Anda di halaman 1dari 4

BIOGRAFI

IMAM AL GHAZALI

NAMA : ANGGITA ANGELINA


NO. ABSEN : 06
KELAS : XI MIPA 2

SMA NEGERI 4 BOJONEGORO


TAHUN PELAJARAN 2021 / 2022
Biografi Imam Al Ghazali

Siapa yang tidak kenal Imam al-Ghazali. Namanya tidak asing lagi bagi para pengkaji ilmu-
ilmu keislaman. Ulama yang terkenal dengan kitabnya berjudul Ihya Ulumiddin ini
merupakan ulama hebat yang bergelar Hujjatul Islam, yang artinya,

Al-Imam al-Ghazali lahir pada tahun 1058 M di kota Ghazal, Persia. Nama lengkap beliau
adalah Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Di kota kelahirannya yang menjadi salah satu
pusat pengetahuan itu, al-Ghazali mulai menuntut ilmu dari para ulama ternama yang ada di
sana. Dengan kepandaian dan kecerdasan yang dimilikinya, dalam usia yang masih sangat
muda, al-Ghazali sudah dikenal alim dalam persoalan agama.

Hal itulah yang kemudian membuat al-Imam al-Haramain al-Juwaini, yang pada masa itu
menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, memberikan kepercayaan kepada al-Ghazali
untuk membantunya mengajar di sana. Tak lama berselang, beliau bahkan menggantikan al-
Imam al-Haramain memimpin perguruan yang banyak menghasilkan ulama-ulama kaliber
internasional pada zamannya itu.

Kehidupan Intelektual al-Ghazali


Kehidupan intelektual al-Ghazali diisi dengan memberikan kuliah dan menulis kitab. Tak
kurang dari seratus kitab yang telah menjadi buah karyanya. Yang terkenal dan tak asing lagi
bagi banyak orang adalah Ihya ‘Ulumiddin, Tahafut al-Falasifah, al-Munqidz min al-Dhalah,
Maqashid al-Falasifah, Misyakatul Anwar dan Bidayatul Hidayah yang terjemahannya ada di
tangan pembaca saat ini.

Kepopuleran, harta, maupun jabatan strategis dari pemerintah pun diperolehnya lewat
pengabdian intelektualnya itu. Tentu saja keadaan yang sedemikian itu membuat pundi-pundi
uang dengan mudah mengalir ke kantongnya. Namun, semua itu ternyata tak mampu
memuaskan hatinya. Ia masih bertanya-tanya tentang kebenaran jalan yang selama ini
ditempuhnya. Ia pun menjadi gamang dan lebih banyak merenung. Lalu, ia memutuskan
untuk menanggalkan jubah kulit kebesarannya dan menggantinya dengan jubah kasar khas
seorang pengembara.

Tak hanya sampai di situ. Ia pun kemudian meninggalkan apa yang selama ini telah
diperolehnya berupa harta duniawi yang melimpah, dan lebih memilih untuk berkontemplasi.
Dalam perenungannya yang berlangsung tak kurang dari sepuluh tahun, ia meyakini telah
memperoleh kebenaran lewat tasawuf. Ia pun bertekad untuk menyampaikan ajaran tasawuf
dan mengoreksi berbagai hal yang menurutnya keliru.

Pertama kali yang ia kritisi adalah Ilmu Kalam. Al-Ghazali tidak bisa menerima berbagai
kontradiksi yang ada pada ilmu kalam dalam memperoleh apa yang mereka yakini sebagai
kebenaran. Lebih-lebih tentang Teologi Rasional Mu’tazilah yang dianggapnya telah
menyimpang dari tuntunan Rasulullah SAW. Argumentasi teologis yang diajukan oleh al-
Ghazali secara tidak langsung telah memperkuat sendi-sendi pemikiran teologis al-
Asy’ari yang selanjutnya berkembang menjadi Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hal itu telah ia
ungkapkan secara panjang lebar dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dhalalah.
Sasaran kritik al-Ghazali berikutnya adalah Filsafat. Kitab Tahafut al-Falasifah jadi karya
monumentalnya yang membuat mati gairah berfilsafat yang ada di dunia Islam Timur.
Dengan legitimasi nama besar al-Ghazali, Filsafat menjadi barang yang terlarang untuk
dipelajari. Perlawanan itu diberikan al-Ghazali karena ia melihat Filsafat mengadung
kerancuan dan justru membawa orang yang mempelajarinya kepada kesesatan. Ia melihat
Filsafat yang bersandar pada rasionalitas manusia semata tidak akan pernah bisa membawa
kepada kebahagiaan yang hakiki. Karena keterbatasan pikiran manusia tidak akan mampu
menyingkap hakikat kebenaran Ilahiah yang dipancarkan Allah SWT.

Sungguh pun demikian, al-Ghazali tidak menafikkan Filsafat secara keseluruhan. Yang
ditentangnya adalah yang dianggapnya rancu, yakni pada bidang Metafisika yang membahas
persoalan ghaib dan ilmu ketuhanan, di mana para Filsuf pada saat itu menyatakan tentang
keabadian alam. Inilah satu di antara sejumlah ajaran Filsafat yang ditentang oleh al-Ghazali.
Ada pun tentang bagian Filsafat yang lain, seperti Logika, Matematika, dan Fisika
menurutnya amatlah layak dan dianjurkannya untuk dipelajari. Al-Ghazali bahkan tidak
pernah menyuruh untuk membakar buku-buku filsafat yang berkaitan dengan ilmu-ilmu
tersebut. Yang banyak terjadi adalah kesalahpahaman orang dalam memahami pernyataan al-
Ghazali.

Kekecewaan al-Ghazali terhadap Ilmu Kalam dan FIlsafat inilah yang membuatnya lari ke
dalam tasawuf. Di sini al-Ghazali menemukan kedamaian. Ia merasakan kebahagiaan yang
sebenarnya. Lewat ajaran tasawuf inilah ia dapat melihat cahaya kebenaran yang dipancarkan
Tuhan. Ia juga menganjurkan manusia untuk menempuh jalan itu jika ingin memperoleh
kebahagiaan.

Menurut al-Ghazali, kebenaran hanya bisa dicapai dengan jalan kembali kepada Tuhan
dengan hati yang bersih dan jiwa yang suci, Tuhan akan memancarkan cahaya kebenaran ke
dalam batin seseorang. Dari situlah seseorang akan mendapatkan ilmu atau hikmah. Hikmah
adalah puncak pengetahaun yang tertinggi, Ia tak bisa dicapai hanya lewat argumentasi-
argumentasi filosofis dan pemikiran rasional. Dengan kata lain, siapa saja yang ingin
mendapatkan hikmah sebagai pengetahuan tertinggi, dia harus hidup dengan jalan yang
benar, dan itu mesti ditempuh lewat tasawuf.

Atas dasar itu, al-Ghazali kemudian menjalani hidup sebagai seorang zahid. Ia mengembara
dari satu kota ke kota yang lain dan lebih banyak merenung dan menulis. Dalam
pengembaraannya itu, ia mengamati berbagai fenomena yang disaksikannya itu. Hasil
pengamatannya itu kemudian ia tuangkan dalam Masterpiece-nya, Ihya ‘Ulumiddin. Maka
tidaklah mengherankan bila karyanya ini memiliki cakupan kajian yang sangat komprehensif
dengan muatan tasawuf yang sangat tinggi dan memiliki bobot intelektual yang sangat baik.
Hal itulah yang menjadikan Ihya ‘Ulumiddin sebagai ‘kitab standar’ bagi pengajaran agama
di berbagai lembaga pendidikan Islam dan pesantren-pesantren pada saat itu, bahkan hingga
masa sekarang ini.

Sebelum masa al-Ghazali, tasawuf masih dianggap sebagai ajaran yang menyimpang. Orang
masih ingat betul bagaimana al-Hallaj dengan paham hulul-nya mengaku sebagai Tuhan.
Namun, dengan peranan al-Ghazali ditambah kepiawaiannya memadukan tasawuf itu dengan
unsur Sunni, jadilah corak tasawuf yang baru. Jika dulu al-Hallaj dimusuhi karena corak
tasawufnya yang falsafi, maka sekarang tasawuf menjadi ‘barang’ yang banyak dicari orang
dengan corak Sunninya yang kental. Atas peranannya itu pula, muncullah berbagai aliran
tarekat yang berpola Sunni yang hidup pasca era al-Ghazali. Tanpa jasa besarnya, rasanya
mustahil tasawuf bisa bertahan dan merebut begitu banyak pengikut hingga dewasa ini.

Al-Ghazali pula orang yang punya andil terhadap pembentukan pemikiran Ahlus Sunnah wal
Jama’ah secara keseluruhan, baik dari segi teologi, fiqh, tasawuf, dan filsafat.
Argumentasinya yang bersifat tradisionalis terlihat sangat condong membela al-Asy’ari yang
bisa kita saksikan dengan sangat jelas dalam Ihya ‘Ulumiddin. Ia pula yang punya andil
dalam membakukan madzhab Syafi’i sebagai madzhab yang identik dengan Ahlus Sunnah
wal Jama’ah. Bahkan, pemikiran al-Ghazali berpengaruh pada semua cabang atau aspek pada
madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Akhir kehidupan.
Al-Imam al-Ghazali tutup usia pada tahun 1111 M di Thus, Persia. Sampai sekarang
namanya masih tetap diabadikan dengan harum dan akan selalu diingat oleh kaum Muslimin
sepanjang masa. Gelar Hujjatul Islam yang disandangnya pun hampir dipastikan tak akan
diberikan kepada orang lain untuk menghormati jasa-jasanya yang sangat besar terhadap
Islam dan kaum Muslimin.

Anda mungkin juga menyukai