Anda di halaman 1dari 20

1

LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN PEKALONGAN
2022
2

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

A. Konsep Dasar Isolasi Sosial


1. Pengertian Isolasi Sosial
Menurut Sutejo (2019, p. 43) Isolasi Sosial adalah keadaan di mana
seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak
mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Isolasi sosial
merupakan keadaan ketika individu atau kelompok memiliki kebutuhan
atau hasrat untusk memiliki keterlibatan kontak dengan orang, tetapi tidak
mampu membuat kontak tersebut (Carpenito-Moyet 2009). Gangguan
isolasi sosial dapat terjadi karena individu merasa ditolak, tidak diterima,
kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang
lain.
Isolasi sosial adalah upaya menghindari suatu hubungan komunikasi
dengan orang lain karena merasa kehilangan hubungan akrab dan tidak
mempunyai kesempatan untuk berbagi rasa, pikiran dan kegagalan. Klien
mengalami kesulitan dalam berhubungan secara spontan dengan orang lain
yang dimanifestasikan dengan mengisolasi diri, tidak ada perhatian, dan
tidak sanggup berbagi pengalaman (Balitbang, 2007 dalam Direja, 2017,
p. 22). Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi
akibat adanya kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku
maladaptif dan mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial
(DepKes RI, 2000).
Townsend (1998) dikutip oleh Deden Dermawan (2013) menyatakan
bahwa isolasi sosial merupakan kesendirian yang dialami oleh individu
dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan
negatif atau mengancam. Kelainan interaksi sosial terjadi dimana seorang
individu beradaptasi dalam suatu kuantitas yang tidak cukup atau
berlebihan kualitas interaksi sosial yang tidak efektif.
3

2. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menyendiri Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsif
Kebersamaan ketergantungan Narsisisme
Saling ketergantungan
Gambar 2.1 Rentang Respon Sosial (Stuart, 2013)
Berdasarkan rentang respon sosial menurut Stuart (2013), dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Respons Adaptif
Respons adaptif adalah respons individu menyelesaikan suatu hal dengan
cara yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Respons ini
meliputi:
1) Menyendiri (Solitude)
Respons yang dilakukan individu dalam merenungkan hal yang telah
terjadi atau dilakukan dengan tujuan mengevaluasi diri untuk
kemudian menentukan rencana-rencana
2) Otonomi
Kemampuan individu dalam menyampaikan ide, pikiran, perasaan
dalam hubungan sosial. Individu manetapkan diri untuk interdependen
dan pengaturan diri.
3) Kebersamaan (Mutualisme)
Kemampuan atau kondisi individu dalam hubungan interpersonal
dimana individu mampu untuk saling memberi dan menerima dalam
hubungan sosial.
4) Saling Ketergantungan (Interdependen)
Suatu hubungan saling bergantung antara satu individu dengan
4

individu lain dalam hubungan sosial.


b. Respons Maladaptif
Respons maladaptif adalah respons individu dalam menyelesaikan
masalah dengan cara yang bertentangan dengan norma agama dan
masyarakat. Respons maladaptif tersebut antara lain:
1) Manipulasi
Gangguan sosial yang menyebabkan individu memperlakukan sebagai
objek, dimana hubungan terpusat pada pengendalian masalah orang
lain dan individu cenderung berorientasi pada diri sendiri. Sikap
mengontrol digunakan sebagai pertahanan terhadap kegagalan atau
frustasi yang dapat digunakan sebagai alat berkuasa atas orang lain.
2) Impulsif
Respons sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek yang
tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya, tidak mampu
merencanakan, tidak mampu untuk belajar dari pengalaman, dan tidak
dapat melakukan penilaian secara objektif.
3) Narsisme
Respons sosial ditandai dengan individu memiliki tingkah laku
egosentris, harga diri rapuh, berusaha mendapatkan penghargaan, dan
mudah marah jika tidak mendapat dukungan dari orang lain.

3. Etiologi
Menurut Dermawan, dkk (2013, p.37) menjelaskan bahwa etiologi isolasi
sosial dibagi menjadi:
a. Faktor Predisposisi
Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku
isolasi sosial. Antara lain:
1) Faktor Perkembangan
Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari masa
bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus sehingga
mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga
5

yang terganggu juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri.


Organisasi anggota keluarga bekerja sama dengan tenaga
profesional untuk mengembangkan gambaran yang lebih tepat
tentang hubungan antara kelainan jiwa dan stres keluarga.
Pendekatan kolaboratif dapat mengurangi masalah respon sosial
menarik diri.
2) Faktor Biologik
Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial maladaptif.
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel,
penurunan erat dan volume otak serta perubahan limbik diduga
dapat menyebabkan skizofrenia.
3) Faktor Sosiokultural
Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan berhubungan. Ini
merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung pendekatan
terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat
yang tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan berpenyakit
kronik. Isolasi dapat terjadi karena mengadopsi norma, perilaku
dan sistem nilai yang berbeda dari yang dimiliki budaya mayoritas.
Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan merupakan faktor
lain yang berkaitan dengan gangguan ini.
4) Faktor Dalam Keluarga
Pada komunikasi dalam keluarga dapat mengantar seseorang dalam
gangguan berhubungan, bila keluarga hanya menginformasikan
hal-hal yang negatif akan mendorong anak mengembangkan harga
diri rendah. Adanya dua pesan yang bertentangan disampaikan
pada saat yang bersamaan, mengakibatkan anak menjadi enggan
berkomunikasi dengan orang lain.
b. Faktor Presipitasi
Adapun faktor pencetus terdiri dari 4 sumber utama yang dapat
menentukan alam perasaan adalah sebagai berikut:
6

1) Kehilangan ketertarikan yang nyata atau yang dibayangkan,


termasuk kehilangan cinta seseorang. Fungsi fisik, kedudukan atau
harga diri, karena elemen aktual dan simbolik melibatkan konsep
kehilangan, maka konsep persepsi lain merupakan hal yang sangat
penting.
2) Peristiwa besar dalam kehidupan, sering dilaporkan sebagai
pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap
masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
3) Peran dan ketegangan peran telah dilaporkan mempengaruhi
depresi terutama pada wanita.
4) Perubahan fisiologis diakibatkan oleh obat-obatan berbagai
penyakit fisik seperti infeksi, meoplasma dan gangguan
keseimbangan metabolik dapat mencetus gangguan dalam
perasaan.
c. Faktor lain
1) Faktor genetik dianggap mempunyai transmin gangguan elektif
melalui riwayat keluarga atau keturunan.
2) Teori kehilangan objek merasakan kepada perpisahan traumatik
individu dengan benda atau sesuatu sampai sangat berarti.
3) Teori organisasi kepribadian mengenai bagian konsep yang negatif
dan harga diri rendah mempengaruhi sistem keyakinan penilaian
seseorang terhadap dirinya.
4) Teori agresi menyerang ke dalam menunjukkan bahwa depresi
dapat terjadi karena perasaan marah yang ditunjukkan pada diri
sendiri.
5) Metode kognitif menyatakan bahwa depresi merupakan masalah
kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap
dunia seseorang dimasa depan seseorang.
6) Metode ketidakberdayaan yang dipelajari menunjukkan bahwa
semata-mata trauma menyebutkan depresi tetapi keyakinan bahwa
7

seseorang tidak mampu mengendalikan terhadap hasil yang penting


dalam kehidupannya. Oleh karena itu dia menolak respon dan
adaktif.
7) Model perilaku berkembang dari kerangka teori belajar sosial yang
mengansumsikan keinginan penyebab depresi terlacak pada
kerangka keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan.
8) Metode biologi menguraikan perubahan kimia dalam tubuh terjadi
selama masa depresi, termasuk depresi katakoloni, disfungsi
endoktrin dan variasi periodik serta irama biologis.

4. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan gangguan jiwa
isolasi sosial menurut (Dermawan D dan Rusdi, 2013) antara lain:
a. Gejala Subjektif
1) Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2) Respon verbal kurang atau singkat.
3) Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
4) Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5) Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
6) Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
7) Klien merasa tidak berguna.
8) Klien merasa ditolak.
9) Klien tidak yakin dapat melangsungkan hidup.
b. Tanda Objektif
1) Klien banyak diam dan tidak bicara
2) Banyak berdiam diri di kamar..
3) Tidak mengikuti kegiatan.
4) Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang
terdekat.
5) Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6) Kontak mata kurang.
8

7) Kurang spontan.
8) Apatis (acuh terhadap lingkungan).
9) Ekspresi wajah kurang berseri
10) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri.
11) Mengisolasi diri.
12) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
13) Memasukkan makanan dan minuman terganggu.
14) Retensi urine dan feses.
15) Aktifitas menurun.
16) Kurang energi (tenaga).
17) Rendah diri.
18) Postur tubuh berubah, misalnya sikap fetus/janin (khususnya pada
posisi tidur).

5. Patofisiologi
Menurut Sutejo (2019, p.50) klien yang mengalami Isolasi Sosial
beranggapan bahwa sumber atau penyebab Isolasi Sosial berasal dari
lingkungan sekitarnya. Padahal rangsangan primer merupakan kebutuhan
perlindungan diri secara psikologik terhadap kejadian traumatik
sehubungan rasa marah, sepi, bermasalah dan takut dengan orang yang
dicintai, tidak dapat dikatakan segala sesuatu yang dapat mengancam
harga diri (self estreem) dan kebutuhan keluarga dapat meningkatkan
kecemasan. Adapun hubungan dengan ketakutan akan penolakan,
disebabkan oleh :
1) Obesitas
2) Kanker (operasi kepala atau leher yang bersifat merusak tampilan, dll)
3) Cacat fisik, seperti cacat akibat amputasi, radang sendi, dll.
4) Cacat emosional, seperti depresi, paranoid, fobia, dan ansietas ekstrem.
5) Penyakit komunikabel, seperti AIDS dan hepatitis
Mekanisme koping yang adekuat diperlukan untuk dapat mengatasi
masalah-masalah yang berkaitan dengan ansietas. Sumber-sumber koping
9

meliputi ekonomi, teknik pertahanan, kemampuan menyelesaikan masalah,


motivasi dan dukungan sosial. Sumber koping sebagai model ekonomi
dapat membantu seorang mengintegrasikan pengalaman yang
menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
Dukungan sosial dari peningkatan respon psikofisiologis yang adaptif,
motivasi berasal dari dukungan keluarga ataupun individu sendiri sangat
penting untuk meningkatkan kepercayaan diri pada individu (Stuart &
Sundeen, 1998).

6. Mekanisme Koping
Menurut Struart and Sundeen (1999) dalam Dermawan (2013, p. 40)
mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Kecemasan koping yang sering digunakan adalah Regresi, Represi, dan
Isolasi.
a. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
b. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran yang tidak dapat
diterima, secara sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
c. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan
timbulnya kegagalan defensif dalam menghubungkan perilaku dengan
motivasi atau pertentangan antara sikap dan perilaku.

Sedangkan contoh sumber koping yang dapat digunakan misalnya


keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan teman,
hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan kreatifitas untuk
mengekspresikan stress interpersonal seperti kesenian music atau tulisan.

7. Komplikasi
Menurut (Dalami, 2009) dalam Dermawan (2013, p. 40) Klien dengan
isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa
lalu primitive antara pembicaraan yang austic dan tingkah laku yang tidak
10

sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko


gangguan sensori persepi: halusinasi, mencederai diri sendiri, orang lain
serta lingkungan dan penurunan aktivitas sehingga dapat menyebabkan
defisit perawatan diri.

8. Penatalaksanaan
Menurut Eko Prabowo (2014, p. 145) penatalaksanaan untuk klien
dengan gangguan jiwa isolasi sosial terbagi menjadi:
a. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis, klien akan mendapatkan terapi
somatik atau organobioligi. Terapi somatik atau organobiologi
merupakan terapi yang diberikan pada pasien gangguan jiwa dengan
tujuan mengubah perilaku yang maladaptive menjadi perilaku yang
adaptive. Terapi somatik atau organobiologi terbagi menjadi:
1) Terapi Farmakologi
Dalam terapi farmakologi ada tiga jenis obat yang digunakan untuk
klien isolasi sosial yaitu:
a. Chlorpromazine (CPZ)
Indikasi: untuk sindrom psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya
nilai norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam
fungsi-fungsi mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat
dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja,
hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotonik,
antikolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam
miksi, dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan
intra okuler meninggi, gangguan irama jantung, gangguan
ekstra piramidal (distonia akut, akatshia, sindroma
parkinson/tremor, bradikinesia rigiditas), gangguan endokrin,
11

metabolik, hematologik, agranulosis, biasanya untuk


pemakaian jangka panjang.
b. Haloperidol (HLD)
Indikasi: berdaya berat dalam kemampuan menilai realita
dalam fungsi netral serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari.
Efek samping: kantuk, pusing, sakit kepala, sulit tidur, sulit
buang air kecil, lemas.
c. Trihexyphenidyl (THP)
Indikasi: segala jenis penyakit parkinson, termasuk paska
ensepalitis dan idiopatik, sindrom parkinson akibat obat
misalnya reserpin dan fenotiazine.
Efek samping: konstipasi, pusing, mulut kering, mual dan
muntah, sakit kepala, lelah, lemas, dan mengantuk.
2) Electro Convulsive Therapy (ECT)
Menurut Dermawan, dkk (2013, p. 40) menyebutkan bahwa
Electro Convulsive Therapy (ECT) atau yang lebih dikenal dengan
elektroshock adalah suatu terapi psikiatri yang menggunakan
energi shock listrik dalam usaha pengobatannya. Biasanya ECT
ditujukan untuk terapi pasien gangguan jiwa yang tidak berespon
kepada obat psikiatri pada dosis terapinya. ECT pertama kali
diperkenalkan oleh 2 orang neurologist Italia Ugo Cerletti dan
Lucio Bini pada tahun 1930. Diperkirakan hampir 1 juta orang
didunia mendapat terapi ECT setiap tahunnya dengan intensitas
antara 2-3 kali seminggu.
ECT bertujuan untuk menginduksi suatu kejang klonik yang
dapat memberi efek terapi (Therapeutic Clonic Seizure) setidaknya
selama 15 detik. Kejang yang dimaksu adalah suatu kejang dimana
seseorang kehilangan kesadarannya dan mengalami rejatan.
Tentang mekanisme pasti dari kerja ECT sampai saat ini masih
belum dapat dijelaskan dengan memuaskan. Namun beberapa
penelitian menunjukkan kalau ECT dapat meningkatkan kadar
12

serum Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) pada pasien


depresi yang tidak responsif terhadap terapi farmakologis.
3) Terapi Okupasi
Terapi okupasi adalah bentuk layanan kesehatan kepada
masyarakat atau pasien yang mengalami gangguan fisik dan atau
mental dengan menggunakan latihan atau aktivitas mengerjakan
sasaran yang terseleksi (okupasi).
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Terapi Aktivitas
a) Terapi music
Fokus: mendengar, memainkan alat music, bernyanyi, Yaitu
menikmati dengan relaksasi musik yang disukai pasien.
b) Terapi seni
Fokus: untuk mengepreksikan perasaan melalui berbagai
pekerjaan seni.
c) Terapi menari
Fokus pada: ekspresi perasaan melalui gerakan tubuh
d) Terapi relaksasi
Belajar dan praktek relaksasi dalan kelompok
Rasional: untuk koping/prilaku mal adaptif/deskriptif,
meningkatkan partisipasi dan kesenangan pasien dalam
kehidupan,
2. Terapi Kelompok
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) adalah suatu bentuk terapi yang
didasarkan pada pembelajaran hubugan interpersonal. Fokus terapi
aktivitas kelompok adalah membuat sadar diri (self awereness),
peningkatan hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau
ketiganya.
3. Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah suatu tindakan penyembuhan penderita
dengan gangguan jiwa melalui manipulasi unsur yang ada di
13

lingkungan dan berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Upaya


terapi harus bersifat komprehensif, holistik, dan multidisipliner.
4. Terapi Keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien.
Perawat membantu keluarga mampu melakukan lima tugas
kesehatan yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan
tindakan kesehatan, memberikan perawatan pada anggota keluarga
yang sehat, menciptakan lingkungan yang sehat, dan menggunakan
sumber yang ada dalam masyarakat.
5. Terapi Rehabilitasi
Program rehabilitasi dapat digunakan sejalan dengan terapi
modalitas lain atau berdiri sendiri, seperti terapi okupasi, rekreasi,
gerak, musik.
6. Terapi Psikodrama
Psikodarma menggunakan struktur maslaah emosi atau
pengalaman dalam suatu drama. Drama ini memberikan
kesempatan pada klien untuk menyadari perasaan, pikiran, dan
perilakuna yang mempengaruhi orang lain.

B. Proses Keperawatan
1. Pengkajian
Data pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping,
dan kemampuan koping yang memiliki klien (Hermawan, 2015).
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan, tahap pengkajian terdiri dari atas pengumpulan data dan
perumusan masalah. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual (Hutagalung, 2020).
Data yang diperoleh dikelompokkan menjadi data objektif dan data
subjektif. Data yang mungkin muncul pada klien isolasi sosial pada data
14

subjektif dapat ditemukan klien mengatakan malas berinteraksi, klien


mengatakan orang lain tidak mau menerima dirinya, klien mengatakan
dirinya tidak ingin ditemani perawat dan meminta untuk sendiri. Pada data
objektif yang mungkin muncul adalah klien terlihat menyendiri, klien tidak
mau bercakap-cakap dengan orang lain, klien terlihat mondar-mandir tanpa
tujuan, afek tumpul, dan kontak mata kurang (Dalami dkk, 2009).
Untuk mengkaji pasien isolasi sosial, dapat menggunakan teknik
wawancara dan observasi kepada pasien dan keluarga. Tanda dan gejala
isolasi sosial yang dapat diobservasi yaitu: tidak memiliki teman dekat,
tidak komunikatif, tindakan berulang dan tidak bermakna, klien asik
dengan pikirannya sendiri, tidak ada kontak mata, tampak sedih, afek
tumpul, apatis (acuh terhadap lingkungan skitar, mengisolasi diri, tidak
merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri (Dermawan dan
Rusdi, 2013).

a. Pohon Masalah

Risiko perubahan sensori Akibat


persepsi:halusinasi

Masalah
Isolasi Sosial: Menarik diri
Utama

Gangguan Konsep diri : Harga diri rendah Penyebab


kronis
Gambar 2.2 Pohon Masalah (Keliat dikutip oleh Sutejo, 2017 p.51)

b. Masalah Keperawatan:
1) Isolasi sosial: menarik diri
2) Risiko perubahan sensori persepsi: halusinasi
3) Gangguan konsep diri: harga diri rendah
15

2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan masalah keperawatan tersebut diagnosa keperawatan yang
muncul adalah Isolasi Sosial: Menarik Diri. (Muhith, 2015)

3. Perencanaan
Setelah mengetahui diagnosa keperawatan pada klien dengan isolasi
sosial, langkah selanjutnya yaitu menyusun perencanaan tindakan
keperawatan. Untuk membina hubungan saling percaya dengan klien
isolasi sosial perlu waktu yang tidak sebentar. Perawat harus konsisten
bersikap terapeutik pada klien. Selalu penuhi janji, kontak singkat tapi
sering dan penuhi kebutuhan dasarnya adalah upaya yang bisa dilakukan
(Trimelia, 2011).
Masalah isolasi sosial: menarik diri memiliki tujuan umum dan tujuh
tujuan khusus, yaitu diagnosa keperawatan isolasi sosial: menarik diri,
adapun Tujuan Umum (TUM) pada penderita isolasi sosial: klien dapat
berinteraksi dengan orang lain dengan kriteria hasil setelah melakukan dua
kali pertemuan, klien dapat menerima kehadiran perawat. Sementara itu,
tujuan khusus (TUK) pertama klien dapat membina hubungan saling
percaya dengan kriteria hasil klien mau menjawab salam, mau
menyebutkan nama, klien mau berjabat tangan, ada kontak mata, ekspresi
wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, klien mau duduk
berdampingan dengan perawat ataupun klien lainnya, mau mengutarakan
masalah yang dihadapi. Untuk intervensinya, sapa klien dengan ramah,
baik verbal maupun non verbal, perkenalkan diri dengan sopan, tanyakan
nama lengkap klien & nama panggilan yang disukai klien, jelaskan tujuan
pertemuan, jujur dan menepati janji, tunjukkan sikap empati dan menerima
klien apa adanya, beri perhatian pada klien dan perhatian kebutuhan dasar
klien. Rasionalnya: hubungan saling percaya merupakan dasar untuk
kelancaran hubungan interaksi selanjutnya.
16

Tujuan Khusus (TUK) kedua klien dapat menyebutkan penyebab


menarik diri dengan kriteria hasil klien dapat menyebutkan penyebab
menarik diri yang berasal dari: diri sendiri, orang lain, lingkungan.
Adapun intervensinya: kaji perilaku klien tentang perilaku menarik diri
dan tanda-tandanya, beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan
perasaan penyebab menarik diri atau tidak mau bergaul, diskusikan
bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab
yang muncul, berikan pujian terhadap kemampuan klien dalam
mengungkapkan perasaannya. Rasionalnya, diketahuinya penyebab akan
dapat dihubungkan dengan faktor resipitasi yang dialami klien.
Tujuan Khusus (TUK) ketiga klien dapat menyebutkan keuntungan
berhubungan dengan orang lain, dan kerugian tidak berhubungan dengan
orang lain. Kriteria hasil yang diharapkan klien dapat menyebutkan
keuntungan berhubungan dengan orang lain dan menyebutkan kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain. Adapun intervensinya: kaji
pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain, beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain, diskusikan bersama
klien tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain, beri
reinforcement positif terhadap kemampuan pengungkapan perasaan
tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain, kaji pengetahuan
klien tentang manfaat dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain,
beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain, diskusikan bersama klien
tentang kerugian tidak berhubungan dnegan orang lain, beri reinforcement
positif terhadap kemampuan pengungkapkan perasaan tentang kerugian
tidak berhubungan dengan orang lain. Rasionalnya: terbiasa membina
hubungan yang sehat dengan orang lain dan mengevaluasi manfaat yang
dirasakan klien sehingga timbul motivasi untuk berinteraksi.
Tujuan Khusus (TUK) keempat klien dapat melaksanakan hubungan
sosial secara bertahap dengan kriteria hasil klien dapat mendemonstrasikan
17

hubungan sosial secara bertahap antara: klien-perawat, klien-perawat-


klien, klien-perawat-keluarga, klien-perawat-kelompok. Adapun
intervensinya, kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang
lain, dorong dan bantu klien untuk berhubungan dengan orang lain melalui
tahap: klien-perawat, klien-perawat-perawat lain, klien-perawat-perawat
lain-klien lain, klien-perawat-keluarga-kelompok-masyarakat, beri
reinforcement terhadap keberhasilan yang telah dicapai, bantu klien untuk
mengevaluasi manfaat berhubungan, diskusikan jadwal harian yang
dilakukan bersama klien lain dalam mengisi waktu, motivasi klien untuk
mengikuti kegiatan ruangan, beri reinforcement atas kegiatan klien dalam
ruangan. Rasionalnya: untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan klien
berhubungan dengan orang lain.
Tujuan Khusus (TUK) kelima klien dapat mengungkapkan
perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain. Kriteria hasil yang
diharapkan klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan
dengan orang lain. Adapun intervensinya ialah dorong klien untuk
mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain,
diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan
orang lain, beri reinforcement positif atas kemampuan klien
mengungkapkan manfaat berhubungan dengan orang lain. Rasionalnya
keterlibatan keluarga sangat mendudkung terhadap proses perubahan
perilaku.
Tujuan Khusus (TUK) keenam klien dapat memberdayakan sistem
pendukung atau keluarga mampu mengembangkan kemampuan klien
untuk berhubungan dengan orang lain. Kriteria hasilnya yang diharapkan
keluarga dapat menjelaskan perasaannya, menjelaskan cara merawat
pasien menarik diri, mendemonstrasikan cara perawatan klien menarik
diri, berpartisipasi dalam merawat klien menarik diri. Untuk intervensinya
bina hubungan saling percaya dengan keluarga: salam perkenalkan diri,
sampaikan tujuan, buat kontak, eksplorasi perasaan keluarga, diskusikan
dengn anggota keluarga tentang perilaku menarik diri, penyebab perilaku
18

menarik diri, akibat yang akan terjadi jika perilaku menarik diri tidak
ditanggapi, cara keluarga menghadapi klien menarik diri, dorong anggota
keluarga untuk memberi dukungan kepada klien untuk berkomunikasi
dengan orang lain, anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian
menjenguk klien minimal satu minggu sekali, beri reinforcement atas hal-
hal yang telah dicapai oleh keluarga. Rasionalnya dengan keluarga klien
akan merasa diperhatikan.

4. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan pasien isolasi sosial menurut (Damaiyanti,
M & Iskandar 2012) yaitu:
a. Tindakan keperawatan pada pasien
Tindakan keperawatan dengan pendekatan strategi pelaksanaan
(SP) pada pasien:
1) Strategi Pelaksanaan 1 pasien: mengidentifikasi penyebab Isolasi
Sosial, berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan bila
berhubungan dengan orang lain, berdiskusi dengan pasien tentang
kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain, mengajarkan
pasien cara berkenalan, menganjurkan pasien memasukkan
kegiatan latihan berkenalan kedalam kegiatan harian.
2) Strategi Pelaksanaan 2 pasien: mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien, memberikan kesempatan pada pasien
memperatikkan cara berkenalan, mengajarkan pasien berkenalan
dengan orang pertama (seorang perawat), menganjurkan pasien
memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian.
3) Strategi Pelaksanaan 3 pasien: mengevaluasi jadwal kegiatan
harian pasien, memberikan kesempatan kepada pasien
memperatikkan cara berkenlaan dengan orang pertama, melatih
pasien berinteraksi secara bertahap (berkenalan dengan orang
kedua seorang pasien), menganjurkan pasien memasukkan
kedalam jadwal kegiatan harian.
19

b. Tindakan keperawatan pada keluarga


1) Strategi Pelaksanaan 1 keluarga: mendiskusikan masalah yang
dirasakan keluarga dalam merawat pasien, menjelaskan pengertian,
tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien beserta proses
terjadinya, menjelaskan cara-cara merawat pasien dengan Isolasi
Sosial.
2) Strategi Pelaksanaan 2 keluarga: melatih keluarga memperatikkan
cara merawat pasien dengan Isolasi Sosial, melatih keluarga
memperatikkan cara merawat langsung pasien Isolasi Sosial.
3) Strategi Pelaksanaan 3 keluarga: membantu keluarga membantu
jadwal aktivitas dirumah termasuk minum obat (discharge
planning), menjelaskan follow up pasien setelah pulang.

5. Evaluasi

Menurut keliat (2006,p.17) evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk


menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan
terus-menerus pada respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif yang
dilakukan setiap selesai melaksanakan tndakan, evaluasi hasil atau sumatif
yang dilakukan dengan membandingkan antara respons klien dan tujuan
khusus serta umum yang telah ditentukan.
Pada evaluasi perawat mengevaluasi respon pasien berdasarkan
kemampuan yang sudah diajarkan pada pasien, berupa evaluasi yang dapat
dilakukan untuk menilai respon verbal dan non verbal yang dapat
diobservasi oleh perawat berdasarkan respon yang ditunjukkan oleh pasien.
Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP:

Subjektif: Respon subyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang


telah dilaksanakan.
Objektif: Respon obyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan.
20

Assesment Analisa ulang atas data subyektif dan obyektif atau muncul
: untuk menyimpulkan apakah masalah baru atau ada data
yang kontradiksi dengan masalah yang ada.
Planning: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada
respon pasien. Latihan kemampuan yang sudah diajarkan
untuk mengontrol perilaku isolasi sosial.

Anda mungkin juga menyukai