Anda di halaman 1dari 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342436485

Penyelesaian Isu Rasisme Amerika Serikat: Konsekuensi terhadap Kedudukan


Hegemoninya atas Dunia

Article · June 2020

CITATIONS READS

0 2,102

1 author:

Tristan Noa Araisya


Airlangga University
4 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

HI di Asia Timur View project

All content following this page was uploaded by Tristan Noa Araisya on 25 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PENYELESAIAN ISU RASISME AMERIKA SERIKAT:
KONSEKUENSI TERHADAP KEDUDUKAN HEGEMONINYA
ATAS DUNIA
Tristan Noa Araisya (071911233069)
Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga, Surabaya

Tulisan ini akan memuat analisis usaha penyelesaian kasus rasisme oleh Amerika Serikat dari
masa pemerintahan Barack Obama hingga Donald Trump serta konsekuensinya. Isu rasisme
pada tahun 2020 mengalami kenaikan tensi akibat salah satu peristiwa pembunuhan George
Floyd oleh aparat kepolisian Amerika Serikat yang banyak dinilai tidak berperikemanusiaan.
Peristiwa pembunuhan itu sendiri sempat didokumentasikan oleh publik dan berakhir viral di
media massa. Meskipun kasus tersebut tidak memiliki kaitan apapun dengan negara lain, tetapi
banyak orang dari berbagai negara yang mengecam perbuatan aparat tersebut. Banyaknya
kecaman tersebut kemudian menaikkan tensi rasisme, khususnya terhadap kaum berkulit hitam,
kemudian terjadilah gerakan protes terorganisir dengan nama Black Lives Matter. Gerakan
tersebut meliputi aksi protes pada berbagai negara bagian Amerika Serikat, penyebaran petisi-
petisi penuntutan keadilan, dan pembukaan donasi. Black Lives Matter tidak hanya diikuti oleh
warga negara Amerika Serikat, namun warga negara Eropa, Asia, hingga Afrika. Isu domestik
yang menguar hingga internasional ini dinilai dapat melemahkan pengaruh hegemoni Amerika
Serikat terhadap dunia dan nilai demokrasi yang menjadi ciri khas negara tersebut. Maka dari
itu, perlu adanya sebuah analisis mendalam terkait dengan gerakan ini serta konsekuensi yang
dapat diterima Amerika Serikat akibat isu rasisme yang memang mengakar kuat sejak dulu.
Penulis akan menganalisis isu ini dengan teori neoliberalisme dalam Hubungan Internasional.
Dalam perspektif neoliberalisme, penulis yakin bahwa mencuatnya isu rasisme di Amerika
Serikat dapat melemahkan demokrasi dan pengaruh hegemoninya terhadap dunia. Argumen ini
didasarkan atas konsep interdependensi kompleks milik neoliberalisme yang menyatakan bahwa
sebuah negara pasti bergantung terhadap aktor lain dalam pemenuhan kepentingan nasionalnya.
Kecaman dari masyarakat internasional, khususnya organisasi internasional dalam urusan Hak
Asasi Manusia (HAM) tentunya akan berimplikasi pada kedudukan Amerika Serikat sebagai
pelopor demokrasi dan pemegang terkuat dari hegemoni dunia. Kedudukan Amerika Serikat
dalam organisasi internasional yang semakin rentan serta penerapan politik luar negeri era
Trump yang bertipe selective isolationism dianggap sebagai sebuah kemunduran dalam
perspektif neoliberalisme. Tulisan ini akan terbagi dalam beberapa bagian yang runtut, yaitu
pendahuluan dan sekilas tentang substansi yang akan dibahas, kerangka teori, kajian historis
terhadap penyelesaian isu rasisme oleh Amerika Serikat dari masa pemerintahan Obama hingga
Trump, analisis mengenai konsekuensi yang dapat ditimbulkan baik bagi Amerika Serikat
maupun dunia internasional, dan yang terakhir adalah kesimpulan.
Interdependensi Kompleks dalam Hubungan Internasional
Interdependensi kompleks merupakan sebuah konsep yang pertama kali diusung oleh Robert
Keohane dan Joseph S. Nye pada abad ke-20 dan termasuk dari satu konsep penting penyusun
teori neoliberalisme. Neoliberalisme hadir sebagai turunan dari teori liberalisme klasik yang
berkembang sebagai pesaing besar dari teori neorealisme (Dugis 2018). Variasi teori ini memiliki
beberapa argumen utama yang sama dengan liberalisme klasik, yaitu tentang kemungkinan dari
kemajuan dan perubahan, tapi menolak tentang idealisme (Jackson dan Sørensen 2013).
Neoliberalis juga tidak percaya terhadap asumsi dasar manusia yang selalu ingin hidup harmonis
dan saling membantu milik liberalisme klasik. Teori neoliberalisme mencapai puncak kejayaan
setelah adanya Perang Dingin dengan menumbangkan argumen realis yang mengatakan bahwa
konflik Perang Dingin akan tetap terus seperti itu dan tidak dapat dipecahkan. Hingga saat ini,
teori ini dinilai masih sangat relevan dan cocok untuk menganalisis sistem internasional
kontemporer melihat banyaknya aktor-aktor non-negara yang berpengaruh dan penyelesaian
konflik bersama melalui kerja sama baik unilateral, multilateral, maupun dengan bantuan
organisasi internasional.
Konsep interdependensi merupakan sesuatu yang lebih luas daripada interkoneksi internasional.
Interkoneksi internasional merupakan sebuah interaksi antarnegara yang saling berdampak,
namun tidak secara signifikan. Interdependensi di lain sisi merupakan sebuah hubungan antara
satu aktor internasional dengan aktor lainnya yang saling bertimbal balik secara signifikan, walau
tidak harus bersifat simetris (Keohane dan Nye 2012). Contoh dari interdependensi secara
konkret adalah hubungan antara Amerika Serikat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin
yang berasal dari ancaman yang sama, yaitu ancaman nuklir. Hubungan interdependensi juga
tidak terbatas pada keuntungan mutual, namun yang terpenting adalah sama-sama saling
berdampak besar antaraktornya (Keohane dan Nye 2012). Penginterpretasian interdependensi
kompleks tidak hanya membedakan soal kondisi zero sum (situasi di mana satu pihak kalah dan
satunya menang) dan non-zero sum. Apabila menginginkan suatu kondisi politik internasional
yang stabil dengan non-zero sum, termasuk dengan konsep balance of power, perlu adanya kerja
sama antara aktor-aktor internasional dalam mewujudkannya.
Penulis menilai perlu diadakannya sebuah analisis mengenai kasus tingginya tensi rasial di
Amerika Serikat dan pengaruhnya terhadap dunia. Dalam debat darurat yang diselenggarakan
oleh United Nations Human Rights Council (UNHRC) pada tanggal 19 Juni 2020, banyak para
perwakilan dari berbagai negara yang membuat pernyataan bahwa kasus rasisme bukan hanya
masalah milik satu negara, namun merupakan masalah global yang harus diselesaikan secara
bersama (Perserikatan Bangsa-Bangsa 2020). Hal ini menandakan bahwa isu rasisme Amerika
Serikat yang semula bersifat domestik, kini telah menjadi perhatian masyarakat internasional.
Menurut perspektif neoliberalisme, kesalahan yang diperbuat oleh Amerika Serikat dapat
menjadi awal kemundurannya sebagai negara pemegang hegemoni terkuat di dunia pada saat ini.
Donald Trump dinilai sebagai presiden yang dipertanyakan karena kepemimpinannya dan arah
kemudinya pada kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Hal tersebut ditunjukkan oleh hubungan
yang memburuk antara Amerika Serikat dengan World Health Organization (WHO) karena
terjadinya wabah COVID-19 dan hubungan Amerika Serikat dengan North Atlantic Treaty
Organization (NATO) yang merenggang. Kemunduran partisipasi negara tersebut dengan
institusi internasional diperkirakan akan membahayakan kedudukannya dalam
mempertahankan hegemoninya.
Penyelesaian Isu Rasisme Amerika dan Kaitannya pada Dunia
Pada bagian ini, penulis akan menganalisis bagaimana kondisi tensi rasial dan penyelesaian
konflik yang dilakukan oleh Amerika Serikat selama dua periode, yaitu pada masa kepemimpinan
Barack Obama dan Donald Trump, beserta dengan dampaknya pada dunia. Analisis mengenai
kedudukan hegemoni Amerika Serikat juga akan ditunjukkan supaya dapat menguji hipotesis
yang dilakukan oleh penulis.
Masa Pemerintahan Barack Obama 2009-2017
Semenjak Perang Dunia II, Amerika Serikat terkenal sebagai negara yang mempromosikan HAM
secara global dengan menjadikannya tujuan dari kebijakan luar negerinya (Patrick 2020). Namun
sebelum itu, Amerika Serikat dalam masa setelah kemerdekaannya memiliki 10 amandemen baru
pada konstitusi bernama Bill of Rights yang berisi tentang pemenuhan hak-hak warga negaranya.
Selain itu, dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat terdapat kalimat yang menyatakan
bahwa manusia terlahir sama dengan hak yang tidak berbeda dari individu satu dengan lainnya.
Dari fakta historis tersebut, dapat diketahui bahwa Amerika Serikat adalah negara perintis dalam
perjuangan HAM di dunia. Tahun 2008 menandakan sebuah periode keberhasilan bagi Amerika
Serikat dalam penjunjungan tinggi HAM karena dilantiknya seorang presiden yang tidak berasal
dari demografi utama presiden Amerika Serikat, yaitu berkulit putih. Obama bukan hanya politisi
biasa, namun ia juga menjadi ikon kultural (Heywood 2015). Namun menjadi presiden berkulit
hitam pertama tidak juga menjadi jaminan bahwa negara tersebut akan mengalami penyelesaian
isu rasisme yang baik. Banyak pihak akademisi bahkan menyayangkan sikap Obama yang tidak
berpartisipasi aktif dalam isu-isu rasial.
Pada masa kepemimpinan Obama, terdapat salah satu peristiwa berkaitan dengan isu rasial yang
banyak disorot oleh masyarakat internasional. Kejadian itu adalah pemboikotan Amerika Serikat
terhadap konferensi rasisme global oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (Human Rights
Watch, 2020). Amerika Serikat berpendapat bahwa konferensi ini merupakan sebuah justifikasi
untuk menyerang Israel atas kasus panjang Israel-Palestina. Selain membahas tentang isu Israel-
Palestina, konferensi ini juga membahas isu penting terkait dengan isu rasisme, diskriminasi, dan
xenofobia (Jordan 2009). Amerika Serikat sebagai sekutu dekat Israel kemudian menarik
keterlibatan mereka terhadap isu tersebut. Hal ini dilakukan oleh Amerika Serikat supaya terus
membina hubungan baik dengan Israel walaupun titelnya yang menjadi negara pelopor
penjunjungan tinggi HAM harus tercoreng. Menurut teori neoliberalisme, sebuah negara harus
menjalin kerja sama dengan negara lain, terutama melalui institusi internasional, tindakan
partisipasi selektif berupa pemboikotan kurang dibenarkan karena akan memperburuk
kedudukan Amerika Serikat dalam PBB, serta menciptakan aliansi yang membahayakan
perdamaian internasional. Mengikuti Amerika, terdapat beberapa negara yang menarik
delegasinya seperti Belanda. Sementara itu, Australia, Israel, Kanada, Swedia, dan Italia telah
memberi pernyataan bahwa mungkin mereka akan ikut memboikot forum PBB di Jenewa
tersebut (Jordan 2009).
Masa Pemerintahan Donald Trump 2017-2021
Pada masa pemerintahan Donald Trump, terdapat kerusuhan yang disorot oleh masyarakat
internasional. Kerusuhan ini menyangkut tentang kaum supremasis kulit putih, kaum neo-Nazi,
dan kelompok bersayap kanan. Kerusuhan ini terjadi di Charlottesville dan ucapan Trump yang
terkesan merangkul kulit putih menjadi sebuah pertanyaan besar tentang apakah argumen para
akademis yang mengatakan bahwa rasisme telah mengalami penurunan di antara orang Amerika
itu terlalu optimis (Harris dan Lieberman 2017). Gerakan protes ini mencoba menunjukkan masa
kejayaan Amerika di masa lampau, yang mana merupakan masa kegelapan bagi kaum minoritas
yang ditindas oleh kaum kulit putih. Selain dari gerakan protes ini, kampanye Trump pada tahun
2016 dinilai sebagai kampanye yang dibangun atas dasar keputusasaan kelas pekerja kulit putih
(Cowie 2016). Hal ini karena dalam kampanyenya, ia terus menyuarakan tentang
penentangannya terhadap imigran Meksiko, belum lagi tentang isu pelarangan datangnya
imigran yang berasal dari tujuh negara dengan agama Islam dominan. Isu pelarangan imigran
tersebut sempat menuai banyak kritikan, terutama oleh warga negara yang dominan Islam. Pada
masa ini, titel bahwa Amerika Serikat merupakan negara yang menerima semua orang tanpa
memandang ras dan agama menjadi merosot.
Menurut teori neoliberalisme dan konsep interdependensi kompleks, Trump telah mengambil
langkah yang kurang bersahabat dengan banyak negara. Apalagi pada masa Trump, ia
menerapkan politik selective isolationism yang kontra dengan kerangka politik liberal
internasionalisme (Wardhana dan Dugis 2019). Kedudukan hegemoni Amerika Serikat akan
semakin terancam karena faktor tersebut, juga karena isu Rising of China. Isu rasisme harus
diselesaikan sebaik mungkin dengan bantuan dari institusi internasional agar kerja sama dapat
terjaga dan juga tidak melemahkan soft power yang dimiliki oleh Amerika Serikat. Namun
kenyataan tentang isu rasisme yang memperburuk di era Trump ini bukan merupakan suatu
fakta. Menurut penelitian Hopkins dan Washington (2019) tentang isu rasisme di Amerika dalam
kurun waktu 2008-2018 via survei panel, mereka menyimpulkan bahwa pada era Trump, dugaan
rasisme cenderung menurun dari periode sebelumnya. Menurut kedua peneliti tersebut,
penurunan ini bisa terjadi karena faktor di luar Trump, seperti banyaknya kasus penembakan
yang melibatkan kepolisian. Walaupun hal tersebut merupakan sebuah penelitian yang dilakukan
secara domestik, namun apabila dikaitkan dengan isu rasisme secara global, aktor-aktor
penentang rasisme ini merupakan sesuatu yang penting.
Kesimpulan
Pada kedua periode terakhir kepemimpinan Amerika Serikat, Barack Obama dan Trump, isu
rasisme makin memburuk dan mempengaruhi posisi Amerika Serikat dalam politik
internasional. Isu rasisme bukan hal yang terlalu berpengaruh bagi hegemoni Amerika seperti
keamanan dan ekonomi, namun tetap saja dapat melemahkan soft power yang dimiliki oleh
Amerika Serikat. Menurut perspektif neoliberalisme dan konsep interdependensi kompleks,
Amerika Serikat harusnya lebih membuka diri tentang penyelesaian rasisme yang merupakan
masalah global dan bukan malah menarik diri dari seluruh konferensi yang mengatasnamakan
HAM atau rasisme. Apabila Amerika Serikat terus menarik diri dari dunia tentang penyelesaian
isu rasisme, Amerika Serikat dapat dipandang sebagai negara yang kurang memberi perhatian
atas isu tersebut dan bisa jadi mempengaruhi perspektif negara lain atas negara tersebut.
Ancaman pemboikotan terhadap Amerika Serikat oleh negara-negara mungkin memiliki
kemungkinan kecil untuk terjadi. Namun, pemboikotan tidak hanya dapat dilakukan oleh negara.
Masyarakat internasional berperan besar dalam pembelian barang-barang tersebut. Apabila
Amerika Serikat terus menyelesaikan isu rasisme seperti ini, bisa jadi Amerika Serikat juga akan
mengalami penurunan ekonomi karena fakta bahwa gerakan Black Lives Matter baru-baru ini
menyerukan gerakannya untuk membeli barang-barang dari perusahaan tertentu, yang tentunya
tidak mendukung supremasi kulit putih.
Referensi:
Cowie, Jefferson, 2016. “The Great White Nope” [daring]. dalam
https://www.foreignaffairs.com/reviews/review-essay/2016-10-17/great-white-nope
[diakses 23 Juni 2020].
Dugis, Vinsensio (ed.), 2018. Teori Hubungan Internasional: Perspektif-Perspektif Klasik.
Surabaya: Airlangga University Press.
Harris, Frederick C., dan Robert C. Lieberman, 2017. “The Return of Racism?” [daring]. dalam
https://www.foreignaffairs.com/articles/united-states/2017-08-21/return-racism
[diakses 23 Juni 2020].
Heywood, Linda, et al. (eds.), 2015. African Americans in U.S. Foreign Policy: From the Era of
Frederick Douglass to the Age of Obama. Urbana: University of Illinois Press.
Hopkins, Daniel J., dan Samantha Washington, 2019. “The Rise of Trump, the Fall of Prejudice?
Tracking White Americans’ Racial Attitudes 2008-2018 via a Panel Survey”. 1 Oktober.
Jackson, Robert, dan Georg Sorensen, 2011. Introduction to International Relations: Theories
and Approaches. Oxford: Oxford University Press.
Keohane, Robert O., dan Joseph S. Nye, 2012. Power and Interdependence. Boston: Longman.
Patrick, Stewart M., 2020. “Black Lives Matter—for Social Justice, and for America’s Global Role”
[daring]. dalam https://www.worldpoliticsreview.com/articles/28839/black-lives-
matter-for-social-justice-and-for-america-s-global-role [diakses 22 Juni 2020].
Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2020. 43rd Regular Session of Human Rights Council. [video].
Wardhana, Agastya, dan Vinsensio Dugis. 2019. “Grand Strategy Isolasionisme Selektif:
Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat di Era Trump”, Jurnal Global Strategis. 13 (2).

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai