Anda di halaman 1dari 34

TUGAS

HUKUM INTERNASIONAL

Dosen Pengampu :

Karlinae D. Bangas, S.H., M.H.

NIP : -

Disusun Oleh :

ANTUNG IRWANDA SYAFARULLAH


NIM : 213120601352
ROMBEL : MAHASISWA JALUR KERJASAMA 2021

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS HUKUM
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kasih

dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan “Makalah Hukum Internasional”

dapat disusun dan diselesaikan dengan baik.

Adapun makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kuliah Hukum Internasional. Tak

lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

pembuatan makalah ini. Dengan menyelesaikan makalah ini semoga dapat berguna bagi para

pembaca, serta teman- teman sekalian.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari sempurna, baik

dari segi penyusunan, bahasan, ataupun penulisannya. Oleh karena itu saya mengharapkan

kritik dan saran yang sifatnya membangun guna menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi

saya untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Palangka Raya, 24 Februari 2022

Penulis,

ANTUNG IRWANDA SYAFARULLAH


NIM 213120601352

i
DAFTAR ISI

HALAMAN
KATA PENGANTAR ............................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN
A. Kedudukan Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional .............................. 14
1. Keikutsertaan Indonesia dalam Beberapa Organisasi Internasional dalam
Bidang Ekonomi ............................................................................................ 14
2. Pembatasan Kedaulatan Indonesia Dalam Hukum Internasional Bidang
Ekonomi ......................................................................................................... 22
3. Batas-Batas Kedaulatan Negara ....................................................................... 9
4. Hukum Internasional Sebagai Pembatas Kedaulatan Negara ........................ 12
B. Kedudukan Kedaulatan Negara Indonesia Terkait dengan Hukum Internasional di
Bidang Ekonomi.................................................................................................... 14
1. Keikutsertaan Indonesia dalam Beberapa Organisasi Internasional dalam
Bidang Ekonomi ............................................................................................ 14
2. Pembatasan Kedaulatan Indonesia Dalam Hukum Internasional Bidang
Ekonomi ......................................................................................................... 22

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ........................................................................................................... 27
B. Saran...................................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedaulatan atas wilayah atau kedaulatan teritorial merupakan unsur terpenting

yang dimiliki suatu negara, dan kedaulatan itulah yang membedakan negara dengan

subjek hukum internasional lainnya. Sehingga pada tiap-tiap negara memiliki

kedaulatan masing-masing atas wilayahnya yang dibatasi oleh batas wilayah dan

kedaulatan negara lain. Kedaulatan teritorial adalah kedaulatan yang dimiliki oleh

suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Di dalam

wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya.1

Dengan demikian, kedaulatan menjadi alasan tiap-tiap masyarakat mematuhi aturan

dari pemerintahnya, dan jika tidak dipatuhi maka hilanglah hakikat unsur kekuasaan

tertinggi negara dari kedaulatan itu.

Negara-negara Eropa Barat yang telah menjalani peradaban modern selama

beberapa tahun kemudian memulai perjalanan ke dunia timur untuk mencari rempah-

rempah, untuk alasan pengetahuan, dan alasan-alasan lain. Perjalanan itu ternyata

berujung pada penjajahan serta paksaan untuk bergabung kedalam federasi

ataupun negara persemakmuran. Fase peradaban dunia ini disebut dengan Zaman

Penjelajahan. Zaman Penjelajahan atau Penjajahan itu kemudian berakhir pada tahun

1945 seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II. Negara-negara yang telah usai

berperang serta negara-negara yang memperoleh kembali kedaulatannya dari

penjajahan berusaha membangun kembali bidang politik, tatanan masyarakat, dan

bidang ekonomi negaranya.

1
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Cet. 3., 2002), hlm. 111.

1
2

Melihat kesulitan perkembangan dan pembangunan kembali negara-negara di

dunia, timbul insiatif bahwa diperlukan suatu sarana untuk mempercepat

perkembangan, yaitu dengan dilakukannya perdagangan lintas batas negara untuk

mengundang pendapatan segar diluar dari perputaran uang dalam negeri. Setelah

terciptanya sistem perdagangan lintas negara, timbul kesadaran bahwa dalam

perdagangan lintas batas negara tentunya tidak bisa diatur dan dijamin oleh hukum

salah satu pihak, karena terdapat kemungkinan akan terjadinya keberpihakan.

Atas kesadaran itu dibentuklah suatu konferensi yang bernama Konferensi

Bretton Woods (1944) yang bertujuan untuk mewujudkan sistem moneter

internasional yang meliputi: aturan, perilaku, instrumen dan organisasi atau lembaga

yang memajukan pembayaran internasional.2 Konferensi Bretton Woods ini dijadikan

sebagai cikal bakal pembentukan International Monetary Fund, World Bank, dan

General Agreements on Tariffs and Trade.

Organisasi-Organisasi Internasional tersebut berfungsi mengawasi,

melindungi, dan menyelesaikan permasalahan dalam kegiatan ekonomi internasional.

Organisasi-organisasi ini tentunya menarik perhatian negara-negara berkembang yang

sangat membutuhkan adanya rasa keamanan dalam melakukan kegiatan ekonomi

dengan negara yang lebih kuat daripadanya.

Namun dalam praktiknya, organisasi-organisasi ini dinilai terlalu mengikat

negara yang meminta bantuannya sehingga harus mengorbankan sebagian kedaulatan

atas negaranya. Sebagai contoh, dapat kita ingat kesepakatan Indonesia dengan IMF

yang menjadi sejarah penting bagi Indonesia. Kesepakatan itu berisi tentang saran-

saran kebijakan pemerintahan serta bantuan keuangan yang akan diberikan oleh IMF

2
Dochak Latief, Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global,
(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002) hlm. 176-177
3

dengan tujuan untuk memperbaiki keterpurukan ekonomi Indonesia. Namun

bantuan dan saran itu dinilai gagal memenuhi tujuannya karena krisis ekonomi

Indonesia semakin parah, dan berujung pada demonstrasi rakyat yang meminta

Presiden Indonesia kala itu turun dari jabatannya.

Memang dapat dikatakan bahwa keterpurukan itu merupakan seluruhnya hasil

dari ketidakmampuan pemerintah negara Indonesia dalam menangani krisis ekonomi

nasionalnya, namun harus dipahami bahwa pada waktu itu negara Indonesia meminta

bantuan kepada organisasi internasional yang tujuannya untuk membantu menangani

permasalahan dalam keterpurukan ekonomi. Seharusnya ada rasa tanggung jawab

organisasi internasional ketika ternyata kebijakannya semakin memperburuk keadaan

ekonomi negara.

Oleh sebab itu dalam tulisan ini, Penulis akan meneliti bagaimanakah

kedudukan kedaulatan Negara dalam Hukum Internasional dan bagaimanan

kedudukan kedaulatan negara Republik Indonesia dikaitkan dengan Hukum

Internasional yang mengatur bidang ekonomi internasional.

Dalam membentuk sebuah hukum internasional, kesepakatan hak dan

kewajiban yang dibentuk dapat mengesampingkan kedaulatan suatu negara yang

menyetujuinya, dalam hal ini negara secara sukarela melaksanakan suatu hal yang

dikehendaki pihak lain sebagai kewajibannya, dan kemudian akan menerima hal-hal

yang menjadi haknya.

Lantas apakah hukum internasional dipandang lebih tinggi dari kedaulatan?

Ataukah sebaliknya? Untuk mengatasi hal ini, negara memiliki suatu alat kenegaraan

yang diakui oleh hukum internasional yaitu unsur right to regulate negara, serta full

permanent sovereignty. Right to regulate merupakan hak negara yang diakui


4

hukum intenasional dan dimiliki tiap negara untuk mengatur mengenai hal-hal atau

kebijakan yang berlaku terhadapnya.

Diharapkan di akhir penulisan ini ditemukan apa yang menyebabkan

kegagalan penanganan atas keterpurukan ekonomi Indonesia meskipun telah meminta

bantuan organisasi internasional di bidang ekonomi, dan bagaimana cara agar dapat

mencegah terulang kembalinya sejarah pahit tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah kedudukan kedaulatan Negara dalam Hukum Internasional ?

2. Bagaimanan kedudukan kedaulatan negara Republik Indonesia dikaitkan dengan

Hukum Internasional yang mengatur bidang ekonomi internasional ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan Kedaulatan Negara Dalam Hukum Internasional

1. Pengertian dan Ruang Lingkup Kedaulatan Negara

Untuk memahami kedudukan kedaulatan negara dalam hukum

internasional maka diawali dengan pembahasan kedaulatan negara. Berikut

pengertian kedaulatan menurut beberapa sumber pemahaman.

Kedaulatan dikatakan sebagai unsur yang terpenting yang dimiliki

suatu negara karena kedaulatan merupakan suatu hal yang mengindahkan

perbuatan- perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam suatu batasan

wilayah, dengan tujuan menciptakan keselarasan antara pemerintah dan rakyat

yang diperintahnya.

Selain kemampuan untuk berkuasa didalam wilayahnya, dikatakan

bahwa negara juga harus mampu melakukan kegiatan diluar batas

wilayahnya, sebagaimana dikatakan oleh J. G. Starke :

“Sebuah negara harus memiliki kapasitas yang diakui untuk

memelihara hubungan eksternal dengan negara lain. Ini membedakan

negara-negara bagian dari unit-unit yang lebih kecil seperti anggota

federasi, atau protektorat, yang tidak mengelola urusan luar negeri

mereka sendiri, dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai

anggota penuh komunitas internasional.” 3

3 1984
J. G. Starke, Introduction to International Law, (London: Butterworths, ), hlm. 92

5
6

Ada yang menarik dari pendapat tersebut, yaitu “Kapasitas yang

diakui”. Jadi meskipun suatu negara yang luas, memiliki rakyat yang

banyak, serta pemerintahan yang berdaulat dan dipatuhi oleh

rakyatnya, namun untuk melakukan kegiatan internasional negara itu harus

diakui oleh negara lain kapasitasnya dalam melakukan kegiatan internasional.

Pengakuan kedaulatan negara merupakan hal yang berkali-kali dibahas

di dunia hukum internasional. Uniknya dibandingkan hukum nasional, hukum

internasional memandang pengakuan kedaulatan negara atau diplomatic

recognition sebagai salah satu syarat cakap hukum dalam hukum internasional,

namun hanya berlaku bagi negara yang mengakui kedaulatan negara itu.

Untuk membantu memahami pengakuan kedaulatan negara, dalam

Lotus Case (1927) Pengadilan Internasional menyatakan bahwa:

“Pembatasan pertama dan terpenting yang dikenakan oleh hukum

internasional atas suatu negara adalah bahwa jika tidak ada aturan

permisif yang bertentangan, negara itu tidak boleh menjalankan

kekuasaannya dalam bentuk apa pun di wilayah negara lain’. Dengan

kata lain, kecuali jika diizinkan secara tegas, Negara A tidak boleh

menjalankan yurisdiksi di wilayah negara B.” 4

Pernyataan pengadilan internasional tersebut menjelaskan bahwa

hukum internasional membatasi kedaulatan negara untuk tidak dapat

mempraktekkan kekuasaannya dalam bentuk apapun di wilayah negara

lain kecuali diizinkan secara nyata. Izin nyata dapat diartikan dengan

perjanjian internasional atau ratifikasi perjanjian internasional, yang

4
Martin Dixon, International Law, (London: Blackstone Press Limited, 2000), hlm. 133.
7

merupakan bukti bahwa negara yang menyetujuinya memberikan izin nyata

pemberlakuan suatu hal yang ada dalam suatu perjanjian atau konvensi.

Dalam hukum internasional umum juga tidak ditemukan adanya

larangan mengenai perluasan pemberlakuan jurisdiksi hukum suatu negara

terhadap perorangan, perbendaan, dan kegiatan perayaan yang terjadi diluar

batas wilayah suatu negara.

Kemampuan umum untuk mengasumsikan yurisdiksi preskriptif - hak

untuk membuat undang-undang untuk hal-hal di luar domain teritorial -

mengalir dari kedaulatan mutlak negara dan hanya dapat dibatasi oleh

pembatasan positif.5 Martin Dixon dalam bukunya International Law

memandang bahwa kemampuan pemberlakuan hukum negara diluar batas

negara itu merupakan bagian dari kedaulatan negara terhadap ‘negaranya’.

Jadi, pemahaman sebelumnya mengenai kedaulatan negara yang

“dibatasi oleh batas wilayah teritorial” dikembangkan lagi menjadi “bisa

melampaui batas teritorial dalam bentuk peraturan perundang-undangan

mengenai hal-hal diluar batas negara tersebut, yang penegakannya

merupakan bagian dari kedaulatan absolut tiap negara”.

Dalam tulisan ini penulis mendasarkan pada pandangan

mengenai kedaulatan negara secara Westphalian Sovereignty yang

mengecualikan / mengenyampingkan kekuasaan asing ketika berada

dalam wilayah negara terutama dalam hal melaksanakan pemerintahan

negara yang merupakan kedaulatan negara secara de facto dan de jure.

Sehingga dalam pandangan ini, kekuatan asing bisa memilih untuk mematuhi

5
Ibid.
8

aturan yang ada pada negara atau memilih untuk tidak berhubungan dengan

negara.

Pembahasan diatas berulang kali menyatakan tentang pentingnya

kedaulatan pada negara, dan bagaimana kedaulatan merupakan unsur

terpenting dari negara dalam lingkungan hukum internasional. Untuk itu

penulis akan membahas bagaimana kedaulatan negara merupakan ciri utama

negara merdeka.

2. Kedaulatan Negara Sebagai Ciri Utama Negara Merdeka

Sebagaimana telah disepakati dalam Konvensi Montevideo 19336,

dalam pasal 1 ditetapkan bahwa negara sebagai subjek hukum internasional

harus memenuhi unsur konstitutif negara yang merdeka yaitu: (a) penduduk

yang menetap, (b) wilayah yang nyata, (c) pemerintahan yang berdaulat, dan

(d) kemampuan melakukan hubungan dengan negara lain.

Kedaulatan negara (pemerintahan yang berdaulat) menjadi karakteristik

utama bagi negara sebagai subjek hukum internasional, karena kedaulatan

negara menunjukkan bahwa suatu negara mampu mengeluarkan kebijakan

yang efektif dan kokoh sehingga dipatuhi oleh rakyat dalam wilayah

negara itu seutuhnya dalam kebebasan dari pengaruh kekuatan negara lain.

Kedaulatan menjadi tujuan utama negara yang belum merdeka, karena

negara tersebut telah memiliki wilayah dan rakyat namun belum ada

pemerintahan berdaulat, sehingga tidak bisa dikatakan sebagai suatu negara

yang sah.

Kemudian pada huruf (d) ditetapkan mengenai kapasitas melakukan

hubungan dengan negara lain. Hal ini menunjukkan keharusan adanya


6
Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 1933.
9

kesetaraan antara negara-negara subjek hukum internasional, yaitu sama-sama

merupakan negara yang merdeka, dikarenakan hal ini merupakan unsur yang

membedakan negara merdeka dengan subjek hukum internasional lainnya

seperti negara bagian atau negara yang dibawah perlindungan negara lain.

Selain unsur yang dikatakan oleh Konvensi Montevideo 1933,

terdapat unsur lain yang sering kita dengar dalam pembahasan negara yang

merdeka yaitu mengenai pengakuan secara de facto dan de jure. Kemerdekaan

haruslah diakui secara de facto dan de jure karena kemerdekaan merupakan

jaminan yang berlaku secara “dua arah”, dengan penjelasan: Bagi negara itu,

kemerdekaan menjamin bahwa negara berkekuasaan penuh atas negaranya

dengan bebas dan tanpa pengaruh kekuatan negara lain; Bagi negara lain,

kemerdekaan menjamin bahwa negara itu mampu dan bertanggung

jawab secara politik dalam melakukan kegiatan internasional, yang

merupakan pengertian dari kedaulatan negara.

3. Batas-Batas Kedaulatan Negara

Setelah memahami pengertian dan ruang lingkup kedaulatan

negara, tentunya timbul pertanyaan sejauh mana kebebasan kekuasaan dalam

kedaulatan negara tersebut. Untuk menjawabnya maka perlu dijelaskan

mengenai batas-batas kedaulatan negara.

Batas-batas kedaulatan negara telah ada jauh sebelum terciptanya

hukum internasional yang kita kenal sekarang. Batas kedaulatan negara di

masa lalu ditentukan oleh masing-masing negara dan disepakati oleh

negara itu dengan negara tetangga, sehingga pada masa terciptanya hukum

internasional batas tersebut tetap diakui.


10

Hukum internasional membagi wilayah-wilayah dunia menjadi 3

kategori yaitu: wilayah negara merupakan kekuasaan dan kedaulatan penuh

negara itu, wilayah berdampingan merupakan pembatasan kekuasaan dan

kedaulatan dengan kesepakatan dalam hukum internasional, wilayah

internasional yaitu milik kekuasaan internasional karena merupakan warisan

umat manusia yang dimiliki bersama.

Untuk menjelaskan lebih lanjut, penentuan batas-batas ini dapat

ditentukan melalui beberapa hal yaitu sebagai berikut:

a) Batasan Wilayah Daratan

Wilayah Daratan adalah wilayah atau daerah yang berupa

daratan. Untuk menentukan batas daratan dengan Negara lain pada

umumnya ditentukan dengan suatu perjanjian. Batas-batas itu dapat

berupa seperti berikut :

1) Batas alamiah, yaitu batas suatu Negara dengan Negara lain

yang secara alamiah, misalnya dalam bentuk pegunungan,

sungai, dan hutan.

2) Batas buatan, yaitu batas suatu Negara dengan Negara lain

yang sengaja dibuat oleh manusia dalam bentuk pagar

tembok, kawat berduri, dan pos penjagaan.

3) Batas secara geografis, yaitu batas wilayah suatu Negara

dengan Negara lain yang dapat ditentukan berdasarkan letak

geografis yang melalui garis lintang dan garis bujur.

Misalnya, letak Negara Indonesia secara geografis berada

pada 6° LU – 11° LS, 95° BT – 141° BT.

b) Batas Wilayah Lautan


11

Lautan atau perairan territorial merupakan bagian wilayah dari

suatu negara. Sehubungan dengan itu terdapat dua konsepsi pokok tentang

wilayah laut yaitu :

1) Res Nullius, menyatakan bahwa laut yang tidak ada

pemiliknya dapat diambil dan dimiliki oleh tiap-tiap negara.

2) Res Communis, menyatakan bahwa laut adalah milik

bersama masyarakat dunia sehingga dapat diambil atau

dimiliki oleh tiap-tiap negara.

c) Batasan Wilayah Udara

Pada Forum Internasional kesepakatan tentang kedaulatan suatu

negara atas wilayah udara ditentukan dalam Perjanjian Internasional.

Hukum internasional yang mengatur hal ini adalah Convention on

International Civil Aviation atau Chicago Convention 1944 yang

mengatur tentang keamanan transportasi udara dan pendaftaran

transportasi udara, serta Outer Space Treaty 1967 yang mengatur tentang

kegiatan negara dalam eksplorasi dan pemanfaatan ruang angkasa.

Berikut beberapa teori lainnya dalam menentukan batas

wilayah udara yang termasuk kedaulatan negara, yaitu:

1) Teori Udara (schater)

Wilayah udara meliputi suatu ketinggian dari kemampuan

udara untuk mengangkat (mengapungkan) balon pesawat

udara. Teori ini tidak jauh beda dengan teori Cooper yang

menggunakan pesawat udara sebagai pengukur batas

kedaulatan udara.

2) Teori Keamanan
12

Negara mempunyai kedaulatan terhadap udaranya, termasuk

untuk menjaga keamanannya. Teori ini dikemukakan oleh

Fauchilli (1901) yang menentukan ketinggian wilayah udara

1.500 m. akan tetapi, pada tahun 1910 ketinggian tersebut

diturunkan menjadi 500 m.

Kedaulatan negara tidak hanya dibatasi oleh garis-garis batas wilayah

yang dapat dilihat secara nyata, kedaulatan negara juga dibatasi oleh aturan-

aturan yang telah disepakati oleh dua negara atau lebih yang disebut sebagai

Hukum Internasional.

4. Hukum Internasional Sebagai Pembatas Kedaulatan Negara

Hukum internasional secara umum dibentuk dengan maksud untuk

menjadi pedoman negara-negara dalam melakukan aktivitas internasional,

serta membatasi kedaulatan tiap-tiap negara yang kekuatannya telah dijelaskan

diatas. Pembatasan oleh hukum internasional ini dilakukan dengan tujuan

utama untuk menjaga keadilan antar-negara dengan memperhatikan masing-

masing kedaulatan negara yang terikat dalam suatu hukum internasional.

Namun selain sebagai aturan hukum umum, ada hukum internasional

yang dibentuk dengan maksud untuk membatasi kedaulatan negara-negara

tertentu yang mengikatkan dirinya dalam suatu konvensi atau

traktat/perjanjian internasional, dengan pembagian sebagai berikut:

a) Law Making Treatis adalah Perjanjian Internasional yang dibentuk oleh

negara-negara untuk membentuk suatu aturan umum atau hukum yang

berlaku terhadap setiap negara yang melakukan perbuatan yang diatur oleh

aturan tersebut.
13

b) Treaty Contracts adalah Perjanjian Internasional yang dibentuk oleh

negara-negara untuk membentuk hak dan kewajiban yang berlaku hanya

terhadap mereka yang menyusun dan menyepakatinya.7

‘Law Making Treatis’ biasanya dibentuk oleh Persatuan Bangsa-

Bangsa (United Nations) atau organisasi negara-negara lainnya dalam

Konvensi Internasional, contohnya United Nations Conference On The Law Of

The Sea (UNCLOS) 1982 mengenai batasan wilayah laut negara, Paris

Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation 1919 mengenai

batasan wilayah udara negara, bahkan Vienna Convention on the Law of

Treaties 1969 tentang hukum perjanjian antar negara.

Sedangkan ‘Treaty Contracts’ dibentuk oleh dua atau lebih subjek

hukum internasional yang mengatur secara khusus pihak-pihak yang

mengikatkan dirinya saja. Pembentukannya layaknya sebuah perjanjian yang

diberikan kebebasan mengenai isi hak dan kewajiban para pihak selama tidak

bertentangan dengan aturan umum yaitu dalam hukum perjanjian

internasional adalah Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

serta harus menghormati kedaulatan negara dan peraturan perundang-

undangan nasional negara yang menjadi pihak perjanjian internasional itu.

Pada prakteknya, ‘Treaty Contracts’ atau traktat atau lebih sering

dikenal sebagai perjanjian internasional umumnya dilakukan untuk

kepentingan politik ataupun ekonomi. Negara Indonesia dalam sejarahnya

pernah menyepakati beberapa perjanjian internasional, seperti perjanjian

negara Indonesia dengan International Monetary Fund (IMF), World Bank

(WB), dan World Trade Organization (WTO).

7
J. G. Starke, Introduction to International Law, (London: Butterworths, 1984), hlm. 40.
14

B. Kedudukan Kedaulatan Negara Indonesia Terkait dengan Hukum Internasional

di Bidang Ekonomi

1. Keikutsertaan Indonesia dalam Beberapa Organisasi Internasional dalam

Bidang Ekonomi

a) International Monetary Fund (Dana Moneter Internasional)

Hubungan Indonesia dengan IMF diawali pada pertengahan tahun

1953 Indonesia resmi menjadi anggota IMF dan secara legal, keanggotaan

itu disahkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 19548 tentang

Keanggotaan Republik Indonesia Dari Dana Moneter Internasional

(International Monetery Fund) Dan Bank Internasional Untuk Rekonstruksi

Dan Pembangunan (International Bank For Reconstruction And

Development).

Dikatakan dalam Pasal 4 UU no 5 tahun 1954 bahwa :


“Peraturan-peraturan dalam Pasal IX ayat-ayat 2 sampai dengan 9
(yang mengenai kedudukan, kekebalan-kekebalan dan hak-hak
istimewa dari Dana) dan kalimat pertama dari Pasal VIII ayat 2 (b)
dari Persetujuan Dana (yang mengenai kontrak-kontrak valuta yang
melanggar peraturan-peraturan (pengawasan devisen) dan Pasal
VII ayat-ayat 2 sampai dengan 9 dari Persetujuan Bank (yang
mengenai kedudukan, kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewa
dari Bank) akan mempunyai kekuatan penuh dan pengaruh atas
undang-undang dalam Republik Indonesia pada waktu Republik
Indonesia menerima keanggotaan dalam berturut-turut Dana dan
Bank ( Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1954).”

8
Hanif Afif Naufal, “Kilas Balik Hubungan Indonesia dengan IMF dan Apa Dampaknya?”
(On- line), tersedia di: https://www.kompasiana.com/hanifafifnaufal
3055/5bd88f176ddcae300e691592/kilas- balik-hubungan-indonesia-dengan-imf-dan-apa-
dampaknya?page=all (22 Februari 2022)
15

Dapat dilihat bahwa dalam undang-undang ini negara Indonesia

menyetujui bahwa Articles of agreement IMF akan mempunyai pengaruh

bahkan berkekuatan penuh terhadap undang-undang selanjutnya selama

Indonesia menjadi anggota IMF. Tentunya hal ini adalah merupakan bentuk

pengurangan unsur kedaulatan penuh.

Mengenai kemajuan ekonomi Indonesia pada masa awal bergabung

dalam IMF dapat dilihat dari Laporan Tahunan IMF 1956, yang mengatakan:

“Upaya Indonesia untuk menurunkan defisit anggaran cukup berhasil


guna meredakan tekanan inflasi. Selama paruh kedua tahun 1955,
pinjaman pemerintah dari bank menurun untuk pertama kalinya dalam
beberapa tahun; tetapi ekspansi kredit ke sektor swasta, yang sedikit
banyak terkendali pada tahun 1954, meningkat pesat sepanjang tahun.
Namun, langkah-langkah diambil untuk mengontrol ketersediaan
kredit bank ke sektor swasta, termasuk persyaratan yang lebih ketat
untuk pembayaran di muka pada impor.”9

Laporan tahunan ini tidak mengatakan berapa jumlah bantuan dana

pertama oleh IMF, tetapi menunjukkan adanya perkembangan ekonomi

Indonesia mengatasi tekanan inflasi, sementara pinjaman dari sektor swasta

Indonesia terhadap IMF justru meningkat.

Ternyata, bantuan yang diberikan IMF serta pendapatan negara yang

hanya didasarkan ekspor tanaman ternyata tidak berhasil

menstabilkan ekonomi Indonesia yang terlilit hutang kolonial. Ketegangan

terus terjadi antara Soekarno yang menekankan kebijakan nasional terhadap

kebijakan asing oleh IMF berujung pada keluarnya Indonesia dari IMF dan

Bank Dunia.10

9
Annual Report of The Executive Directors For The Fiscal Year Ended April 30, 1956 (Hal. 79).
10
“IMF and WB: the destruction of Indonesia’s sovereignty” (On-line), tersedia di:
http://www.cadtm.org/IMF-and-WB-the-destruction-of (22 Februari 2022)
16

Kemudian pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia kembali


11
bergabung menjadi anggota IMF pada Februari 1967 , bergabungnya

kembali Indonesia kedalam IMF segera direspon oleh negara-negara barat

untuk memberikan pinjaman12, namun tidak ada hubungan langsung kepada

IMF sampai pada tanggal 31 Oktober 1997 dimana Indonesia mengirimkan

Letter of Intent meminta “a three-year stand-by arrangement from the

International Monetary Fund in an amount equivalent to SDR 7.3 billion or

490 percent of quota.”13 Dengan perencanaan

“Stabilisasi rupiah dengan tetap menjaga cadangan devisa bruto pada


tingkat yang nyaman; membatasi penurunan ekonomi selama sisa
tahun ini dan tahun depan, sebelum memulihkan pertumbuhan
ekonomi ke tingkat potensialnya sebelum akhir program;
mengandung lonjakan awal inflasi yang berasal dari depresiasi dan
faktor satu kali lainnya menjadi tidak lebih dari 10 persen hingga
1998/99 dan membawanya secara bertahap kembali ke 5 persen
selanjutnya; dan mengurangi defisit transaksi berjalan eksternal
hingga di bawah 3 persen dari PDB, tingkat yang harus memastikan
penurunan yang stabil dalam rasio utang luar negeri dan layanan
utang.”14

Dalam letter of intent ini juga disebutkan mengenai

terlaksananya penutupan 16 bank swasta Indonesia atas saran IMF (bagian

Memorandum of Economic And Financial Policies, poin 25) “which has

been put together with technical assistance from IMF, the World Bank, and

the ADB to restore public confidence in the financial system.”. sebuah

kebijakan ekonomi yang dipengaruhi oleh saran IMF.

Membalas letter of intent tersebut, IMF menerima permohonan

pinjaman oleh Indonesia pada 5 November dengan sistem $3.04 Miliar

11
Ibid.
12
Ibid.
13
“Indonesia Letter of Intent, October 31, 1997” (On-line), tersedia di: https://www.
imf.org/external/np/loi/103197.htm (22 Februari 2022)
14
Ibid
17

diberikan segera dan $3.04 Miliar sisanya diberikan pada 15 Maret 1998,

dengan ketentuan bahwa pada akhir Desember Indonesia telah memenuhi

syarat yang diberikan oleh IMF.15

Ketentuan tersebut antara lain adalah pemerintah

mempertahankan kebijakan fiskal dan moneter secara ketat, menutup bank-

bank yang bermasalah, serta membebaskan perdagangan dan investasi asing

dan privatisasi BUMN. Namun setelah dilakukannya pembebasan

perdagangan dan investasi asing serta privatisasi BUMN, sektor swasta yang

mengambil alih BUMN tersebut tidak berhasil mempertahankan

perusahaannya sehingga meminjam dana jangka pendek dari luar negeri yang

tidak dilindungi oleh perubahan nilai tukar mata uang.16

Diikuti dengan kehancuran ekonomi di Asia Tenggara antara Juli

1997–Januari 1998, nilai tukar rupiah semakin merosot sehingga

pemerintah Indonesia kembali mengirimkan letter of intent pada 15

Januari 1998 yang berisi tentang laporan rencana pada bulan Oktober

terganggu oleh adanya unsur pinjaman luar negeri oleh swasta.

Letter of intent ini juga melaporkan tentang keputusan Indonesia

menghilangkan “any special tax, customs, or credit privileges granted

to the National Car.”17 Serta meghentikan 12 proyek infrastruktur besar

yang salah satunya adalah perusahaan pembangkit listrik.

15
“News Brief: Camdessus Commends Indonesian Actions” (On-line), tersedia di:
https://www.imf.org/en/News/Articles/2015/09/29/18/03/nb9722 (22 Februari 2022)
16
“Krisis Keuangan Asia - Krismon - Sebab & Dampak” (On-line), tersedia di: https://
www.indonesia- investments.com/id/budaya/ekonomi/krisis-keuangan-asia/item246 (23 Februari
2022)
17
“Indonesia Memorandum of Economic and Financial Policies, January 15, 1998 -- Letter
of Intent” (On-line), tersedia di: https://www.imf.org/external/np/loi/011598.htm (23 Februari 2022)
18

Bahkan, Indonesia menghilangkan pajak khusus terhadap kendaraan

yang menggunakan bahan suku cadang lokal, serta penghentian bantuan dana

dan non- dana terhadap proyek IPTN yang merupakan perusahaan pesawat

terbang Indonesia.

Dalam pertemuan 15 Januari 1998, terdapat kesepakatan Indonesia

dan IMF yang berisi tentang pengurangan subsidi bahan bakar minyak dan

listrik secara bertahap, penghentian dukungan dana dan kredit dari nasional

terhadap proyek IPTN dan Mobil Nasional, pengalihan kebijakan moneter

penuh kepada Bank Indonesia, penghapusan monopoli BULOG kecuali

mengenai beras, serta kebebasan perdagangan.18

Dua bulan setelah ditandatanganinya letter of intent 15 Januari

1998 tersebut, IMF menunda mengirimkan bantuan $3 Miliar dengan alasan

Indonesia belum memenuhi sejumlah persyaratan. Salah satu persyaratan

yang tidak dipenuhi adalah mengenai pengalihan kebijakan moneter yang

belum disahkan dalam sebuah Undang-Undang. Soeharto menilai prinsip

liberal yang diadopsi IMF tak sesuai dengan konstitusi Indonesia.

Pada 10 April 1998, ditandatangani letter of intent baru yang

bertujuan untuk menstabilkan rupiah agar dapat mendukung produk domestik

dalam hal ekspor dan kompetisi ekonomi internasional, serta

memperbaiki masalah perbankan dan hutang perusahaan swasta. Letter of

intent ini dapat disimpulkan menunjukkan keseriusan Indonesia

melaksanakan kesepakatan dalam pertemuan 15 Januari 1998.

18
“News Brief: Statement by the Managing Director on the IMF Program with Indonesia”
(On- line), tersedia di: https://www.imf.org/en/News/Articles/2015/09/29/18/03/nb9802 (23 Februari
2022)
19

Pelaksanaan kesepakatan mengenai kebijakan ekonomi nasional

tersebut ternyata tidak berakhir baik, masyarakat Indonesia tidak

siap mengalami kenaikkan harga BBM yang ternyata berpengaruh

terhadap harga-harga kebutuhan pokok, sehingga terjadi demonstrasi dan

kerusuhan pada Mei 1998 yang berujung berakhirnya masa pemerintahan

Presiden Soeharto.

Kemudian pada bulan Juli 1998, dilakukan persetujuan atas letter of

intent Indonesia yang berisi strategi resturisasi korporasi serta program

restrukturasi perbankan yang lebih luas. Pada masa ini Indonesia

berdasarkan saran IMF membentuk sejumlah Undang-Undang tentang

Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

pendiringan pengadilan niaga, serta pengesahan UU No 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia yang telah disarankan IMF sejak 1998.

Kesepakatan pengalihan kebijakan moneter tersebut dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 menghapus peran

pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan moneter. Bank Indonesia menjadi

sebuah badan independen yang dilarang mematuhi segala campur tangan dari

pemerintah.

Pengiriman letter of intent Indonesia kepada IMF berakhir pada

Desember 2003, yang berisi tentang laporan atas keberhasilan rencana empat

tahun yang disarankan oleh IMF mengenai kestabilan ekonomi, perbaikan

sistem perbankan, serta perkiraan mengenai turunnya angka inflasi. Letter of

intent ini juga memutuskan untuk mengakhiri program bantuan IMF.


20

Indonesia kemudian mempersiapkan dirinya untuk menjalankan

perekonomiannya secara independen, yaitu dengan penerbitan ‘Paket

Kebijakan Ekonomi Pra- dan Pasca- IMF’. Dan Indonesia berhasil melunasi

hutangnya kepada IMF pada tahun 2006.

Meskipun tidak lagi melakukan pinjaman kepada IMF, Indonesia

tetap melakukan laporan keadaan perekonomian kepada IMF secara rutin

layaknya anggota IMF lainnya, serta mengikuti pertemuan-pertemuan

anggota IMF yang menjadi sarana Indonesia mempromosikan investasi di

negaranya.

b) World Bank (Bank Dunia)

Hubungan Indonesia dengan Bank Dunia seringkali merupakan akibat

dari hubungan Indonesia dengan IMF, sebagaimana disebutkan dalam

bentuk kolaborasi IMF dan bank dunia bahwa “..IMF assessments of a

country’s general economic situation and policies provide input to the

Bank’s assessments of potential development projects or reforms.”

Sebagaimana berkali-kali disebutkan partisipasi IBRD dalam letter of

intent Indonesia dengan IMF mengenai pemberian dana pinjaman.

Hubungan Indonesia dengan Bank Dunia diawali dengan kehadiran

presiden Bank Dunia di Indonesia pada Juni 1968 untuk mendiskusikan

“Misi Tetap di Jakarta”. Semenjak itu Bank Dunia dan Indonesia bekerja

sama dalam Proyek Irigasi dan Rehabilitasi, dalam hal transportasi, listrik,

telekomunikasi, dan pendidikan.

Tidak hanya bergabung dalam Bank Dunia, Indonesia juga tergabung

dalam organisasi didalam Bank Dunia yaitu International Bank of


21

Reconstruction and Development (IBRD), International Development

Association (IDA) dan International Finance Cooperation (IFC), serta

Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA).

Karena cara kerja Bank Dunia adalah dengan memberikan

bantuan keuangan, maka hubungan terbanyak yang dilakukan Indonesia

dengan Bank Dunia adalah mengenai pinjaman luar negeri. Bahkan

dikatakan hutang terbesar negara Indonesia adalah kepada Bank Dunia.

Selain memberikan pinjaman, dikatakan dalam articles of agreement

IBRD bahwa salah satu tujuan Bank Dunia adalah untuk meningkatkan

penanaman modal swasta asing melalui jaminan dan partisipasi pinjaman

serta investasi lain. Layaknya IMF, Bank Dunia juga berpandangan bahwa

penyelesaian atas permasalahan ekonomi negara berkembang adalah dengan

cara pembebasan pasar.

c) World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia)

Berawal dari Indonesia menyetujui kesepakatan dalam General

Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada Februari 1950, maka pada saat

terbentuknya WTO yang berasal dari kesepakatan GATT, Indonesia pun

turut menjadi anggota WTO pada tanggal yang sama yaitu 1 Januari

1995. Bergabungnya Indonesia dalam WTO disahkan oleh ratifikasi dalam

UU No. 7 Tahun 1994.


22

Dengan bergabungnya Indonesia kedalam WTO, maka Indonesia

menyepakati persetujuan-persetujuan dalam WTO yaitu mengenai:

1) Barang/goods (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT)

2) Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/GATS)

3) Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of

Intellectual Properties/ TRIPs)

4) Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)19

Dengan demikian, setiap perjanjian/kesepakatan yang dilakukan

antara Indonesia dengan negara anggota lainnya harus mematuhi aturan

dalam GATT, GATS dan TRIPs, serta jika terjadi sengketa akan

diselesaikan sesuai aturan Dispute Settlements dalam WTO.

Kepatuhan tersebut terlihat dalam bentuk-bentuk Bilateral Investment

Treaties (BIT) yang dilakukan Indonesia dengan negara anggota lainnya

selalu mencantumkan prinsip-prinsip WTO dalam pasal-pasal pembuka

kesepakatannya.

2. Pembatasan Kedaulatan Indonesia Dalam Hukum Internasional Bidang

Ekonomi

a) International Monetary Fund

Perlu dipahami bagaimana pengaruh IMF mengubah sistem

perekonomian yang vital di Indonesia. Dan perlu diingat bahwa dalam

melakukan perjanjian pinjaman, IMF berhubungan dengan bendahara

negara atau Bank sentral negara. Sangat menghawatirkan bagaimana Bank

19
Sutiarnoto. Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional, Medan: USU Press, 2016,
hlm.
13.
23

Indonesia yang berhubungan langsung dengan IMF dan memiliki

kewenangan mengeluarkan kebijakan moneter diwajibkan untuk menolak

dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun

termasuk pemerintah. Seakan kedaulatan negara (pemerintah) dalam hal

kebijakan moneter telah dikurangi bahkan dihilangkan.

Bahkan ditemukan dalam situs resmi Bank Indonesia mengenai

penjelasan Undang-Undang nomor 23 Tahun 1999 bahwa :

“Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan adalah kerja sama


yang dilakukan oleh pihak lain atau bantuan teknis yang diberikan
oleh pihak lain atas permintaan Bank Indonesia dalam rangka
mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam undang-undang ini.”

Penjelasan ini menunjukkan bahwa pasal ini mengecualikan campur

tangan dalam kerjasama yang dilakukan Bank Indonesia dengan IMF jika

IMF memberikan bantuan teknis dalam menyusun sebuah kebijakan

moneter.

b) World Bank (Bank Dunia)

Bank Dunia yang memfasilitasi masuknya investor asing kedalam

negara- negara yang menjadi pasiennya, ternyata juga menjamin keamanan

dan kenyamanan investor tersebut dari perbuatan sepihak oleh negara

seperti misalnya nasionalisasi sepihak, pemberian tarif pajak dan bea khusus

yang merugikan investor, dan pemutusan kesepakatan secara sepihak.

c) World Trade Organization

WTO memiliki banyak persetujuan-persetujuan yang harus disetujui

oleh para anggotanya. Diantara persetujuan-persetujuan tersebut ditemukan

pasal-pasal yang membatasi kedaulatan negara sebagai berikut:


24

Dalam GATT terdapat Pasal VI mengenai Anti-dumping and

Countervailing Duties, pasal ini ditulis sedemikian rupa dengan pilihan kata

yang tidak umum sehingga cukup sulit untuk dipahami. Pasal ini berisi

tentang larangan penerapan harga jual lebih murah di negara asing (ekspor)

dibandingkan harga jual barang yang sama di negara sendiri, serta

kewenangan untuk memberikan pajak berlebih kepada produk dumping

sehingga harga penjualan produk itu setara dengan harga seharusnya di

negara asalnya.

Pasal XI GATT mengatur tentang General Elimination of

Quantitative Restrictions, yaitu tentang larangan atau batasan

penggunaan tarif atau pajak selain yang telah ditentukan oleh WTO.

Kemudian dalam GATT terdapat pasal XII yang mengatur tentang

Restrictions to Safeguards the Balance of Payments, diatur mengenai

ketentuan melakukan pembatasan masuknya barang impor sebagai upaya

melindungi nilai neraca pembayaran dan posisi keuangan eksternal.

Pada pasal XVIII GATT diatur mengenai Governmental Assistance

to Economic Development. Pasal ini mengatur hal-hal yang menjadi sikap

negara- negara yang melakukan kontrak atau perjanjian, seperti hal-hal,

ketentuan, dan fasilitas yang harus ia sadari ketika hendak melakukan

kontrak, tindakan-tindakan hukum yang bagaimana yang diperbolehkan

ketika melakukan kontrak dibawah naungan WTO, serta hak dan kewajiban

negara sedang berkembang yang harus diketahui secara bersama ketika

hendak melakukan kontrak.


25

Dari pasal-pasal GATT tersebut diatas, terdapat beberapa

penggolongan aturan lainnya yang terpisah sesuai dengan ruang lingkup

yang diaturnya, yaitu:

General Agreement on Trade in Services adalah perjanjian yang

mengatur secara umum mengenai perdagangan jasa. Perjanjian ini

dibentuk sebagai pedoman negara-negara anggota dalam membuat

kebijakan hukum yang berkaitan dengan perdagangan jasa secara

internasional.

Pasal II dan III GATS menyebutkan prinsip WTO tentang Most

Favoured Nations Treatment mengenai pemberlakuan pemberi layanan jasa

asing secara merata layaknya pihak yang paling disenangi, dan

Transparency mengenai laporan berkala yang diwajibkan kepada anggota.

Pasal VI GATS diatur mengenai kewenangan negara-negara anggota

menetapkan persyaratan dan prosedur, standar lisensi, dan persyaratan

perizinan terhadap bidang usaha jasa yang masuk dalam daftar komitmen

khusus negara, namun terdapat batasan bahwa kewenangan ini dilaksanakan

dengan cara yang wajar, objektif, dan tidak memihak.

Agreement on Trade-Related Investment Measures adalah perjanjian

umum yang berlaku terhadap kebijakan negara mengenai penanaman modal

yang terkait dengan perdagangan barang. Pasal II Perjanjian ini menyatakan

bahwa negara- negara tidak boleh tetap memberlakukan suatu kebijakan

yang tidak sesuai dengan aturan GATT (terutama yang tertera dalam pasal

III dan pasal XI GATT), Pasal IV mengecualikan larangan ini terhadap

negara-negara sedang berkembang yang memenuhi ketentuan dalam pasal

XXVIII GATT.
26

Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights

adalah perjanjian yang bertujuan untuk merlindungi dan menegakan hak

kekayaan intelektual yang berkontribusi pada promosi inovasi teknologi,

dan pada perpindahan dan penyebaran teknologi, untuk saling

menguntungkan produsen dan pengguna pengetahuan dan teknologi dengan

cara yang kondusif bagi kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta untuk

keseimbangan hak dan kewajiban. Perjanjian ini membebaskan hak cipta

dari batas wilayah negara, sehingga jika terjadi penyalahgunaan hak cipta

di luar wilayah jurisdiksi negara pemilik maka TRIPS bertindak sebagai

perpanjangan jurisdiksi dan menjadi lembaga peradilan atas permasalahan

ini. Dan badan yang tetap disebutkan dalam aturan-aturan WTO tersebut

diatas adalah suatu badan peradilan khusus dibawah naungan WTO yaitu

World Trade Organization’s Dispute Settlement Body. Badan ini diberi

kewenangan oleh WTO dan disepakati oleh anggota-anggotanya untuk

menerima dan mengadili gugatan- gugatan yang diajukan negara anggota

mengenai permasalahan yang timbul atas kegiatan ekonomi internasional.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Mengenai kedudukan kedaulatan negara dalam hukum internasional,

penelitan atas kedaulatan didasarkan pada hak-hak negara yaitu right to regulate

dan full permanent sovereignty. Mengenai right to regulate, tentang adanya

kewenangan pembentukan kesepakatan ekonomi internasional yang harus

memperhatikan hukum nasional dan kepentingan negara masing- masing

pihak, hukum internasional juga mengatur kekuatan mengikat kesepakatan

ekonomi internasional dan larangan menggunakan hukum nasional sebagai alasan

untuk tidak melaksanakan kewajiban yang telah disepakati sebagai upaya untuk

melindungi terpenuhinya hak para pihak serta menjamin kepastian hukum yang

merupakan asas dari hukum internasional di bidang ekonomi, yang disebut

dengan international obligation. Mengenai full permanent sovereignty hanya

dapat digunakan dalam suatu permasalahan yang tidak ada aturan internasional

yang mengatur mengenai hal itu, atau dalam suatu keadaan darurat demi

menyelamatkan kelangsungan hidup suatu negara. Hal ini diakui oleh hukum

internasional secara umum sebagai sebuah asas ketertiban umum.

2. Mengenai kedudukan kedaulatan negara Republik Indonesia dikaitkan dengan

hukum internasional yang mengatur bidang ekonomi internasional, dilihat

dari keanggotaan Indonesia dalam International Monetary Fund, World Bank, dan

World Trade Organization. Dalam hubungan Indonesia dengan IMF,

Indonesia bertindak sebagai pelaksana saran yang menjadi persyaratan

diberikannya bantuan dana untuk membantu menyelamatkan perekonomian

nasional. Salah satu saran IMF yang dinilai menciderai kedaulatan negara

27
28

Indonesia adalah pemindahan kewenangan mengeluarkan kebijakan moneter oleh

Menteri menjadi kewenangan Bank Indonesia yang tidak boleh dicampurtangani

oleh pihak manapun, kecuali diminta oleh Bank Indonesia. Dalam hubungan

Indonesia dengan Bank Dunia, kedudukan Indonesia tidak jauh berbeda dengan

yang terjadi dengan IMF. Indonesia menerima bantuan dana jangka panjang

dengan syarat memprivatisasi badan usaha milik negara sehingga mengundang

masuknya investor asing yang difasilitasi Bank Dunia. Dalam hubungannya

dengan WTO, Indonesia berperilaku lebih aktif membentuk perjanjian-perjanjian

bilateral dengan negara asing. Tetapi kurangnya pemahaman akan aturan-

aturan yang disepakatinya mengakibatkan Indonesia berkali-kali digugat ke Badan

Peradilan WTO.

B. Saran

1. Organisasi internasional yang bertujuan untuk memfasilitasi stabilisasi

ekonomi suatu negara dan telah berhasil melaksanakan tujuannya seharusnya

diwajibkan untuk melakukan tindakan yang melindungi negara ini dari

potensi kehancuran ekonomi di masa mendatang, terutama kehancuran yang

diakibatkan oleh kesepakatan yang difasilitasinya, demi mencegah terjadinya

keadaan yang semakin memperburuk kondisi ekonomi negara.

2. Pembelajaran yang diterima Indonesia seharusnya mendewasakan Indonesia

dalam melakukan kegiatan ekonomi internasional dengan penuh kehati-

hatian. Indonesia harus melakukan persiapan yang lebih dari cukup sebelum

menyepakati suatu aturan ekonomi internasional, harus mempelajari ketentuan-

ketentuan yang akan disepakatinya, mempelajari kesalahan dan kegagalannya di

masa lalu, membentuk aturan nasional yang sesuai dengan


29

hukum internasional yang disepakatinya, serta mempelajari dan memahami hal-

hal yang menjadi hak dan kewajibannya.


DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU :

Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Edisi Revisi), Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, Cet. 3., 2002.
Dixon, Martin. International Law, London: Blackstone Press Limited, 2000.
Latief, Dochak. Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global, Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 2002.
Starke, J.G. Introduction to International Law, London: Butterworths, 1984.
Sutiarnoto. Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional, Medan: USU Press, 2016.

B. Artikel Online :

Hanif Afif Naufal. Kilas Balik Hubungan Indonesia dengan IMF dan Apa
Dampaknya?,https://www.kompasiana.com/hanifafifnaufal3055/5bd88f176ddcae300e
691592/kilas-balik-hubungan-indonesia-dengan-imf-dan-apa-dampaknya?page=all
(22 Februari 2022).

C. Website :

http://www.cadtm.org/IMF-and-WB-the-destruction-of
https://www.imf.org/en/News/Articles/2015/09/29/18/03/nb9722
https://www.imf.org/en/News/Articles/2015/09/29/18/03/nb9802
https://www.imf.org/external/np/loi/011598.htm
https://www.imf.org/external/np/loi/103197.htm

D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial, (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6; Tambahan

Lembaran Negara Nomor 4356).

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39; Tambahan Lembaran Negara Nomor
4279).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1954 Tentang Keanggotaan Republik
Indonesia dari Dana Moneter Internasional (International Monetary fund) dan Bank
Internasional Untuk Rekonstruksi dan Pembangunan (International Bank for
Reconstruction and Development).

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral. Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa
Keuangan.

E. Konvensi/Traktat

International Monetary Fund Annual Report of The Executive Directors For The Fiscal Year

Ended April 30, 1956.

Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 1933.

Anda mungkin juga menyukai