Anda di halaman 1dari 8

Nama : Sajan Wali

NIM : 202113028

Mata Kuliah : Ilmu Pengatar Hukum

Tugas Argumentasi Hukum Penundaan Pilkada 2020-2021

Penundaan Pilkada 2020 bukanlah hal yang pertama terjadi sebelumnya telah tercatat dalam
lintasan sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia pernah ditunda di beberapa wilayah yaitu Pilkada
di 11 kabupaten dan 3 kota di Aceh pada 2005 pernah ditunda karena saat itu Aceh sedang fokus pada
proses penanggulangan pascabencana gempa dan tsunami pada 2004 Kemudian di Kota Yogyakarta
2006 ditunda karena terjadi gempa bumi 1,5 bulan sebelum pilkada.

Kini dalam kondisi pandemi Covid-19, setidaknya opsi menunda pilkada adalah pilihan yang rasional
yang justru kemudian menjadi perdebatan ialah sampai kapan pilkada di tunda? Ada 3 opsi yang
berkembang berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan suara Opsi pertama dilakukan 9 Desember
2020 (ditunda 3 bulan), opsi kedua dilakukan 17 Maret 2021 (di tunda 6 bulan), dan opsi ketiga
dilakukan 29 September 2021 (ditunda setahun).Dalam perkembangan, opsi ketiga cenderung lebih
dipilih karena relatif waktu persiapannya panjang serta belum terkonfirmasi secara pasti sampai kapan
pandemi ini akan berakhir.

Opsi Baru

Tiga opsi di atas belum final dan masih memungkinkan adanya opsi baru Jika pilihannya hanya tiga opsi
di atas, maka relevan untuk memunculkan opsi baru yaitu menunda Pilkada 2020 dan kemudian
melaksanakannya pada 2024 Ada beberapa pertimbangan.

Pertama, para calon kepala daerah baik yang baru pertama maju maupun incumbent baik yang
berasal dari jalur partai politik maupun jalur perseorangan akan berhitung ongkos politik serta program
kerja Jika pilkada dilaksanakan pada 2021, berarti kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih hanya
akan menjabat kurang lebih sekitar 2,5 tahun karena pada 2024 akan digelar Pilkada Serentak
berbarengan dengan Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif.Dengan biaya politik yang mahal, calon
kepala daerah bisa jadi akan menganggap tidak sepadan dengan masa jabatan yang singkat Selain itu
kepala daerah dan wakil kepala daerah juga tidak dapat optimal menjalankan program kerjanya dengan
masa jabatan yang singkat.

Kedua, merujuk Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Pikada mengatur bahwa kepala daerah dan
wakil kepala daerah memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan Dengan
aturan tersebut seharusnya kepala dan wakil kepala daerah terpilih (asal tidak terjerat kasus hukum
mendapatkan haknya selama ima tahun Selain itu, juga akan berdampak hukum lain terutama bagi
penghitungan masa jabatan.Jika membaca politik hukum UU Pikada, satu periode jabatan itu terhitung 5
tahun Artinya kalau hanya menjabat 2,5 tahun dapat dianggap belum satu periode.

Ketiga, jika pilkada tetap dilaksanakan pada 2021, maka hanya berselang 3 tahun setelahnya yaitu
pada 2024 akan digelar pilkada lagi Artinya dalam jangka waktu 3 tahun akan ada dua kal
penyelenggaraan pilkada Tentu saja hal ini akan memboroskan anggaran ini belum termasuk biaya sosial
yang harus ditanggung seperti adanya gesekan pendukung antar calon, potensi konflik horizontal, serta
banyaknya gugatan sengketa hasil pikada ke Mahkamah Konstitusi.

Berikut rangkuman sederet potensi bahaya pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang telah
disuarakan berbagai elemen masyarakat.

a.Potensi Klaster Jumbo

Epidemiolog dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra khawatir
perhelatan pilkada di saat pandemi akan menciptakan klaster baru penularan Covid-19.Kekhawatir
beliau terhadap kegiatan pilkada yang selalu mengundang kerumunan jadi sarana penularan virus.
Terlebih lagi tak ada upaya serius dari pemerintah untuk memastikan pilkada berjalan dengan diiringi
protokol kesehatan secara ketat. Karenanya, dia cemas pemungutan suara nanti jadi klaster baru
penularan virus corona.

b.Digelar di Puncak Pandemi

Pada tangan 21 September 2021 mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengusulkan penundaan
pilkada karena kondisi pandemi belum terkendali. Ia merujuk pada pendapat para ahli bahwa puncak
pandemi di Indonesia akan terjadi pada Desember 2020 atau bertepatan dengan musim hujan.Dan
beliau juga menjabat Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) itu menyarankan pemungutan suara pilkada
ditunda hingga ada vaksin. Dengan demikian, penularan bisa dicegah semaksimal mungkin.

c Marak Golput

Pilkada di tengah pandemi tak hanya berbahaya bagi kesehatan. Peneliti LIPI Wasisto Raharjo
menyebut ada dampak besar bagi demokrasi jika meneruskan pilkada saat pandemi.Ia memprediksi
angka golput atau orang yang tidak memilih dalam Pilkada Serentak 2020 akan meningkat. Ia
memprediksi hal itu dengan melihat kecenderungan di sejumlah negara.PKB mengatakan penundaan
Pilkada suatu cara bila Ingin turunkan kasus Corona-19. Pengamat memprediksi banyak masyarakat yang
enggan menyalurkan hak suaranya di pilkada karena cemas tertular virus corona.Menurutnya, ada
sekitar 28 negara yang menggelar pemilu saat pandemi hingga September 2020. Sebagian besar di
antaranya dinilai gagal karena angka partisipasi pemilihnya berkurang.Yaitu Kroasia -10 persen,
Singapura -5 persen Iran -15 persen. Kalau membaca angka global tersebur, potensi golput (di Pilkada
Serentak 2020) . Mengenai hal iniWasisto mengutip sejumlah jurnal ilmiah untuk menemukan solusi
menekan golput saat pandemi. Menurutnya, beberapa cara menekan golput saat pandemi adalah
pemilu lewat pos, pemilu online, dan pemilihan lebih awal (early voting). Namun tak ada satupun dari
solusi itu yang diterapkan Indonesia.

d.Kecurangan

Pada tanggal 27 Oktober 2021 Direktur Eksekutif, Indonesian Democratic (IDE) Center, C. David
Kaligis memprediksi pilkada di tengah pandemi akan sarat kecurangan. Sebab gerak masyarakat untuk
memantau setiap tahapan akan terbatas.Menurutnya, kecurangan yang berpotensi dilakukan adalah
politik uang, pengerahan aparatur negara, penggunaan fasilitas negara, serta penggelembungan suara
dalam proses rekapitulasi suara dan dalam penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi juga
mengandung bahaya bagi para penyelenggara. Pada September lalu, 96 petugas Bawaslu Boyolali positif
corona. Tugas mereka pun sempat terhambat beberapa saat.Sebanyak 22 pegawai KPU Bali juga positif
Covid-19 selama pandemi. Di KPU RI, tiga dari tujuh orang komisioner sempat positif Covid-19. Mereka
tertular dalam acara-acara terkait pilkada.Tak hanya soal penularan, ancaman bagi penyelenggara juga
soal keselamatan. Badan Pengawas Pemilu menyebut puluhan petugasnya mengalami kekerasan saat
membubarkan kerumunan kampanye yang tak sesuai protokol kesehatan.Anggota Bawaslu RI
Mochammad Afifuddin mengatakan bahwa yang tercatat di Bawaslu setidaknya 31 orang pengawas
pemilu di 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada mendapat kekerasan saat menjalankan tugas.

Perspektif Beberapa Tokoh Mengenai Penundaan Pilkada 2020-2021

1.Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pada tanggal 14 April 2020 menghadiri rapat kerja
dengan DPRD RI serta rapat dengar pendapat bersama Penyelenggara Pemilu, beliau menyampaikan
bahwa pihaknya berada dalam opsi optimisme melakukan Pilkada 2020 pada tahun yang sama. Akan
tetapi, tidak ada satu negara pun yang dilanda virus Corona, termasuk Indonesia bisa memastikan kapan
vaksin ditemukan dan pandemi global ini berakhir.Jika masa tanggap darurat Covid-19 yang telah
ditetapkan oleh Gugus Tugas Pusat tanggal 29 Mei 2020 telah selesai akan dilaksanakan rapat kembali
bersama antara Penyelenggara Pemilu, DPR, dan Pemerintah. Semua peserta raker dan RDP juga
menyepakatan bahwa yang menjadi patokannya adalah ketika pandemi Covid-19 dinyatakan sudah
selesai oleh pemerintah maka sisa tahapan pilkada serentak bisa dilanjutkan.Dalam rapat tersebut,
Mendagri juga menyampaikan skenario kedua, bila Pilkada serentak itu tetap harus digelar tahun depan,
itu pun harus disetujui bersama oleh Penyelenggara Pemilu, DPR dan pemerintah. “Kalau tidak bisa
(digelar pada 2020) maka pada 2021, tapi harus ada kesepakatan antara penyelenggara Pemilu,
pemerintah dan DPR. Jadi di akhir masa tanggap darurat Covid-19 atau setelah tanggal 29 Mei 2020,
harus ada pertemuan lagiAtas hal tersebut, Mendagri menyampaikan bahwa dalam Perppu akan
disebutkan dalam hal Desember 2020 tidak bisa dilaksanakan, selambat-lambatnya dilaksanakan tahun
2021.

2.Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan, pihaknya
tidak bisa secara sepihak memutuskan untuk menunda Pilkada 2020.Sesuai bunyi ketentuan perundang-
undangan, kata Raka, penundaan pilkada harus melalui kesepakatan bersama antara KPU, pemerintah,
dan DPR.Hal ini disampaikan Raka dalam merespons Ketua MPR Bambang Soesatyo yang meminta
pemerintah mempertimbangkan penundaan penyelenggaraan Pilkada 2020.

"KPU tentu terikat pada keputusan bersama sebagaimana diatur dalam Perppu 2/2020 yang kemudian
diundangkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020. Jadi tentu tidak ada pilihan lain, kecuali nanti keputusan
itu diubah,"

Ketentuan yang dimaksud Raka tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu) Nomor 2 Tahun 2020.Perppu itu telat ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2020.Pasal 201A Ayat (2) Perppu tersebut berbunyi, pemungutan suara serentak yang sempat tertunda
akibat bencana non-alam akan dilaksanakan pada Desember 2020.Namun, Pasal 201A Ayat (3)
mengatakan, "Dalam hal pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tidak dapat
dilaksanakan, pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana
non-alam sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 122A".Adapun Pasal 122A Ayat (2) berbunyi, "Penetapan penundaan tahapan pelaksanaan
pemilihan serentak serta pelaksanaan pemilihan serentak lanjutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dilakukan atas persetujuan bersama antara KPU, pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat".Berdasarkan kesepakatan terakhir antara KPU, pemerintah dan DPR, kata Raka, diputuskan
bahwa Pilkada 2020 akan tetap dilanjutkan.

3.Deputi Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur
Agustyati mendorong agar pemerintah menunda penyelenggaraan pilkada hingga 2021.Menurut
Khoirunisa, pelaksanaan pilkada yang direncanakan pada Desember 2020 berisiko tinggi terhadap
kesehatan penyelenggara dan peserta pemilu.Sebab, ia menilai pengendalian Covid-19 di tanah air
belum bisa dikatakan berhasil.Dia mengatakan, banyak potensi persoalan yang mesti jadi perhatian
pemerintah ketika merencanakan penyelenggaraan pilkada pada Desember 2020.Misalnya, pelaksanaan
proses verifikasi faktual terhadap calon kepala daerah dan kampanye para calon.Kemudian, pencocokan
dan penelitian (coklit) daftar pemilih serta biaya penyelenggaraan pemilu yang kemungkinan butuh
anggaran ekstra untuk jaminan kesehatan.Khoirunisa pun mengatakan Perppu Nomor 2 Tahun 2020
tentang Pilkada tidak memberikan solusi atas persoalan-persoalan tersebut.

4.Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mihkael Raja Muda
Bataona mengatakan ide penundaan Pilkada 2020 dengan alasan kenaikan tren penularan COVID-19
adalah ide lemah dari aspek data dan fakta empirik. Ide tersebut terlalu generalis dan menggampangkan
persoalan karena ini urusan bernegara apalagi menyangkut nasib banyak orang di ratusan
kabupaten/kota yang harus menentukan nasib wilayahnya bukanlah urusan yang gampang dan
sederhana karena setiap orang berhak bicara tetapi tidak boleh terlalu emosional yang tidak didukung
oleh basis argumentasi yang kuat .

5.Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Agus Riwanto
mengatakan meskipun penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 akan diundur akibat pandemi Covid-19,
namun ia melihat ada sejumlah resiko jika tetap dihelat tahun ini. Penyelenggaraan Pilkada serentak
juga terkesan dipaksakan.Menurut beliau penyelenggaraan Pilkada serentak tidak hanya ditekankan
pada pergantian kepemimpinan politik di daerah saja. Namun hal yang lebih penting dan harus menjadi
perhatian adalah resiko dari tingkat partisipasi publik.Selain itu, dalam dinamika penundaan Pilkada
serentak tahun 2020, beliau melihat adanya peluang KPU sebagai penyelenggara Pemilu tidak
independen. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya campur tangan DPR dan pemerintah dalam
pelaksanaan Pilkada yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh KPU.Sebelumnya,
penyelenggaraan Pilkada serentak tahun ini tidak dapat dihelat sesuai jadwal. Rencana awal, Pilkada
serentak akan digelar September tahun 2020, diundur menjadi Desember.

Keputusan pengunduran Pilkada serentak diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020.Setelah Pemerintah
menerbitkan penundaan Pilkada melalui PERPPU Nomor 2 Tahun 2020, KPU secara marathon
menyiapkan skenario Pemilihan lanjutan. Langkah KPU ini seolah ingin segera menyelenggarakan
Pilkada di tengah pandemi covid. KPU sepenuhnya mendasarkan pada amanah PERPPU yang menunda
pemungutan suara hingga bulan Desember 2020. Apalagi selaku penyelenggara Pilkada, KPU telah lebih
dulu berinisiatif melakukan penundaan sebulan sebelum PERPPU terbit.Belakangan ini ruang diskusi
publik dipenuhi dengan perdebatan kapan kepastian KPU menyelenggarakan Pilkada, 2020 atau 2021?
Pihak yang bermadzhab 2020, berpandangan bahwa penentuan waktu yang telah definitif di PERPPU
semestinya menjadi pijakan untuk menggelar Pilkada. Kondisi pandemi yang belum berujung akhir,
mengharuskan kita hidup dengan normal baru. Korsel ditempatkan sebagai kisah sukses Pemilu di
tengah covid yang mampu mendongkrak kehadiran warga ke TPS.Sedangkan madzhab 2021 melihat
bahwa Pilkada belum layak digelar tahun ini karena grafik penyebaran covid masih menanjak. Negara
rujukan yang telah melaksanakan Pemilu, memiliki kondisi yang berbeda dengan Indonesia. Adapun
secara hukum, PERPPU memungkinkan Pilkada digelar tahun depan.Di antara perdebatan dua madzab di
atas, tulisan ini hendak menghitung konsekuensi teknis jika Pilkada dihelat baik di tahun 2020 ataupun
2021.Penundaan Pilkada tidak hanya mengubah jadwal waktu, namun juga mendorong penyesuaian
dengan protokol kesehatan yang ketat. Sebagai contoh, pemutakhiran data pemilih secara door to door
oleh petugas ke rumah penduduk, tidak hanya beresiko menambah persebaran covid, namun juga
berpotensi menghadapi resistensi masyarakat. Bila model pendataan diganti berbasis RT/RW, maka KPU
harus merombak peraturannya yang dapat membingungkan dalam pelaksanaan verifikasi faktual
dukungan calon perseorangan. Karena PERPPU tidak mengatur perubahan di level teknis, KPU tetap
harus melakukan verifikasi dengan menanyakan langsung kebenaran dukungan terhadap calon
perseorangan secara sensus.Pemanfaatan teknologi informasi seperti video call atau mengumpulkan
pendukung di suatu lokasi dengan menerapkan protokol kesehatan adalah pilihan realistis. Dua tahapan
ini, dapat dilakukan baik di tahun 2020 maupun 2021. Pertaruhannya lebih pada kualitas data pemilih
dan hasil verifikasi yang mungkin kurang optimal jika dilaksanakan tahun ini.Berkaitan dengan anggaran,
konsekuensi yang tak terhindarkan adalah membengkaknya kebutuhan untuk menjalankan sejumlah
tahapan dengan protokol kesehatan. Sejak awal, anggaran Pilkada disetting untuk keadaan normal.
Kegiatan yang mempertemukan maupun mengumpulkan petugas dengan pemilih di masa pandemi
seperti verifikasi faktual dan pemungutan suara, membutuhkan minimal masker, sarung tangan dan
hand sanytizer untuk petugas dalam jumlah besar.Untuk penganggaran, dua opsi bisa dipilih. Jika tidak
tersedia anggaran karena pemda sedang fokus menangani covid, maka KPU bisa menyiasati dengan
optimalisasi dari anggaran lain. Namun, cara ini berpotensi mengurangi kualitas tahapan lain. Pilihannya,
Pilkada dilaksanakan tahun depan dengan perencanaan anggaran baru.Sumber daya manusia yang
dibutuhkan oleh KPU untuk menyelenggaran Pilkada sangat besar. Dari akumulasi 3 Kabupaten di DIY,
Sleman, Bantul dan Gunungkidul, jumlah sementara TPS adalah 4.792 sehingga dibutuhkan kurang lebih
43.128 petugas di TPS.Merekrut orang dalam jumlah besar di tengah kondisi belum normal merupakan
tantangan yang tidak ringan. Selain itu, dibutuhkan pula pelatihan yang intensif karena protokol
kesehatan membuat prosedur pemungutan suara sedikit berubah, misalnya dengan mengatur kehadiran
pemilih, penggunaan alat coblos dan lainnya.Demikian halnya dengan pemilih, yang akan berpikir ulang
mendatangi bilik suara untuk mengekspresikan hak pilihnya. Kondisi ini berpotensi menurunkan angka
partisipasi pemilih. Mengubah cara pemilihan misalnya melalui pos, juga belum memungkinkan secara
regulasi meskipun Pemilu 2019 sudah mengakomodirnya untuk pemilih di luar negeri.Apapun, kelebihan
dan kelemahan teknis penyelenggaraan Pilkada 2020 dan 2021 akan menjadi pertimbangan KPU untuk
menyiapkan skenario keduanya. Jika pemegang otoritas atas pandemi covid menyatakan Pilkada dapat
digelar tahun ini atau sebaliknya harus tahun depan, maka KPU harus mampu menyiapkan perencanaan
sebaik mungkin tanpa mengurangi kualitas Pilkada.Dengan diterbitkan Peraturan KPU Nomor 6 Tahun
2020 pasal 72, pemilih yang berstatus pasien positif Covid-19 dijamin masih bisa menggunakan hak
pilihnya.Termasuk dalam hal ini, pasien yang sedang menjalani rawat inap di rumah sakit, sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 72 ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut:

"Pemilih yang sedang menjalani Rawat Inap, Isolasi Mandiri dan/atau positif terinfeksi Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) berdasarkan data yang diperoleh dari perangkat daerah yang
menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) di wilayah setempat, dapat menggunakan hak pilihnya di TPS yang berdekatan
dengan rumah sakit,"
Pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS dekat rumah sakit, ditentukan berdasarkan hasil
koordinasi antara KPU Kabupaten/Kota dibantu oleh PPK dan/atau PPS bekerja sama dengan pihak
rumah sakit dan Satgas Covid-19.Pendataan Pemilih yang akan menggunakan hak pilih di rumah sakit
paling lambat 1 (satu) hari sebelum hari Pemungutan Suara.KPU Kabupaten/Kota kemudian menugaskan
PPK atau PPS untuk menyiapkan TPS yang akan melayani pemilih tersebut, dengan mempertimbangkan
jumlah Pemilih yang akan menggunakan hak pilih dan ketersediaan Surat Suara.KPU Kabupaten/Kota
kemudian memberikan formulir Model A.5-KWK kepada Pemilih tersebut, paling lambat 1 (satu) hari
sebelum hari Pemungutan Suara.Bagi TPS yang ditunjuk untuk melayani pemilih tersebut, ketua KPPS
menugaskan anggota KPPS paling banyak 2 (dua) orang dan dapat didampingi oleh Panwaslu
Kelurahan/Desa atau Pengawas TPS dan Saksi dengan membawa perlengkapan Pemungutan Suara
mendatangi tempat Pemilih yang bersangkutan di rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai