiler Normal Lambat Lambat Tidak terdeteksi


(>2 detik) (>2 detik)
Respirasi rate Normal Takhipneu Takhipneu Takhipneu
(>20x/menit) (>20x/menit)

Ekstremitas Normal Pucat Pucat Dingin


Menurun,
Status Mental Sadar Menurun atau Bingung,
bingung,
Agresif tidak sadar
agresif

PENATALAKSANAAN

Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama

dalam menghadapi syok hipovolemik :5,8

A. Posisi Tubuh

Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang

dengan kaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar

dan tekanan darah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar

bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.

B. Pertahankan Respirasi

8
1. Bebaskan jalan napas.

2. Lakukan penghisapan, bila ada sekresi atau muntah.

3. Tengadah kepala-topang dagu, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas

(Gudel/oropharingeal airway).

4. Berikan oksigen 6 liter/menit

5. Bila pernapasan/ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa

sungkup (Ambu bag) atau ETT.

C. Pertahankan Sirkulasi

Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus. Pantau nadi,

tekanan darah, warna kulit, isi vena, produksi urin, dan central venous pressure

(CVP). Tujuan akhirnya adalah menormalkan kembali oksigenasi jaringan.

Karena penyebab gangguan ini adalah kehilangan darah maka resusitasi cairan

merupakan prioritas9. Pemasangan CVP sangat diperlukan untuk pemantauan

yang lebih akurat terhadap kehilangan cairan10.

Pasang satu atau lebih jalur infus intravena. Jalur intravena yang baik dan

lancar harus segera dipasang. Gunakan kanula besar (14 - 18 G). Dalam keadaan

khusus mungkin perlu vena sectie. Infus dengan cepat 2 liter pertama larutan

kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid kemudian dilanjutkan

sampai vena (v. jugularis) yang kolaps terisi. Cairan infus harus dihangatkan

sampai suhu tubuh karena hipotermia Hindari cairan yang mengandung glukosa.

Sementara, bila diduga syok karena perdarahan, ambil contoh darah dan mintakan

darah. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus

9
dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah udem paru, terutama pasien tua.

Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan4,8,9.

Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus:

Kecepatan infus tergantung dari beratnya syok. Jika tanda syok ditemukan

pada posisi berbaring, kehilangan cairan diperkirakan sebesar 50%. Pada 1 jam

pertama guyur cairan dan evaluasi tekanan darah, nadi dan kesadaran. Jika

tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg, infus disesuaikan dengan kondisi pasien.

Jika tanda syok ditemukan dalam posisi duduk, kehilangan cairan diperkirakan

sekitar 30%. Pada kondisi ini guyur sampai 1000 ml, bila tekanan sistolik lebih

dari 100 mmHg, infus disesuaikan dengan kondisi. Jika memungkinkan perlu

pemasangan monitor tekanan vena sentral11. Parameter keberhasilan resusitasi

adalah terjaminnya tekanan vena sentral antara 7-10 mmH20 atau diuresis > 0,5-1

ml/kgBB/Jam11.

Nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia. Bila tekanan darah <

90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah turun > 40 mmHg pada

pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan 4,9.

Produksi urin perlu diperhatikan. Pemasangan kateter urin diperlukan

untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2

ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia. Cairan diberikan

sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intra vaskuler cukup,

tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-40 mg

untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 2-5 µg/kg/menit bisa juga

digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8-12 cmH2O), dan bila

10
masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan

ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan9.

Transfusi darah dapat diperlukan bila keadaan pasien belum stabil setelah

2 liter resusitasi kristaloid. Penyediaan darah donor mungkin sukar, disamping

besarnya risiko ketidaksesuaian golongan darah, hepatitis B dan C, HIV / AIDS.

Risiko penularan penyakit juga ada meski donornya adalah keluarga sendiri.

Transfusi harus dipertimbangkan jika sirkulasi pasien tidak stabil meskipun telah

mendapat cukup koloid / kristaloid. Jika golongan darah donor yang sesuai tidak

tersedia, dapat digunakan darah golongan O (sebaiknya pack red cel dan Rhesus

negative). Transfusi harus diberikan jika Hb dibawah 7 g/dl jika pasien masih

terus perdarahan5.

Pengelolaan anemia akibat perdarahan akut ditujukan untuk

mengembalikan volume darah dan koreksi terhadap daya angkut oksigen darah.

Perdarahan sampai 1 liter yang tidak berlanjut dapat diatasi hanya dengan cairan

kristaloid atau plasma expander tanpa transfusi darah. Kehilangan darah 1-2 liter

diatasi cairan kristatolid atau koloid, mungkin juga diperlukan transfusi darah

pada kasus dengan risiko tinggi seperti orang tua, penderita yang sebelumnya

sudah anemia dan pada penderita dengan penyakit jantung/paru. Kehilangan lebih

dari 2 liter memerlukan koreksi volume darah dan massa eritrosit 12. Transfusi

darah diperlukan untuk memelihara konsentrasi hemoglobin 10 g/dL13.

D. Cari dan Atasi Penyebab Syok Hipovolemik

Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien

trauma, baik oleh karena perdarahan yang terlihat maupun perdarahan yang tidak

11
terlihat. Perdarahan yang terlihat, perdarahan dari luka, atau hematemesis dari

tukak lambung. Perdarahan yang tidak terlihat, misalnya perdarahan dari saluran

cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan di luar uterus, patah

tulang pelvis, dan patah tulang besar atau majemuk5,8.

Untuk syok hipovolemik karena trauma atau perdarahan maka beberapa

prosedur yang dapat dilakukan antara lain9 :

Prioritas pertama : hentikan perdarahan

Cedera pada anggota gerak

Torniket tidak berguna. Disamping itu torniket menyebabkan sindroma

reperfusi dan menambah berat kerusakan primer. Alternatif yang disebut “bebat

tekan” itu sering disalah mengerti. Perdarahan hebat karena luka tusuk dan luka

amputasi dapat dihentikan dengan pemasangan kasa padat subfascial ditambah

tekanan manual pada arteri disebelah proksimal ditambah bebat kompresif (tekan

merata) diseluruh bagian anggota gerak tersebut.

Cedera dada

Sumber perdarahan dari dinding dada umumnya adalah arteri. Pemasangan

chest tube / pipa drain harus sedini mungkin. Hal ini jika di tambah dengan

penghisapan berkala, ditambah analgesia yang efisien, memungkinkan paru

berkembang kembali sekaligus menyumbat sumber perdarahan. Untuk analgesia

digunakan ketamin I.V

Cedera abdomen

Diagnostic peritoneal lavage (DPL) merupakan prosedur yang dapat

dilakukan di samping tempat tidur pasien. Jika pada aspirasi terdapat lebih dari 5

12
ml darah maka dapat dilakukan laparatomi segera. Jika tidak ada darah pada

aspirasi maka dapat diinfuskan 1000 ml RL hangat ke abdomen kemudian

dialirkan keluar dalam kantong intravena dan cairannya diperiksa ke laboratorium.

Bila hitung sel darah merah lebih dari 10,000 per µL atau sel darah putih lebih

dari 500/µL, atau ada nilai amilase, lipase atau bilirubin yang tinggi, atau partikel

dari intraluminer maka pasien harus segera dilakukan laparatomi7.

Damage control laparatomy harus segera dilakukan sedini mungkin bila

resusitasi cairan tidak dapat mempertahankan tekanan sistolik antara 80-90

mmHg. Pada waktu DC laparatomy, dilakukan pemasangan kasa besar untuk

menekan dan menyumbat sumber perdarahan dari organ perut (abdominal

packing). Insisi pada garis tengah hendaknya sudah ditutup kembali dalam waktu

30 menit dengan menggunakan penjepit (towel clamps). Tindakan resusitasi ini

hendaknya dikerjakan dengan anestesia ketamin oleh dokter yang terlatih (atau

mungkin oleh perawat untuk rumah sakit yang lebih kecil). Jelas bahwa teknik ini

harus dipelajari lebih dahulu namun jika dikerjakan cukup baik pasti akan

menyelamatkan nyawa.

Prioritas kedua: Penggantian cairan, penghangatan, analgesia dengan

ketamin9

Infus cairan pengganti harus dihangatkan karena proses pembekuan darah

berlangsung paling baik pada suuh 38,5 C. Hemostasis sukar berlangsung baik

pada suhu dibawah 35 C. Hipotermia pada pasien trauma sering terjadi jika

evakuasi pra rumah sakit berlangsung terlalu lama (bahkan juga di cuaca tropis).

Pasien mudah menjadi dingin tetapi sukar untuk dihangatkan kembali, karena itu

13
pencegahan hipotermia sangat penting. Cairan oral maupun intravena harus

dipanaskan 40-42 C. Cairan pada suku ruangan sama dengan pendinginan.

Resusitasi cairan hipotensif : Pada kasus-kasus dimana penghentian

perdarahan tidak tepat atau tidak meyakinkan, volume diberikan dengan menjaga

tekanan sistolik antara 80 - 90 mmHg selama evakuasi. Cairan koloid keluar,

cairan elektrolit masuk. Hasil penelitian terbaru dengan kelompok kontrol

menemukan sedikit efek negatif dari penggunaan koloid dibandingkan elektrolit

untuk resusitasi cairan.

Resusitasi cairan lewat mulut (per-oral) cukup aman dan efisien jika

pasien masih memiliki gag reflex dan tidak ada cedera perut. Cairan yang

diminum harus rendah gula dan garam. Cairan yang pekat akan menyebabkan

penarikan osmotik dari mukosa usus sehingga timbul efek negatif. Diluted cereal

porridges yang menggunakan bahan dasar lokal/setempat sangat dianjurkan.

Analgesia untuk pasien trauma dapat menggunakan ketamin dosis

berulang 0,2 mg/kg. Obat ini mempunyai efek inotropik positif dan tidak

mengurangi gag reflex, sehingga sesuai untuk evakuasi pasien trauma berat.

Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang

lain. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit

yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat

mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus

dapat terkumpul beberapa liter cairan di dalam usus. Pada diabetes atau

penggunaan diuretik kuat, dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang

14
berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis

akut, atau peritonitis purulenta difus.

Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap sehat dan kuat, kecuali jika

miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat berkurang.

Respons tubuh terhadap perdarahan bergantung pada volume, kecepatan, dan lama

perdarahan. Bila volume intravaskular berkurang, tubuh akan selalu berusaha

untuk mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan

mengorbankan perfusi organ lain seperti ginjal, hati, dan kulit. Akan terjadi

perubahan-perubahan hormonal melalui sistem renin-angiotensin-aldosteron,

sistem ADH, dan sistem saraf simpatis. Cairan interstitial akan masuk ke dalam

pembuluh darah untuk mengembalikan volume intravaskular, dengan akibat

terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan dehidrasi interstitial.

Tujuan utama mengatasi syok perdarahan adalah menormalkan kembali

volume intravaskular dan interstitial. Bila defisit volume intravaskular hanya

dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi defisit interstitial,

dengan akibat tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin yang

kurang. Pengembalian volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila

diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dsb) dan cairan garam

seimbang.

Penggunaan obat-obatan dalam mengatasi sebab perdarahan

Pada kasus syok hipovolemik akibat perdarahan yang masif juga

diperlukan pemberian obat-obatan anti perdarahan seperti asam traneksamat dan

vitamin K. Pada perdarahan saluran cerna bagian atas perlu pemasangan

15
Nasogastric tube. Nasogastric lavage harus dikerjakan untuk memindahkan darah

dan bekuan darah, memudahkan endoskopi dan menurunkan risiko aspirasi13.

Sukralfat efektif pada penyembuhan luka dengan meningkatkan sekresi mukosa,

aliran darah mukosa dan produksi prostaglandin lokal. Suklrafat dapat diberikan

lewat nasogastic tube 1 g/4-6 jam15.

Cara kerja asam traneksamat sebagai anti fibrinolitik sehingga dapat

memperberat perdarahan. Penggunaan obat antifibrinolitik (tranexamic acid) pada

pasien dengan lesi gastrointestinal yang menyebabkan perdarahan adalah rasional,

sebab konsentrasi lokal dari enzim fibrinolitik tinggi pada saluran pencernaan.

Metaanalisis dari 1267 pasien dengan ulkus peptikum, erosi mukosa dan sebab-

sebab lain perdarahan, asam traneksamat menghasilkan pengurangan 20-30%

perdarahan ulang, 30-40% keperluan operasi dan 40% kematian16. Namun asam

traneksamat tidak digunakan secara luas pada perdarahan akibat pecahnya varises

esofagus17. Tapi pada kasus-kasus perdarahan lain dapat digunakan secara luas.

Pemberian vitamin K bertujuan mencegah terjadinya DIC yang ditandai

pemanjangan APTT dan PPT. Dosis vitamin K adalah 5-25 mg/hari atau

tergantung berat ringannya penyakit, tiap ampul mengandung vitamin K 10 mg

yang diberikan dosis tunggal dapat diulang tiap 8 atau 12 jam 18. Pada kasus sirosis

hepatis sering terjadi koagulopati, akibat defisiensi faktor-faktor pembekuan yang

ditandai pemanjangan APTT dan PPT. Vitamin K berperan dalam produksi faktor

pembekuan ini yaitu faktor II, VII, IX dan X19. Defisiensi vitamin K menyebabkan

defisiensi faktor-faktor pembekuan darah tersebut yang tampak sebagai

16
pemanjangan APTT dan PPT. Defisiensi vitamin K terjadi karena hati tidak bisa

memproduksinya.

PEMILIHAN TERAPI CAIRAN

Perdebatan masih berlanjut pada pemberian cairan optimal pada resusitasi

hipovolemia akut. Penentuan volume cairan merupakan faktor paling penting

dalam resusitasi awal. Sebagai aturan umum, penggunaan larutan isotonik saline

(0,9%) merupakan cairan yang cocok untuk memulai volume resusitasi. Setelah

inisial 2000 ml saline 0,9%, pemberian koloid dapat dipertimbangkan jika

ekspansi volume lebih jauh diperlukan. Sekali 30-40% volume darah harus

digantikan, perlu dipertimbangkan penambahan darah. Cairan resusitasi intravena

pada anak-anak harus dimulai bolus 20 ml/kgBB dititrasi berdasarkan efeknya.1,4

1. Kristaloid

Kristaloid secara bebas dapat melintasi membrane kapiler dan mengisi

seluruh ruang cairan intraseluler dan ekstraseluler dengan berimbang. Sebagai

hasilnya, retensi cairan kristaloid di intravascular jelek. Keuntungannya komposisi

elektrolit seimbang, kapasitas buffer (laktat), tidak ada risiko anafilaksis, sedikit

gangguan hemostasis, meningkatkan diuresis dan murah. Sedangkan kerugiannya

ekspansi volume plasma jelek, memerlukan jumlah yang banyak, risiko hipotermi,

mengurangi tekanan osmotik koloid plasma, edem jaringan dan menyebabkan

sindrom disfungsi multiorgan.

2. Koloid

Koloid merupakan molekul besar yang bertahan di kompartemen

intravascular sampai mereka dimetabolisme. Lebih jauh lagi, cairan ini

17
menyediakan volume restorasi lebih efisien dibandingkan kristaloid. Setelah satu

atau dua jam, volume plasma efek volume plasma sama dengan cairan kristaloid.

Koloid utama yang tersedia dalam bentuk turunan dari gelatin : 4

● Gelofusine

● Haemaccel (tidak cocok untuk transfusi dengan whole blood karena

mengandung kalsium yang tinggi).

Pemilihan koloid perlu pertimbangan untung dan ruginya. Keuntungannya

adalah ekspansi volume plasma efektif, meningkatkan volume plasma cukup

lama, memerlukan volume moderat, mempertahankan tekanan osmotik koloid

plasma dan risiko edema jaringan minimal. Sedangkan kerugiannya adalah risiko

reaksi anafilaksis, beberapa gangguan hemostasis dan cukup mahal.

Hypertonic saline

Hypertonic saline (7.5%) merupakan volume expander yang efektif, yang

efeknya lebih lama bila dikombinasikan dengan efek hidrofilik dekstran 70. Pada

orang dewasa, sekitar 250 ml (4 ml/kgBB) larutan hypertonic saline dextran

(HSD) menyediakan respon hemodinamik yang sama dengan 3000 ml larutan

saline normal 0,9%. Hypertonic saline beraksi melalui berbagai cara pada syok

hipovolemik yaitu : 4

● ekspansi volume intravaskular dan meningkatkan aliran darah organ.

● mengurangi pembengkakan endothelial, meningkatkan mikrosirkulasi aliran

darah

● menurunkan tekanan intracranial melalui efek osmotik.

Darah

18
Pada seorang pasien yang kehilangan darah/cairan 30-40% dari volume

darahnya, maka transfuse diperlukan untuk mempertahankan kapasitas pembawa

oksigen yang adekuat. Sewajarnya cross-matched darah ideal, tetapi situasi yang

kritis hanya mengijinkan waktu untuk tipe spesifik cross-matched atau diperlukan

penggunaan darah “O” rhesus negatif segera. Tujuannya untuk mempertahankan

haemoglobin di atas 8.0 g/dl. Masalah koagulasi mungkin signifikan dengan

transfusi masif, memerlukan penambahan produk pembekuan dan platelet. Cairan

intravena idealnya dihangatkan sebelum diberikan untuk meminimalkan

hipotermi; 500 ml darah pada suhu 4oC akan menurunkan temperatur pusat sekitar

0,5 oC. jumlah besar cairan yang dingin akan menyebabkan hipotermi secara

signifikan, yang akan berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas juga.

Pada perdarahan aktif dan masif, whole blood dapat merupakan pilihan

utama karena masih mengandung faktor pembekuan darah selain dapat memenuhi

koreksi volume intravaskuler. Bila kebutuhan koreksi volume sudah terpenuhi

oleh cairan fisiologis, maka peningkatan kadar hemoglobin dapat dipenuhi

melalui pack red cell (PRC) dan bila masih diperlukan suplemen faktor

pembekuan darah dapat diberikan plasma beku segar (FFP=Fresh Frozen

Plasma)10. Dalam menghadapi perdarahan masif, 1 unit plasma beku segar harus

diberikan untuk setiap 5 unit PRC yang ditransfusikan 14. Setiap pemberian 1 liter

darah simpan perlu diberikan 10 ml kalsium glukonas untuk mencegah keracunan

sitrat12.

PEMBEDAHAN PADA SYOK HIPOVOLEMIK

19
Keputusan untuk dilakukan pembedahan pada pasien dengan syok hipovolemik

adalah jika satu-satunya cara mengontrol pendarahan hanya dengan operasi.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pembedahan pada pasien syok

hipovolemi yaitu : 7

- perdarahan akut yang mengancam nyawa di kavum abdomen atau thorak.

- Perdarahan retroperitoneal sulit dikontrol dengan operasi sehingga

biasanya diterapi non operatif.

- Perdarahan saluran cerna atas pertama diatasi dengan EGD jika

memungkinkan untuk diinjeksikan pada sumber perdarahan epinefrin. Bila

endoskopi ini gagal maka segera dilakukan operasi.

- Konfirmasi lokasi perdarahan pada perdarahan saluran cerna bawah

sebelum diintervensi dengan pembedahan.

- Perdarahan pervaginam yang berat harus melibatkan spesialis ginekologi.

DIAGNOSA BANDING

Syok hipovolemik menghasilkan mekanisme kompensasi yang terjadi

pada hampir semua organ tubuh. Hipovolemia adalah penyebab utama syok pada

trauma cedera. Syok hipovolemik perlu dibedakan dengan syok hipoglikemik

karena penyuntikan insulin berlebihan. Hal ini tidak jarang terjadi pada pasien

yang dirawat di Unit Gawat Darurat. Akan terlihat gejala-gejala seperti kulit

dingin, berkeriput, oligurik, dan takhikardia. Jika pada anamnesa dinyatakan

pasien sebelumnya mendapat insulin, kecurigaan hipoglikemik sebaiknya

dipertimbangkan. Untuk membuktikan hal ini, setelah darah diambil untuk

20
pemeriksaan laboratorium (gula darah sewaktu), dicoba pemberian 50 ml glukosa

50% intravena atau 40 ml larutan dextrose 40% intravena7.

SIMPULAN

Syok hipovolemik merupakan sutu keadaan dimana oksigen gagal

dihantarkan ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan karena keadaan kehilangan

cairan dalam waktu singkat dari ruang intravaskular. Langkah-langkah dalam

penatalaksanaan syok hipovolemik yaitu posisi tubuh tredelenburg, pertahankan

respirasi, pertahankan sirkulasi dengan terapi cairan, cari dan atasi penyebab syok

baik dengan tindakan operatif maupun non operatif. Pemilihan cairan untuk

mempertahankan sirkulasi pada syok hipovolemik sangat penting dan disesuaikan

dengan kondisi pasien saat itu. Keberhasilan penanganan syok hipovolemik sangat

tergantung kecepatan mengganti cairan yang hilang, pemilihan jenis cairan yang

digunakan dan penghentian sumber kehilangan cairan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sunatrio, S. Resusitasi Cairan. Media Aesculapius FK UI, Jakarta, 2000: 1-27

2. Sjamsuhidajat, R, De Jong, W. Luka, Trauma, Syok, Bencana Dalam: Buku

ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1997:136-140

3. Price, SA, Lorraine, MW. Patofisiologi Konsep Klinis Dasar Penyakit Edisi 6.

EGC, Jakarta, 2003: 641-641.

4. Colquhoun, MC, Handley, AJ, Evans, TJ. ABC of Resucitation 5th Ed. BMJ

book; 2004 :50-54.

21
5. Rifki, AZ. Syok dan Penanggulangannya. 2008. Lab/SMF Anestesiologi

FKUA/RSUP Dr. M. Djamil, Padang (http//www.scholar.google.com, diakses

18 September 2008).

6. Corwin, HL, Carson, JL. Blood Transfusion — When Is More Really Less? N

Engl J Med, 2007, 356 (16): 1667-1669.

7. Udeani, J. Shock, Hemorraghic. 2006. (http//ww.emedicine.com, diakses 18

september 2008).

8. Harnawati. Terapi Cairan Intravena (kristaloid) pada Syok Hipovolemik.

2008. (http//www.scholar.google.com, diakses 18 September 2008).

9. Anonymous. PTC (Primary Trauma Care). (http//www.scholar.google.com,

diakses 18 September 2008).

10. Graham, AS, Ozment, C, Tegtmeyer, K, Lai, S, Braner, DAV. Central Venous

Catheterization. N Engl J Med, 2007, 356: e21.

11. Djojoningrat, D. Hematemesis melena. Dalam: Prosiding Simposisum

Penatalaksanaan Kedaruratn Medik. Pusat Informasi dan Penerbit Bagian

Ilmu Penyakit Dalam, FK-UI, Jakarta, 2000: 111-6.

12. Bakta, IM. Kedaruratan dalam bidang hematologi. Dalam: Gawat darurat di

bidang Penyakit Dalam. Bakta, I. M., Suastika, I. K. (eds). Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta, 1999: 138-157.

13. Dallal, HJ, Palmer, KR. ABC of the upper gastrointestinal tract, upper

gastrointestinal haemorrhage. BMJ, 2001, 323: 1115-1117.

22
14. McQuaid, KR. Gastrointestinal bleeding. In: Laerence M Tierney, Sephen JM,

Maxine, AP (eds): Current medical diagnosis treatment, 41th, Lange Medical

Books, Mc GrawHill, New York, 2002.

15. Sung, JJY. Acute gastrointestinal bleeding. In: Te Oh (ed): Intensive care

manual, 4th, Butterwort Heinemann, 1997: 329-336.

16. Henry, DA, O’Connell, DL. Effects of fibrinolytic inhibitors on mortality from

upper gastrointestinal haemorrhage. BMJ, 1989, 298: 1142-1146.

17. Manucci, P M. Hemostatic drugs. N Engl J Med, 1998, 339:245-253.

18. Patel, P. Vitamin K Deficiency. eMedicine. Download alamat:

http://www.emedicine.com/, 2006.

19. Mehta, AB. Management of Coagulopathy in Patients with Liver Disease

Undergoing Surgical Intervention. Indian Society of Gastroenterology, 2006,

25(Suppl 1): S19-S21.

23

Anda mungkin juga menyukai