Anda di halaman 1dari 16

2.

Gagal Ginjal Kronik (Definisi, Etiologi, Patofisiologi Dan Ketidakseimbangan Asam


Basa, Gejala, Penatalaksanaan, Dan Komplikasi)
A. Definisi
Menurut KDIGO tahun 2012, penyakit ginjal kronis didefinisikan sebagai kelainan
struktur atau fungsional ginjal, yang berlangsung lebih dari 3 bulan dan diklasifikasian
berdasarkan kausa, kategori LFG, dan kategori albuminuria. 1
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik 2
1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih
dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas derajat penyakit. Klasifikasi
ini dibuat atas dasar laju filtrasi glomerulus (LFG), yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. 2

LFG (ml/mnt/1,73m2=
( 140 – umur ) ×berat badan
*)
72× kreatinin plasma (mg/dl)
Klasifikasi tersebut tampak pada tabel 2.
Tabel 1. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik1
LFG
Derajat Penjelasan (ml/menit/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal / meningkat ≥90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan 60-89


3 Kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG turun berat 15-29

5 Gagal ginjal <15

Tabel 2. Klasifikasi atas dasar diagnosis.2


Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi
Penyakit Tipe mayor (contoh)
Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2
diabetes
Penyakit ginjal Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,
non diabetes neoplasia)
Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,
mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi,
keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

C. Etiologi
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan tipe
2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-
organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata.
Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang
jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal
kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat
menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain :3
a. Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan inflamasi
dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit ketiga tersering
penyebab gagal ginjal kronik
b. Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis tubulus.
c. Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim ibu.
Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran balik urin ke
ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada ginjal.
d. Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
e. Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran glandula
prostat pada pria dan refluks ureter.
f. Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
g. Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin,
Advil) untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati analgesik sehingga
berakibat pada kerusakan ginjal.
h. Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis.
i. Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan heroin,
amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker. 3

D. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada yang mendasarinya,
tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi lebih sama. Pengurangan massa
ginjal mengakibatkan hipertrofi struktura dan fungsional nefron yang masih tersisa
(surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa
sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi
nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan
kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi
jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth
factor seperti transforming growth factor (TGF-P) Beberapa hal yang juga dianggap
berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria,
hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibroisis
glomerulus maupun tubulointerstisial.2
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
(renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai
pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah, mual, nafsu
makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain
sebagainya. Pasien juga
mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun infeksi
saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada
LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal.2

E. Penegakan Diagnosis
Manifestasi klinis penyakit ginjal kronis tidak spesifik dan biasanya ditemukan pada
tahap akhir penyakit. Pada stadium awal, penyakit ginjal kronis biasanya asimtomatik.
Tanda dan gejala penyakit ginjal kronis melibatkan berbagai sistem organ, diantaranya:4
a. Gangguan keseimbangan cairan: edema perifer, efusi pleura, hipertensi, peningkatan
JVP, asites;
b. Gangguan elektrolit dan asam basa: tanda dan gejala hiperkalemia, asidosis metabolik
(nafas Kussmaul), hiperfosfatemia;
c. Gangguan gastrointestinal dan nutrisi: metallic taste, mual, muntah, gastritis, ulkus
peptikum, malnutrisi;
d. Kelainan kulit: kulit terlihat pucat, kering, pruritus, pigmentasi kulit, ekimosis;
e. Gangguan neuromuskular: kelemahan otot, fasi kulasi,
f. gangguan memori. ensefalopati uremikum;
g. Gangguan metabolik endokrin: dislipidemia, gangguan metabolisme glukosa,
gangguan hormone seks;
h. Gangguan hematologi: anemia (dapat mikrositik hipokrom maupun normositik
normokrom), gangguan hemostasis.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap: ureum meningkat, kreatinin serum meningkat. Dari
kadar kreatinin serum dapat dilakukan perhitungan estimasi LFG dengan rumus
Cockcrof-Gault atau studi MDRD
b. Pemeriksaa elektrolit: hiperkalemia, hipokalsemia, hiperfosfatemia, hipermagnesemia
c. Pemeriksaan kadar glukosa darah, profil lipid (hiperkolesterolemia,
hipertrigliseridemia, LDL meningkat)
d. Analisis gas darah: asidosis metabolik (pH menurun, HC03 menurun)
e. Urinalisis dan pemeriksaan albumin urin
f. Sedimen urin: sel tubulus ginjal, sedimen eritrosit, sedimen leukosit, sedimen
granuler kasar. Dan adanya eritrosit yang dismorfik merupakan tanda patognomonik
jejas ginjal;
g. Pemeriksaan protein urin kuantitatif 24 jam (PUK)
h. Pencitraan: USG ginjal; BNO-IVP
i. Biopsi ginjal
j. Pemeriksaan lain (untuk komplikasi): EKG. foto polos toraks, dan ekokardiografi.4

Tabel 3. Perbedaan pada AKI dan CKD2


AKI CKD
Kerusakan Reversible jika etiologi Irreversible
ginjal disingkirkan
Perlangsungan < 48 jam > 3 bulan
Gejala Klinik Dominan sindrom uremik Tanda-tanda perlangsungan
(mual, muntah, sesak kronik : tanda-tanda anemia
nafas, gelisah, kesadaran (lemas dan pucat) karena
menurun, gangguan eritropoetin tidak dihasilkan
jantung)
Hemodialisa Sesuai indikasi cito Jika LFG < 60 (G3a - G5)
Hemodialisa
Diagnosis Ada riwayat penurunan LFG
sebelumnya.

F. Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,
dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4. Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan
Derajatnya
LFG
Derajat Rencana tatalaksana
(m/mnt/1,73m2)
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi
1 ≥90 perburukan (progression) fungsi ginjal,
memperkecil risiko kardiovaskular
Menghambat perburukan (progression) fungsi
2 60-89
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi peng ganti ginjal
5 <15 Terapi pengganti ginjal

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:2


1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2. Pada pasien dengan Diabetes dan hipertensi indikasi untuk hemodialisa adalah
pada stadium 4 sedangkan pasien yang kerusakan ginjalnya bukan disebabkan
oleh penyakit metabolic di hemodialysis pada stadium 5
3. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
4. Menghambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:
a. Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di pecah
menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui
ginjal. Selain itu makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen,
posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya juga dieksresikan melalui ginjal.
Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada penderita gagal ginjal
kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik
lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,
karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk
mencegah terjadinya hiperfosfatemia.8
b. Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerular dan
hipertrofi glomerulus.8
Strategi untuk mencegah kerusakan ginjal yang lebih parah selain
mengontrol tekanan darah adalah dengan menggunakan ACE-Inhibitor atau
ARB untuk terapi hipertensi dan dievaluasi apabila dengan ACE-inhibitor
dan ARB tidak memberikan perbaikan bisa di ganti dengan calcium channel
bloker , kontrol glukosa darah dan kadar lemak dalam darah karena glukosa
darah dan kadar lemak dalam darah yang tinggi dapat mengakibatkan
perburukan, menghindari penggunaan NSAID karena dapat memperberat
fungsi ginjal. 8
5. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Dengan cara pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengedalian
dislipidemia, pengedalian anemia, pengedalian hiperfosfatemia dan terapi
terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.8
6. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit komplikasi: 8
a. Anemia
Evaluasi terhadap anemia dimulai saaat kadar hemoglobin < 10 g% atau
hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin
serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya
hemolisis,dan lain sebagainya. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal
yang dianjurkan. Sasaran hemoglobin adalah 11 – 12 g/dl.8
b. Osteodistrofi renal
Penatalaksaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara :
1) Mengatasi hiperfosfatemia
a) Pembatasan asupan fosfat 600 – 800 mg/hari
b) Pemberian pengikat fosfat, seperti garam kalsium, alluminium
hidroksida, garam magnesium. Diberikan secara oral untuk
menghambat absorpsi fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium
yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium
acetate.
c) Pemberian bahan kalsium memetik, yang dapat menghambta reseptor
Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.8
2) Pemberian kalsitriol
Pemakaian dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan
kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal karena dapat
meningkatkan absorpsi fosfat dan kalium di saluran cerna sehingga
mengakibatkan penumpukan garam kalcium karbonate di jaringan yang
disebut kalsifikasi metastatik, disamping itu juga dapat mengakibatkan
penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.8
3) Pembatasan cairan dan elektrolit
Pembatasan asupan cairan untuk mencegah terjadinya edema dan
kompikasi kardiovaskular sangat perlu dilakukan. Air yang masuk
dianjurkan 500 – 800 ml ditambah jumlah urin. Elektrolit yang harus
diawasi asuapannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
dilakukan karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang
fatal. Oleh karena itu, pemberian obat – obat yang mengandung kalium
dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi.
Kadar kalium darah dianjurkan 3,5 – 5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium
dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam
natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan
derajat edema yang terjadi.8
7. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15 ml/mnt.
Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.8
Indikasi dilakukan hemodialisa pada pasien chronic kidney disease terbagi
2 kategori yaitu :
1. Hemodialisi segera atau emergency yaitu :
a. Uremia (BUN >150mg/dL)
b. Oligouria (urin <200 mg/12 jam)
c. Anuria (urin <50 ml/12 jam)
d. Asidosis berat (pH <7,1)
e. Hyperkalemia
f. Ensefalopati uremikum
g. Neuropati uremikum
h. Hipertemia
i. Disnatremia (natrium >160 atau <115mmol/L)
2. Hemodialisa kronik yaitu hemodialysis yang dilakukan seumur hidup
dengan LGF <15ml/menit tetapi karena gejala klinis setiap orang berbeda
maka dialysis dimulai apabila dijumpai salah satu gejala yaitu :
a. LFG <15ml/menit, tergantung gejala klinis penderita
b. Malnutrisi atau hilangnya massa otot
c. Gejala uremia antara lain anoreksia, mual-muntah, lethargy.
d. Hipertensi yang susah dikontrol
e. Kelebihan cairan
Hemodialysis harus dimulai lebih awal pada pasien dengan :
a. Diabetes : lebih banyak mengalami komplikasi, lebih sulit untuk
mengatur diet ginjal dan diet diabetes
b. Neuropati perifer : indikasi efek uremia pada siste saraf perifer
c. Ensefalopati uremikum : indikasi efek yang berat pada system saraf
pusat
d. Hipertensi maligna : mungkin dapat membaik dengan pengeluaran
cairan pada dialisis

G. Komplikasi
Komplikasi akut

1. Hyperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan konsentrasi
ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan
sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia.
Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot
jantung, rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan
hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan
mental.10
2. Asidosis metabolic
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar
bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal
kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron,
penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat
asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah kurang
dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dapat menyebabkan
gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas
akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan
untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis.10
3. Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus
sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting
enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek
vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah. 10
4. Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga


fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui,
fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut.
Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit ( berturut-turut
menyebabkan nyeri sendi dan pruritus). 10
5. Edema paru
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus
sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting
enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II merangsang
pelepasan aldosteron dan ADH sehingga menyebabkan retensi NaCl dan air sehingga
volume ekstrasel meningkat (hipervolemia), volume cairan berlebihan menyebabkan
ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer, lalu terjadi peningkatan tekanan
atrium kiri sehingga terjadi peningkatan tekanan vena pulmonalis lalu terjadi
peningkatan tekanan di kapiler paru sehingga terjadi edema paru yang memicu
timbulnya sesak nafas. 10
Komplikasi kronik

1. Congestive heart failure


Gagal jantung kongestif adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh
berkurangnya volume pompa jantung untuk keperluan relative tubuh, disertai
hilangnya curah jantung dalam mempertahankan aliran balik vena. Di mana keadaan
jantung tidak dapat memompa darah memompa darah secara maksimal agar dapat
disalurkan keseluruh tubuh yang memerlukan.
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi
gangguan kemampuan kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih
rendah dari curah jantung normal tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang
utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan
curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Voleme sekuncup adalah jumlah
darah yang di pompa pada setiap kontraksi tergantung pada 3 faktor yaitu preload,
kontraktilitas, dan afterload

2. Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar
Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Adanya toksik uremik pada
CKD akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada
keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya
efek inhibisi eritropoiesis.10
3. Encephalopathy uremikum
Uremia menggambarkan tahap akhir dari gagal ginjal yang progresif dan
kegagalan multi organ, ini adalah hasil akumulasi metabolism dari protein dan asam
amino dan kegagalan dari katabolisme ginjal dan proses endokrinologi. Ensefalopati
uremikum adalah salah-satu manifestasi gagal ginjal, gejalanya berupa kelelahan,
malaise, sakit kepala, polyneuritis, perubahan status mental, kejang otot, dan koma.
4. Nefropati
Nefropati adalah penyakit ginjal akibat diabetes mellitus yang merupakan
penyebab utama ginjal di eropa. Ada 5 fase nefropati diabetika, fasi I adalah
hiperfiltrasi dengan peingkatan GFR,AER( albumin ekretion rate) dan hipertropi
ginjal. Fase II eksresi albumin relative normal (<30mg/24 jam) pada beberapa
penderita mungkin masih terdapat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi
dalam berkembang menjadi nefropati diabetic. Fase III terdapat mikroalbuminuria
(30-300mg/24jam). Fase IV difstick positif proteinuria, ekskresi albumin
>300/24jam, pada fase ini terjadi penurunan GFR dan biasanya terdapat hipertensi.
Fase V merupakan end stage renal disease, dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya
sudah turun sampai 15ml/menit.

3. Perbedaan Gagal Ginjal pada Anak dan Dewasa


Pada masa anak-anak penyebab AKI terbanyak adalah sepsis, obat-obatan nefrotoksik, dan
iskemia ginjal pada pasien dengan penyakit berat.6
Kriteria RIFLE menetapkan beratnya AKI berdasarkan 3 tingkatan (risk, injury, failure) dan
2 variabel outcome (loss dan end stage). Gangguan ginjal akut pada anak menggunakan
kriteria diagnosis Pediatric RIFLE (pRIFLE). Kriteria tersebut dibuat berdasarkan estimasi
klirens kreatinin yang dihitung berdasarkan rumus Schwartz atau penurunan produksi urine
per kilogram berat badan per jam6
Gambar. Kriteria Diagnosis pRIFLE Untuk Klasifikasi Gangguan Ginjal Akut Pada Anak6

Diagnosis 7
Menentukan gangguan ginjal akut dengan menggunakan kriteria pRIFLE
Membedakan beberapa penyebab yang berbeda dengan menggunakan metode noninvasif
(urinalisis, pemeriksaan darah, dan ultrasonografi ginjal)
Penentuan diagnosis awal Suatu penyebab Obstruktif dan penyebab prerenal sangat
penting sebagal penentu tatalaksana yang cepat untuk mencegah timbulnya cedera ginjal

Terapi
Penatalaksanaan gangguan ginjal akut dibagi dalam 2 jenis:
a. Terapi konservatif
b. Terapi dialisis

Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif untuk mencegah progresivitas kelebihan cairan, kelainan
elektrolit dan asam basa, Serta penanggulangan gejala uremia
Tahap Antisipatif
Mengantisipasi keadaan penyakit yang mempunyai risiko menimbulkan penyulit,
sehingga dapat melakukan penanggulangan sedini-dininya. Keadaan tersebut antara lain:
 Tidak ada diuresis 48 jam sesudah lahir pada neonatus
 Terdapat gambaran obstruksi saluran kemih pada USG pranatal
 Dehidrasi
 Pemakaian obat nefrotoksik jangka panjang atau kemoterapi
 Pascabedah kardiovaskular
Referensi
1. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease.
KDIGO 2012. January 2013 ;3:1
2. Atau no 8. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
II. Edisi VI. Jakarta : Balai Penerbit FK UI ; 2016
3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UPH.
4. A
5. No 10. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna
Patofisiologi. Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.
6. Nilawati GAP. Kejadian Acute Kidney Injury dengan Kriteria pRIFLE pada Unit Perawatan
Intensif Anak Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Sari Pediatri, Vol. 14, No. 3, Oktober 2012
7. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi ke 5. Bandung: Penerbit Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK
UNPAD. 2014

Anda mungkin juga menyukai