Anda di halaman 1dari 80

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jalan

2.1.1 Definisi dan Peranan Jalan

Menurut Wignall dkk (1999) dalam Putri Wirdatun Nafiah (2011) salah satu

bagian dari sistem transportasi yang merupakan prasarana umum/infrastruktur adalah

jalan. Secara sederhana jalan didefinisikan sebagai jalur dimana masyarakat

mempunyai hak untuk melewatinya tanpa diperlukannya izin khusus untuk itu.

Dalam Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 disebutkan bahwa definisi jalan

merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan termasuk

pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada

pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah dan/atau

air serta diatas permukaan air kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.

Dalam pasal 5 undang - undang Republik Indonesia nomor 38 tahun 2004

tentang jalan disebutkan juga bahwa jalan sebagai bagian prasarana transportasi

mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan

hidup, politik, pertahanan dan keamanan serta dipergunakan untuk sebesar-besarnya

bagi kemakmuran rakyat. Jalan yang juga merupakan satu kesatuan sistem jaringan

dapat menghubungkan dan mengikat seluruh wilayah Republik Indonesia. Sehingga

keberadaan prasarana jalan dapat merangsang serta mendorong pengembangan

wilayah yakni pengembangan dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar

daerah yang semakin merata. Artinya infrastruktur jalan merupakan urat nadi

perekonomian suatu wilayah karena perannya dalam menghubungkan serta

8
Universitas Sumatera
meningkatkan pergerakan manusia dan barang. Kodoatie (2005) menyatakan bahwa

keberadaan jalan dan fasilitas transportasi lain pada tingkat tertentu sangat esensial

merangsang dan memberi peluang pertumbuhan ekonomi dan sosial.

2.1.2 Klasifikasi Jalan

Jaringan jalan merupakan suatu sistem yang mengikat dan menghubungkan

pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berbeda dalam pengaruh

pelayanannya dalam suatu hirarki.

Dalam UU No. 38 tahun 2004 tentang jalan sesuai dengan peruntukannya

terdiri atas jalan umum dan jalan khusus. Jalan umum adalah jalan yang

diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam rangka distribusi barang dan jasa yang

dibutuhkan. Jalan umum dikelompokkan menurut sistem, fungsi, status dan kelas

jalan. Sedangkan jalan khusus tidak diperuntukkan bagi lalu lintas umum dalam

rangka distribusi barang dan jasa yang dibutuhkan. Jalan khusus merupakan jalan

yang dibangun oleh instansi, badan usaha, perseorangan atau kelompok masyarakat

untuk kepentingannya sendiri.

Adapun klasifikasi jalan umum yang dimaksud di atas adalah :

Menurut sistem jaringan jalan dikelompokkan atas :

 Sistem jaringan jalan primer

 Sistem jaringan jalan sekunder

Menurut fungsinya dalam setiap sistem jaringan jalan tersebut dikelompokkan atas :

 Jalan arteri

 Jalan kolektor

 Jalan lokal

9
Universitas Sumatera
 Jalan lingkungan

Menurut kelasnya jalan dikelompokkan atas beberapa kelas, yaitu :

 Jalan kelas I dengan MST yang diizinkan > 10 ton

 Jalan kelas II dengan MST ≤ 10 ton

 Jalan kelas III A yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan lebar ≤ 2.50

meter dan panjang ≤ 18 meter dan MST ≤ 8 ton

 Jalan kelas III B yang dapat dilalui oleh kendaraan dengan lebar ≤ β.50 meter

dan panjang ≤ 1β meter dan MST ≤ 8 ton

 Jalan kelas III C yang dapat dilalui kendaraan dengan lebar ≤ β,10 meter dan

panjang ≤ 9 meter dan MST ≤ 8 ton

Menurut statusnya jalan umum dikelompokkan atas :

 Jalan nasional yaitu jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan

primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan strategis serta jalan

tol.

 Jalan provinsi yaitu jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang

menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota atau antar

ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis provinsi.

 Jalan kabupaten yaitu jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang

menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar ibukota

kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat

kegiatan kota, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder dalam

wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten.

 Jalan kota yaitu jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang

menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat

10
Universitas Sumatera
pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta menghubungkan

antar pusat permukiman yang berada dalam kota.

 Jalan desa yaitu jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau antar

permukiman di dalam desa serta jalan lingkungan.

Adapun pembagian status pada jaringan jalan primer seperti pada gambar 2.1

berikut :

Gambar 2.1 Pembagian Status Pada Jaringan Jalan Primer (Tanan, 2005 dalam

Ritonga, Efri Debby E 2011)

Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat pelayanan adalah sebagai berikut (Dinas

Bina Marga, 2003 dalam Hotrin, Rado 2011).

 Jalan dengan tingkat pelayanan mantap adalah ruas-ruas jalan dengan umur

rencana yang dapat diperhitungkan serta mengikuti suatu standar perencanaan

teknis. Termasuk kedalam tingkat pelayanan mantap adalah jalan-jalan dalam

kondisi baik dan sedang.

11
Universitas Sumatera
 Jalan tidak mantap adalah ruas-ruas jalan yang dalam kenyataan sehari-hari

masih berfungsi melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur

rencananya serta tidak mengikuti standar perencanaan teknik. Termasuk ke

dalam tingkat pelayanan tidak mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi rusak

ringan.

 Jalan kritis adalah ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani

lalu lintas atau dalam keadaan putus. Termasuk kedalam tingkat pelayanan

kritis adalah jalan-jalan dengan kondisi rusak berat.

2.1.3 Bagian – Bagian Jalan

Dalam UU No. 34 tahun 2006 tentang jalan disebutkan bahwa bagian –

bagian jalan meliputi ruang manfaat jalan, ruang milik jalan dan ruang pengawasan

jalan.

a. Ruang manfaat jalan yang meliputi badan jalan, saluran tepi jalan, dan

ambang pengamannya.

b. Ruang milik jalan yang meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah

tertentu di luar ruang manfaat jalan.

c. Ruang pengawasan jalan yaitu ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang

ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan.

Agar lebih jelas bagian – bagian jalan dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut :

12
Universitas Sumatera
Gambar 2.2 Bagian – Bagian Jalan (UU No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan)

2.2 Penyelenggaraan Jalan

Adanya perubahan-perubahan dalam mekanisme penyelenggaraan jalan pada

era otonomi daerah turut mempengaruhi segala kebijakan yang berkaitan dengan

pengelolaan jalan. Menurut permen PU nomor 78 tahun 2005 penyelenggara jalan

nasional adalah menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan jalan

nasional termasuk jalan tol. Secara umum penyelenggaraan jalan tidak dapat

dipisahkan dari sejumlah kebijakan yang melatarbelakangi konsep

penyelenggaraannya. Menurut Sinaga (2006) dalam Efri Debby E. Ritonga (2011)

bahwa alur pelaksanaan penyelenggaraan jalan dimulai dari ditetapkannya sejumlah

undang-undang dan peraturan pemerintah tingkat pusat maupun daerah yang menjadi

dasar kebijakan umum dan kebijakan teknis bagi penyelenggaraan jalan di Indonesia

yang juga merupakan penentu bagi proses perencanaan jaringan, teknis, studi

kelayakan, program dan anggaran, proses konstruksi, operasi serta pemeliharaan

13
Universitas Sumatera
yang semuanya sangat berkaitan dengan hasil output, outcome serta dampak dari

penyelenggaraan jalan tersebut.

Secara umum wewenang penyelenggaraan jalan ada pada pemerintah pusat

dan pemerintah daerah akan tetapi penguasaan atas jalan ada pada negara. Dalam

undang - undang nomor 38 tahun 2004 tentang jalan disebutkan bahwa masyarakat

juga berperan serta dalam penyelenggaraan jalan. Wewenang penyelenggaraan jalan

meliputi kegiatan yang mencakup siklus kegiatan dan perwujudan jalan yang terdiri

dari pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan.

a. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan,

penyusunan perencanaan umum dan penyusunan peraturan perundangan

jalan. Khususnya untuk penyusunan peraturan perundang-undangan jalan

hanya dilakukan oleh menteri pekerjaan umum.

b. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar teknis,

pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia serta penelitian dan

pengembangan jalan.

c. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemograman, penganggaran,

perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan

pemeliharaan jalan.

d. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan tertib

pengaturan, pembinaan dan pembangunan jalan. Pengawasan yang dilakukan

tersebut meliputi kegiatan evaluasi, pengkajian dan pengendalian. Sedangkan

yang termasuk dalam kegiatan pengendalian adalah kegiatan pengamatan dan

tindakan turun tangan.

Adapun pembagian tugas penyelenggara jalan seperti pada tabel 2.1 berikut :

14
Universitas Sumatera
Tabel 2.1 Pembagian Tugas dan Penyelenggaraan Jalan

Jalan Jalan
Jalan Jalan Jalan
No Tugas Penyelenggaraan Kabupaten Jalan Tol
Nasional Provinsi Desa Khusus
/Kota
1 PEMBINAAN
1.1 Pengaturan
Perumusan kebijakan Pusat Provinsi Kab-Kota Kab-Kota Pusat Pusat
perencanaan
Penyusunan kebijakan Pusat Provinsi Kab-Kota Kab- Pusat Pusat
perencanaan umum dan Kota/Desa
pemrograman
Penyusunan peraturan Pusat Provinsi Kab-Kota Kab- Pusat Pusat
perundangan Kota/Desa
Penyusunan pedoman dan Pusat Provinsi Kab-Kota Kab- Pusat Pusat
standar teknis Kota/Desa
1.2 Pelayanan
Pusat/Prov/ Instansi
Perijinan Kab-Kota Kab-Kota Kab-Kota Kab-Kota
Kab-Kota Terkait
Kab- Pusat/Korp Instansi
Informasi Pusat Provinsi Kab-Kota
Kota/Desa orasi Terkait
1.3 Pemberdayaan
Kab-
Bimbingan dan penyuluhan Pusat Pusat/Prov Kab-Kota Pusat Pusat
Kota/Desa
Kab-
Pendidikan dan pelatihan Pusat Pusat/Prov Kab-Kota Pusat Pusat
Kota/Desa
1.4 Penelitian dan Pengembangan
Prov/Kab- Kab-
Penelitian Pusat Pusat/Prov Pusat/Ko
Kota Kota/Desa Pusat rporasi
Prov/Kab- Kab-
Pengkajian Pusat Pusat/Prov Pusat/Ko
Kota Kota/Desa Pusat rporasi
Prov/Kab- Kab- Pusat/Ko
Pengembangan Pusat Pusat/Prov Pusat
Kota Kota/Desa rporasi
2 PEMBANGUNAN
Kab-
Studi Kelayakan Pusat/Prov Provinsi Kab-Kota Korporasi Korporasi
Kota/Desa
Kab-
Perencanaan Teknis Pusat/Prov Provinsi Kab-Kota Korporasi Korporasi
Kota/Desa
Kab- Korporasi Korporasi
Pelaksanaan Konstruksi Pusat/Prov Provinsi Kab-Kota
Kota/Desa
Kab- Pusat/Korp
Pengoperasian Pusat/Prov Provinsi Kab-Kota Korporasi
Kota/Desa orasi
Kab-
Pemeliharaan Pusat/Prov Provinsi Kab-Kota Korporasi Korporasi
Kota/Desa
Prov/Kab-
3 PENGAWASAN Pusat Pusat Kab-Kota Pusat Pusat
Kota
Sumber : Tanan (2005) dalam Ritonga,Efry Debby E. (2011)

15
Universitas Sumatera
2.3 Penanganan Jalan

Dalam kondisi penyediaan dana yang terbatas (constrained budget available)

maka prioritas untuk kegiatan penanganan jalan yang sifatnya untuk

mempertahankan aset yang ada (assets preservation) merupakan suatu langkah yang

wajar untuk dilakukan. Namun jika kondisi keuangan memungkinkan maka dapat

dilakukan penyempurnaan terhadap kondisi yang ada (assets enchancement) dan jika

benar – benar dana yang tersedia sangat besar maka perlu adanya penambahan aset

baru (assets expansion).

Kebutuhan dana pengelolaan jalan dapat berasal dari berbagai sumber.

Namun secara umum sumber pembiayaan jalan seperti pada gambar 2.3 berikut :

Dana Bantuan Proyek


masyarakat, Pendapatan dan Bantuan Pendapatan Pendapatan
Investasi dan Nasional Teknik Luar Daerah Tk. I Daerah Tk. II
Tol Negeri

Inpres Tk.
Prasarana

APBN
Inpres
Inpres

Jalan

Anggaran APBD Tk. I APBD Tk. II


Bina Marga
Transmigr

(+)

Jalan Tol Jalan Arteri Jalan Kolektor Jalan Lokal


: sumber dana utama
: sumber dana bantuan

(+) : berasal dari bantuan proyek dan biaya pembebasan tanah

Gambar 2.3 Sumber Pembiayaan Jalan (Manual Pemeliharaan Jalan Jilid I A

Perawatan Jalan No. 03/MN/B/1983)

16
Universitas Sumatera
Penanganan jalan bertujuan untuk menjaga kondisi fisik dan operasional dari

jaringan jalan agar tetap dalam kondisi baik sehingga dapat dioperasikan atau dapat

memberikan pelayanan sebagaimana mestinya (Tanan, 2005 dalam Wirdatun Nafiah

Putri, 2011). Penanganan infrastruktur jaringan jalan nasional berdasarkan konsep

wilayah kerja diusulkan dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu preservasi dan

pembangunan. Penanganan preservasi bersifat menjamin jaringan jalan tetap dalam

kondisi optimal dimana jenis pekerjaannya dibagi dalam 2 (dua) jenis yaitu pekerjaan

pemeliharaan dan pekerjaan rehabilitasi jalan. Sedangkan penanganan pembangunan

bersifat menambah kuantitas sistem jaringan jalan baik dalam arah memanjang

maupun dalam arah melintang.

2.3.1 Pemeliharaan Jalan

Menurut NAASRA (1978) dalam Ali (2006) dalam Rado Hotrin (2011)

definisi pemeliharaan jalan adalah semua jenis pekerjaan yang dibutuhkan untuk

menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam keadaan baik atau pekerjaan yang

berkaitan dengan keduanya. Sehingga diharapkan dapat mencegah kemunduran atau

penurunan kualitas dengan laju perubahan yang terjadi segera setelah konstruksi

dilaksanakan. Oleh karena itu pemeliharaan jalan merupakan program penanganan

jalan yang berada dalam prioritas tertinggi.

Menurut Mahmud dkk (2002) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) prinsip

pemeliharaan jalan dilakukan dengan azas keuntungan ekonomi yang efektif dan

efisien melalui anggaran yang minimum dapat dihasilkan kondisi jalan yang

optimum sehingga masyarakat merasa bahagia karena biaya angkutan menjadi

17
Universitas Sumatera
rendah. Adapun hubungan mutu jalan dengan biaya pemeliharaan jalan serta biaya

pengguna ditunjukkan pada gambar 2.4 di berikut ini :

Gambar 2.4 Hubungan Mutu Jalan Dengan Biaya Pemeliharaan dan Biaya

Pengguna (Mahmud dkk, 2002 dalam Wirdatun Nafiah Putri, 2011)

Gambar 2.4 di atas menunjukkan hubungan mutu jalan dengan biaya

pemeliharaan dan biaya pengguna dengan memperlihatkan semakin besar biaya

pemeliharaan yang diinvestasikan maka kondisi jalan akan semakin baik dan

semakin rendah biaya pengguna jalan dimana pada kondisi jalan tertentu (optimum)

gabungan kedua biaya tersebut akan minimum.

2.3.1.1 Pemeliharaan Rutin

Merupakan kegiatan merawat serta memperbaiki kerusakan yang terjadi pada

suatu ruas jalan dengan kondisi pelayanan mantap untuk mengantisipasi akibat dari

pengaruh lingkungan. Skala pekerjaannya cukup kecil dan dikerjakan tersebar

diseluruh jaringan jalan secara rutin. Pemeliharaan rutin hanya diberikan terhadap

lapis permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendaraan (riding

quality) tanpa meningkatkan kekuatan struktural dan dilakukan sepanjang tahun.

18
Universitas Sumatera
2.3.1.2 Pemeliharaan Periodik/Berkala

Pemeliharaan periodik merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap

kerusakan yang diperhitungkan dalam desain agar penurunan kondisi jalan dapat

dikembalikan pada kondisi kemantapan rencana. Pemeliharaan periodik termasuk ke

dalam tipe kegiatan pencegahan (preventive) dilakukan dalam selang waktu beberapa

tahun dan diadakan menyeluruh untuk satu atau beberapa seksi jalan dan sifatnya

hanya mengembalikan fungsi jalan dan tidak meningkatkan nilai struktural

perkerasan. Pemeliharaan periodik biasanya dilakukan penambahan lapis tipis aspal

pada permukaan guna memperbaiki integritas permukaan dan sebagai lapis kedap air.

Pemeliharaan periodik dimaksud untuk mempertahankan kondisi jalan sesuai dengan

yang direncanakan selama masa layanannya tidak untuk meningkatkan kekuatan

struktur dari perkerasan.

2.3.2 Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang

tidak diperhitungkan dalam desain yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan

pada bagian atau tempat tertentu dari suatu ruas jalan dengan kondisi rusak ringan.

Tujuannya agar penurunan kondisi kemantapan jalan dapat dikembalikan pada

kondisi kemantapan yang sesuai dengan rencana.

2.3.3 Peningkatan Jalan

Peningkatan jalan secara umum dibutuhkan untuk memperbaiki integritas

struktur perkerasan yaitu meningkatkan nilai strukturalnya dan atau geometriknya

agar mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan. Secara umum peningkatan jalan

19
Universitas Sumatera
dilakukan dengan pemberian lapis tambahan struktural. Pekerjaan peningkatan jalan

adalah pekerjaan yang ditujukan untuk menambah kemampuan struktur jalan ke

muatan sumbu terberat (MST) yang lebih tinggi atau menambah kapasitas jalan.

2.3.4 Pembangunan Konstruksi Jalan Baru (Rekonstruksi)

Pengertian konstruksi jalan baru adalah penanganan jalan dari kondisi belum

tersedia badan jalan sampai kondisi jalan dapat berfungsi. Pekerjaan konstruksi jalan

baru juga berarti pekerjaan membangun jalan baru berupa jalan tanah atau jalan

beraspal. Tahapan pembangunan jalan yang biasa dilakukan di Indonesia menurut

Sulaksono (2001) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) dimulai dari tahap

perencanaan (planning) selanjutnya dilakukan studi kelayakan (feasibility study) dan

perancangan detail (detail design) kemudian tahap konstruksi (construction) dan

tahap pemeliharaan (maintenance). Dalam hal perkerasan lama sudah dalam kondisi

yang sangat tidak layak maka lapisan tambahan tidak akan efektif dan kegiatan

rekonstruksi biasanya juga diperlukan. Kegiatan rekonstruksi ini juga dimaksud

untuk penanganan jalan yang dapat meningkatkan kelasnya.

Secara umum jalan akan mengalami penurunan kondisi semenjak pertama

kali digunakan hingga akhir umur rencana (Kodoatie, 2005) sehingga dibutuhkan

pemeliharaan yang tepat seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.5 berikut :

20
Universitas Sumatera
“Optimum”
policy

Pemeliharaan
Pemeliharaan Rutin Rehabilitasi Rekonstruksi

Biaya total kendaraan


Berkala

di jaringan jalan
300 %

400 %

Fase
100 %
(Biaya Operasi Kendaraan)
A
FASE B FASE C FASE D
C1 C2
Sangat baik
Baik

Sedang
KONDISI JALAN

Buruk

Sangat
Buruk

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Tahun

“N” Jumlah tahun dari konstruksi Awal


Catatan : Bentuk Kurva yang di atas berdasarkan Perkerasan Beton Aspal

Gambar 2.5 Tahap Penurunan Kondisi Jalan (Robinson, 1998 dalam Kodoatie,

2005)

Pada gambar 2.5 di atas menunjukkan proses penurunan kondisi jalan secara

teknis yang terjadi melalui beberapa tahapan atau fase. Fase A menunjukkan kondisi

sangat baik pada saat jalan selesai dibangun. Tahap berikutnya fase B (kondisi baik)

dimana proses kerusakan terjadi secara perlahan. Pada tahap ini diperlukan

pemeliharaan rutin untuk mempertahankan kondisi jalan tetap pada kondisi baik.

Fase C1 (kondisi sedang) merupakan tahapan kritis (critical phase) karena

percepatan kerusakan kasat mata mulai terjadi, pada stadium ini memerlukan

pelapisan ulang atau pemeliharaan periodik/berkala. Fase C2 (kondisi buruk) dimana

peningkatan kerusakan semakin tajam sehingga memerlukan rehabilitasi dan fase D

21
Universitas Sumatera
(kondisi sangat buruk) merupakan tahap kerusakan total dimana peningkatan dan

rekonstruksi jalan diperlukan.

2.4 Kinerja Perkerasan Jalan

Penanganan jalan sangat berhubungan dengan kinerja perkerasan jalan karena

dalam menentukan jenis penanganan yang akan dilakukan pada suatu ruas jalan

harus sesuai dengan kondisi eksisting yakni kinerja perkerasan jalan. Secara umum

kondisi eksisting jalan dengan cara visual dapat dibedakan dalam 4 (empat) jenis

(Dinas Bina Marga, 2003 dalam Rado Hotrin 2011) yaitu sebagai berikut :

a. Jalan dalam kondisi baik adalah jalan dengan permukaan yang benar - benar

rata dimana tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan permukaan jalan.

b. Jalan dalam kondisi sedang adalah jalan dengan kerataan permukaan

perkerasan sedang dimana tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan.

c. Jalan dalam kondisi rusak ringan adalah jalan dengan permukaan sudah mulai

bergelombang dimana mulai ada kerusakan permukaan dan penambalan.

d. Jalan dalam kondisi rusak berat adalah jalan dengan permukaan perkerasan

sudah banyak kerusakan seperti bergelombang, retak-retak buaya dan

terkelupas yang cukup besar disertai kerusakan pondasi seperti amblas dan

sebagainya.

Tingkat kemantapan jalan ditentukan oleh dua kriteria yakni jalan mantap

secara konstruksi dan jalan tak mantap konstruksi dengan maksud sebagai berikut :

a. Jalan mantap konstruksi adalah jalan dengan kondisi konstruksi di dalam

koridor mantap yang mana untuk penanganannya hanya membutuhkan

22
Universitas Sumatera
kegiatan pemeliharaan. Jalan mantap konstruksi ditetapkan menurut standar

pelayanan minimal adalah jalan dalam kondisi sedang.

b. Jalan tak mantap konstruksi adalah jalan dengan kondisi di luar koridor

mantap yang mana untuk penanganan minimumnya adalah pemeliharaan

berkala dan maksimum peningkatan jalan dengan tujuan untuk menambah

nilai struktur konstruksi.

Konsep tingkat kemantapan jalan yang digunakan oleh direktorat jenderal

bina marga berdasarkan ketersediaan data adalah :

a. Parameter kerataan jalan atau International Roughness Index (IRI).

b. Parameter lebar jalan dan rasio volume/kapasitas (VCR).

c. Parameter lebar jalan dan volume lalulintas harian (LHR).

Kondisi jalan dapat dijadikan sebagai indikator kemantapan dan kenyamanan

jalan yang berkaitan dengan nilai LHR, IRI dan RCI yang ditampilkan pada tabel 2.2

di bawah.

Jalan yang berada pada kondisi sedang sesuai dengan tabel 2.2 dapat berada

dalam kemampuan pelayanan mantap dan tidak mantap. Pada kemampuan pelayanan

mantap jalan kondisi sedang yang melayani lalu lintas dengan LHR 3000 – 10000

harus mempunyai nilai IRI antara 4 – 6 m/km dan RCI = 6. Sedangkan jika pada lalu

lintas dengan nilai LHR > 10000 nilai RCI = 6 dan IRI minimal 6,5 maka jalan

tersebut berada dalam kemampuan pelayanan tidak mantap.

23
Universitas Sumatera
Tabel 2.2 Indikator Kemantapan dan Kenyamanan Jalan

IRI LHR (kend/hari)


RCI Kategori
(m/km)
3.000 - 10.000 > 10.000

1 10

2 9 Baik
Mantap Mantap
3.5 8 RCI = 8

5 7 Sedang
RCI = 6.5
6.5 6 RCI = 6
RCI = 5.5
8.5 5 Rusak Ringan

11 4 RCI = 4

14 3
Tidak Mantap Tidak Mantap Rusak Berat
17 2

20 1

Sumber : Ditjen Bina Marga (2006) dalam Mulyono (2007) dalam Wirdatun Nafiah

Putri (2011)

Menurut Saleh dkk (2008) dalam Efri Debby E Ritonga (2011) pada dasarnya

penetapan kondisi jalan minimal adalah sedang dimana dalam gambar 2.6 di bawah

berada pada level IRI antara 4,5 m/km sampai dengan 8 m/km tergantung dari fungsi

jalan. Adapun hubungan antara kondisi, umur dan jenis penanganan jalan

ditunjukkan pada gambar 2.6 berikut :

24
Universitas Sumatera
Gambar 2.6 Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan (Saleh

dkk, 2008 dalam Efri Debby E Ritonga 2011)

2.4.1 International Roughness Index (IRI)

Tingkat kerataan jalan (International Roughness Index) merupakan salah satu

faktor atau fungsi pelayanan (functional performance) dari suatu perkerasan jalan.

Nilai IRI adalah nilai ketidakrataan permukaan jalan yang merupakan fungsi dari

potongan memanjang dan melintang permukaan jalan yakni panjang kumulatif turun

naik permukaan persatuan panjang yang dinyatakan dalam m/km. Metode

pengukuran kerataan permukaan jalan yang dikenal pada umumnya antara lain

metode NAASRA (SNI 03-3426-1994). Direktorat jenderal bina marga memakai

parameter IRI dalam menentukan kondisi konstruksi jalan yang dibagi atas 4

kelompok seperti dalam tabel 2.3 berikut :

25
Universitas Sumatera
Tabel 2.3 Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganan

Kondisi Jalan IRI (m/km) Kebutuhan Penanganan

Baik IRI rata – rata ≤ 4.5 Pemeliharaan Rutin

Sedang 4.5 < IRI rata – rata ≤ 8.0 Pemeliharaan Berkala

Rusak 8.0 < IRI rata – rata ≤ 1β Peningkatan Jalan

Rusak Berat IRI rata – rata > 12 Rekonstruksi

Sumber : IRMS dalam Ritonga, Efri Debby E 2011

2.5 Standar Pelayanan Minimum (SPM) di Bidang Jalan

Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi masyarakat dalam hal ini

prasarana jalan. Maka berdasarkan pasal 3 ayat 3 PP No.25/2000 bahwa daerah wajib

melaksanakan standar pelayanan minimum (SPM). Dalam hal ini standar pelayanan

minimum merupakan kewenangan dari pemerintah pusat (pasal 2 ayat 4 butir b).

Dengan kata lain bahwa untuk setiap bidang pelayanan harus ditetapkan suatu

standar oleh departemen teknis terkait yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Dalam

hal ini departemen kimpraswil telah mengeluarkan draft standar pelayanan minimum

seperti yang tercantum dalam tabel 2.4. Standar pelayanan minimum (SPM) ini

dikembangkan dalam sudut pandang publik sebagai pengguna jalan dimana

ukurannya merupakan common indicator yang diinginkan oleh pengguna. Ada 3

(tiga) keinginan dasar para pengguna jalan yang kemudian dikembangkan menjadi

dasar penentuan SPM yaitu :

1. Kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang).

2. Tidak macet (lancar setiap waktu).

3. Dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan).

26
Universitas Sumatera
Tabel 2.4 Standar Pelayanan Minimum

Standar Pelayanan
Bidang
No Kuantitas Keterangan
Pelayanan Kualitas
Cakupan Konsumsi/Produksi
1 Jaringan Jalan
Kepadatan Penduduk
Indeks Aksesibilitas
(jiwa/km2)
sangat tinggi > 5000 >5 Panjang
A. Aspek
Seluruh Jaringan tinggi > 1000 > 1.5 jalan/luas
Aksesibilitas
sedang > 500 > 0.5 (km/km2)
rendah > 100 > 0.15
sangat rendah < 100 > 0.05
PDRB per kapita (juta
Indeks Mobilitas
rp/kap/th)
sangat tinggi > 10 >5 Panjang
B. Aspek
Seluruh Jaringan tinggi > 5 >2 jalan/1000
Mobilitas
sedang > 2 >1 penduduk
rendah > 1 > 0.5
sangat rendah < 1 > 0.2
Kecelakaan
Pemakai jalan Indeks Kecelakaan 1 /100.000
km.kend
Kepadatan Penduduk
C. Aspek (jiwa/km2)
Seluruh Jaringan
Kecelakaan sangat tinggi > 5000
Kecelakaan/k
tinggi > 1000 Indeks Kecelakaan 2
m/tahun
sedang > 500
rendah > 100
sangat rendah < 100
2 Ruas Jalan

Lebar Jalan Min. Volume Lalulintas (kend/hari) Kondisi Jalan

A. Kondisi 2x7m LHR > 20000 sedang; iri<6; rci>6.5


Jalan 7m 80000 > LHR > 20000 sedang; iri<6; rci>6.5
6m 3000 > LHR > 8000 sedang; iri<8; rci>5.5
4.5 m LHR < 3000 sedang; iri<8; rci>5.5
Kecepatan Tempuh
Fungsi Jalan Pengguna Jalan
Min
arteri primer lalu lintas regional jarak jauh 25 km/jam
B. Kondisi kolektor primer lalu lintas regional jarak sedang 20 km/jam
Pelayanan lokal primer lalu lintas lokal 20 km/jam
arteri sekunder lalu lintas kota jarak jauh 25 km/jam
kolektor sekunder lalu lintas kota jarak sedang 25 km/jam
lokal sekunder lalu lintas lokal kota 20 km/jam
Sumber : Departemen Kimpraswil, 2001 dalam Ritonga, Efri Debby E.2011

27
Universitas Sumatera
2.6 Sistem Manajemen Jalan (Road Management System)

2.6.1 Pengertian dan Tujuan Sistem Manajemen Jalan

Sistem manajemen jalan merupakan tahapan yang terdiri dari beberapa proses

yang dapat membantu dalam pengelolaan jalan baik berupa proses perbaikan maupun

pemeliharaan infrastruktur jalan. Thagesen (1996) dalam Kodoatie (2005)

menyatakan bahwa pendekatan manajemen penanganan jalan (yang utamanya

pemeliharaan jalan) secara umum bertujuan untuk :

1. Mengarahkan pada penggunaan pendekatan yang sistematis secara konsisten

dalam pengambilan keputusan pada kerangka kerja yang telah ditetapkan

2. Menyediakan suatu landasan umum untuk memperkirakan kebutuhan

penanganan jalan dan kebutuhan sumber daya yang digunakan

3. Mengarahkan penggunaan standar penanganan jalan secara konsisten

4. Mendukung dalam pengalokasian sumber daya secara efektif

5. Mengarahkan peninjauan secara teratur terhadap kebijakan, standar dan

efektifitas program

2.6.2 Indonesian Integrated Road Management Systems (IIRMS)

Sistem Manajemen Jalan diawali dengan dibangunnya Inter-urban Road

Management System (IRMS) pada tahun 1992 disusul dengan Urban Roads,

Kabupaten Roads, Toll Roads, Bridge Managements System yang secara garis besar

disajikan pada gambar 2.7 dibawah. Namun sistem – sistem tersebut masih bekerja

secara parsial dan terisolasi di ruang masing – masing dalam sistem manajemen

penanganan jalan (Kodoatie, 2005).

28
Universitas Sumatera
MS - 1

MS - 2
INTERURBAN ROAD MANAGEMENT SYSTEM (IRMS)

APPLICATION
ROAD INTER
MANAGEMENT DATA ENTRY DATA BASE PROGRAMS OUTPUT
URBAN
SYSTEMS

CENTRAL PLANNIN
URBAN G
SYSTEM
MS - 3 PROGR REPORTS
AM
DISTRICT MING

MS - 4 INTERATED DESIGN
CENTRAL
DATA BASE
TOLL ECONO
ETC MIC
REVIEW
ADHOC
BUDGETIN OUERIES
G
ETC
PROVINCIA IMPLEME
L NT ATION

ETC

BINA MARGA
MANAGEMENT SYSTEMS

Gambar 2.7 Inter Urban Road Management System (IRMS) Dalam Kerangka Kerja

Proses Pengelolaan Bina Marga (Bina Marga, 1992 dalam Kodoatie, 2005)

Untuk menghubungkan sistem tersebut ke dalam suatu sistem yang

menyeluruh disusunlah Indonesian Integrated Road Management System (IIRMS)

yang merupakan salah satu sistem yang dikembangkan oleh departemen pekerjaan

umum berdasarkan HDM – 3 yang digunakan dalam pengelolaan aset jalan

(Highway Asset Management) di Indonesia. Maka, IIRMS dapat didefinisikan

sebagai suatu sistem yang terintegrasi untuk perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan

serta pembiayaan jalan sedemikian sehingga diperoleh manfaat yang optimal serta

strategi dan prioritas perencanaan/pelaksanaan yang disusun berdasarkan kriteria

ekonomi dengan pertimbangan biaya yang ditanggung oleh pemakai jalan maupun

yang diadakan bina marga (Sulaksono, 2001 dalam Wirdatun Nafiah Putri, 2011).

Adapun struktur manajemen penanganan jalan dalam standar Integrated Road

Management System ini mencakup 5 (lima) komponen, yaitu :

29
Universitas Sumatera
1. Inter-urban Road Management Sytem (IRMS) yang dikembangkan dari

hybrid Highway Design and Maintenance Series III (HDM-III) oleh world

bank untuk jalan antar kota yang prinsipnya merupakan model simulasi untuk

mengoptimasi biaya transport (biaya penanganan jalan dan biaya pengguna

jalan selama periode pelayanan).

2. Local Road Management System (LRMS) yang dilaksanakan secara

desentralisasi untuk penanganan jalan – jalan di bawah kewenangan

pemerintah kabupaten dan kota.

3. Urban Road Management System (URMS) yang saat ini sedang

dikembangkan dalam kerangka Integrated Urban Infrastucture Development

Project (IUIDP) untuk ruas – ruas jalan.

4. Toll Road Management System (TRMS) yang lebih spesifik digunakan untuk

jalan – jalan tol.

5. Bridge Management System (BMS) yang secara khusus dikembangkan untuk

program penanganan (pemeliharaan dan penggantian) jembatan.

Pada prinsipnya dalam program manajemen penanganan jalan tersebut

terdapat berbagai modul yang dapat meramalkan kondisi jalan berserta lalu lintasnya

di masa mendatang tanpa atau dengan penanganan tertentu. Prediksi tersebut dibuat

berdasarkan suatu model – model kerusakan berikut perhitungan biaya

penanganannya. Selanjutnya dengan bantuan model – model lainnya seperti biaya

operasi kendaraan (BOK) dan lainnya maka bisa dilakukan suatu analisis ekonomi

yang berhubungan dengan keuntungan dan kerugian yang akan terjadi antara kondisi

tanpa proyek penanganan dan dengan proyek penanganan (Sulaksono, 2001 dalam

Wirdatun Nafiah Putri, 2011).

30
Universitas Sumatera
Dalam A History of Indonesian Integrated Road Management Systems

(IIRMS) disebutkan bahwa secara umum proses inti dalam manajemen penanganan

jalan adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan data dan informasi infrastruktur serta penggunaannya pada lalu

lintas. Pengumpulan data dengan cara melakukan survei berikut :

a. Survei kerataan/kekasaran jalan atau International Roughness Index (IRI)

dengan metode NAASRA

b. Survei kondisi jalan (SKJ) atau road condition survey (RCS)

c. Survei inventarisasi jaringan jalan (SIJ) atau road network inventory

(RNI)

d. Survei perhitungan lalulintas rutin (LHR)

e. Survei lendutan perkerasan jalan dengan metode benkelmen beam (BB)

atau falling weight deflection (FWD)

2. Pengolahan data primer ruas jalan

3. Perencanaan dan pemrograman kinerja jalan di masa mendatang

4. Desain dan persiapan kontrak

5. Implementasi dan progress monitoring.

Secara umum diagram kerja proses Integrated Road Management Systems

(IRMS) seperti pada gambar 2.8 berikut :

31
Universitas Sumatera
Gambar 2.8 Bagan Alir Proses IRMS

Sumber : A History of Indonesian Road Management Systems

2.6.3 Strategic Expenditure Planning Module (SEPM)

Komponen utama dari suatu proyek jalan adalah tersedianya perencanaan

investasi yang strategis agar mampu dalam melakukan pengelolaan atau penanganan

32
Universitas Sumatera
terhadap seluruh sub-sektor jalan. Selain itu pengembangan sistem jaringan jalan

secara menyeluruh juga perlu dilakukan secara hati – hati dengan memperhatikan

penggunaan dana yang sangat terbatas secara efektif dan dilakukan dengan

pendekatan pengembangan yang lebih strategis. Perangkat khusus strategic

expenditure planning module (SEPM) atau modul perencanaan pengeluaran strategis

yang merupakan komponen penting di dalam IIRMS ini dipakai dalam pengelolaan

jalan di Indonesia. Dengan modul ini diharapkan pemanfaatan dana pada penanganan

sektor jalan yakni dalam pengalokasian dana antar jaringan dan wilayah dapat

direncanakan secara optimum baik untuk jenis jalan yang berbeda, program

perbaikan maupun dengan faktor geografis yang berbeda.

Dua modul utama yang digunakan dalam SEPM untuk menganalisis data

adalah modul penyusunan program dan modul perencanaan pengeluaran strategis.

Modul penyusunan program mengidentifikasi kebutuhan pemeliharaan dan strategi

yang optimal untuk memenuhi kebutuhan tersebut sesuai dengan keterbatasan

anggaran tertentu. Modul tersebut menghasilkan sebuah daftar proyek pekerjaan

yang diusulkan untuk bagian – bagian jalan tertentu dan menentukan waktu serta

biaya dalam rentang tiga sampai lima tahun. Sementara modul perencanaan

pengeluaran strategis menganalisis seluruh jaringan untuk rentang waktu yang lebih

panjang umumnya sepuluh tahun. Modul ini memproyeksikan kinerja jaringan jalan

di masa depan dalam hal karakteristik seperti kondisi jalan dengan menggunakan

berbagai asumsi untuk tingkatan anggaran dan jenis pekerjaaan pemeliharaan yang

dilakukan selama jangka waktu tersebut. Hasilnya berguna pada saat menentukan

alokasi anggaran untuk berbagai kelas jalan serta jenis pekerjaannya. Dengan adanya

33
Universitas Sumatera
modul penyusunan program maupun modul perencanaan pengeluaran strategis dapat

dibandingkan biaya instansi pengelola jalan dengan biaya pengguna jalan.

SEPM juga ikut mengidentifikasi kombinasi paling ekonomis terhadap

penanganan jalan dengan anggaran yang tersedia. Dalam kasus keterbatasan

anggaran penanganan jalan maka perlu dipertimbangkan untuk memaksimalkan

manfaat ekonomi di seluruh jaringan jalan. Agar tujuan tersebut dapat dicapai maka

skala prioritas merupakan suatu hal yang sangat penting dan perlu dianalisa dalam

manajemen penangan jalan dengan kondisi keterbatasan anggaran.

2.7 Teori Penentuan Prioritas

Penentuan prioritas (priority setting) dikembangkan sebagai suatu dasar

dalam pembuatan keputusan. Roy & Sembel (2003) dalam Irwan S Sembiring (2008)

menyatakan keterbatasan waktu, tenaga dan dana menyebabkan ketidakmungkinan

untuk melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan sehingga perlu untuk

dilakukan prioritas. Faktor keterbatasan tersebut membuat prioritas menjadi penting

sehingga perlu dilakukan pembenahan dalam banyak hal yang semuanya harus

dilakukan dengan waktu yang cepat, dana yang cukup serta kualitas yang baik.

Secara umum konsep penyusunan prioritas akan memperhatikan masalah-

masalah dasar yang dihadapi maupun faktor-faktor yang menghambat tercapainya

suatu tujuan. Prioritas dapat memberi arah bagi kegiatan yang harus dilaksanakan.

Jika prioritas telah disusun maka tidak akan ada kebingungan kegiatan mana yang

harus dilakukan terlebih dahulu serta kegiatan mana yang dilakukan selanjutnya

untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika prioritas bertujuan untuk

melakukan kegiatan yang berkesinambungan maka diprioritaskan kegiatan yang

34
Universitas Sumatera
sesuai dengan kebutuhan sehingga arah kegiatan adalah pada pengembangan bukan

semata-mata pada pembangunan. Jika konsisten pada prioritas yang telah ditetapkan

maka prioritas akan membantu untuk memecahkan masalah.

Penentuan prioritas dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menjawab 5

(lima) pertanyaan berikut :

1. Apa hasil akhir yang ingin dicapai ?

Prioritas disusun untuk mencapai suatu tujuan. Maka sebelum prioritas

ditetapkan tujuanlah yang perlu dibuat.

2. Apa yang penting untuk dilakukan dalam mencapai tujuan?

Setelah tujuan ditetapkan maka perlu mengidentifikasikan faktor - faktor

yang memang penting untuk dilakukan guna tercapainya tujuan.

3. Apakah harus dilakukan hal tersebut?

Pertanyaan ini akan membantu dalam memilah kegiatan yang memang harus

dilakukan dan kegiatan yang bisa dilakukan oleh orang lain.

4. Apa keuntungan yang didapat dari kegiatan tersebut?

Prinsip 80/20 yang dicetuskan oleh Vilfredo Pareto seperti yang dikutip

Sembel (2003) dalam Irwan S Sembiring (2008) menyatakan bahwa hanya

20% dari kegiatan yang dapat memberikan 80% keuntungan sehingga perlu

memfokuskan tenaga dan pemikiran serta sarana yang dimiliki agar dapat

memberikan keuntungan maksimal.

5. Bagaimana melaksanakan prioritas?

Setelah prioritas ditentukan maka perlu melakukan beberapa langkah lagi

untuk memastikan bisa dilaksanakan dengan hasil yang positif yaitu evaluasi.

Selalu evaluasi hal-hal yang perlu dan yang tidak perlu dilakukan.

35
Universitas Sumatera
2.8 Manfaat Penentuan Prioritas

Penentuan prioritas dipandang penting karena memiliki beberapa manfaat,

antara lain:

1. Tetap fokus pada hal-hal yang berada pada prioritas utama atau menuntun

perencanaan dan proses update program.

2. Dapat mengawasi penggunaan sumber daya langka secara lebih efektif.

3. Dapat membangun komunikasi mengenai aktivitas antar stakeholders.

4. Dapat menghubungkan antara kebijakan dan tujuan ekonomi sosial

pemerintah.

2.9 Kriteria Dalam Menentukan Prioritas

Dalam menentukan prioritas diperlukan beberapa kriteria yang menjadi dasar

dalam pemberian bobot pilihan. Peneliti sebelumnya menggunakan kriteria yang

berbeda-beda dalam menentukan prioritas penanganan ruas jalan menurut kondisi

daerah yang diteliti. Berikut ini adalah beberapa penelitian yang pernah dilakukan

dan memiliki relevansi sehingga dapat dijadikan pertimbangan maupun

perbandingan dalam penentuan prioritas penanganan jalan baik pemeliharaan,

peningkatan maupun pembangunan jalan.

Firdasari (β01γ) dalam “Penerapan Metode Analytical Hierarchy Process

(AHP) Dalam Penentuan Prioritas Penanganan Pemeliharaan Jalan Di Kota Banda

Aceh” memakai 4 (empat) kriteria yaitu kondisi jalan, volume lalu lintas, kebijakan,

dan faktor tata guna lahan. Dari hasil kuesioner kepada 20 responden di kota Banda

Aceh yang berkompeten terhadap masalah penanganan jalan dimana setiap dinas

terkait dan kantor kecamatan diwakili oleh 1 responden dan 5 responden mewakili

36
Universitas Sumatera
masyarakat termasuk akademisi menunjukkan kondisi jalan dan volume lalu lintas

merupakan faktor utama dalam menentukan prioritas penanganan jalan dengan bobot

0,454 dan 0,255.

Wirdatun Nafiah Putri (β011) dalam “Studi Penentuan Prioritas Penanganan

Ruas Jalan Dengan Metode Analytical Hierarchy Process (Studi Kasus Pada Jalan

Provinsi Di Provinsi Sumatera Utara)” menggunakan kriteria kondisi jalan yang

dibedakan atas kondisi baik, sedang, rusak ringan dan rusak berat, kriteria volume

lalu lintas dan kriteria biaya penanganan. Hasil kuesioner pada 5 (lima) responden

menunjukkan bahwa kriteria biaya penanganan merupakan kriteria yang paling

dipertimbangkan yaitu sebesar 61,33 %, sedangkan kriteria kondisi jalan sebesar

22,66 % dan kriteria volume lalu lintas sebesar 16,01 %.

Risdiansyah (β014) dalam “Studi Penentuan Prioritas Penanganan Ruas Jalan

Nasional Bireuen – Lhokseumawe – Panton Labu” menggunakan Metode Analytical

Hierarchy Process (AHP) untuk menentukan kriteria yang paling prioritas dan

Analisa Multi Kriteria (AMK) untuk penilaian (scoring) setiap kriteria pada setiap

segmen ruas jalan yang diteliti. Adapun kriteria yang dipakai ialah faktor volume lalu

lintas, kapasitas jalan, kondisi jalan dan kecelakaan lalu lintas. Dari hasil penelitian

terhadap 15 responden didapatkan kriteria yang paling berpengaruh dalam

menentukan prioritas penanganan pada ruas jalan yang diteliti adalah kriteria volume

lalu lintas dengan bobot 0,386, kemudian diikuti kapasitas jalan sebesar 0,344,

kriteria kondisi jalan sebesar 0,198 dan kriteria kecelakaan lalu lintas sebesar 0,072.

Efri Debby Ekinola Ritonga (β011) dalam “Kajian Kriteria Penanganan Jalan

Nasional Lintas Timur Provinsi Sumatera Utara” menggunakan 5 (lima) kriteria

yaitu kondisi ruas jalan, aksessibilitas, mobilitas, efektifitas biaya dan fungsi arus

37
Universitas Sumatera
ruas jalan. Hasil kuesioner pada 30 responden menunjukkan bahwa kriteria kondisi

ruas jalan memiliki bobot tertinggi yakni 43,33 %, diikuti kriteria fungsi

aksessibilitas sebesar 26,67 %, efektifitas biaya 16,67 %, fungsi mobilitas 6,67 %

dan fungsi arus ruas jalan sebesar 3,33 %.

Agustinus Syawal (β01γ) dalam “Perbandingan Skala Prioritas Penanganan

Jalan Di Kabupaten Bengkayang Antara Metode AHP Dengan Metode Bina Marga”

dengan tujuan untuk membandingkan hasil dari kedua metode tersebut terhadap

penentuan skala prioritas penanganan jalan strategis kabupaten Bengkayang

Kalimantan Barat. Hasil analisa menunjukkan bahwa 20 % hasil peringkat dengan

dua metode tersebut berada dalam peringkat yang sama dan 80 % lainnya berada

dalam posisi acak (random). Berdasarkan analisis korelasi dengan metode Pearson

dan Spearman terdapat hubungan yang sangat kuat dan positif antara metode Bina

Marga dan AHP dalam penentuan skala prioritas penanganan jalan di kabupaten

Bengkayang Kalimantan Barat. Kelebihan metode Bina Marga adalah cukup praktis

dan efisien karena hanya menggunakan tabel manfaat lalu lintas dan matriks biaya

konstruksi jalan dalam menentukan skala prioritas penanganannya, parameter yang

digunakan pada metode Bina Marga hanya didasarkan pada data inventory yang

meliputi data traffic dan data road condition. Oleh karena itu, kelemahannya tidak

memiliki fleksibilitas terhadap rencana pengembangan wilayah. Kelebihan metode

AHP yaitu lebih fleksibel dalam menentukan variabel dan akurasi penilaian cukup

baik (consistency ratio 10 %). Instrument utama metode AHP adalah persepsi, maka

subjektivitas responden dalam penilaian dapat menjadi kelemahan dalam metode ini.

Berdasarkan penelitian – penelitian terdahulu yang pernah dilakukan dalam

prioritas penanganan jalan serta kemudahan dalam perolehan data, maka kriteria

38
Universitas Sumatera
yang digunakan dalam penentuan prioritas penanganan ruas jalan nasional Panton

Labu/Simpang – Langsa – batas SUMUT adalah kriteria kondisi ruas jalan yang

dibedakan atas kondisi baik, sedang, rusak ringan, rusak berat dan kemudian kriteria

arus lalu lintas yang dibedakan atas kapasitas jalan dan volume lalu lintas serta

kriteria biaya penanganan.

Adapun penjelasan tentang kriteria – kriteria di atas yang digunakan dan

selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian atau kriteria penelitian dalam tugas

akhir ini adalah sebagai berikut :

2.9.1 Kriteria Kondisi Ruas Jalan

Kriteria kondisi ruas jalan merupakan bobot dari kinerja ruas jalan terhadap

kondisi perkerasan ruas jalan tersebut yang dinyatakan dalam persen. Ada empat

jenis kondisi ruas jalan yang ditinjau yaitu kondisi rusak berat, rusak ringan, sedang

dan baik. Besarnya persentase masing-masing kondisi inilah yang digunakan untuk

menghitung bobot total masing-masing ruas jalan.

2.9.2 Kriteria Arus Lalu Lintas

Dalam MKJI (1997) disebutkan bahwa arus lalu lintas merupakan jumlah

kendaraan bermotor yang melewati suatu titik pada jalan per satuan waktu yang

dinyatakan dalam kend/jam (Qkend), smp/jam (Qsmp) atau LHRT (Lalu – lintas Harian

Rata – Rata Tahunan) dan LHR (kend/hari).

Kriteria arus lalu lintas dalam penelitian ini merupakan pembobotan dari

kinerja ruas jalan terhadap arus lalu lintas dimana variabel kriterianya dinyatakan

dalam kapasitas dan volume lalu lintas.

39
Universitas Sumatera
2.9.2.1 Kapasitas Ruas Jalan

Kapasitas merupakan arus lalu lintas maksimum yang dapat dipertahankan

(tetap) pada suatu bagian jalan dalam kondisi tertentu (misalnya rencana geometrik,

lingkungan, komposisi lalu lintas dan sebagainya) (MKJI 1997). Dengan kata lain

kapasitas jalan ialah kemampuan suatu bagian jalan untuk menampung arus atau

volume lalu lintas yang ideal dalam satuan waktu tertentu yang dinyatakan dalam

jumlah kendaraan yang melewati potongan jalan tertentu dalam satu jam (kend/jam)

atau dengan mempertimbangan berbagai jenis kendaraan yang melalui suatu jalan

dimana digunakan satuan mobil penumpang sebagai satuan kendaraan dalam

perhitungan kapasitas (smp/jam).

Adapun rumus kapasitas di wilayah perkotaan sebagai berikut :

C = Co x FCW x FCSP x FCSF x FCCS ......................................................(2.1)

Sementara kapasitas jalan antar kota dipengaruhi oleh lebar jalan, arah lalu

lintas dan gesekan samping.

C = Co x FCW x FCSP x FCSF …………………………………………… (β.2)

Dimana :

C = Kapasitas (smp/jam)

Co = Kapasitas dasar (smp/jam)

FCW = Faktor koreksi kapasitas untuk lebar jalan

FCSP = Faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah (tidak berlaku untuk jalan

satu arah)

FCSF = Faktor koreksi kapasitas akibat hambatan samping dan bahu jalan/kereb

FCCS = Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (jumlah penduduk)

40
Universitas Sumatera
Kapasitas dasar (Co) ditentukan berdasarkan tipe jalan sesuai dengan nilai

pada tabel 2.5 berikut :

Tabel 2.5 Kapasitas Dasar (Co)

Kapasitas
Tipe Jalan Dasar Keterangan
(smp/jam)
Jalan 4 lajur berpembatas median atau jalan satu arah 1650 per lajur
Jalan 4 lajur tanpa pembatas median 1500 per lajur
Jalan 2 jalur tanpa pembatas median 2900 total dua arah
Sumber : MKJI, 1997

Faktor koreksi kapasitas akibat pembagian arah (FCSP) seperti terlihat pada

tabel 2.6 berikut ini :

Tabel 2.6 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Pembagian Arah (FCSP)

FCSP Pembagian arah (% - %)

Kondisi Arus Lalu Lintas dan Kondisi Fisik Jalan 50-50 55-45 60-40 65-35 70-30
2 lajur 2 arah, Tanpa Pembatas Median (2/2 UD) 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88
4 lajur 2 arah, Tanpa Pembatas Median (4/2 UD) 1,00 0,985 0,97 0,955 0,94
Jalan satu arah, atau Jalan dengan Pembatas Median 1
Sumber : MKJI, 1997

Faktor koreksi kapasitas akibat ukuran kota (FCCS) dapat dilihat pada tabel

2.7 di bawah ini :

Tabel 2.7 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Ukuran Kota (FCCS)

Ukuran Kota (Juta Penduduk) Faktor Koreksi untuk Ukuran Kota


< 0,1 0,86
0,1 - 0,5 0,90
0,5 - 1,0 0,94
1,0 - 1,3 1,00
> 1,3 1,03
Sumber : MKJI, 1997

41
Universitas Sumatera
Adapun faktor koreksi kapasitas akibat lebar jalan (FCW) ditunjukkan pada

tabel 2.8 dibawah ini :

Tabel 2.8 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Lebar Jalan (FCW)

Lebar Jalan Efektif


Tipe Jalan FCW
(m)
Per lajur
3 0,92
4 Jalur Berpembatas Median atau 3,25 0,96
Jalan satu arah 3,5 1
3,75 1,04
4 1,08
Per lajur
3 0,91
3,25 0,95
4 Jalur Tanpa Pembatas Median
3,5 1
3,75 1,05
4 1,09
Dua arah
5 0,56
6 0,87
7 1
2 Jalur Tanpa Pembatas Median
8 1,14
9 1,25
10 1,29
11 1,34
Sumber : MKJI, 1997

Untuk faktor koreksi kapasitas akibat hambatan samping (FCSF) terlebih

dahulu kita harus mengetahui klasifikasi hambatan samping seperti pada tabel 2.9 di

bawah. Nilai faktor koreksi kapasitas akibat hambatan samping (FCSF) baik untuk

jalan yang memiliki bahu jalan maupun jalan yang memiliki kereb dapat ditunjukkan

pada tabel 2.10 dan tabel 2.11.

42
Universitas Sumatera
Tabel 2.9 Klasifikasi Hambatan Samping (FCSF)

Jumlah Hambatan Per


Kelas 200 Meter per Jam (dua
Hambatan arah) Kondisi Tipikal
Samping Jalan Jalan Luar
Perkotaan Kota
Sangat rendah < 100 < 50 Permukiman
Permukiman, beberapa transportasi
Rendah 100 - 299 50 - 150
umum
Daerah industri dengan beberapa toko di
Sedang 300 - 499 150 - 250
pinggir jalan
Daerah komersial, aktivitas pinggir
Tinggi 500 - 899 250 - 350
jalan tinggi

Daerah komersial dengan aktifitas


Sangat Tinggi > 900 > 350
perbelanjaan pinggir jalan
Sumber : MKJI, 1997

Tabel 2.10 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Hambatan Samping (Fcsf) Untuk Jalan

Luar Kota

Faktor Koreksi Akibat Hambatan


Kelas Hambatan Samping (Lebar Bahu Jalan Efektif)
Tipe Jalan
Samping
< 0,5 1,0 1,5 > 2,0
Sangat Rendah 0,99 1,00 1,01 1,03
4 Jalur 2 Arah Rendah 0,96 0,97 0,99 1,01
Berpembatas Median Sedang 0,93 0,95 0,96 0,99
(4/2 D) 0,90 0,92 0,95 0,97
Tinggi
Sangat Tinggi 0,88 0,90 0,93 0,96
Sangat Rendah 0,97 0,99 1,00 1,02
4 Jalur 2 Arah Tanpa
Pembatas Median (4/2 Rendah 0,93 0,95 0,97 1,00
UD) atau 2 Jalur 2 Sedang 0,88 0,91 0,94 0,98
Arah Tanpa Pembatas 0,84 0,87 0,91 0,95
Tinggi
Median (2/2 UD)
Sangat Tinggi 0,80 0,83 0,88 0,93
Sumber : MKJI, (1997).

43
Universitas Sumatera
Tabel 2.11 Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Hambatan Samping (Fcsf) Untuk Jalan

Perkotaan (Jalan Dengan Bahu / Jalan Dengan Kereb)

Faktor Koreksi Kapasitas Akibat Hambatan


Samping (Fcsf) Untuk Jalan Dengan Bahu (Lebar
Kelas Hambatan Bahu Efektif/Ws) / Jalan Dengan Kereb(Jarak ke
Tipe Jalan
Samping Kereb Penghalang/Wg)
< 0,5 1,0 1,5 > 2,0
Ws Wg Ws Wg Ws Wg Ws Wg
4 Jalur 2 Sangat Rendah 0,96 0,95 0,98 0,97 1,01 0,99 1,03 1,01
Arah Rendah 0,94 0,94 0,97 0,96 1,00 0,98 1,02 1,00
Berpembatas Sedang 0,92 0,91 0,95 0,93 0,98 0,95 1,00 0,98
Median (4/2 Tinggi 0,88 0,86 0,92 0,89 0,95 0,92 0,98 0,95
D) Sangat Tinggi 0,84 0,81 0,88 0,85 0,92 0,88 0,96 0,92
4 Jalur 2 Sangat Rendah 0,96 0,95 0,99 0,97 1,01 0,99 1,03 1,01
Arah Tanpa Rendah 0,94 0,93 0,97 0,95 1,00 0,97 1,02 1,00
Pembatas Sedang 0,92 0,90 0,95 0,92 0,98 0,95 1,00 0,97
Median (4/2 Tinggi 0,87 0,84 0,91 0,87 0,94 0,90 0,98 0,93
UD) Sangat Tinggi 0,80 0,77 0,86 0,81 0,90 0,85 0,95 0,90
2 Jalur 2 Sangat Rendah 0,94 0,93 0,96 0,95 0,99 0,97 1,01 0,99
Arah Tanpa Rendah 0,92 0,90 0,94 0,92 0,97 0,95 1,00 0,97
Pembatas Sedang 0,89 0,86 0,92 0,88 0,95 0,91 0,98 0,94
Median (2/2 Tinggi 0,82 0,78 0,86 0,81 0,90 0,84 0,95 0,88
UD) Sangat Tinggi 0,73 0,68 0,79 0,72 0,85 0,77 0,91 0,82
Sumber : MKJI, (1997)

2.9.2.2 Volume Lalu Lintas

Berdasarkan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI 1997) volume lalu

lintas pada suatu ruas jalan diartikan sebagai jumlah atau banyaknya kendaraan yang

melewati suatu titik tertentu pada ruas jalan dalam suatu satuan waktu tertentu. Pada

umumnya kendaraan pada suatu ruas jalan terdiri dari berbagai komposisi kendaraan,

sehingga volume lalu lintas dinyatakan dalam jenis kendaraan standar yaitu mobil

penumpang yang dikenal dengan istilah satuan mobil penumpang (smp).

44
Universitas Sumatera
Berdasarkan data yang diperoleh, volume lalu lintas dibedakan atas beberapa

jenis diantaranya :

 ADT (Average Daily Traffic) atau LHR (Lalu lintas Harian Rata – Rata)

Merupakan volume lalu lintas rata – rata harian berdasarkan pengumpulan

data selama x hari dengan ketentuan 1< x<365.

 AADT (Average Annual Daily Traffic) atau LHRT (Lalu lintas Harian Rata –

Rata Tahunan)

Merupakan total volume lalu lintas harian rata – rata yang melewati satu jalur

jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data selama satu tahun penuh.

LHRT dinyatakan dalam smp/hari/2 arah atau kendaraan/hari/2 arah untuk

jalan 2 jalur 2 arah. Sedangkan untuk jalan berlajur banyak dengan median

dinyatakan dalam smp/hari/1 arah atau kendaraan/hari/1 arah.

Jika dalam melakukan suatu analisis dimana data lalu lintas yang tersedia

adalah data lalulintas harian rata – rata (kend/hari) maka diperlukan faktor yang

dapat mengubah menjadi arus lalulintas jam sibuk (kend/jam) yang juga dapat

digunakan dalam menghitung biaya pemakai jalan. Disebut faktor k yaitu faktor

volume lalu lintas jam sibuk ataupun sebaliknya. Volume lalulintas jam sibuk dapat

dirumuskan sebagai berikut:

Q = LHRT x k ……… (2.3)

Dimana :

Q = Arus kendaraan jam puncak untuk masing – masing arah (kend/jam)

LHRT = Lalulintas harian rata – rata tahunan (kend/hari)

k = Faktor pengubah dari LHRT ke lalulintas jam puncak

(nilai normal k = 0.09 untuk jalan perkotaan dan k = 0.11 jalan luar kota)

45
Universitas Sumatera
Untuk keperluan analisis maka jenis kendaraan diklasifikasikan atas beberapa

jenis, yaitu :

 Kendaraan Ringan (Light Vehicle/LV) yang terdiri dari jeep, station wagon,

colt, sedan, bis mini, combi, pick up, dll.

 Kendaraan Berat (Heavy Vehicle/HV) yang terdiri dari bus dan truk

 Sepeda Motor (Motorcycle/MC)

Sementara itu bina marga mengelompokkan kendaraan menjadi beberapa

golongan, diantaranya :

 Vehicle 1= Sepeda motor

 Vehicle 2= Sedan / Jeep

 Vehicle3= Mobil penumpang

 Vehicle 4= Mobil barang

 Vehicle 5a= Bus kecil

 Vehicle 5b= Bus besar

 Vehicle 6a= Truk ringan 2 as

 Vehicle 6b= Truk sedang 2 as

 Vehicle 7a= Truk 3 as

 Vehicle 7b= Trailer

 Vehicle 7c= Semi trailer

 Vehicle 8 = Tak bermotor

Angka ekivalensi kendaraan penumpang (emp) untuk berbagai jenis

kendaraan baik kendaraan ringan, kendaraan berat seperti kendaraan berat menengah

(MHV), bus besar (LB), truk besar termasuk truk kombinasi (LT) dan sepeda motor

(MC) diberikan pada tabel 2.12 s.d tabel 2.16 berikut ini :

46
Universitas Sumatera
Tabel 2.12 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) Jalan 2/2 UD (Jalan Luar Kota)

emp
Tipe Arus Total MC
Alinyemen (kend./jam) MHV LB LT Lebar jalur lalu-lintas (m)
<6m 6-8m >8m
0 1,2 1,2 1,8 0,8 0,6 0,4
800 1,8 1,8 2,7 1,2 0,9 0,6
Datar
1350 1,5 1,6 2,5 0,9 0,7 0,5
≥ 1900 1,3 1,5 2,5 0,6 0,5 0,4
0 1,8 1,6 5,2 0,7 0,5 0,3
650 2,4 2,5 5,0 1,0 0,8 0,5
Bukit
1100 2,0 2,0 4,0 0,8 0,6 0,4
≥ 1600 1,7 1,7 3,2 0,5 0,4 0,3
0 3,5 2,5 6,0 0,6 0,4 0,2
450 3,0 3,2 5,5 0,9 0,7 0,4
Gunung
900 2,5 2,5 5,0 0,7 0,5 0,3
≥ 1γ50 1,9 2,2 4,0 0,5 0,4 0,3
Sumber : MKJI,1997

Tabel 2.13 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) Untuk Jalan Luar Kota 4 lajur 2

Arah (4/2) Terbagi Dan Tak Terbagi

Arus Total (kend./jam) emp


Tipe
Alinyemen Jalan terbagi per Jalan tak terbagi
MHV LB LT MC
arah (kend/jam) total (kend/jam)
0 0 1,2 1,2 1,6 0,5
1000 1700 1,4 1,4 2,0 0,6
Datar
1800 3250 1,6 1,7 2,5 0,8
> 2150 > 3950 1,3 1,5 2,0 0,5
0 0 1,8 1,6 4,8 0,4
750 1350 2,0 2,0 4,6 0,5
Bukit
1400 2500 2,2 2,3 4,3 0,7
> 1750 > 3150 1,8 1,9 3,5 0,4
0 0 3,2 2,2 5,5 0,3
550 1000 2,9 2,6 5,1 0,4
Gunung
1100 2000 2,6 2,9 4,8 0,6
> 1500 > 2700 2,0 2,4 3,8 0,3
Sumber : MKJI,1997

47
Universitas Sumatera
Tabel 2.14 Ekivalensi Kendaraan Penumpang (emp) Untuk Jalan Luar Kota 6 Lajur

2 Arah Terbagi (6/2 D)

Tipe Arus Lalulintas emp


Alinyemen (kend./jam) per arah MHV LB LT MC
0 1,2 1,2 1,6 0,5
1500 1,4 1,4 2,0 0,6
Datar
2750 1,6 1,7 2,5 0,8
≥ γβ50 1,3 1,5 2,0 0,5
0 1,8 1,6 4,8 0,4
1100 2,0 2,0 4,6 0,5
Bukit
2100 2,2 2,3 4,3 0,7
≥ β650 1,8 1,9 3,5 0,4
0 3,2 2,2 5,5 0,3
800 2,9 2,6 5,1 0,4
Gunung
1700 2,6 2,9 4,8 0,6
≥ βγ00 2,0 2,4 3,8 0,3
Sumber : MKJI,1997

Tabel 2.15 Ekivalensi Mobil Penumpang (emp) Untuk Jalan Perkotaan Tak Terbagi

emp
Arus lalu lintas
Tipe Jalan : Jalan tak MC
total dua arah
terbagi HV Lebar jalur lalu lintas WC (m)
(kend/jam)
ч6 >6
Dua lajur tak terbagi 0 1,3 0,5 0,40
(2/2 UD) ш 1800 1,2 0,35 0,25
Empat lajur tak terbagi 0 1,3 0,40
(4/2 UD) ш 3700 1,2 0,25
Sumber : MKJI, 1997

Tabel 2.16 Ekivalensi Mobil Penumpang Jalan Perkotaan Terbagi dan Satu Arah

Tipe Jalan : Jalan satu arah dan Arus lalu lintas per emp
jalan terbagi lajur (kend/jam) HV MC
Dua lajur satu arah (2/1) dan Empat 0 1,3 0,40
lajur terbagi (4/2 D) ш 1050 1,2 0,25
Tiga lajur satu arah (3/1) dan Enam 0 1,3 0,40
lajur terbagi (6/2 D) ш 1100 1,2 0,25
Sumber : MKJI, 1997

48
Universitas Sumatera
Selanjutnya arus lalulintas dimasa mendatang atau di akhir umur rencana

suatu jalan dapat diprediksi dengan cara menghitung faktor pertumbuhan lalulintas.

Faktor pertumbuhan lalulintas ini diperoleh dari analisa pertumbuhan kendaraan,

LHR dan pertumbuhan ekonomi lima (5) tahun terakhir. Adapun persamaan untuk

menghitung arus lalulintas dimasa mendatang adalah :


n
Qn = Qo (1+i) …….. (2.4)

Dimana :

Qn = Arus lalulintas tahun ke-n

Qo = Arus lalulintas awal

i = Angka pertumbuhan lalulintas

n = Periode tahun ke-n

2.9.3 Kriteria Biaya Penanganan

Kriteria biaya penanganan yaitu skoring dari kinerja ruas jalan terhadap biaya

yang dikeluarkan pemerintah untuk penanganan jalan dalam satuan rupiah.

Pembobotan dari kriteria biaya penanganan dimulai dari skor 1 (sangat rendah

prioritasnya karena biaya penanganan tinggi) sampai dengan skor 9 (paling

diprioritaskan karena biaya penanganan rendah).

Ruas jalan dengan biaya penanganan yang lebih kecil akan lebih

diprioritaskan dibanding dengan ruas jalan yang membutuhkan biaya penanganan

yang lebih besar. Hal ini berhubungan dengan keterbatasan dana sehingga dengan

adanya prioritas tersebut diharapkan jumlah ruas jalan yang akan memiliki kondisi

baik akan lebih banyak dan lebih merata serta tidak terpusat pada beberapa jalan

dengan biaya besar saja.

49
Universitas Sumatera
2.10 Metode Penentuan Prioritas Penanganan Jalan

2.10.1 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)

Salah satu metode multi kriteria yang sering digunakan adalah proses hierarki

analitik (PHA) atau disebut Analytical Hierarchy Process (AHP) yang pertama kali

dikembangkan oleh Thomas L. Saaty seorang ahli matematika dari universitas

Pittsburg Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Metode yang dikembangkan oleh

Thomas L. Saaty ini pada dasarnya merupakan prosedur yang sistematik yang dapat

membentuk nilai secara numerik sehingga dapat merepresentasikan elemen masalah

secara hirarki (memecahkan masalah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil). Pada

prinsipnya metode AHP ini memasukkan aspek kualitatif maupun kuantitatif pikiran

manusia. Aspek kualitatif untuk mendefinisikan persoalan dan hierarkinya,

sedangkan aspek kuantitatif untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara

ringkas dan padat.

Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) ini juga merupakan suatu model

yang luwes yang memberikan kesempatan bagi pereorangan atau kelompok untuk

membangun gagasan – gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat

asumsi mereka masing – masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan

darinya. Proses pada metode AHP ini tergantung pada imajinasi, pengalaman dan

pengetahuan untuk menyusun hierarki suatu masalah, logika, intuisi dan pengalaman

untuk memberi pertimbangan. Prosesnya adalah mengidentifikasi, memahami dan

menilai interaksi – interaksi dari suatu sistem sebagai satu keseluruhan.

Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) biasanya digunakan dengan

beberapa ketentuan, diantaranya (Saaty, 1993) :

50
Universitas Sumatera
1. Dipakai untuk mengambil suatu keputusan dari suatu permasalahan yang

kompleks yang melibatkan banyak faktor

2. Dipakai untuk menentukan suatu prioritas

3. Dipakai untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks dengan cara

hierarki

4. Memakai data kuantitatif dan preferensi kualitatif

5. Ancangannya bersifat holistik (menyeluruh) yang memakai logika

6. Pertimbangannya berdasarkan intuisi

7. Penyederhanaannya tidak berlebihan

2.10.1.1 Kelebihan dan Kelemahan Metode AHP

Adapun beberapa keuntungan menggunakan metode Analytical Hierarchy

Process (AHP) adalah (Saaty,1993) :

1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti dan luwes untuk

beragam persoalan yang tidak terstruktur

2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem

dalam memecahkan persoalan kompleks

3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen – elemen dalam satu

sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier

4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah – milah

elemen – elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan

mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat

5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal – hal yang tidak terwujud

untuk mendapatkan prioritas

51
Universitas Sumatera
6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan – pertimbangan yang

digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas

7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap

alternatif

8. AHP mempertimbangkan prioritas – prioritas relatif dari berbagai faktor

sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan

tujuan – tujuan mereka

9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang

representatif dari penilaian yang berbeda – beda

10. AHP memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu

persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui

pengulangan

Selain kelebihan – kelebihan tersebut di atas, metode Analytical Hierarchy

Process (AHP) juga memiliki beberapa kelemahan antara lain :

1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini berupa

persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan subyektifitas sang

ahli. Selain itu model ini juga menjadi tidak berarti jika ahli tersebut

memberikan penilaian yang keliru

2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian secara statistic

sehingga tidak ada batas kepercayaan dari kebenaran model yang terbentuk

2.10.1.2 Prinsip Dasar Metode Analytical Hierarchy Process

Dalam memecahkan masalah dengan analisis logis eksplisit dalam metode

AHP ada 3 (tiga) prinsip dasar yang dipakai, yaitu:

52
Universitas Sumatera
1. Prinsip menyusun hierarki / Dekomposisi masalah

2. Prinsip menetapkan prioritas (perbandingan) / Comparative Judgement, dan

3. Prinsip konsistensi logis / Logical Consistency

2.10.1.2.1 Dekomposisi Masalah

Dekomposisi adalah proses memecahkan atau membagi masalah yang utuh

menjadi unsur – unsurnya kebentuk hierarki proses pengambilan keputusan dimana

setiap unsur atau elemen saling berhubungan. Bentuk umum susunan hierarki seperti

pada gambar 2.9 di bawah.

TUJUAN

KRITERIA I II III

PILIHAN I II III

Gambar 2.9 Bentuk Umum Susunan Hirarki Penelitian (Saaty, 1993)

Langkah pertama adalah merumuskan tujuan dari suatu kegiatan penyusunan

prioritas yang dilanjutkan dengan menentukan kriteria dari tujuan. Berdasarkan

tujuan dan kriteria maka beberapa pilihan perlu dididentifikasi agar pilihan tersebut

merupakan pilihan yang potensial sehingga jumlah pilihan tidak terlalu banyak.

2.10.1.2.2 Perbandingan Penilaian (Comparative Judgment)

Setelah masalah terdekomposisi maka ada dua tahap penilaian atau

membandingkan antar elemen yaitu perbandingan antar kriteria dan perbandingan

53
Universitas Sumatera
antar pilihan alternatif untuk setiap kriteria. Perbandingan antar kriteria dimaksudkan

untuk menentukan bobot untuk masing–masing kriteria (Sembiring, I.S, 2008).

Penilaian ini merupakan inti dari AHP karena akan berpengaruh terhadap prioritas

elemen – elemen. Untuk mengkuantifikasi pendapat kualitatif digunakan skala

penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif).

Nilai atau angka kuantitatif tersebut nantinya diolah sehingga menjadi bobot dari

suatu kriteria.

Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan dapat dilihat

pada tabel 2.17 berikut ini :

Tabel 2.17 Skala Penilaian Perbandingan Berpasangan

Intensitas
Definisi Penjelasan
Kepentingan

Elemen yang sama pentingnya Kedua elemen menyumbang

1 dibanding dengan elemen yang lain sama besar pada sifat tersebut

(Equal importance)

Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman menyatakan sedikit

3 penting dari pada elemen yang lain berpihak pada satu elemen

(Moderate more importance)

Elemen yang satu jelas lebih penting Pengalaman menunjukkan secara

5 dari pada elemen yang lain kuat memihak pada satu elemen

(Essential, Strong more importance)

Elemen yang satu sangat jelas lebih Pengalaman menunjukkan secara

7 penting dari pada elemen yang lain kuat disukai dan dominannya

(Demonstrated importance) terlihat dalam praktek

54
Universitas Sumatera
Elemen yang satu mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen

penting dari pada elemen yang lain yang satu terhadap elemen lain
9
(Absolutely more importance) memiliki tingkat penegasan tertinggi

yang menguatkan

Apabila ragu-ragu antara dua nilai Nilai ini diberikan bila diperlukan
2,,4,6,8
ruang berdekatan (gray area) kompromi

Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka dibanding dengan aktivitas j


Kebalikan
maka j mempunyai nilai kebalikannya dibandingkan dengan i

Sumber : Saaty (1993)

Dengan memakai skala penilaian perbandingan berpasangan pada tabel 2.17

di atas. Maka perbandingan antar kriteria akan menghasilkan nilai seperti dalam tabel

2.18 di bawah dimana disini diasumsikan hanya ada 4 (empat) kriteria.

Tabel 2.18 Perbandingan Antar Kriteria

Kriteria CR1 CR2 CR3 CR4 Jumlah Bobot


CR1 - c12 c13 c14 c1 bc1 = c1/C
CR2 c21 - c23 c24 c2 bc2 = c2/C
CR3 c31 c32 - c34 c3 bc3 = c3/C
CR4 c41 c42 c43 - c4 bc4 = c4/C
Jumlah C
Sumber : Susila dkk (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011)

Dari tabel tersebut dapat dirangkum sebagai berikut :

1. cij merupakan hasil penilaian / perbandingan antara kriteria i dan j

2. ci merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki kriteria ke – i

3. C merupakan penjumlahan semua nilai ci

4. Bobot kriteria ke – i diperoleh dengan membagi nilai ci dengan C

55
Universitas Sumatera
Dengan prosedur yang sama maka dilakukan perbandingan antar pilihan (OP)

untuk masing – masing kriteria seperti terlihat pada tabel 2.19 berikut dimana

perbandingan antar pilihan dilakukkan untuk kriteria 1 (c1) :

Tabel 2.19 Perbandingan Antar Pilihan Untuk Kriteria 1 (c1)

C1 OP1 OP2 OP3 OP4 Jumlah Bobot


OP1 - o12 o13 o14 o1 bo1 = o1/O
OP2 o21 - o23 o24 o2 bo2 = o2/O
OP3 o31 o32 - o34 o3 bo3 = o3/O
OP4 o41 o42 o43 - o4 bo4 = o4/O
Jumlah O
Sumber : Susila dkk (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011)

Dari tabel di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. oij merupakan hasil penilaian / perbandingan antara pilihan i dengan k untuk

kriteria j

2. oi merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki pilihan ke – i

3. o merupakan penjumlahan semua nilai oi

4. boij merupakan nilai pilihan ke – i untuk kriteria ke - j

Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam metode AHP

berdasarkan “judgement” atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai

“key person”. Mereka dapat terdiri atas pengambil keputusan, para pakar dan orang

yang terlibat serta memahami permasalahan yang dihadapi. Biasanya jumlah ahli

bervariasi tergantung pada ketersediaan sumber daya. Penilaian dapat dilakukan

dengan menyebarkan kuesioner kepada masing – masing ahli ataupun dengan

melakukan suatu pertemuan para ahli untuk melakukan penilaian.

56
Universitas Sumatera
2.10.1.2.3 Sintesa Prioritas (Synthesis of Priority)

Prinsip sintesis hasil penilaian adalah mengambil setiap turunan skala rasio

prioritas – prioritas lokal dalam berbagai level dari suatu hierarki dan menyusun suatu

komposisi global dari kumpulan prioritas untuk elemen – elemen dalam hierarki

terbawah. Penilaian ini dilakukan untuk setiap sel dalam matriks perbandingan maka

akan didapatkan suatu matriks perbandingan baru yang merupakan matriks

perbandingan gabungan semua responden sehingga didapatkan eigen vector (vektor

ciri) untuk masing – masing kriteria.

Susila dkk (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011) menegaskan bahwa

sintesis hasil penilaian merupakan tahap akhir dari AHP yang prosedurnya berbeda

menurut hierarki. Pada dasarnya sintesis ini merupakan penjumlahan dari bobot yang

diperoleh setiap pilihan pada masing – masing kriteria setelah diberi bobot dari

kriteria tersebut. Secara umum nilai suatu pilihan adalah sebagai berikut :

bopi = boij x bcj …..……………………………………….... (2.5)

Dimana bopi = nilai/bobot untuk pilihan ke - i

Formula tersebut juga dapat disajikan dalam bentuk tabel. Sebagai contoh

dapat dilihat pada tabel 2.20 di bawah. Dalam tabel tersebut diasumsikan ada 4

(empat) kriteria dengan 4 (empat) pilihan alternatif. Untuk nilai prioritas/bobot

pilihan 1 (OP1) diperoleh dengan mengalikan nilai bobot pada kriteria dengan nilai

yang terkait dengan kriteria tersebut. Untuk pilihan 1 sebagai berikut :

bop1 = bo11 * bc1 + bo12 * bc2 + bo13 * bc3 + bo14 * bc4 .………………………(β.6)

Hal yang sama dilakukan untuk pilihan 2, 3 dan 4 dengan membandingkan

nilai yang diperoleh masing – masing pilihan sehingga prioritas dapat disusun

57
Universitas Sumatera
berdasarkan besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai suatu pilihan maka semakin

tinggi prioritasnya begitupun sebaliknya.

Tabel 2.20 Matriks Sintesis

CR1 CR2 CR3 CR4 bc1 bc2


Prioritas bopi
bc3 bc4
OP1 bo11 bo12 bo13 bo14 bop1
OP2 bo21 bo22 bo23 bo24 bop2
OP3 bo31 bo32 bo33 bo34 bop3
OP4 bo41 bo42 b043 bo44 bop4
Sumber : Susila dkk (2007) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011)

Derajat kepentingan dapat dilakukan dengan pendekatan perbandingan

berpasangan yang sering digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari

elemen – elemen dan kriteria – kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan tersebut

diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan bobot paling tinggi

adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk diambil.

2.10.1.2.4 Konsistensi Logis (Logical Consistency)

Konsistensi logis menilai intensitas hubungan diantara elemen – elemen yang

didasarkan pada suatu kriteria khusus yang telah menjustifikasi satu sama lain dalam

cara – cara yang logis. Penyimpangan dari konsistensi dinyatakan dengan CI

(Consistency Index)

………………………………………………...… (β.7)
Dimana : CI = Consistency Index

maks = Eigen value maksimum

n = ukuran matriks

58
Universitas Sumatera
Indeks konsistensi kemudian diubah dalam bentuk rasio inkonsistensi dan

membaginya dengan suatu random index (RI). Perbandingan antara CI dan RI untuk

suatu matriks didefinisikan sebagai consistency ratio (CR).

……………………………………………………... (β.8)
Dimana : CR = Consistency Ratio

CI = Consistency Index

RI = Random Index

Nilai random indeks tergantung pada ukuran matriks seperti ditunjukkan

dalam tabel 2.21 berikut :

Tabel 2.21 Hubungan Antara Ukuran Matriks dan Nilai Random Index (RI)

Ukuran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Matriks
Nilai RI 0,00 0,00 0,58 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,49 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
Sumber : Saaty (1988) dalam Syawal, Agustinus (2013)

Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriksnya

seperti terlihat dalam tabel 2.22 di bawah. Revisi pendapat dapat dilakukan jika rasio

konsistensi pendapat cukup tinggi ≥ 10 %. Jika nilai CR lebih rendah atau sama

dengan nilai tersebut maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup

dapat diterima atau matriks memiliki konsistensi yang baik.

Tabel 2.22 Nilai Rentang Penerimaan Consistency Ratio (CR)

No Ukuran Matriks Rasio Konsistensi (CR)

1 ч3x3 0,03
2 4x4 0,08
3 >4x4 0,10
Sumber : Saaty (2000) dalam Apriyanto (2008) dalam Wirdatun Nafiah Putri (2011)

59
Universitas Sumatera
2.10.2 Metode Bina Marga

Secara umum prinsip penentuan prioritas dalam metode ini menggunakan

approach data inventory yang meliputi data traffic dan data road condition yang

dapat diaplikasikan dengan tabel manfaat dan biaya untuk memperoleh nilai manfaat

penanganan jalan. Hal ini karena dalam kondisi keterbatasan anggaran, ruas jalan

dengan manfaat ekonomi terbesar akan lebih diprioritaskan penanganannya. Metode

Bina Marga ini cukup praktis dan efisien karena hanya menggunakan tabel manfaat

lalu lintas dan biaya konstruksi jalan dalam menentukan skala prioritas penanganan

jalan.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menghitung keuntungan

atau nilai manfaat dari pelaksanaan suatu proyek pemeliharaan/peningkatan jalan,

antara lain :

1. Net Present Value (NPV)

2. Benefit Cost Ratio (BCR)

3. Economic Internal Rate of Return (EIRR)

4. First Year Rate of Return (FYRR)

Metode yang dipakai dalam perhitungan manfaat ekonomi dari

pemeliharaan/peningkatan ruas jalan dalam penelitian ini adalah metode NPV.

Adapun kriteria peringkat prioritas penanganan jalan dalam metode Bina

Marga adalah sebagai berikut :

1. Kriteria pokok yang dipakai untuk pemilihan prioritas adalah NPV yaitu

dengan memberikan prioritas pertama pada proyek yang NPV-nya tertinggi.

2. Kode evaluasi proyek juga diberikan pada proyek – proyek dengan tanda

kisaran NPV untuk petunjuk pemilihannya sebagai berikut :

60
Universitas Sumatera
 Berikan prioritas pada kelompok proyek – proyek yang mempunyai

kelayakan tertinggi

 Berikan prioritas yang rendah kepada kelompok proyek berkelayakan

rendah

2.10.2.1 Analisis Net Present Value (NPV)

Metoda ini dikenal sebagai metoda present worth dan digunakan untuk

menentukan apakah suatu rencana mempunyai manfaat dalam periode waktu

analisis. Hal ini dihitung dari selisih present value of the benefit (PVB) dengan

present value of the cost (PVC).

Persamaan umum untuk metode ini adalah sebagai berikut :

…………………….. (2.9)
Dimana :

NPV = nilai sekarang bersih ;

bi = manfaat pada tahun i ;

ci = biaya pada tahun i ;

r = suku bunga diskonto (discount rate) yakni suku bunga yang dipakai

untuk menghitung nilai sekarang dari berbagai aset;

n = umur ekonomi proyek. Dimulai dari tahap perencanaan sampai

akhir umur rencana jalan

Hasil NPV dari suatu proyek yang dikatakan layak secara ekonomi adalah

yang menghasilkan nilai NPV bernilai positif (+) atau NPV > 0.

61
Universitas Sumatera
2.10.2.2 Penaksiran Manfaat

Manfaat langsung yang diterima masyarakat atau pengguna jalan adalah

penghematan biaya operasional kendaraan (BOK) dan penghematan waktu

perjalanan (time value) dengan nilai waktu (Rp/jam). Namun secara umum jika

sebuah ruas jalan telah dibangun atau diperbaiki maka akan memiliki manfaat

sebagai berikut, antara lain adalah :

 Biaya operasi kendaraan (ban, bahan bakar, dan sebagainya) akan berkurang

 Waktu tempuh perjalanan akan berkurang

 Penambahan frekuensi perjalanan mungkin terjadi

 Perjalanan yang sekarang menggunakan kendaraan tak bermotor atau dengan

jalan kaki mungkin di masa mendatang akan beralih menggunakan kendaraan

bermotor

 Biaya pemeliharaan di kemudian hari atau biaya untuk menjaga agar jalan

tetap terbuka akan berubah

Seluruh manfaat tersebut diukur dan dijumlahkan secara sistematis untuk

diperbandingkan dengan perkiraan biaya pemeliharaan/peningkatan jalan.

2.10.2.3 Penghematan Biaya Operasi Kendaraan (BOK)

Biaya Operasi Kendaraan (BOK) dalam Pd T-15-2005-B didefinisikan

sebagai biaya total yang dibutuhkan untuk mengoperasikan kendaraan pada suatu

kondisi lalu lintas dan jalan untuk suatu jenis kendaraan per kilometer jarak tempuh.

Satuannya rupiah per kilometer.

Perhitungan biaya operasi kendaraan (BOK) dimaksudkan untuk

mengevaluasi manfaat langsung dari pekerjaan proyek peningkatan jalan menurut

62
Universitas Sumatera
kriteria ekonomi sehingga dapat diketahui bahwa biaya yang dialokasikan dapat

memberikan tingkat manfaat yang tinggi. Manfaat langsung yang diperhitungkan

adalah penghematan biaya perjalanan yaitu selisih biaya perjalanan total dengan

proyek (with project) dan tanpa proyek (without project). BOK diturunkan dari hasil

prediksi lalulintas berupa total jumlah kendaraan-km harian dengan kecepatan rata –

rata serta unit BOK untuk masing – masing kecepatan.

Karena yang diperhitungkan sebagai manfaat proyek adalah selisih dalam

BOK maka yang perlu dihitung adalah biaya tidak tetap saja baik untuk kondisi

dengan proyek (with project) maupun untuk kondisi tanpa proyek (without project)

(pedoman studi kelayakan proyek jalan dan jembatan Pd.T-18-2005-B).

Komponen – komponen biaya operasi kendaraan (BOK) secara umum adalah

sebagai berikut:

 Biaya tetap (fixed cost atau standing cost)

 Biaya tidak tetap (variable cost atau running cost)

 Biaya tidak terduga (overhead)

Perhitungan biaya operasi kendaraan (BOK) untuk jenis kendaraan sepeda

motor (MC) sama dengan perhitungan BOK jenis kendaraan ringan (Tommy Putra

Armada, 2014). Secara umum untuk menghitung biaya operasi kendaraan (BOK)

setiap jenis kendaraan dapat digunakan persamaan berikut ini :

BOKi = Biaya Tetapi + Biaya Tidak tetapi + Biaya Overheadi ………. (β.10)

Dalam menghitung besar penghematan BOK selama satu tahun dapat

dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

Penghematan BOKi = LHRi x Selisih BOKi x L x H ……………….. (2.11)

Dimana :

63
Universitas Sumatera
LHR = Lalulintas harian rata – rata

Selisih BOK = Selisih BOK dengan proyek dan tanpa proyek (Rp/km)

L = Panjang segmen jalan (km)

H = Jumlah hari kerja selama 1 tahun (H=300 hari)

i = jenis kendaraan

2.10.2.3.1 Biaya Tetap (Standing Cost)

Biaya tetap merupakan biaya yang dalam pengeluarannya tetap tanpa

tergantung pada volume produksi yang terjadi. Biasanya jangka waktu perhitungan

adalah 1 (satu) tahun karena sebagian besar komponen biaya tetap dibayarkan setiap

tahun. Biaya tetap ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Biaya administrasi, yakni biaya yang harus dikeluarkan pemilik untuk setiap

kendaraan yang menggunakan jalan umum (STNK, KIR, Izin usaha, Izin

trayek)

2. Biaya modal kendaraan, bunga modal dan angsuran pinjaman, yakni biaya

yang harus dikeluarkan untuk membayar pinjaman dan bunga bank. Bunga

modal yang berlaku adalah bunga modal kredit yang besarnya per tahun

tergantung pada saat pinjaman dimulai.

3. Biaya penyusutan, yakni biaya yang “hilang” akibat penyusutan nilai

kendaraan sejalan dengan umur ekonomisnya.

4. Biaya asuransi (BA)

5. Biaya Gaji / Pendapatan sopir dan kernet

64
Universitas Sumatera
2.10.2.3.2 Biaya Tidak Tetap (Running Cost)

Biaya tidak tetap merupakan biaya operasi kendaraan yang dibutuhkan untuk

menjalankan kendaraan pada suatu kondisi lalu lintas dan jalan untuk suatu jenis

kendaraan per kilometer jarak tempuh atau dapat dikatakan bahwa biaya tidak tetap

adalah biaya yang dikeluarkan pada saat kendaraan beroperasi. Satuannya rupiah per

kilometer (Rp/km).

Komponen – komponen biaya tidak tetap adalah sebagai berikut :

a. Biaya konsumsi bahan bakar

b. Biaya konsumsi minyak pelumas (oli)

c. Suku cadang kendaraan

d. Upah pekerja bengkel

e. Biaya pemakaian ban

2.10.2.3.2.1 Biaya Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BiBBMj)

Biaya konsumsi bahan bakar merupakan biaya yang dibutuhkan untuk

konsumsi bahan bakar minyak dalam pengoperasian suatu jenis kendaraan per

kilometer jarak tempuh. Satuannya rupiah per kilometer (Rp/km).

Persamaan untuk menghitung biaya konsumsi bahan bakar minyak adalah :

BiBBMj= KBBMi x HBBMj ……………. (2.12)

dengan pengertian:

BiBBMj = Biaya konsumsi bahan bakar minyak jenis kendaraan i (Rp/km)

KBBMi = Konsumsi bahan bakar minyak jenis kendaraan i (liter/km)

HBBMj = Harga bahan bakar untuk jenis BBM j (Rp/liter)

65
Universitas Sumatera
i = Jenis kendaraan sedan (SD), utiliti (UT), bus kecil (BL), bus besar

(BR), truk ringan (TR), truk sedang (TS) atau truk berat (TB). Utiliti

adalah jenis kendaraan angkutan serbaguna. Sebagai contoh mini bus,

pick up, jenis boks

j = Jenis bahan bakar minyak solar (SLR) atau premium (PRM).

Premium untuk jenis kendaraan sedan dan utiliti dan solar untuk jenis

kendaraan bis kecil, bis besar, truk ringan, truk sedang dan truk berat.

 Konsumsi bahan bakar minyak (KBBM)

Konsumsi bahan bakar minyak untuk masing – masing kendaraan dapat

dihitung dengan persamaan berikut :


2 2
KBBMi = (α + ȕ1/VR + ȕ2 x V + ȕ3 x RR + ȕ4 x FR + ȕ5 x FR + ȕ6 x DTR + ȕ7 x AR
R

+ ȕ8 x SA + ȕ9 x BK + ȕ10 x BK x AR + ȕ11 x BK x SA)/1000 …………. (2.13)

dengan pengertian,

α = Konstanta (lihat tabel 2.23)

ȕ1 ... ȕ12 = Koefisien-koefisien parameter (lihat tabel 2.23)

VR = Kecepatan rata-rata

RR = Tanjakan rata-rata

FR = Turunan rata-rata

DTR = Derajat tikungan rata-rata

AR = Percepatan rata-rata

SA = Simpangan baku percepatan

BK = Berat Kendaraan

Nilai konstanta dan koefisien – koefisien parameter model konsumsi BBM

dapat dilihat pada tabel 2.23 berikut :

66
Universitas Sumatera
Tabel 2.23 Nilai Konstanta dan Koefisien Parameter Model Konsumsi BBM

BK x BK x
Jenis 1/VR VR 2 RR FR FR2 DTR AR SA BK
α AR SA R
Kendaraan
β1 β2 β3 β4 β5 β6 β7 β8 β9 β10 β11
Sedan 23,78 1181,2 0,0037 1,265 0,634 - - -0,638 36,21 - - -
Utiliti 29,61 1256,8 0,0059 1,765 1,197 - - 132,2 42,84 - - -
Bus Kecil 94,35 1058,9 0,0094 1,607 1,488 - - 166,1 49,58 - - -
Bus Besar 129,60 1912,2 0,0092 7,231 2,790 - - 266,4 13,86 - - -
Truk
70,00 524,6 0,0020 1,732 0,945 - - 124,4 - - - 50,02
Ringan
Truk
97,70 - 0,0135 0,7365 5,706 0,0378 -0,0858 - - 6,661 36,46 17,28
Sedang
Truk Berat 190,30 3829,7 0,0196 14,536 7,225 - - - - - 11,41 10,92
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

 Kecepatan Rata – Rata (VR) Lalu Lintas

Merupakan kecepatan rata – rata yang dihitung sebagai nilai rata – rata dari

sejumlah data kecepatan sesaat (Vk) atau kecepatan rata – rata ruang (space mean

speed). Apabila data kecepatan lalu lintas tidak tersedia maka kecepatan dapat

dihitung dengan manual kapasitas jalan Indonesia (Pd T-15-2005-B). Kecepatan

yang dapat digunakan dalam menghitung biaya pemakai jalan adalah kecepatan arus

bebas. Kecepatan arus bebas kendaraan ringan merupakan kecepatan arus bebas yang

digunakan. Untuk jenis kendaraan lain dapat dihitung juga dengan menghitung faktor

penyesuainnya terlebih dahulu. Kecepatan arus bebas memiliki dua arti, yaitu :

1. Kecepatan rata-rata teoritis (km/jam) lalu-lintas pada kerapatan = 0, yaitu

tidak ada kendaraan yang lewat.

2. Kecepatan (km/jam) kendaraan yang tidak dipengaruhi oleh kendaraan lain

(yaitu kecepatan dimana pengendara merasakan perjalanan yang nyaman

67
Universitas Sumatera
dalam kondisi geometrik, lingkungan dan pengaturan lalu-lintas yang ada

pada segmen jalan dimana tidak ada kendaraan yang lain).

Adapun persamaan kecepatan dengan manual kapasitas jalan Indonesia

adalah sebagai berikut :

 Kecepatan bebas hambatan kendaraan ringan

FV = (FVO + FVW) × FFVSF × FFVCS ………….. (2.14) Jalan perkotaan

FV = (FVO + FVW) × FFVSF × FFVRC ………….. (2.15) Jalan luar kota

Dimana :

FV = Kecepatan arus bebas kendaraan ringan pada kondisi lapangan (km/jam)

FVo = Kecepatan arus bebas dasar kendaraan ringan (km/jam)

FVW = Penyesuaian lebar jalur lalu-lintas efektif (penjumlahan) (km/jam)

FFVSF = Faktor penyesuaian kondisi hambatan samping (perkalian)

FFVCS = Faktor penyesuaian ukuran kota (perkalian)

FFVRC = Faktor penyesuaian akibat kelas fungsi jalan dan guna lahan. ( Guna lahan

merupakan pengembangan lahan di sepanjang jalan. Untuk tujuan

perhitungan guna lahan ditentukan sebagai persentase dari segmen jalan

dengan pengembangan tetap dalam bentuk bangunan).

 Kecepatan bebas hambatan kendaraan berat

FVHV = FVHV0 – (FFV × (FVHV0 / FV0))……………….. (2.16)

 Kecepatan bebas hambatan kendaraan berat menengah

FVMHV = FVMHV0 – (FFV × (FVMHV0 / FV0))………….. (2.17)

Dengan pengertian :

FVHV = Kecepatan arus bebas kendaraan berat (km/jam)

FVHV0 = Kecepatan arus bebas dasar HV (km/jam)

68
Universitas Sumatera
FV0 = Kecepatan arus bebas dasar LV (km/jam)

FFV = Penyesuaian kecepatan arus bebas LV (km/jam)

FVMHV = Kecepatan arus bebas kendaraan berat menengah (MHV) (km/jam)

FVMHV0 = Kecepatan arus bebas dasar MHV (km/jam)

Dimana : FFV = FV0 – FV

Adapun nilai – nilai kecepatan arus bebas dasar, penyesuaian lebar jalur lalu

lintas efektif, kondisi hambatan samping dan ukuran kota untuk jalan perkotaan

seperti pada tabel 2.24 sampai tabel 2.28 berikut ini :

Tabel 2.24 Kecepatan Arus Bebas Dasar (FV0) Pada Jalan Perkotaan

Kecepatan Arus
Tipe Jalan Semua
(LV) (HV) (MC) Kendaraan
(rata-rata)
(6/2D) atau (3/1) 61 52 48 57
(4/2 D) atau (2/1) 57 50 47 55
(4/2 UD) 53 46 43 51
(2/2 UD) 44 40 40 42
Sumber : MKJI, 1997

Tabel 2.25 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Ukuran Kota (FFVCS)

Faktor penyesuaian untuk ukuran kota


Ukuran Kota (Juta Penduduk)

< 0,1 0,90


0,1 - 0,5 0,93
0,5 - 1,0 0,95
1,0 - 3,0 1,00
> 3,0 1,03
Sumber : MKJI, 1997

69
Universitas Sumatera
Tabel 2.26 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Hambatan Samping

(FFVSF) Pada Jalan Perkotaan

Faktor penyesuaian untuk hambatan


samping dan lebar bahu
Kelas Hambatan
Tipe Jalan Lebar bahu efektif rata - rata Ws (m)
Samping (SFC)

ч 0,5 m 1,0 m 1,5 m ш2m


Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04
Rendah Sedang 0,98 1,00 1,02 1,03
Empat lajur terbagi
Tinggi 0,94 0,97 1,00 1,02
(4/2 D)
Sangat Tinggi 0,89 0,93 0,96 0,99
0,84 0,88 0,92 0,96
Sangat rendah 1,02 1,03 1,03 1,04
Rendah Sedang 0,98 1,00 1,02 1,03
Empat lajur tak
Tinggi 0,93 0,96 0,99 1,02
terbagi (4/2 UD)
Sangat Tinggi 0,87 0,91 0,94 0,98
0,80 0,86 0,90 0,95
Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,01
Dua lajur tak terbagi Rendah Sedang 0.96 0,98 0,99 1,00
(2/2 UD) atau jalan satu Tinggi 0,91 0,93 0,96 0,99
arah Sangat Tinggi 0,82 0,86 0,90 0,95
0,73 0,79 0,85 0,91
Sumber : MKJI, 1997

70
Universitas Sumatera
Tabel 2.27 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Untuk Hambatan Samping

Dan Jarak Kereb - Penghalang (FFVSF) Pada Jalan Perkotaan

Faktor penyesuaian untuk hambatan

Kelas Hambatan samping dan jarak kereb penghalang


Tipe Jalan
Samping (SFC) Lebar bahu efektif rata - rata Wk (m)

≤ 0,5 m 1,0 m 1,5 m ≥βm

Empat lajur Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,02

terbagi (4/2 D) Rendah 0,97 0,98 0,99 1,00

Sedang 0,93 0,95 0,97 0,99

Tinggi 0,87 0,90 0,93 0,96

Sangat Tinggi 0,81 0,85 0,88 0,92

Empat lajur tak Sangat rendah 1,00 1,01 1,01 1,02

terbagi (4/2 UD) Rendah 0,96 0,98 0,99 1,00

Sedang 0,91 0,93 0,96 0,98

Tinggi 0,84 0,87 0,90 0,94

Sangat Tinggi 0,77 0,81 0,85 0,90

Dua lajur tak Sangat rendah 0,98 0,99 0,99 1,00

terbagi (2/2 UD) Rendah 0,93 0,95 0,96 0,98

atau jalan satu arah Sedang 0,87 0,89 0,92 0,95

Tinggi 0,78 0,81 0,84 0,88

Sangat Tinggi 0,68 0,72 0,77 0,82

Sumber : MKJI, 1997

71
Universitas Sumatera
Tabel 2.28 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas

(FVw) Pada Jalan Perkotaan

Lebar jalur lalu lintas


Tipe Jalan FVW (km/jam)
efektif (m)
Per lajur
3,00 -4
Empat-lajur terbagi atau jalan 3,25 -2 satu arah
3,50 0
3,75 2
4,00 4
Per lajur
3,00 -4
3,25 -2
Empat-lajur tak terbagi
3,50 0
3,75 2
4,00 4
Total
5 -9,5
6 -3
7 0
Dua lajur tak terbagi
8 3
9 4
10 6
11 7
Sumber : MKJI, 1997

Adapun nilai – nilai kecepatan arus bebas dasar, penyesuaian lebar jalur lalu

lintas efektif, kondisi hambatan samping dan kelas fungsi jalan untuk jalan luar kota

seperti pada tabel 2.29 sampai tabel 2.32 berikut ini :

72
Universitas Sumatera
Tabel 2.29 Kecepatan Arus Bebas Dasar Untuk Jalan Luar Kota (FV0)

Kecepatan arus bebas dasar (km/jam)


Tipe Jalan/Tipe Kendaraan
alinyemen/(Kelas jarak Sepeda
Kendaraan Berat Bus Truk
pandang) Motor
Ringan LV Menengah Besar LB Besar LT
MC
MHV
Enam lajur terbagi
- Datar 83 67 86 64 64
- Bukit 71 56 68 52 58
- Gunung 62 45 55 40 55
Empat lajur terbagi
- Datar 78 65 81 62 64
- Bukit 68 55 66 51 58
- Gunung 60 44 -53 39 55
Empat lajur tak terbagi
- Datar 74 63 78 60 60
- Bukit 66 54 65 50 56
- Gunung 58 43 52 39 53
Dua lajur tak terbagi
- Datar SDC A 68 60 73 58 55
- Datar SDC B 65 57 69 55 54
- Datar SDC C 61 54 63 52 53
- Bukit 61 52 62 49 53
- Gunung 55 42 50 38 51
Sumber : MKJI, 1997

Catatan : Perhatikan bahwa untuk jalan dua lajur dua arah, kecepatan arus bebas

dasar juga adalah fungsi dari kelas jarak pandang. Jika kelas jarak pandang tidak

tersedia, anggaplah pada jalan tersebut SDC B.

73
Universitas Sumatera
Tabel 2.30 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Hambatan Samping

(FFVSF) dan Lebar Bahu Pada Jalan Luar Kota

Faktor penyesuaian untuk hambatan


Kelas Hambatan samping dan lebar bahu
Tipe Jalan Lebar bahu efektif rata - rata Ws (m)
Samping (SFC)
ч 0,5 m 1,0 m 1,5 m ш2m
Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00
Rendah 0,98 0,98 0,98 0,99
Empat lajur terbagi
Sedang 0,95 0,95 0,96 0,98
(4/2 D)
Tinggi 0,91 0,92 0,93 0,97
Sangat Tinggi 0,86 0,87 0,89 0,96
Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00
Rendah 0,96 0,97 0,97 0,98
Empat lajur tak
Sedang 0,92 0,94 0,95 0,97
terbagi (4/2 UD)
Tinggi 0,88 0,89 0,90 0,96
Sangat Tinggi 0,81 0,83 0,85 0,95
Sangat rendah 1,00 1,00 1,00 1,00
Rendah 0,96 0,97 0,97 0,98
Dua lajur tak terbagi
Sedang 0,91 0,92 0,93 0,97
(2/2 UD)
Tinggi 0,85 0,87 0,88 0,95
Sangat Tinggi 0,76 0,79 0,82 0,93
Sumber : MKJI, 1997

Tabel 2.31 Faktor Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Kelas Fungsional

Jalan Dan Guna Lahan (FFVRC)

Faktor penyesuaian FFVRC


Tipe jalan Pengembangan samping jalan (%)
0 25 50 75 100
Empat-lajur terbagi
- Arteri 1,00 0,99 0,98 0,96 0,95
- Kolektor 0,99 0,98 0,97 0,95 0,94
- Lokal 0,98 0,97 0,96 0,94 0,93
Empat-lajur tak terbagi
- Arteri 1,00 0,99 0,97 0,96 0,945
- Kolektor 0,97 0,96 0,94 0,93 0,915
- Lokal 0,95 0,94 0,92 0,91 0,895
Dua-lajur tak-terbagi
- Arteri 1,00 0,98 0,97 0,96 0,94
- Kolektor 0,94 0,93 0,91 0,90 0,88
- Lokal 0,90 0,88 0,87 0,86 0,84
Sumber : MKJI, 1997

74
Universitas Sumatera
Tabel 2.32 Penyesuaian Kecepatan Arus Bebas Akibat Lebar Jalur Lalu Lintas

(FVw) Pada Jalan Luar Kota

Lebar efektif FVW (km/jam)


Tipe Jalan jalur lalu lintas Datar: -Bukit: SDC=A,B,C
(WC) (m) Gunung
SDC=A,B Datar: SDC=C
Per lajur
Empat-lajur dan 3,00 -3 -3 -2
enam lajur terbagi 3,25 -1 -1 -1
3,50 0 0 0
3,75 2 2 2
Per lajur
3,00 -3 -2 -1
Empat-lajur tak
3,25 -1 -1 -1
terbagi
3,50 0 0 0
3,75 2 2 2
Total
5 -11 -9 -7
6 -3 -2 -1
Dua lajur tak 7 0 0 0
terbagi 8 1 1 0
9 2 2 1
10 3 3 2
11 3 3 2
Sumber : MKJI, 1997

Sementara itu batasan kecepatan rata – rata kendaraan (dalam km/jam) yang

dicakup oleh model persamaan dapat dilihat pada tabel 2.33 berikut :

Tabel 2.33 Kecepatan Rata – Rata Kendaraan yang Direkomendasikan

Nilai Minimum Nilai Maksimum


Jenis Kendaraan
(km/jam) (km/jam)
Sedan 5,0 100,0
Utiliti 5,0 100,0
Bus Kecil Bus Besar 5,0 100,0
Truk Ringan Truk 5,0 100,0
Sedang 5,0 100,0
Truk Berat 5,0 100,0
5,0 100,0
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

75
Universitas Sumatera
 Percepatan Rata – Rata (AR)

Percepatan rata – rata merupakan percepatan rata – rata yang dihitung sebagai

nilai rata – rata dari sejumlah data percepatan (AM). Percepatan (AM) sendiri

merupakan percepatan pada observasi ke-m yang dihitung sebagai selisih antara dua

data kecepatan sesaat yang berurutan.

Persamaan percepatan rata – rata lalu lintas adalah :

AR = 0,01β8 x (V/C) …………………….……………… (2.18)

Dimana :

AR = percepatan rata – rata

V = volume lalu lintas (smp/jam)

C = kapasitas jalan (smp/jam)

 Simpangan Baku Percepatan (SA)

Merupakan simpangan baku pada percepatan. Persamaan simpangan baku

percepatan adalah :
(a0 + a1)*V/C
SA = SA max (1,04 / (1 + e )) ………………… (2.19)

Dimana :
2
SA = Simpangan baku percepatan (m/s )
2
SA max= Simpangan baku percepatan maksimum (m/s ) (tipikal/default = 0,75)

a0, a1 = koefisien parameter (tipikal/default a0 = 5,140 ; a1 = - 8,264)

V = volume lalu lintas (smp/jam)

C = kapasitas jalan (smp/jam)

 Tanjakan dan Turunan Rata - Rata

Tanjakan rata – rata (RR) adalah tanjakan yang dihitung sebagai nilai rata –

rata dari sejumlah data tanjakan (Ri) dan turunan rata – rata (FR) juga merupakan

76
Universitas Sumatera
turunan yang dihitung sebagai nilai rata – rata dari sejumlah data turunan (Fi) pada

arah pengamatan yang sama. Geometri jalan yang diperhitungkan dalam model

persamaan hanya faktor alinemen vertikal yang terdiri dari tanjakan dan turunan.

Batasan tanjakan dan turunan yang dicakup oleh model persamaan dapat dilihat pada

tabel 2.34 berikut:

Tabel 2.34 Alinemen Vertikal Yang Direkomendasikan

Jenis Alinemen Nilai Minimum Nilai Maksimum


Vertikal (m/km) (m/km)
Tanjakan 0.0 90.0
Turunan -70.0 0.0
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU.

Persamaan tanjakan rata – rata suatu ruas jalan adalah :

………………………………… (2.20)
Persamaan turunan rata – rata suatu ruas jalan adalah :

…………………………….….. (2.21)

Namun apabila data pengukuran tanjakan dan turunan tidak tersedia maka

nilai tipikal (default) seperti dalam tabel 2.35 di bawah dapat digunakan.

Tabel 2.35 Alinemen Vertikal Yang Direkomendasikan Pada Berbagai Medan Jalan

Tanjakan rata - rata Turunan rata - rata


No Kondisi Medan
(m/km) (m/km)
1 Datar 2,5 -2,5
2 Bukit 12,5 -12,5
3 Pegunungan 22,5 -22,5
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

77
Universitas Sumatera
 Derajat Tikungan Rata – Rata

Apabila data pengukuran derajat tikungan untuk suatu ruas jalan tidak

tersedia maka dapat menggunakan nilai tipikal seperti pada tabel 2.36 berikut ini :

Tabel 2.36 Nilai Tipikal Derajat Tikungan Pada Berbagai Medan Jalan

No Kondisi Medan Derajat Tikungan (◦/km)


1 Datar 15
2 Bukit 115
3 Pegunungan 200
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

 Berat Kendaraan (BK)

Berat kendaraan merupakan berat yang dihitung sebagai penjumlahan berat

kendaraan kosong ditambah berat muatan. Batasan berat kendaraan total (dalam ton)

yang dicakup oleh persamaan dapat dilihat pada tabel 2.37 berikut :

Tabel 2.37 Batasan Berat Kendaraan Total yang Direkomendasikan

Jenis Kendaraan Nilai Minimum (ton) Nilai Maksimum (ton)


Sedan 1,3 1,5
Utiliti 1,5 2,0
Bus Kecil 3,0 4,0
Bus Besar 9,0 12,0
Truk Ringan 3,5 6,0
Truk Sedang 10,0 15,0
Truk Berat 15,0 25,0
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

2.10.2.3.2.2 Biaya Konsumsi Oli (BOi)

Merupakan biaya yang dibutuhkan untuk konsumsi oli dalam pengoperasian

suatu jenis kendaraan per kilometer jarak tempuh (Rp/km). Persamaan biaya

konsumsi oli untuk suatu jenis kendaraan adalah :

78
Universitas Sumatera
BOi = KOi x HOj ………………… (2.22)

Dimana :

BOi = Biaya konsumsi oli untuk jenis kendaraan i (Rp/km)

KOi = Konsumsi oli untuk jenis kendaraan i (liter/km)

HOj = Harga oli untuk jenis oli j (Rp/liter)

i = Jenis kendaraan

j = Jenis oli

 Konsumsi Oli (KOi)

Persamaan konsumsi oli untuk masing – masing jenis kendaraan adalah :

KOi = OHKi + OHOi x KBBMi …………………… (2.23)

Dimana :

OHKi = oli hilang akibat kontaminasi (liter/km)

OHOi = oli hilang akibat operasi (liter/km)

KBBMi = konsumsi bahan bakar (liter/km)

Kehilangan oli akibat kontaminasi (OHKi) dihitung dengan persamaan

berikut ini :

OHKi = KPOi / JPOi ....................... (2.24)

Dimana :

KPOi = kapasitas oli (liter)

JPOi = jarak penggantian oli (km)

Nilai tipikal (default) untuk persamaan tersebut di atas dapat dilihat pada

tabel 2.38 berikut :

79
Universitas Sumatera
Tabel 2.38 Nilai Tipikal (default) JPOi, KPOi dan OHOi yang Direkomendasikan

Jenis Kendaraan JPOi (km) KPOi (liter) OHOi (liter/km)


-6
Sedan 2000 3,5 2,8 x 10
-6
Utiliti 2000 3,5 2,8 x 10
-6
Bus Kecil 2000 6 2,1 x 10
-6
Bus Besar 2000 12 2,1 x 10
-6
Truk Ringan 2000 6 2,1 x 10
-6
Truk Sedang 2000 12 2,1 x 10
-6
Truk Berat 2000 24 2,1 x 10
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

2.10.2.3.2.3 Biaya Konsumsi Suku Cadang (BPi)

Merupakan biaya yang dibutuhkan untuk konsumsi suku cadang kendaraan

dalam pengoperasiannya per kilometer jarak tempuh (Rp/km). Adapun data yang

dibutuhkan dalam menghitung konsumsi suku cadang adalah data kerataan

permukaan jalan (IRI) dan harga kendaraan baru. Persamaan untuk menghitung biaya

konsumsi suku cadang adalah sebagai berikut :

BPi = Pi x HKBi /1000000 ................................... (2.25)

Dimana :

BPi = Biaya pemeliharaan (konsumsi suku cadang) kendaraan (Rp/km)

HKBi = Harga kendaraan baru rata-rata (Rp)

Pi = Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga suatu jenis kendaraan

i = Jenis kendaraan.

 Harga Kendaraan Baru

Data harga kendaraan dapat diperoleh melalui survai harga suatu kendaraan

baru jenis tertentu dikurangi dengan nilai ban yang digunakan. Harga kendaraan

dihitung sebagai harga rata-rata untuk suatu jenis kendaraan tertentu. Survai harga

80
Universitas Sumatera
dapat dilakukan melalui survai langsung di pasar atau mendapatkan data melalui

survai instansional seperti asosiasi pengusaha kendaraan bermotor.

 Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru (Pi)

Nilai relatif biaya suku cadang terhadap harga kendaraan baru atau konsumsi

suku cadang untuk suatu jenis kendaraan i dapat dihitung dengan rumus berikut ini :
Ȗβ
Pi = (ϕ + Ȗ1 x IRI) (KJTi/1000000) .................................................. (2.26)

Dimana :

Pi = Konsumsi suku cadang kendaraan jenis i per juta kilometer

ϕ = Konstanta (lihat tabel 2.39)

Ȗ1 & Ȗ2= Koefisien-koefisien parameter (lihat tabel 2.39)

IRI = Kekasaran jalan (m/km)

KJTi = Kumulatif jarak tempuh kendaraan jenis i (km)

i = Jenis kendaraan

Tabel 2.39 Nilai Tipikal ϕ , Ȗ1 dan Ȗ2

Koefisien Parameter
Jenis Kendaraan
ϕ Ȗ1 Ȗ2
Sedan -0,69 0,42 0,10
Utiliti -0,69 0,42 0,10
Bus Kecil -0,73 0,43 0,10
Bus Besar -0,15 0,13 0,10
Truk Ringan -0,64 0,27 0,20
Truk Sedang -1,26 0,46 0,10
Truk Berat -0,86 0,32 0,40
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

81
Universitas Sumatera
2.10.2.3.2.4 Biaya Upah Pemeliharaan Kendaraan (BUi)

Merupakan biaya yang dibutuhkan untuk upah pemeliharaan kendaraan untuk

setiap jenis kendaraan yang dioperasikan dalam jarak tertentu (Rp/km). Biaya upah

perbaikan kendaraan untuk masing-masing jenis kendaraan dihitung dengan

persamaan berikut :

BUi = JPi x UTP/1000 .......................................................... (2.27)

Dimana :

BUi = Biaya upah perbaikan kendaraan (Rp/km)

JPi = Jumlah jam pemeliharaan (jam/1000km)

UTP = Upah tenaga pemeliharaan (Rp/jam)

 Harga Satuan Upah Tenaga Pemeliharaan (UTP)

Data upah tenaga pemeliharaan dapat diperoleh melalui survai penghasilan

tenaga perbaikan kendaraan baik melalui survai langsung di bengkel atau

mendapatkan data melalui instansional seperti dinas tenaga kerja

 Kebutuhan Jam Pemeliharaan (JPi)

Kebutuhan jumlah jam pemeliharaan untuk masing – masing jenis kendaraan

dihitung dengan persamaan berikut :


a1
JPi = a0 x Pi …………….................. (2.28)

Dimana :

JPi = Jumlah jam pemeliharaan (jam/1000km)

Pi = Konsumsi suku cadang kendaraan jenis i

a0, a1 = Konstanta

Nilai tipikal (default) untuk model parameter persamaan jumlah jam

pemeliharaan seperti pada tabel 2.40 berikut :

82
Universitas Sumatera
Tabel 2.40 Nilai Tipikal a0 dan a1

No Jenis Kendaraan ao a1
1 Sedan 77,14 0,547
2 Utiliti 77,14 0,547
3 Bus Kecil 242,03 0,519
4 Bus Besar 293,44 0,517
5 Truk Ringan 242,03 0,519
6 Truk Sedang 242,03 0,517
7 Truk Berat 301,46 0,519
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

2.10.2.3.2.5 Biaya Konsumsi Ban

Merupakan biaya yang dibutuhkan untuk konsumsi ban dalam pengoperasian

suatu jenis kendaraan per kilometer jarak tempuh (Rp/km).

Biaya konsumsi ban dapat dihitung dengan persamaan berikut ini :

BBi = KBi x HBj /1000 ........................................... (2.29)

Dimana :

BBi = Biaya konsumsi ban untuk jenis kendaraan i (Rp/km)

KBi = Konsumsi ban untuk jenis kendaraan i (EBB/1000km)

HBj = Harga ban baru jenis j (Rp/ban)

i = Jenis kendaraan

j = Jenis ban

 Konsumsi Ban (KB)

Rumus untuk menghitung konsumsi ban untuk setiap jenis kendaraan adalah :

KBi = χ + δ1 x IRI + δ2 x TTR + δ3 x DTR ............................. (2.30)

Dimana :

χ = Konstanta (lihat tabel 2.41)

83
Universitas Sumatera
δ1 ... δ3 = Koefisien-koefisien parameter (lihat tabel 2.41)

TTR = Tanjakan+turunan rata-rata

DTR = Derajat tikungan rata-rata

Untuk nilai tipikal χ, δ1, δ2 dan δ3 dapat dilihat pada tabel 2.41 berikut :

Tabel 2.41 Nilai Tipikal χ, δ1, δ2 dan δ3

IRI TTR DTR


Jenis Kendaraan χ
δ1 δ2 δ3
Sedan -0,01471 0,01489 - -
Utiliti 0,01905 0,01489 - -
Bus Kecil 0,02400 0,02500 0,003500 0,000670
Bus Besar 0,10153 - 0,000963 0,000244
Truk Ringan 0,02400 0,02500 0,003500 0,000670
Truk Sedang 0,095835 - 0,001738 0,000184
Truk Berat 0,158350 - 0,002560 0,000280
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

 Tanjakan dan Turunan (TT)

Perhitungan nilai tanjakan + turunan (TT) merupakan penjumlahan nilai

tanjakan rata-rata (FR) dan nilai mutlak turunan rata-rata (RR). Nilai tanjakan dan

turunan rata-rata dihitung dengan menggunakan persamaan berikut :

TT = FR + RR ………….…….. (2.31)

Apabila data pengukuran tanjakan+turunan tidak tersedia maka nilai tipikal

(default) seperti pada tabel 2.42 di bawah dapat digunakan.

Tabel 2.42 Nilai Tipikal Tanjakan dan Turunan (TTR) pada Berbagai Medan Jalan

No Kondisi Medan TTR (m/km)

1 Datar 5
2 Bukit 25
3 Pegunungan 45
Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

84
Universitas Sumatera
 Derajat Tikungan

Nilai tipikal derajat tikungan yang dapat dipakai jika data pengukurannya

tidak tersedia dapat dilhat pada tabel 2.43 berikut :

Tabel 2.43 Nilai Tipikal Derajat Tikungan (DTR) Pada Berbagai Medan Jalan

No Kondisi Medan Derajat tikungan (◦/km)

1 Datar 15

2 Bukit 115

3 Pegunungan 200

Sumber : Pd T-15-2005-B, Departemen PU

2.10.2.3.2.6 Biaya Tidak Tetap Besaran BOK (BTT)

Sehingga biaya tidak tetap besaran BOK dapat dihitung dengan

menjumlahkan semua komponen biaya tidak tetap seperti persamaan berikut :

BTT = BiBBMj + BOi + BPi + BUi + BBi ............................ (2.32)

2.10.2.3.3 Biaya Tidak Terduga (Overhead)

Biaya overhead adalah biaya yang secara tidak langsung dikeluarkan oleh

pemilik kendaraan atau pengusaha angkutan penumpang yang akan dipergunakan

untuk keperluan biaya operasional kendaraan dan biaya keperluan kantor lainnya.

Berdasarkan Perpres no. 54 pasal 66 dalam Zulkifli Ramadhan (2014) dikatakan

bahwa biaya overhead yang dianggap wajar bagi penyedia adalah 10 hingga 15%

dari BOK. Sesuai dengan namanya biaya ini sebenarnya tidak masuk dalam

perhitungan tetapi pada prakteknya biaya ini selalu ada. Umumnya biaya ini timbul

karena manajemen yang tidak baik, kecelakaan, dan sebagainya.

85
Universitas Sumatera
2.10.2.4 Penghematan Nilai Waktu Perjalanan

Nilai waktu atau nilai penghematan waktu didefinisikan sebagai jumlah uang

yang rela dikeluarkan oleh seseorang untuk menghemat satu satuan waktu perjalanan

(Hensher, et.al 1989 dalam Tommy Putra Armada, 2014). Besarnya nilai waktu bagi

pengguna jalan merupakan gambaran dari layanan konsumen yang diberikan oleh

jalan kepada pengguna jalan tersebut (LPKM-ITB, 1997 dalam Tommy Putra

Armada, 2014). Penghematan nilai waktu perjalanan diperoleh dari selisih

perhitungan waktu tempuh untuk kondisi dengan proyek (with project) dan tanpa

proyek (without project). Nilai waktu yang digunakan dapat ditetapkan dari hasil

studi nilai waktu yang menggunakan metode produktivitas, stated preference atau

revealed preference.

 Metode produktivitas adalah metode penetapan nilai waktu yang

menggunakan nilai rata-rata penghasilan atau product domestic regional

bruto (PDRB) per kapita per tahun yang dikonversi ke dalam satuan nilai

moneter per satuan waktu yang lebih kecil (Rp/jam).

 Metode stated preference adalah nilai waktu yang diperoleh melalui

wawancara individu untuk kondisi hipotetikal tentang berbagai skenario

waktu dan biaya perjalanan.

 Metode revealed preference adalah nilai waktu yang diperoleh dari kenyataan

pilihan perjalanan yang terjadi dan dikaitkan dengan biaya perjalanan.

Metode yang digunakan dalam menghitung nilai waktu pada penelitian ini

adalah metode produktivitas yaitu menggunakan data pendapatan PDRB Aceh.

Nilai Waktu = Pendapatan Orang Per Tahun / Waktu Kerja ….. (2.33)

86
Universitas Sumatera
Nilai waktu merupakan nilai rupiah per orang yang dihitung dalam satuan

jam (Rp/jam). Sedangkan pendapatan orang pertahun merupakan pendapatan

perkapita yang dihitung dengan membagikan nilai PDRB terhadap jumlah penduduk

(PDRB/Jlh Penduduk) dalam satuan rupiah (Rp). Dan waktu kerja selama setahun

dihitung berdasarkan jam dan hari kerja yaitu 8 jam selama satu hari dan 300 hari

kerja selama satu tahun (8 x 300 = 2400 jam).

Maka besar penghematan nilai waktu perjalanan dalam rupiah (Rp) pada

suatu ruas jalan selama satu tahun dapat dihitung dengan persamaan berikut :

P = Nilai Waktu x Selisih Waktu x LHR x L x H ……………….. (β.γ4)

Dimana :

P = Penghematan nilai waktu perjalanan selama 1 tahun (Rp)

LHR = Lalu lintas harian (kend/jam)

L = Panjang jalan (km)

H = Jumlah hari kerja dalam 1 tahun (300 hari)

Selisih waktu tempuh merupakan selisih waktu tempuh dengan proyek dan tanpa

proyek (t1 – t2 ) dimana t1,2 = L1,2/V1,2 (L= Panjang segmen jalan ; V= Kecepatan

kendaraan).

87
Universitas Sumatera

Anda mungkin juga menyukai