Anda di halaman 1dari 2

Nama : Ari Yosefin Simanjuntak

Nim : 17.3226
Mata Kuliah : Teologi Sosial
Dosen : Pdt.Dr Riris Johana Siagian. M.Si

Agama Sebagai Institusi Dalam Dilema

1. Pendahuluan
Buku ini menjelaskan bahwa agama berkembang sebagai suatu organisasi, bahkan
berbentuk institusi (lembaga), adalah hal yang wajar. Sebagaimana telah diterangkan di atas
proses yang demikian itu merupakan tuntutan dari agama itu sendiri. Tegasnya, demi
lestarinya agama itu sendiri dan berkat kedudukan- nya yang mapan serta organisasinya yang
kuat dan rapi agama tersebut memperoleh jaminan yang pasti bahwa tugasnya yang mulia itu
dapat men- capai hasil semaksimal mungkin. Apalagi adanya kesadaran yang menda- lam
dari semua umat beragama bahwa agamanya dipanggil Tuhan untuk melayani kebutuhan
manusia yang terdalam (yaitu kebutuhan akhirat) yang tidak boleh dilalaikan sedikit pun
untuk tetap berjuang mencapainya. Untuk kepentingan yang "luar biasa'" itu (supra-empiris)
harus ada jaminan yang absolut yang sanggup memberikan rasa aman yang mendalam.

2. Pembahasan

Jika agama mempertahankan kemurnian pendirinya sepanjang masa, dalam pagar-


pagar kepranataan yang tak tertembus oleh pemikiran baru maka kharisma itu tidak akan
tersentuh dan berkembang, yang berakibat agama itu sendiri akan kehilangan daya tariknya
karena tidak dapat memberikan kekayaan agama itu sesuai dengan tuntutan zaman.1
Kemudian disisi lain Kharisma itu akan mengalami erosi dan kehilangan popularitasnya.

Jalan keluarnya adalah dengan mengambil jalan tengah, bentuk kepemimpinan


merupakan suatu gabungan dari kepemimpinan karismatik dan rasional. Dalam kenyataannya
pemimpin agama lantas merupakan kombinasi dari kekuasaan agama dan kekuasaan
masyarakat, dan bentuk kepemimpinan yang terjadi bahwa kekuasaan agama sama dengan
kekuasaan Negara.2

Dengan adanya ajaran (ideologi) agama yang bercampur dengan system budaya
masyarakat setempat, jiwa konservatisme asli (setempat) bertumbuh dan bertambah kokoh,

1
Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik, (PT Pustaka Utama Grafiti, 1993),123
2
Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler, (Yogyakarta: PT UII Press,1998), 65
karena mendapat pupuk yang baik dari konservatisme agama yang bersangkutan.3 Kehidupan
agama yang dikendalikan oleh pemimpin yang religius bersama dengan pemimpin sekuler
(profan) mengundang munculnya intoleransi (tidak tenggang rasa) terhadap golongan lain.
Persekutuan pemimpin agama dengan pemimpin masyarakat mendatangkan sikap- sikap
intoleransi dan membuat agama itu sendiri tak berfungsi baik (disfungsional), dan situasi ini
menimbulkan gerakan anti agama.4

Unsur-unsur keagamaan lain yang menimbulkan dilemma, misalnya peraturan-


peraturan moralistis yang dikeluarkan berabad-abad yang lalu namun masih berlaku bagi
umat yang hidup dalam zaman modern. Dari penelusuran tentang luasnya dan dalamnya
permaslahan yang dihadapi semua agama dapat ditarik kesimpulan bahwa agama sebagai
fenomena sosial yang berbentuk institusi mendatangkan bukan saja berkat tetaoi juga laknat
bagi masyarakat, dan usaha untuk menghilangkan dan sekurang- kurangnya menipiskan
laknat itu harus ditempuh melalui rintangan-rintangan yang dilemmatik.

3. Kesimpulan

Agama berkembang sebagai suatu organisasi, bahkan berbentuk institusi (lembaga),


adalah hal yang wajar. Disisi lain, sekali agama masuk dalam sistem kelembagaan dan
menjadi suatu hal yang rutin, maka agama itu akan menghadapi kesulitan yang dihadapinya,
tetapi lebih tepat disebut “dilema”. Konsolidasi para elite politik, tokoh keagamaan dan aktor
yang memiliki akses terhadap sumber informasi dapat menjadi pilar dalam
mentransformasikan isu-isu identitas keagamaan yang masih berada pada tataran klaim
kebenaran (truth claim) dan potensial memicu konflik untuk diarahkan kepada halhal yang
lebih konstruktif melalui pemanfaatan ikatan afektif (ummat) yang telah tersedia.

Umat beragama hendaknya meningkatkan kesadarannya akan nilai-nilai demokrasi,


untuk membuktikan bahwa agama mempelopori perwujudan cita-cita demokrasi ke dalam
dan ke luar. Tugas-tugas keagamaan yang sifatnya tidak memerlukan jabatan imamat khusus
hendaknya diserahkan kepada kaum awam. Penanggulangan krisis kewibawaan melalui jalur
ilmu antara lain, kesediaan pimpinan agama untuk mendorong pengadaan penelitian
mengenai masalah penggembalaan umat dari pandangan sosiologis dan menggunakan
kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan.

3
Andrew M, Agama Suatu Teori Sekuler, (PT Erlangga,1988), 45
4
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Kanisius:BPK Gunung Mulia,1983)

Anda mungkin juga menyukai