Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik atau sengketa lingkungan pada umumnya memiliki ciri khusus seperti

sifatnya yang rumit (polycentric) karena pembuktian yang bersifat ilmiah (sciantifically

evidance), penyelesaiannya bersifat jangka panjang serta seringkali melibatkan pihak-

pihak (stakeholders) yang tidak hanya terbatas pada “injurer vs injured” (pihak pencemar

atau perusak dengan pihak yang dirugikan ) akan tetapi juga merka yang memiliki

kepedulian. Hukum lingkungan (environmental law) adalah hukum yang mengatur

tingkah laku manusia (masyarakat) terhadap lingkungan.1 Tujuannya adalah untuk

memelihara, mengendalikan, melindungi, dan melestariakan fungsi lingkungan hidup.2

Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor

23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup (UUPLH) dan kemudian diganti

dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Salah satu hal yang penting dalam UUPPLH ini adalah pengaturan

mengenai ketentuan penyelesaian sengketa lingkungan (Alternative Dispute Resolution)

diluar pengadilan dan pembentukan Lembaga penyedia Jasa Penyelesaian Sengketa

Lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 84 sampai dengan Pasal 87.

Pengaturan penyelesaian sengketa lingkungan bertjuan untuk mendapatkan kesepakatan

1
Akib, Muhammad. Hukum Lingkungan, Presfektif Global dan Nasional.Jakarta: Rajawali
Press, 2013, hal 97
2
Harahap, M. Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian
Sengketa. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 1997.hal 8
tentang bentuk pilihan (negosiasi, mediasi, arbitase) dan besarnya ganti kerugian serta

tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.3

Dalam berbagai kasus yang menyangkut masalah lingkungan, biasanya Korporasi

merupakan subyek paling dominan sebagai dalang yang menyebabkan terjadinya

penurunan mutu lingkungan hidup di suatu wilayah atau lingkungan masyarakat tertentu.

Hal ini tidak terlepas dari kegiatan korporasi yang mengeksploitasi sumber daya alam

dalam jumlah besar sebagai salah satu faktor produksi untuk menunjang operasional yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan dampak terhadap masyarakat

sekitar. Hal ini tentu bisa menjadi pemicu timbulnya sengketa antara korporasi dan

masyarakat.4

Apabila terjadi sengketa dibidang lingkungan hidup, proses penyelesaiaanya

diatur Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup (UUPPLH), dalam Pasal 1 Butir 25 (UUPPLH) mengatur bahwa:

“sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul

dari kegiatan yang berpotensi dan atau telah berdampak pada lingkungan hidup.”

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian lingkungan hidup

bersifat sukarela dan lebih menenkankan penyelesaian diluar pengadilan, artinya para

pihak yang bersengketa dapat memilih forum penyelesaian sengketa lingkungan hidup

apakah melalui pengadilan atau di luar pengadilan dan proses penyelesaian melalui

3
Ibid, hal 37
4
Ibid, hal 94
pengadilan hanya dapat dilakukan jika proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan

(mediasi) telah dilakukan dan tidak bisa berhasil menyelesaikan permasalahan.5

Pada saat melakukan pembangunan dengan memperhatikan pelestarian fungsi

lingkungan, kita dihadapkan pada kasus-kasus perusakan dan pencemaran lingkungan.

Hampir setiap hari media massa memberitakan kerusakan lingkungan yang terjadi tiap

daerah. Kasus-kasus lainnya yang tidak sempat diberitakan, tentu masih banyak lagi.

Sedang isu pokok Penegakan Hukum Lingkungan sampai dengan sekarang ini masih

berkisar pada masalah pencemaran oleh pihak industri atau perusahaan, masalah

pencemaran sungai, masalah perusakan hutan.6

Kasus pencemaran dan perusakan lingkungan ini adalah sangat berbahaya bagi

kesejahteraan umat manusia. Apalagi pencemaran dan perusakan lingkungan di lakukan

oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam berbagai bidang kegiatan, baik itu

pertambangan, kehutanan dan lain-lain. Kalau ini terjadi yang rugi bukan satu dua orang

saja melainkan seluruh umat manusia dibumi ini. Oleh karena itu aspek penegakan

hukum memerlukan perhatian dan aksi pemberdayaan secara maksimal terutama pada

perusahaan yang melakukan perusakan dan pencemaran lingkungan.7

Fenomena yang terjadi di Kecamatan Taniwel kabupaten Seram Bagian Barat

adalah konflik hukum lingkungan, penolakan terhadap rencana beroperasinya PT.

Tanjung Wana Sejahtera (TWS) sebagai pemegang Hak Pengusaha Hutan (HPH) di

5
Rahmadi , Takdir. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Sawitri ,
Handri Wirastuti dan Rahadi Wasi Bintoro. Sengketa Lingkungan dan Penyelesaiannya, Purwokerto: Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2010 Cet. 1. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2010, hal
66
6
Harahap, M. Yahya. Op.cit, hal 13
7
Mardani, Hukum Perikatan Syariah di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.hal 49
kawasan hutan Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Provinsi Maluku terus dilakukan

masyarakat adat Desa Solea dan Desa Makububui, Kecamatan Taniwel Timur,

Kabupaten SBB, dibantu sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Mahasiswa Makina,

memblokir ruas jalan yang menghubungan sejumlah desa di Kecamatan Taniwel. Dengan

dalih untuk menyelamatkan kawasan hutan adat di Kabupaten SBB, aksi palang jalan ini

dilakukan sebagai bentuk penolakan atas rencana kehadiran perusahaan HPH PT TWS

dan beberapa perusahan lainnya, yang akan melakukan penebangan kayu di kawasan

hutan adat.8

Warga adat dan mahasiswa juga meminta agar Bupati SBB untuk menolak

kehadiran perusahaan yang mengeksploitasikan hutan di Pulau Seram. Kehadiran

perusahaan ini, dinilai dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang berdampak pada

bencana yang akan dialami warga setempat9 Dari kasus tersebut, penerapan bentuk azas

Ultimum Remedium dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mulai familiar di Indonesia. Saat ini telah

berkembang lembaga penyelesaian konflik lingkungan hidup di (Liar pengadilan yang

biasa disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR). Format ADR yang

digunakan dalam kasus ini adalah menggunakan pendekatan negosiasi dan mediasi.

Hanya saja, bentuk ADR ini belum secara maksimal mengatasi pencemaran yang terjadi.
10
Di di Kecamatan Taniwel kabupaten Seram Bagian Barat

Berdasarkan uraian di atas maka penulis bermaksud mengangkat penilitian hukum

dengan judul ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION SEBAGAI BENTUK

8
Berita Beta.com, Ambon,edisi Senin (26/11/2018). Di Akses pada tanggal 18 April 2019 Pukul
23.00 WIT
9
Ibid
10
Ibid, hal 75
PENYELESAIAN KONFLIK HUKUM LINGKUNGAN DI DESA TANIWEL

KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimanakah Alternative Dispute Resolution Sebagai Bentuk Penyelesaian Konflik

Hukum Lingkungan Di Desa Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang inngin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui dan menganalisis Alternative Dispiute Resolution Sebagai Bentuk

Penyelesaian Konflik Hukum Lingkungan Di Desa Taniwel Kabupaten Seram Bagian

Barat

2. Sebagai sala satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakukltas Hukum

Universitas Pattimura.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui tentang penerapan pelaksanaan Alternative Dispute

Resolution Sebagai Bentuk Penyelesaian Konflik Hukum Lingkungan Di Desa

Taniwel Kabupaten Seram Bagian Barat

2. Dapat menjadi masukan kepada masyarakat adat dan Pemerintah Desa Taniwel,

dalam penyelesaian konflik hukum lingkungan di indonesia.


E. Kerangka Konseptual

Sengketa Lingkungan Hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang

ditimbulkan adanya atau diduga adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan.11

Sengketa lingkungan (environmental disputes) merupakan species dari genus sengketa

yang bermuatan konflik atau kontroversi di bidang lingkungan yang secara leksikal

diartikan: “Dispute. A conflict or controversy; a confllct of claims or rights; an assertion

of a rlght, claim, or demand on oneside, met by contrary claims or allegations on the

other” Terminologi “penyelesaian sengketa” rujukan bahasa Inggrisnya pun beragam:

dispute resolution, conflict management, conflict settlement, conflict intervention.12

Dalam suatu sengketa, termasuk sengketa lingkungan, tidak hanya berdurasi

”perse1isihan para pihak ansich, tetapi perselisihan yang diiringi adanya “tuntutan”

(claim). Tuntutan adalah atribut primer dari eksistensi suatu sengketa (konflik). Dengan

demikian, rumusan Pasal 1 angka 19 UUPLH yang hanya mengartikan sengketa

lingkungan sekedar “perselisihan antara dua pihak atau lebih…” tanpa mencantumkan

“claim” adalah kurang lengkap dan tidak merepresentasikan secara utuh keberadaan suatu

sengketa.13

Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang

ditimbul dari kegiatan yang beroptensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.

ADR adalah sebuah istilah asing yang memiliki berbagai arti dalam bahasa indonesia

seperti pilihan penyelesaian sengketa (PPS), Mekanisme alternatif penyelesaian sengketa

11
Akib, Muhammad, Loc.cit, hal 81
12
Harahap, M. Yahya. Loc.cit, hal 64
13
Ibid, hal 86
(MAPS) ,pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan mekanisme penyeselaian

sengketa secara kooperatif.14

Namun dalam Pasal 1 angka 10 UU No 30 tahun 1999 mengartikan bahwa

Alernative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar

pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian

ahli.15Dalam praktik, hakikatnya ADR dapat diartikan sebagai Alternative to litigation

atau alternative to adjudication. Alternative to litigation berarti semua mekanisme

penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sehingga dalam hal ini arbitrase termasuk

bagian dari ADR.16 Sedangkan Alternative to adjudication berarti mekanisme

penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus atau kooperatif, tidak melalui prosedur

pengajuan gugatan kepada pihak ke tiga yang berwenang mengambil keputusan.

Termasuk bagian dari ADR adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan

pendapat ahli, sedangkan arbitrase bukan termasuk ADR.

Jika mengacu pada UUPLH 2009 sangat diperlukan pembangunan yang

berkelanjutan untuk menjamin keutuhan lingkungan hiudp untuk generasi kedepan. Oleh

sebab itu, perlu dilaksanakan pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup, berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh

dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Untuk

itu dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup yang serasi, selaras dan

14
Akib, Muhammad, Op.cit, hal 72
15
Ibid, hal 78
16
ibid, 79
seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan

lingkungan hidup.

Sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dikategorikan menjadi 3,

yaitu : 17

1. sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan;

2. sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam;

3. sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan.

Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya

terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi

kepentingan ekonomi di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban

untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. 18 Sengketa yang

berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada

pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi,

sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya

terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban

pencemaran/perusakan. Penyelesaian sengketa lingkungan di Indonesia dapat dilakukan

di dalam dan di luar pengadilan. Hal ini telah dijamin dalam undang-undang yang

mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia,

17
Suyud Margono, ADR(alternative dispute resolution) & Arbitrase, cet II(Bogor :Ghalia
Indonasia, 2004), hal 90
18
Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hhidup dan Pembangunan, Jakarta: Djambatan:
1991, hal 63
yakni UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup .19

Manusia dalam kehidupannya selalu dihadapkan pada masalah/konflik, hal ini

tidak dapat dihindari selama manusia masih menghirup udara dalam kehidupan. Konflik

dapat terjadi karena adanya suatu perubahan yaitu sesuatu yang berbeda dari sebelumnya,

bisa juga terjadi karena adanya perbedaan antara keinginan/perasaan dengan kenyataan

yang terjadi.20

Konflik antara individu dengan individu atau antar kelompok dapat terjadi ketika

dua orang atau lebih berlomba untuk mencapai tujuan yang sama atau memperoleh

sumber yang jumlahnya terbatas. Timbulnya konflik merupakan pertanda akan adanya

krisis dalam hubungan manusia, dan tindakan yang harus dilakukan untuk mengatasi

konflik (sengketa) itu adalah mengadakan usaha untuk memperbaiki hubungan tersebut.21

Pada umumnya, masyarakat berpandangan bahwa sengketa (konflik) hanya bisa

diselesaikan melalui jalur pengadilan, bahkan kalangan professional hukum pun

berpandangan yang sama.22 Sampai saat ini, banyak dari kalangan mereka hanya terpaku

memilih jalur litigasi dan melupakan serta mengabaikan cara-cara penyelesaian sengketa

melalui jalur non-litigasi, dalam hal ini Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau

19
Imaniyati, Neni Sri. Perbankan Syariah dalam Perspektif Hukum Ekonomi. Bandung: CV.
Mandar Maju. 2013.hal 84
20
Suyud Margono, Loc.cit, hal 73
21
Danusaputro, Munadjat. Hukum Lingkunga, Buku I Umum, Jakarta: Bina Cipta, 1985, hal 76
22
Yazid , TM. Lutfi. Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmetal Dispute Resolution),
Surabaya: Airlangga University Press–Yayasan Adikarya IKAPI–Ford Foundation, 1999, hal 16
lebih dikenal dengan istilah Alernative Dispute Resolution (ADR) atau sering juga disebut

dengan istilah Out of Court Settlement (OCS).23

Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa:

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda

pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar

pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian

ahli.

Penyelesaian sengketa diluar peradilan (ADR) lebih menguntungkan dari pada

penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan. Keuntungan dimaksud, dapat diuraikan

sebagai berikut:24

1. Proses lebih cepat artinya penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dalam

hitungan hari, minggu atau bulan, tidak seperti halnya penyelesaian lewat jalur

pengadilan yang memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan;

2. Biaya lebih murah dibandingkan penyelesaian sengketa/konflik melalui jalur

litigasi;

3. Sifatnya informal karena segala sesuatunya dapat ditentukan oleh para pihak yang

bersengketa seperti menentukan jadwal pertemuan, tempat pertemuan, ketentuan-

ketentuan yang mengatur pertemuan mereka, dan sebagainya;

23
Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. 2013.
24
Abbas, Syahrizal Abbas. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat Dan Hukum
Nasional. Cet. 1. Kencana: Jakarta, 2009, hal 72
4. Kerahasiaan terjamin, artinya materi yang dibicarakan hanya diketahui oleh

kalangan terbatas, sehingga kerahasiaan dapat terjamin dan tidak tersebar luas

atau terpublikasikan;

5. Adanya kebebasan memilih pihak ketiga, artinya para pihak dapat memilih pihak

ketiga yang netral yang mereka hormati dan percayai serta mempunyai keahlian

dibidangnya.

6. Dapat menjaga hubungan baik persahabatan, sebab dalam proses yang informal

para pihak berusaha keras dan berjuang untuk mencapai penyelesaian sengketa

secara kooperatif sehingga mereka tetap dapat menjaga hubungan baik.

7. Lebih mudah mengadakan perbaikan-perbaikan, artinya apabila menggunakan

jalur ADR akan lebih mudah mengadakan perbaikan terhadap kesepakatan yang

telah dicapai seperti menegosiasikan kembali suatu kontrak baik mengenai

substansi maupun pertimbangan yang menjadi landasannya termasuk konsiderans

yang sifatnya non hukum.

8. Bersifat final, artinya putusan yang diambil oleh para pihak adalah final sesuai

kesepakatan yang telah dituangkan di dalam kontrak.

9. Pelaksanaan tatap muka yang pasti, artinya para pihaklah yang menentukan secara

pasti baik mengenai waktu, tempat dan agenda untuk mendiskusikan dan mencari

jalan keluar sengketa yang dihadapi.

10. Tata cara penyelesaiannya sengketa diatur sendiri oleh para pihak, sebab tidak

terikat oleh peraturan perundangan yang berlaku.25

25
Ibid, hal35
Dilihat dari hal tersebut sebenarnya penyelesaian sengketa melalui APS

merupakan hal yang sangat ideal, mengingat keadilan muncul dari para pihak. Hal ini

berbeda dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau arbitrase di mana

keadilan muncul dari hakim atau arbiter.26 Sifat lain dari penyelesaian sengketa melalui

APS adalah kesukarelaan. Tanpa adanya kesukarelaan di antara para pihak, maka APS

tidak akan bisa terlaksana. Kesukarelaan di sini meliputi kesukarelaan terhadap

mekanisme penyelesaiannya (yaitu melalui APS) dan kesukarelaan isi kesepakatan.27

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan Proposal ini adalah

pendekatan “Yuridis Normatif”28 dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum

yang mempunyai relevansi dengan masalah yang akan diteliti..29.

2. Tipe Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam penulisan proposal ini adalah “Deskriptif

Analitis”30yaitu menganlisis hal-hal yang bersifat umum tentang permasalahan

yng ditemui dan kemudian akan menghasilkan suatu kesimpulan yang bersifat

khusus.

3. Sumber Bahan Hukum

26
Akib, Muhammad. Loc.cit, hal 85
27
Usman, Rachmadi. Op.cit, hal 44
28
SoejonoSoekantodan dan Sri Mamuji, PenelitianHukumNormatif, Radjawali, Jakarta, 1985, hal
14
29
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), Hal 66
30
Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Radjawali.Jakarta 1985 Hal
17
Dalam penelitian ini,sumber bahan hukum yang diperoleh berupa bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain :

a. Data Primer

Yaitu Bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau ketentuan-ketentuan yang berlaku.

Sehubungan dengan itu, maka bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

AlternativePenyelesaian Sengketa

2. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

b. Data Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan untuk mendukung bahan hukum

primer, diantaranya berasal dari karya para sarjana, jurnal, data yang

diperoleh dari instansi atau lembaga, serta buku-buku kepustakaan yang

dijadikan referensi yang dapat menunjang penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang di gunakan oleh penulis dalam

penulisan proposal ini adalah teknik pengumpulan bahan hukum sekunder yang

dilakukan melalui dokumen-dokumen, buku-buku, peraturan perundang -

undangan dan bahan lainnya yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti

dalam penulisan ilmiah ini.


5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisa bahan hukum merupakan faktor yang penting dalam suatu

penelitian karena akan menjawab semua persoalan yang timbul dari pokok

permasalahan yang ada. Analisis bahan hukum dapat dilakukan setelah semua

data terkumpul.Dalam penulisan proposal ini, penulis menggunakan teknik

analisis kualitatif berdasarkan penelitian kepustakaan, dengan maksud untuk

mendeskripsikan hasil berdasarkan data kongkrit dari sumber data sekunder

mauapun sumber data primer sehingga demikian dapat menghasilkan kesimpulan

untuk mengimplikasikan penelitian hukum.

Anda mungkin juga menyukai