Anda di halaman 1dari 13

PENGANTAR ILMU MA’ANI ALQURAN

Nikma Nurul Hidayah

nikmahidayah632@gmail.com

Rina septiana Dewi

Rinaseptianadewi06@gmail.com

Abstrak

Al-Quran merupakan mu’jizat terbesar Nabi Muhammad SAW, kemu’jizatannya terkandung pada aspek
bahasa dan isinya. Di aspek bahasa Al-Qur’an mempunyai tingkat fasohah dan balaghoh yang tinggi.
Sedangkan dari aspek isi pesan dan kandungan maknanya melampaui batas-batas kemampuan manusia.
Banyak dari ulama-ulama kemudian mulai menyusun ilmu nahwu, shorof dan balaghoh untuk
mengetahui kesusastraan dan keindahan dalam Al-Qur’an.

Ilmu Balaghoh sebagaimana ilmu lain berangkat  dari sebuah proses penalaran untuk menemukan
pengetahuan yang di anggap benar kemudian disatukan menjadi kumpulan teori. Setelah teori itu
terkumpul dengan pembagian-pembagian yang spesifik, maka ada kecenderungan untuk mempelajari
bagian-bagian tersebut secara parsial. Ilmu Balaghoh kemudian disusun oleh pakar bahasa dengan di
kelompokan menjadi tiga bagian yaitu bayan,ma’ani dan badi’. Dalam makalah ini kami hanya akan
membahas tentang  Ilmu Ma’ani.

Ma’ani adalah jamak dari ma‟na, secara leksikal berarti arti, adapun secara istilah ilmu yang mengetahui
hal atau ihwal lafal bahasa yang bergantung kepada tuntunan situasi dan kondisi. Memahami makna Al-
Qur‟an berarti mampu menangkap makna dan pesan-pesan Ilahiah yang terkandung di dalamnya.

Berdasarkan pengertian di atas, maka secara bahasa kata Ma’ani Al-Qur’an dapat di artikan kepada
makna-makna tentang Al-Qur’an.
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga paper ini dapat
tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa pembaca
praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih
banyak kekurangan dalam penyusunan paper ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan paper ini.
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Al-Qur‟an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui
perantaraan malaikat Jibril. Kemudian Nabi Muhammad menyampaikan kepada seluruh umat
Islam tentang isi-isi al-Qur‟an. Sehingga sekarang kita masih dapat membaca dan menghafal
al-Qur‟an melalui usaha para sahabat dan tabi‟in dalam menulis dan membukukan al-
Qur‟an. 1 Al-Qur‟an merupakan mukjizat yang dikurniakan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad. Banyak rahsia yang terkandung di dalam al-Qur‟an yang sehingga sekarang
masih dikaji oleh setiap manusia yang bukan saja dari kalangan umat Islam, malah bangsa-
bangsa Barat juga turut mengkaji rahsia keilmuannya.
Salah satu rahsia keagungan al-Qur‟an adalah, daripada aspek bahasanya. Penggunaan
bahasa dalam ayat al-Qur‟an sangat tinggi sehingga memerlukan ilmu yang banyak untuk
memahami suatu ayat. Melalui al-Qur‟an ini muncul satu ilmu yang berkaitan dengan
Bahasa Arab yaitu Ilmu Balaghah. Sebagai ilmu, balaghah selain menjadi “pisau analisis”
untuk menggali berbagai teks keagamaan yang berbahasa Arab, seperti al-Quran, hadits atau
teks sastra Arab, juga dapat membimbing seseorang menjadi cerdas berbahasa dalam
pergaulan sehari-hari. Hal ini tidaklah berlebihan jika didasarkan pada fungsi dan peran ilmu
ini. Dalam wilayah kajian stilistika, ada tiga peran ilmu balaghah. Pertama, balaghah dapat
membimbing seseorang yang berbahasa sesuai dengan konteks atau tuntutan keadaan saat ia
berbicara, sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan „ilmu ma‟ani. Kedua, balaghah
juga mengajarkan tentang ide-ide, gagasan, atau maksud dan tujuan melalui bahasa yang
indah dan menarik, sebagaimana dijabarkan dalam „ilmu bayan. Ketiga, balaghah
menjelaskan tentang segi-segi yang dapat memperindah sebuah bahasa, baik dari aspek lafaz
maupun maknanya, sebagaimana yang dikaji dalam ilmu badi‟.
Dengan demikian, balaghah sebagai sebuah disiplin ilmu, memiliki tiga disiplin ilmu
sekaligus, yakni ilmu ma‟ani, „ilmu bayan, dan ilmu badi‟. Dalam ilmu ma‟ani, kita dituntun
untuk dapat berbicara sesuai dengan tuntunan situasi dan kondisi (muqtadha al-hal), seperti
situasi dan kondisi lawan bicara, ada orang yang polos (khali al-dzihni), ada orang yang
meragukan (mutaraddid), dan juga ada orang yang mengingkari (munkir) apa yang kita
sampaikan. Kondisi seperti ini akan menuntut gaya pengungkapan tersendiri. Sesungguhnya
ilmu ma‟ani merupakan bagian terpenting sebelum ilmu bayan dan ilmu badi‟ dalam kajian
ilmu balaghah. Ilmu ini menuntun kita untuk dapat menyesuaikan pembicaraan dengan
tuntutan konteks atau keadaan pada saat berbicara (muthabaqat al-kalam bi muqtadha al-hal).
Oleh karena itu, dalam ilmu ini lebih ditekankan bagaimana menempatkan kemampuan
berbahasa dalam kondisi yang berbeda-beda, sesuai dengan perubahan keadaan.
Secara garis besar, objek kajian ilmu ma‟ani adalah uslub khabari, uslub insya‟i, qashr,
fashal, washal, ijaz, ithnab, dan musawah. Uslub insya‟i adalah ungkapan yang isinya tidak
dapat dinilai atau dihukumi benar atau bohong. Ungkapan ini sering disebut kalimat
imperatif. Contohnya antara lain, kalimat perintah (amar), kalimat larangan (nahi), kalimat
tanya (istifham), kalimat panggilan (nida‟), dan sebagainya.
PEMBAHASAN

SEPUTAR MA’ANI AL-QUR’AN

A. Pengertian Ma’ani Al-Qur’an


Ma‟ani adalah jamak dari ma‟na, secara leksikal berarti arti, adapun secara istilah ilmu
yang mengetahui hal atau ihwal lafal bahasa yang bergantung kepada tuntunan situasi dan
kondisi. Memahami makna al-Qur‟an berarti mampu menangkap makna dan pesan-pesan
Ilahiah yang terkandung di dalamnya. Pemahaman itu akan dijadikan sebuah pedoman oleh
umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Adapun al-Qur‟an secara Harfiah,
berasal dari kata qara‟a yang berarti membaca atau mengumpulkan, kedua makna ini
mempunyai maksud yang sama; membaca atau mengumpulkan, karena orang yang membaca
secara tidak langsung telah mengumpulkan ide-ide atau gagasan yang terdapat dalam sesuatu
yang ia baca. Dalam surat al-Alaq, ayat pertama, yang memerintahkan manusia untuk
membaca atau mengumpulkan.
Perlu diketahui di balik perintah dan larangan Allah pastinya terdapat hikmah bagi
hambanya, Surat al-alaq ayat pertama bermakna bahwa Allah menyuruh umat Islam
mengumpulkan tujuan melalui gagasan, bukti atau ide yang terkumpul dalam pikirannya itu,
untuk memperoleh suatu kesimpulan bahwa segala yang ada ini diatur oleh Allah.
1.Berdasarkan pengertian di atas, maka secara bahasa kata Ma‟ani alQur‟an dapat di artikan
kepada makna-makna tentang al-Qur‟an. Secara terminologi, al-Qur‟an berarti “kalam Allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril, sampai kepada kita
secara mutawatir. Dimulai dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-nas, dan
dinilai ibadah (berpahala) bagi setiap orang yang membacanya.
2. Al-Qur‟an diwahyukan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab secara teologis, versi
al-Qur‟an dalam bahasa arablah yang dianggap sebagai al-Qur‟an yang asli, firman yang
berasal langsung dari Allah dan dibaca dalam praktik ibadah. Tidak satupun terjemahan yang
bisa disejajarkan dengan al-Qur‟an, atau sebagai firman Allah, dan tidak ada satu pun dari
terjemahan itu yang memiliki status yang sama dengan versi arabnya, terjemahan dipandang
kaum muslim hanya sebagai alat untuk memahami makna-makna al-Qur‟an.
Semua Muslim, Arab maupun non Arab, mempelajari dan membaca al-Qur‟an, atau
sebagian darinya, dalam bahasa Arab, dengan maksud mendapatkan kepuasan dan berkah
pengucapan firman suci; firman inilah yang terungkap dari lisa Nabi dan dibaca oleh
sahabatsahabatnya, maupun oleh generasi muslim berikutnya, di negeri-negeri yang berbeda
dan di sepanjang era Islam. Tidak ada satu terjemahan yang bisa menempati kedudukan ini.
Para pemerhati dari kalangan Kristen akan menyadari bahwa al-Qur‟an sama sekali berbeda
dari Injil. Al-Qur‟an pada mulanya dibacakan kepada masyarakat Arab yang memiliki
keunggulan dalam hal kefasihan bahasa dan kekayaan sastra, khususnya syair, baik pengikut
maupun musuh-musuh Nabi mengakui kemukjizatan al-Qur‟an dan kemustahilannya untuk
ditiru kaum beriman yang mendengar al-Qur‟an dibacakan oleh Nabi dan mengakui betapa
berbedanya ia dari ucapan Nabi sehari-sehari menemukan bukti yang semakin kuat bahwa al-
Qur‟an berasal dari Allah. Bahkan salah seorang musuh Nabi yang merasa takjub terhadap
keindahan bahasa al-Qur‟an melukiskannya dengan kata-kata, “Ia naik ketempat tertinggi
sehingga tidak ada yang mampu mengunggulinya, dan ia menghancurkan apa yang ada di
bawahnya” demikianlah al-Qur‟an memiliki gaya bahasa khas dan luhur yang langsung
membedakannya dari jenis bahasa yang lain dan ini diakui oleh orang-orang Arab, baik yang
muslim maupun non-muslim. Dengan merenungkan ayat-ayat-Nya, orang tidak akan
berhenti mengagumi kesegaran ungkapannya, karena itu, tidak aneh jika orang-orang Arab
awam dari segala lapisan masyarakat dapat dengan mudah memahami dan merasakan
pengaruhnya yang luar biasa. Bagaimanapun pesan al-Qur‟an pada hakikatnya ditujukan
kepada kelompok ini tanpa membeda-bedakan kelas, jenis kelamin atau usia, dan tanpa
startifikasi kerohanian. Inilah bahasa yang masih terus-menerus digunakan nyaris dalam
semua kontek sosial dan budaya.
1. Ciri Khas Gaya Bahasa Al-Qur‟an Sebagaimana telah disebutkan, al-Qur‟an memiliki
gaya bahasa yang khas, dan pembacanya harus mencermati beberapa ciri khas penting
dalam gaya bahasa ini.Banyak surat al-Qur‟an yang mencampur sejumlah subjek,
misalnya keimanan, ibadat, moral dan hukum diperkuat dengan cara mengkaitkan dengan
keimanan, ibadah, dan moral. Ayat kursi misalnya yang menampilkan sifat-sifat
keagungan Allah, datang setelah perintah kepada kaum beriman untuk menyedekahkan
sebagian hartanya sebelum tiba suatu hari di mana tidak ada harta maupun persahabatan
yang mampu menghindarkannya dari hadapan Allah Yang Maha Agung, orang-orang
yang tidak memahami bagaimana al-Qur‟an memaparkan tujuannya sendiri, mengkritik
hal serupa ini sebagai “kesimpangsiuran”. Terdapat dalam surat al-baqarah ayat 237 yang
menerangkan tentang pemberian nafkah dalam percaraian, yang sering kali disertai
dengan kepahitan dan sifat kikir, alQur‟an tiba-tiba saja mengingatkan manusia untuk
“memelihara shalat dan berdiri di depan Allah dengan penuh pengabdian” yang terdapat
pada ayat 238 surat al-baqarah. Jika al-Qur‟an tersusun secara kronologis, tentulah ia
akan menjadi sebuah biografi atau catatan sejarah. Seandainya ia tidak mencampur
materimateri berbeda, katakanlah mengenai Allah dan shalat, dalam satu bab terpisah
atau menyisipkan dengan bab-bab yang lain.
Tentu ia akan memiliki pengaruh yang kuat yang timbul sebagai akibat
penggunaan tema-tema ini dengan tujuan untuk memperteguh pesan-pesannya di
berbagai tempat. AlQur‟an bukan sebuah tesis akademik, melainkan kitab petunjuk dan
memiliki metode tersendiri dalam targhib (memberikan anjuran) dan tarhib
( menyampaikan ancaman) sehingga keduanya berjalan seimbang. Inilah cirri khas
penting al-Qur‟an. Dengan demikian, dapat ditemukan sesuatu yang kontras dalam ayat-
ayatnya: setiap kali ia berbicara tentang surga dan pahala untuk orang-orang saleh, selalu
didampingi dengan penyebutan Neraka dan azab bagi para pelaku kejahatan, karena al-
Qur‟an mengakui bahwa akan selalu ada orang yang berbuat baik maupun terdapat orang
berbuat jahat, penjelasan itu terdapat pada surat al-insan ayat 3. Orang-orang yang
merasa bahwa al-Qur‟an terlalu banyak berbicara tentang azab seharusnya ingat bahwa
al-Qur‟an juga berbicara tentang pahala bagi orang-orang saleh: Allah memberikan
ampunan dan sekaligus menurunkan azab, penjelasan tersebut terdapat dalam surat al-hijr
ayat 49-50. Meskipun al-Qur‟an tidak ditulis dalam bentuk sebuah naskah yang
disunting, dan Nabi juga tidak ikut campur dalam susunannya yang telah ditetapkan
Allah, misalnya dengan menambah kalimat penyambung di sana sini, namun hubungan
antara ayat-ayat di dalam setiap surat, dapat dengan mudah dipahami dalam bahasa Arab
mungkin dengan menggunakan kata sambung pendek atau kata ganti atau dengan
mengulangi kata-kata tertentu yang merujuk kepada ayat sebelumnya, atau dengan
menyingkatkanya, atau dengan memberikan contoh. Al-Qur‟an dapat saja meletakkan
ayatnya dalam urutan historis, misalnya menggunakan kata penghubung untuk
mengetahui keberurutan suatu hubungan seperti “lalu atau “setelah itu” karena pola
keberurutan itu dengan sendirinya telah menunjukan adanya kaitan yang erat.
Ada kalanya kata sambung ditiadakan namun keruntutannya tetap terjaga. Dalam
buku tentang retorika bahasa Arab, gaya bahasa ini dikenal sebagai fashl (pemutusan
atau pemenggalan). Dalam beberapa situasi, tanpa perlu menggunakan kata sambung,
kita tetap dapat menetapkan keberkaitan dengan ayat sebelumnya, surat al-Baqarah ayat
1-5, yang berbicara tentang orangorang beriman; sedangkan ayat ke 6 pada surat yang
sama berbicara tentang orang-orang kafir, dengan tidak menggunakan kata sambung. Al-
Qur‟an diturunkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Ia merespon berbagai macam
permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, terutama masyarakat Arab di
mana ia diturunkan. Banyak permasalahan terjadi pada penghuni arab yang
diperbincangkan saja tetapi juga memberikan solusi, pandangan, dan penilaian terhadap
persoalan itu, baik positif maupun negatif.
Panadangan atau penilaiannya ini menjadi ajaran yang mesti ditaati oleh
komunitas muslim. Maka untuk memahami al-Qur‟an yang menjadi pedoman yang suci
dan juga menjadi sumber utama pengetahuan Islam. kajian tentang sosiologishistoris
masyarakat Arab ketika al-Qur‟an diturunkan menjadi suatu hal yang mesti dikuasai.
Pengetahuan mengenainya dapat membantu mufassir memahami al-Qur‟an. Oleh
karenanya, pengetahuan tentang asbabun nuzul menjadi penting dalam menafsirkan al-
Qur‟an, asbabun nuzul mesti dipedomani dan dijadikan sumber dalam menangkap
makna dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an. Al-Qur‟an menetapkan sejumlah ketentuan-
ketentuan yang mesti dipatuhi. Akan tetapi, kadang-kadang suatu persoalan yang sudah
ditetapkan tidak berlaku kekal, terjadi perubahan terhadap ketentuan tersebut, suatu
ketentuan diganti dengan ketentuan lain guna memberikan kelapangan kepada manusia.
Namun, ayat al-Qur‟an mengandung ketetapan yang telah dirubah meski secara fungsi
tidak diamalkan tapi masih terdapat dalam al-Qur‟an.
Maka untuk memahami ayat-ayat seperti ini, seorang mufassir perlu pula
menguasai ilmu an-nasih wa al-mansukh10 Di antara isi al-Qur‟an itu ada yang dapat
dipahami dengan mudah ada pula yang tidak, atau dengan kata lain biasanya disebut
dengan ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, untuk memahami ayat-ayat
muhakam tidak membutuhkan penjelasan, karena ia memiliki makna yang jelas.
2. Muhkam dan Mutasyabih
Pengertian muhkam pada pembahasan ini yaitu merupakan isim maf‟ul yang di ambil
dari wajan af‟ala ahkama yang di artikan secara harfiah semakna dengan atqana atau
mutqan14 yang berarti kuat atau dikuatkan. Secara etimologi, muhkam berarti wadhih
(jelas). Adapun mutasyabih di ambil dari isim fa‟il tasyabaha, yang semakna dengan kata
mumatsalah yang berarti serupa, samar-samar atau (tidak jelas). Berdasarkan makna
harfiah di atas, maka muhkam secara terminology ialah ayat-ayat al-Qur‟an yang jelas
maknanya; ia tidak mempunyai kemungkinan makna lain selain makna yang jelas itu”.
Sedangkan mutasyabih berarti “ayat-ayat al-Qur‟an yang belum jelas maknanya; ia
mempunyai beberapa kemungkinan makna yang masih samar, mana di antara makna-
makna itu yang mesti digunakan dalam menafsirkan ayat yang bersangkutan”. Ayat
muhkam, misalnya terdapat dalam firman Allah surah alan‟am ayat 151 dan 152.
Artinya: Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang
yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari kiamat), sedang bagi mereka
tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafaat pun selain daripada Allah, agar mereka
bertakwa. Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi
hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya. Kamu tidak memikul
tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun tidak memikul
tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak)
mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orangorang yang dzalim.(QS. Al-An‟am: 51-
52).
1. Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Umum
Jika Muhkam ditinjau dari sisi universal maka muhkam dapat di artikan dalil-dalil
yang kokoh yang terlepas dari kekeliruan, jika seseorang mengatakan , kalamuka
muhkam yang berarti (perkataan anada jelas) yang menunjukan sifatnya jelas dan
tidak dibutuhkan penjelasan.
Al-Qur‟an itu seluruhnya muhkam, maksudnya Al-Qur‟an itu katakatanya kokoh,
fasih (indah dan jelas), dan ia membedakan antara yang haq dengan yang batil, serta
antara yang benar dan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan muhkam dalam arti
yang umum. Adapun mutasyabih, secara bahasa berarti salah satu dari dua hal serupa
dengan yang lain. Tasyabuh al-kalam berarti kesamaan dan kesesuaian perkataan,
karena sebagiannya membenarkan sebagian yang lain.
2. Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Khusus
Dalam Al-Qur‟an Al-Karim terdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam
arti khusus, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt. dalam surat Ali-Imran
ayat 7 yang menjelaskan pengertian muhkam dan mutasyabih, meski terdapat banyak
perbedaan pendapat. Namun yang terpenting di antaranya adalah: Pertama: Muhkam
adalah ayat yang mudah dketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanya diketahui
maksudnya oleh Allah sendiri. Kedua: Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung
satu sisi makna saja (wajhan wahidan), sedangkan mutasyabih mengandung banyak
makna (awjuh). Ketiga: Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara
langsung, tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan mutasyabih tidak seperti itu,
ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain. Para ulama
memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Al-Qur‟an dengan ayat-ayat nasikh,
ayat-ayat tentang halal dan haram, hudud, kewajiban, janji dan ancaman.
3 Konstruksi Tafsir dalam Ma’ani al-Qur’an
Kitab ini terlahir dari seorang ahli bahasa di kota Kuffah. Tidak popular apabila
dalam karya kitab ini yang berbasis linguistic terbukti dalam setiap sendi-sendi
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an ditinjau dari ruang historisitas yang
melingkupi al-Farra‟ dan motif dari penulisan kitabnya, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa kitab ini lebih cocok disebut tafsir linguistik al-Qur‟an (tafsir
lughawy). Setidaknya gambaran umum sekitar konstruksi tafsir al-Farra‟ ini dapat
dilihat dari bagian pendahuluan kitabnya, meskipun dalam bentuk yang sangat
singkat sekali. Perawi level kedua tafsir ini meriwayatkan dari perawi yang pertama
yakni Muhammad ibn al-Jahm, bahwa pada awal mulanya, alFarra‟ menyatakan
bahwa karyanya ini adalah tafsir Musykili I‟rabil Qur‟an wa Ma‟anihi (Penafsiran
atas problem I‟rab dan semantikal alQur‟an). Sebuah ungkapan yang sangat simple
dan fundamental. Jika memang nama ini adalah yang dimaksud al-Farra‟ dalam
karya tafsirnya, maka hal ini menunjukan maksud utama al-Farra‟ dalam tafsirnya,
yakni konsentrasi prioritas tafsirnya ini hanya bergulat pada aspek gramatikal ayat,
tidak menyangkut hal lainnya.
Hal ini diperkuat dengan mayoritas karya-karyanya yang hampir seluruhnya
bertemakan gramatikal bahasa arab seperti, al-Mudzakar wal Mu‟annats, Maqshur
wa al-Mamdud, dan lain sebagainya. Jika karya ini di sejajarkan dengan penggagas
ilmu semantik yang bernama toshiko izutsu, maka karya ia tidak jauh berbeda dengan
karya yang di gagas oleh Al-Fara‟ sebagaimana yang telah dipaparkan di atas bahwa
AlFara‟ memaknai hanya terfokus pada I‟rab dari sebuah kata dalam al-Qur‟an oleh
Karenanya tujuannya inilah, harus dipahami bahwa yang menarik perhatian al-Farra‟
adalah bukan pesan dasar al-Qur‟an secara holistik, tetapi hanya unit-unit terkecil al-
Qur‟an pada bagian-bagian tertentu saja Sama halnya dengan toshiko izutsu yang
terfokus kepada semantik historis kebahasaan Al-Qur‟an.
PENUTUP

Kesimpulan

Kami penyimpulkan bahwa ilmu ma’ani adalah ilmu yang mengetahui hal atau ihwal
lafal bahasa yang bergantung kepada tuntunan situasi dan kondisi. Secara umum seperti itulah
ilmu ma’ani. Masih banyak pembahasan tentang ilmu ini baik dari segi objek kajiannya dan
sebagainya. Untuk itu, kami hanya menjelaskan secara umum saja mengenai ilmu ma’ani ini.
Dengan melihat objeknya mempelajari ilmu ini dapat memberi manfaat sebagai beriku :
a. Mengetahui kemukjizatan Al-Qur’an berupa segi kebagusan penyampaian, keindahan
deskripsinya, pemilihan diksi, dan penyatuan antara sentuhan akan dan qalbu.
b. Menguasai rahasia-rahasia ketinggian dan kefasihan bahasa arab baik pada sya’ir maupun
prosesnya. Dengan mempelajari ilmu ma’ani kita bisa membedakan mana ungkapan yang
benar dan yang tidak, yang indah dan yang rendah, dan yang teratur dan yang tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hasyimi, Ahmad, al-sayid. 1960. Jawahir al-balaghah fi al-ma’aniy wa al-bayan wa al-


badi’.Surabaya: Dar Ihya al-kutub al-Arabiyyah.

Bana, Hadam. 2006. Al-balaghah fi ilmi ma’aniy. Ponorogo:  kuliah al-mualimin al-
islamiyah.

Dzul Iman, Maman, 2003  menyingkap rahasia balaghah dalam karya al-Barzanjiy.
Yogyakarta: Depublish

Hamied, Abdul Qodir. Tth. Terjemah jauharul maknun Ilmu balaghah. Surabaya: Al-
Hidayah.

Anda mungkin juga menyukai