Anda di halaman 1dari 10

Tiga Pondasi Konstruksi Sistem Ekonomi Islam

A. Pengertian Sistem Ekonomi Islam


Sistem ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada
ajaran dan nilai-nilai Islam. Sumber dari keseluruhan nilai tersebut sudah tentu Al-
Qur’an, As-Sunnah, ijma dan qiyas. Nilai-nilai sistem ekonomi Islam ini merupakan
bagian integral dari keseluruhan ajaran Islam yang komprehensif dan telah dinyatakan
Allah SWT, sebagai ajaran yang sempurna.
Karena didasarkan pada nilai-nilai Ilahiah, sistem ekonomi Islam tentu saja akan
berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang didasarkan pada ajaran kapitalisme, dan
juga berbeda dengan sistem ekonomi sosialis yang didasarkan pada sosialisme. Memang,
dalam beberapa hal, sistem ekonomi Islam merupakan kompromi antara kedua sistem
tersebut, namun dalam banyak hal sistem ekonomi Islam berbeda sama sekali dengan
kedua sistem tersebut. Sistem ekonomi Islam memiliki sifat-sifat dari kapitalisme dan
sosialisme, namun terlepas dari sifat buruknya.

B. Asas Pokok Filsafat Ekonomi Islam (tauhid, rububiyyah, khilafah dan tazkiyah)
1. Tauhid
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. Islam bukan agama marginal yang
berurusan dengan kehidupan spiritual saja. Islam adalah agama yang memberikan
petunjuk dan kesejahteraan bagi kehidupan dunia dan akhirat. Dengan tauhid,
manusia menyaksikan bahwa “tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah
SWT,’’ dan tidak ada pemilik langit, bumi dan isinya, selain Allah SWT,’’ karena
Allah SWT adalah pencipta alam semesta dan isinya, sekaligus pemiliknya,
termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada. Sebagaimana
termaktub dalam firman-Nya surat al-Baqarah ayat 29:
ٓ ٰ ‫ق لَ ُكم َّما فِى ٱَأْلرْ ض َج ِميعًا ثُ َّم ٱ ْستَ َو‬
ٍ ‫ى ِإلَى ٱل َّس َمٓا ِء فَ َس َّو ٰىه َُّن َس ْب َع َس ٰ َم ٰ َو‬
‫ت ۚ َوهُ َو بِ ُكلِّ َش ْى ٍء َعلِي ٌم‬ َ َ‫هُ َو ٱلَّ ِذى خَ ل‬
ِ
Artinya: Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan
Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Karena itu, Allah SWT adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah
untuk “memiliki” sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka. Dalam Islam, segala
sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-NYA. Karena itu segala
aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam dan sumber daya manusia
(muámalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-
NYA manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan, termasuk aktivitas
ekonomi dan bisnis.
Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran, dan distribusi
diikatkan pada prinsip Ilahiah dan tujuan Ilahi. Oleh karena itu, seorang muslim
merasa ketika bekerja, ataupun berdagang bahwa dengan amanah itu ia beribadah
kepada Allah SWT. Semakin bertambah kebaikannya amalnya, semakin bertambah
pula taqwa dan taqorrub-nya kepada Allah SWT.
2. Rububiyyah (keesaan dalam mengatur semesta alam)
Mengesakan Allah SWT dalam penciptaan, pemberian rezeki, pemeliharaan
alam semesta, penghancurannya, pencabutan nyawa dan pembangkitan manusia
kembali, merupakan pengejawantahan dari keyakinan rububiyyah. Rububiyyah juga
termasuk dalam pengaturan Ilahi untuk penyuburan, kesinambungan kehidupan dan
mengarah segala makhluk menuju kepada kesempurnaannya.
Sifat rububiyyah juga mengandungi maksud kepada bimbingan seluruh apa
yang Allah SWT ciptakan untuk menuju kebahagian (sa’adah) di dunia dan
diakhirat. Firman Allah SWT dalam surah al-An’am ayat 164 yaitu;
ۚ ‫از َرةٌ ِو ْز َر ُأ ْخ َر ٰى‬ ٍ ‫قُلْ َأ َغي َْر ٱهَّلل ِ َأ ْب ِغى َربًّا َوه َُو َربُّ ُكلِّ َش ْى ٍء ۚ َواَل تَ ْك ِسبُ ُكلُّ نَ ْف‬
ِ ‫س ِإاَّل َعلَ ْيهَا ۚ َواَل ت َِز ُر َو‬
َ‫ثُ َّم ِإلَ ٰى َربِّ ُكم َّمرْ ِج ُع ُك ْم فَيُنَبُِّئ ُكم ِب َما ُكنتُ ْم فِي ِه ت َْختَلِفُون‬
Artinya: Katakanlah: "Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia
adalah Tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan
kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak
akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan
akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan".
Makna kalimat Tuhan (Rab) dalam ayat ini memberikan arti bahwa Allah
SWT satusatunya Tuhan yang Mendidik, Menjaga, Mengatur, Mengurus sekalian
alam semesta ini yang termasuk di dalamnya menguasai dan memiliki atas segala
sesuatu. Sehingga ayat ini mewajibkan setiap muslim untuk bertawakkal dan
mengikhlaskan segala aktivitas dalam kehidupan di dunia hanya untuk Allah SWT
semata. Inilah hukum dasar alam yang menekankan kepada model pembangunan
sumber yang berguna di samping mendorong dan berbagi sumber alam tersebut.
Suatu tata cara yang telah Allah SWT tetapkan guna menjamin pembangunan
sumber-sumber alam agar senantiasa seimbang dan berkelanjutan. Dalam konteks
susunan yang suci inilah usaha manusia dalam hal pembangunan ekonomi
dijalankan.
3. Khilafah
Dalam Al-qurán Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi
pemimpin khalifah di bumi, artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi.
Q.S Al-Baqarah ayat 30:
ٓ
ُ ِ‫ض خَ لِيفَةً ۖ قَالُ ٓو ۟ا َأتَجْ َع ُل فِيهَا َمن يُ ْف ِس ُد فِيهَا َويَ ْسف‬
ُ‫ك ٱل ِّد َمٓا َء َونَحْ ن‬ ِ ‫ك لِ ْل َم ٰلَِئ َك ِة ِإنِّى َج‬
ِ ْ‫اع ٌل فِى ٱَأْلر‬ َ ُّ‫َوِإ ْذ قَا َل َرب‬
َ‫ك ۖ قَا َل ِإنِّ ٓى َأ ْعلَ ُم َما اَل تَ ْعلَ ُمون‬
َ َ‫نُ َسبِّ ُح بِ َح ْم ِدكَ َونُقَدِّسُ ل‬
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".
Oleh karena itu, pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin. Nabi
Muhammad SAW bersabda: “Setiap dari kalian itu adalah pemimpin, dan akan
dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya”. Fungsi utamanya
adalah agar menjaga keteraturan interaksi (muamalah) antar kelompok- termasuk
dalam bidang ekonomi agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan atau
dikurangi.
Status khalifah atau pengemban amanat Allah SWT itu berlaku umum bagi
semua manusia; tidak ada hak istimewa bagi individu atau bangsa tertentu sejauh
berkaitan dengan tugas ke-khilafah-an itu. Namun ini tidak berarti bahwa umat
manusia selalu atau harus memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keuntungan
dari alam semesta ini. Mereka hanya memiliki kesamaan hanya dalam hal
kesempatan, dan setiap individu bisa mendapatkan individu bisa mendapatkan
keuntungan itu sesuai dengan kemampuannya. Individu-individu diciptakan oleh
Allah SWT dengan kemampuan yang berbeda-beda sehingga mereka secara
instinktif diperintahkan untuk hidup bersama, bekerja sama dan saling
memanfaatkan keterampilan mereka masing-masing.
4. Tazkiyah
Tazkiyah yaitu mensucikan manusia dalam hubungannya dengan Allah SWT,
sesamanya dan alam lingkungan, bangsa dan negara. Ibnu Taimiyah menjelaskan
bahwa altazkiyah adalah menjadikan sesuatu menjadi suci baik zatnya maupun
keyakinan dan fisiknya. Allah SWT mensifati orang-orang yang menyucikan jiwa
itu dengan keberuntungan dan mensifati orang-orang yang mengotorinya dengan
kerugian. Allah SWT berfirman dalam surat asy-Syams ayat 8-10.
Ibnu Jarir al-Thabari menafsirkan bahwa orang-orang yang beruntung adalah
mereka yang Allah sucikan jiwanya dari kekufuran dan kemaksiatan, serta
memperbaikinya dengan amal shaleh. Untuk mencapai kesucian dan keberuntungan
tersebut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa manusia harus menempuh jalan yaitu
mentaati Allah SWT, membersihkan jiwanya dari akhlak tercela serta membersihkan
jiwa dari berbagai hal yang dapat menyebakan hina.
Tazkiyah artinya mensucikan atau pertumbuhan dan kebaikan. Secara
epistimologi tazkiyah berarti kebersihan dan perlakuan yang memiliki metode dan
teknik, sifatnya dari syariat, dan kesannya terhadap tingkah laku serta usaha untuk
mencari keridhaan Allah SWT. Tugas para nabi yang diutus oleh Allah SWT tidak
lain untuk menyempurnakan kesucian (tazkiyah) manusia dalam semua
hubungannya. Misalnya hubungan manusia dengan Allah SWT, manusia dengan
manusia lainnya, maupun dengan lingkungan, dan alam sekitar dalam konteks
berbangsa dan bernegara. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW diutus ke muka
bumi, tidak lain untuk memperbaiki akhlak dalam rangka menyucikan ummatnya.
Penyucian yang telah beliau lakukan dengan diutusnya beliau yaitu membersihkan
akidah dari perbuatan syirik, menyucikan akhlak dari perbuatan keji dan mungkar
yang telah menjadi tradisi kaum jahiliyyah, dan menyucikan harta dari perkara-
perakara yang syubhat maupun gharar menuju harta yang halal dan thayyib (baik).
Melalui konsep tazkiyah inilah manusia dapat mengembangkan dirinya yang
akhirnya dapat membangunkan semua demensi kehidupannya termasuk dimensi
ekonomi. Selanjutnya implikasi atau dampak dari konsep tazkiyah ini adalah falah
yaitu kesejahteraan dan kemakmuran baik di dunia maupun di akhirat.
Khurshid Ahmad menegaskan bahwa konsep pembangunan yang Islami
sebenarnya dapat ditarik dari konsep tazkiyah, yang berarti penyucian terhadap sikap
dan hubungan tersebut di muka bumi. Hasil dari tazkiyah adalah falah, yaitu sukses
di dunia maupun di akhirat.
Asas tazkiyah mencegah kepincangan sosial dan mewujudkan pemerataan
yang bermuara pada keadilan. Kesemuanya itu akan mewujudkan pembangunan
yang berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan pada hakikatnya adalah
pelaksanaan asas rububiyah, yakni asas pendidikan, pemeliharaan dan kontinuitas
menuju kepada kesempurnaan, seperti sifat Ilahi.

C. Nilai Dasar Sistem Ekonomi Islam


1. Nilai Dasar Kepemilikan
Tuhan telah menyatakan bahwa seluruh yang ada di langit dan yang ada di bumi
adalah milik Allah Swt.
Surah Al-Baqaroh ayat 107:
‫ير‬
ٍ ‫ص‬ ِ ْ‫ت َوٱَأْلر‬
ِ َ‫ض ۗ َو َما لَ ُكم ِّمن دُو ِن ٱهَّلل ِ ِمن َولِ ٍّى َواَل ن‬ ُ ‫َألَ ْم تَ ْعلَ ْم َأ َّن ٱهَّلل َ لَهۥُ ُم ْل‬
ِ ‫ك ٱل َّس ٰ َم ٰ َو‬
Terjemahannya:
“Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan
Allah? Dan tiada bagimu selain allah seorang pelindung maupun seorang penolong.”
Di dalam ayat ini menjelaskan bahwa segala apa yang ada di alam ini dan apa
yang ada di dalam manusia itu sendiri adalah milik Allah Swt. Dan kepemilikan
yang ada pada manusia adalah hanya kepemilikan dalam pengelolaannya. Jadi
dengan demikian dapat kita pahami bahwa konsep kepemilikan Islam adalah
tidaklah termasuk dalam zatnya saja, tetapi kepada manfaatnya. Kepemilikan dalam
manusia bersifat amanah dari Tuhan yang Maha Esa yang harus di hormati.
Sedangkan kepemilikan dalam Islam itu sendiri terbagi bermacam-macam. Ada
kepemilikan oleh pribadi, kepemilikan bersama dan kepemilikan oleh negara, tetapi
yang paling di garis bawahi adalah masing-masing dari kepemilikan tersebut tidak
bersifat mutlak, tetapi terkait dengan penciptaan kemaslahatan umum dan usaha
untuk menghalangi terjadinya kemudharatan.
2. Nilai Dasar Keadilan
Kata adil dengan segala derivasinya di sebutkan dalam al-quran sekurang-
kurangnya ada sebanyak 28 kali. Ini menunjukkan bahwa masalah keadilan dalam
Islam menempati posisi yang sangat vital dan fundamental.
Firman Allah dalam QS. an-nahl: 90:
‫ِإ َّن ٱهَّلل َ يَْأ ُم ُر بِ ْٱل َع ْد ِل َوٱِإْل حْ ٰ َس ِن َوِإيتَٓاِئ ِذى ْٱلقُرْ بَ ٰى َويَ ْنهَ ٰى َع ِن ْٱلفَحْ َشٓا ِء َو ْٱل ُمن َك ِر َو ْٱلبَ ْغ ِى ۚ يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم‬
َ‫تَ َذ َّكرُون‬
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.”
Jadi dengan demikian Islam sangat menekankan arti pentingnya kita
memperhatikan dan menegakkan keadilan. Tidak saja keadilan untuk orang lain
tetapi juga untuk diri kita sendiri. Islam juga menuntut manusia untuk menegakkan
keadilan dalam semua bidang kehidupan umat manusia termasuk dalam bidang
ekonomi, tetapi pengertian keadilan dalam Islam tidaklah bermakna bahwa islam
menghendaki di jalankannya prinsip sama rata atau persamaan hasil akhir seperti
yang terdapat dalam paham komunisme, karena hal ini jelas bertentangan dengan
fitrah manusia itu sendiri yang memang telah di ciptakn oleh allah, memiliki
perbedaan, baik dalam dataran kecerdasan, skill, atau kemampuan lainnya .
3. Nilai Dasar Keseimbangan
Keseimbangan merupakan nilai dasar yang mempengaruhi berbagai aspek
tingkah laku ekonomi seorang Muslim. Keseimbangan adalah tidak berat sebelah,
baik itu usaha-usaha kita sebagai individu yang terkait dengan keduniaan dan
keakhiratan, maupun yang terkait dengan kepentingan diri dan orang lain, tentang
hak dan kewajiban.
Dan bila Allah memang berkehendak pada makhluk ciptaannya berbeda satu
sama lainnya, disanalah letak keseimbangannya. Bahwa perbedaan ada bukan untuk
dijadikan kesenjangan (gap), tapi justru untuk mencapai keseimbangan atau
keselarasan.
4. Nilai Dasar Kebebasan
Dalam sistem ekonomi sosial tidak mengenal kebebasan individual, karena
segala sesuatunya di atur dan di tentukan oleh negara secara sentralistis. Sedangkan
dalam sistem ekonomi liberialisme, kapitalisme masalah kebebasan orang per orang
sangat mendapatkan tempat yang terhormat, bahkan negara tidak boleh ikut campur
dalam urusan mereka termasuk dalam bidang ekonominya.
Di dalam sistem ekonomi Islam, masalah kebebasan ekonomi adalah tiang
pertama dalam dalam struktur pasar Islam. Kebebasan di dasarkan atas
ajaran-ajaran fundamental Islam atau dengan kata lain nilai dasar kebebasan ini
merupakan konsekuensi logis, dari ajaran tauhid dimana dengan pernyataan tidak
ada tuhan selain Allah, artinya manusia terlepas dari ikatan perbudakan baik oleh
alam maupun oleh manusia sendiri.
5. Nilai Dasar Kebersamaan
Dalam sistem ekonomi Islam adalah perinsip tauhid yang di bawa Islam yang
mengajarkan tiada tuhan selain Allah. Memiliki persamaan antara manusia bahwa
setiap manusia adalah bersumber dari satu yaitu : Allah Swt. Dengan kata lain di
dalam Islam tidak ada perbedaan sosial atas warna kulit, dan keadaan fisik, mereka
adalah sama semua milik Allah Swt. Jadi dengan konsep kebersamaan yang di bawa
islam telah menciptakan konsep baru dalam sistem demokrasi, yang tidak sama
dengan demokrasi barat. Bila demokrasi barat hanya mengaitkan konsep persamaan
tersebut hanya di depan hukum. Tetapi di dalam islam manusia sama di depan tuhan.
Jadi, arti demokrasi di dalam islam tidaklah hanya bernuansa insaninyah
(kemanusiaan) tetapi juga bernuansa ilahiyyah (ketuhanan).

D. Nilai Instrumental Sistem Ekonomi Islam


Dalam sistem ekonomi Islam ada beberapa nilai instrumental yang strategis yang
mempengaruhi tingkah laku ekonomi seseorang, masyarakat, dan pembangunan ekonomi
pada umumnya.
1. Zakat
Zakat merupakan bagian dari harta yang harus dikeluarkan oleh seorang
Muslim bila harta mereka telah mencapai nisab dan sudah memenuhi ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan oleh syariah (Qs. al-Baqarah [2]: 2, 176), yang ukuran
dan peruntukannya juga sudah ada ketetapannya dari Tuhan sendiri (Qs. at-Taubah
[9]: 60).
Pasa masa awal Islam zakat dihimpun oleh negara dan merupakan sumber
pendapatan utama negara. Zakat pada waktu itu benar-benar merupakan sarana
utama untuk menciptakan keadilan sosial, politik, dan ekonomi. Aktivitas ini benar-
benar berfungsi menciptakan persaudaraan dan kebersamaan di kalangan umat,
karena dana zakat merupakan salah satu pilar penting dari sumber dana jaminan
sosial.
Adanya instrumen ini secara ekonomi tentu memiliki beberapa makna, yakni:
(1) zakat mendorong terjadinya pendistribusian pendapatan dan kekayaan dari orang
yang berpunya kepada orang yang miskin atau yang memerlukannya, sehingga
kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi dan kesenjangan ekonomi bisa dikurangi; (2)
zakat secara langsung atau tidak tentu akan mempunyai pengaruh nyata terhadap
tingkah laku konsumsi umat dan penciptaan lapangan kerja apalagi bila zakat
tersebut dikelola melalui usaha-usaha produktif sehingga secara sosial, zakat dapat
memberikan dampak bagi terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan
pertentangan kelas yang diakibatkan oleh perbedaan pendapatan yang tajam; (3)
zakat dapat meningkatkan produktivitas dan daya beli masyarakat dan serta
membendung inflasi.
2. Pelarangan Riba
Nilai instrumental ini sangat terkait erat dengan pemberantasan praktik
kezaliman dan ketidakadilan (Q.s. al-Baqarah [2]: 278-279). Secara sempit
penghapusan riba berarti penghapusan eksploitasi yang terjadi dalam utang-piutang
maupun jual-beli (tetapi), secara luas penghapusan riba dimaknai sebagai
penghapusan segala bentuk praktik ekonomi yang menimbulkan kezaliman atau
ketidakadilan.
Secara ekonomi, praktik riba jelas tampak tidak berpihak kepada full
employment (terciptanya tenaga kerja penuh) karena sistem riba atau bunga jelas
tidak memberi peluang kepada nasabah untuk masuk ke sektor-sektor usaha yang
tingkat profitnya sama atau di bawah dari suku bunga yang ada. Akibatnya, peluang
lapangan kerja menjadi tertutup dan rekruitmen terhadap tenaga kerja menjadi tidak
bisa dilakukan. Praktik ini diperparah oleh perbankan konvensional yang tidak mau
mengambil risiko rugi sehingga mereka meminta jaminan kepada para nasabahnya.
Kebijakan ini dapat diterapkan kepada kaum yang berpunya karena merekalah yang
memiliki jaminan.
Sementara itu, orang yang miskin meskipun secara teknis mereka lebih layak
untuk mendapatkan kredit karena keahlian dan kemampuan yang dimilikinya.
Namun, karena mereka tidak memiliki apa-apa untuk dijaminkan, maka mereka
tidak bisa mendapatkannya. Hal ini akan berdampak kepada produktivitas dan
efisiensi. Di samping itu sistem riba ini secara makro akan meningkatkan inflasi,
karena tingkat suku bunga yang dikenakan kepada nasabah jelas akan meningkatkan
biaya produksi sehingga secara keseluruhan harga akan naik (inflasi). Bila harga-
harga secara umum meningkat, maka pasti ada kelompok masyarakat yang terpukul
dan akan terkena dampak negatif dari inflasi tersebut yaitu orang yang
berpendapatan rendah sehingga tidak mustahil mereka yang semula sebagai muzaki
akan jatuh miskin. Hal ini disebabkan terjadinya kenaikan harga-harga yang
menyebabkan mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
3. Kerjasama Ekonomi
Kalau dalam ekonomi kapitalis sangat ditonjolkan masalah kompetisi bebas,
sehingga mereka melihat orang lain sebagai kompetitor atau pesaing yang harus
ditundukkan. Sedangkan dalam sistem ekonomi sosialis terjadi sebaliknya. Sistem
ini tidak mengenal persaingan karena segala-galanya sudah diatur oleh negara baik
di tingkat produksi, distribusi maupun konsumsi. Tetapi berbeda dengan kedua
sistem ekonomi di atas, sistem ekonomi Islam sangat dianjurkan adanya kerjasama
dalam semua tingkat kegiatan ekonomi baik pada sektor produksi maupun distribusi
dan konsumsi.
Kerjasama tersebut bisa dilakukan dalam bentuk syirkah, mudhârabah,
dan/atau koperasi yang fungsinya, menurut Daud Ali, akan dapat menciptakan
kerja produktif sehari-hari dari masyarakat (Q.s. al-Baqarah [2]: 190), meningkatkan
kesejahteraan, mencegah kesengsaraan sosial (Q.s. Âli ‘Imrân [3]: 103, al-Mâidah
[5]: 3, at-Tawbah [9]: 71, 105 ), mencegah penindasan ekonomi dan distribusi
kekayaan yang tidak merata (Q.s. al-Isrâ’ [17]: 16, al-Hâqqah [69]: 25-37, 89 : 17-
20,107 :1-7), dan melindungi kepentingan ekonomi lemah (Q.s. an-Nisâ’ [4]: 5-10,
al-Fajr [89]: 17-26 ). Dengan adanya kerjasama ini maka prinsip yang kuat
membantu yang lemah (Q.s. al-Zukhruf [43]: 32) dan adanya pembagian kerja dan
spesialisasi tentu bisa ditegakkan sehingga kebersamaan, keadilan, dan pertumbuhan
serta pemerataan akan dapat diwujudkan.
4. Jaminan Sosial
Islam memberikan jaminan terhadap tingkat dan kualitas hidup yang minimum
(basic needs) bagi seluruh lapisan masyarakat (Q.s. al-Tawbah [9]: 6). Pentingnya
jaminan sosial tersebut terkandung dalam ajaran-ajaran yang mengatakan bahwa: (1)
manfaat sumber-sumber alam harus dapat dinikmati oleh semua makhluk Allah (Q.s.
al-An’âm [6]: 38, al-Rahmân [55]: 10); (2) Kehidupan fakir miskin harus
diperhatikan oleh masyarakat terutama oleh mereka yang punya (Q.s. al-Dzâriyât
[51]:19, al-Ma‘ârij [70]: 24); (3) Kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar
di antara orang-orang kaya saja. (4) Berbuat kebaikanlah kepada masyarakat
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (Q.s. al-Qashash [28]: 77), antara
lain dengan menyediakan sumber-sumber alam itu; (5) Seorang Muslim yang tidak
mempunyai kekayaan harus mau dan mampu menyumbangkan tenaganya untuk
tujuantujuan sosial (Q.s. al-Tawbah [9]: 79); (6) Seseorang janganlah menyumbang
untuk kepentingan sosial dan juga untuk keperluan pribadi serta keluarga sebagai
unit kecil masyarakat agar dipuji oleh orang lain (Q.s. al-Tawbah [9]: 262); (7)
Jaminan sosial itu harus diberikan sekurang-kurangnya kepada mereka yang
disebutkan dalam Alquran sebagai pihak-pihak yang berhak atas jaminan
tersebut (Q.s. al-Baqarah [2]: 273, al-Tawbah [9]: 60 ), dan lain-lain.
Dengan melaksanakan ajaran tentang jaminan sosial di atas berarti manusia di
samping telah berusaha mendekatkan dirinya kepada Allah, membersihkan hartanya,
dan membuang sifat riba dan tamak serta egoismenya, dan telah memberlakukan
hartanya sesuai dengan ketentuan agama. Hal ini akan menciptakan kehidupan yang
berkeadilan dan berkeseimbangan yang penuh dengan semangat persaudaraan dan
kebersamaan.

DAFTAR PUSTAKA

Masrizal, dkk. (2019). Nilai dan Fondasi Pembangunan Ekonomi Dalam Islam.
Iqtishadia: Jurnal Ekonomi dan Perbankan Syariah Vol.6 No.1.
Abbas, Anwar. (2012). Sistem Ekonomi Islam: Suatu Pendekatan Filsafat, Nilai-Nilai
Dasar, dan Instrumental. Al-Iqtishad: Vol. IV, No. 1.
Latif, Abdul. (2014). Nilai-Nilai Dasar Dalam Membangun Ekonomi Islam.
https://media.neliti.com/media/publications/285444-nilai-nilai-dasar-dalam-membangun-
ekonom-0f900ca2.pdf

Anda mungkin juga menyukai