Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KEWARGANEGARAAN
“KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA”

DISUSUN OLEH :
Kelompok 4
Kelas : 2D-D3TE
Alief Albar Maulana 2031110054
David Adi Karunia 2031110008
Febrian Akbar Habibi 2031110065
Gilang Wirawan Putra 2031110106
Kholid Irsan Rangkuti 2031110044
Muhammad Qaedi Rifki 2031110051

PROGRAM STUDI DIII - TEKNIK ELEKTRONIKA


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2021
DAFTAR ISI
Daftar Isi ..............................................................................................................
(3)
Kata Pengantar……………………………………………………..……………………….
(4)
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................
(4)
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................
(5)
1.2 RumusanMasalah………………………………………………………………….……
(6)
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………
(6)
1.4 Manfaaat……………………………………………………………………...……………
(7)
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................
(7)
2.1 Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia...........................................
(8)
2.2 Klasifikasi Pelanggaran HAM di Indonesia...............................................
(8)
2.2.1 Genosida................................................................................................
(8)
2.2.2 Kejahatan Kemanusiaan………………………………………………….….
(9)
2.3 Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia...........................
(9)
2.3.1 Kasus Marsinah (1993)…………………...............................................
(12)
2.4 Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia………......................
(12)
2.4.1 Periode Tahun 1945-1950................................................................
(13)
2.4.2 Periode Tahun 1950-1959………………………………………………….
(13)
2.4.3 Periode Tahun 1959-1966………………………………………………….
(14)
2.4.4 Periode Tahun 1966-1998…………………………….……………………
(15)
2.4.5 Periode Tahun 1998-Sekarang……………………………………………
(16)
2.5 Faktor Penyebab Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia.....................
(18)
2.6 Solusi dan Pendapat dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia...
(18)
2.6.1 Solusi Represif………………………………………………………………...………
(19)
2.6.1 Solusi Preventif……………………………………………………………………….
(20)
2.7 Penyelesaian dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia................
(21)
BAB III PENUTUP ……….....................................................................................
(21)
3.1 Kesimpulan ....................................................................................................
(22)
3.2 Saran ................................................................................................................
(24)
Daftar Pustaka ..................................................................................................

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mempelajari mengenai HAM di Indonesia.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga
kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu kami berharap kepada para pembaca untuk memberikan
masukanmasukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Malang, 9 Desember 2021

Penyusun

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang di berikan keistimewaan
yang tidak dimiliki oleh mahluk hidup lainnya yaitu akal budi dan nurani. Keistimewaan itulah
yang menjadi dasar manusia bisa membedakan benar dan salah dalam berperilaku dan bertindak.
Manusia juga mempunyai kehendak bebas yang tidak boleh dilanggar dengan batasan selama
kehendak bebas ini juga tidak melanggar kehendak bebas manusia lainnya. kehendak bebas ini
disebut hak, hak tersebut sudah melekat pada diri setiap manusia semenjak awal dilahirkan yang
berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, hak itu lebih dikenal
dengan nama hak asasi manusia.

Memperbincangkan marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan


selama dekade terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat
alasan pasti untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya
yang tidak pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara pasti oleh siapa ia
dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak dapat diketahui dengan jelas, apakah
pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian fakta,
penyidikan polisi, pengadilan sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya secara
tuntas dan memuaskan. Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan dihukum, orang
tak percaya begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai kini, lebih dari satu
dasawarsa berselang.

Barangkali memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini,
melainkan jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang rumit.
Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis menyanjungnya sebagai
teladan kaum pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu aparat setempat konon merekayasa
penyidikan sekaligus membuat skenario pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu
dalam rangkaian pengungkapan kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi manusia

4
menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Termasuk para seniman yang
mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan, panggaung teater dan seni rupa instalasi;
para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dan khalayak
awam yang prihatin dan simpati memberi sumbangan bagi keluarganya.

Pada aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak
akan banyak tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak gencar
diberitakan oleh media massa. Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib malang” jutaan buruh
perempuan yang menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat berupah rendah,
berkondisi kerja buruk sekaligus tak terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan artikulasi
pembunuhannya menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai kepentingan dan
hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya masyarakat,
birokrasi militer, kepolisian dan sistem peradilan.

Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang
penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai
upaya menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan
kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena semakin
egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah kami menyusun makalah
yang berjudul “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia – Marsinah”, untuk
memberikan informasi mengenai apa itu pelanggaran HAM diikuti seluk beluk kasus Marsinah.

1.2 Rumusan Masalah

Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Marsinah”,
maka masalah yang dapat kami diidentifikasi sebagai berikut :

1. Penjelasan mengenai pelanggaran HAM


2. Pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia?
3. Bagaimana tanggapan serta upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM Marsinah dari
pihak berwenang ?

5
1.3 Tujuan

Tujuan kami mengangkat makalah dengan judul “Kasus Pelanggaran Hak Asasi
Manusia Marsinah”. Karena materi ini tentang kasus hak asasi manusia di Indonesia yaitu:

1. Memahami pengertiaan dari HAM


2. Mengetahui lebih dalam mengenai pelanggaran HAM di Indonesia khususnya kasus
Marsinah.
3. Upaya pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM khususnya kasus Marsinah.

1.4 Manfaat

Kami berharap hasil dari pembelajaran ini dapat memberi manfaat bagi penulis dan
pembaca yaitu :

1. Manfaat bagi penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang pelanggaran hak
asasi manusia di Indonesia.
2. Manfaat dari pembaca, pengkajian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian atau referensi
tambahan bagi ilmu kenegaraan serta memperkaya informasi.

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Menurut Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran
hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku.

Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah


setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan
tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil
dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan


pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau
institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan
alasan rasional yang menjadi pijakannya.

7
2.2 Klasifikasi Pelanggaran HAM di Indonesia

Pelanggaran HAM dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :

2.2.1 Pembunuhan massal (genosida)

Kejahatan genosida merupakan perbuatan yang dilakukan dengan maksud


untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras,
kelompok etnis, kelompok agama. Genosida ini tergolong kejahatan besar yang dapat
menyebabkan banyak korban jiwa. Di Indonesia, genosida terjadi akibat konflik yang
ditemui di daerah-daerah sengketa, perbedaan ideologi, kepentingan politik, dan lain-
lain. Salah satu contoh genosida di Indonesia adalah pembunuhan massal terhadap
40.000 orang rakyat Sulawesi Selatan oleh tentara Belanda yang dipimpin oleh Kapten
Westerling pada 12 Desember 1946. Adapun bentuk-bentuk kejahatan genosida antara
lain:

• Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat terhadap anggota-anggota


kelompok
• Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan
secara fisik, seluruh atau sebagian
• Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok, dan Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok.

2.2.2 Kejahatan Kemanusiaan

Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan salah satu perbuatan yang


dilakukan sebagai bagian dari serangan yang secara langsung ditujukan kepada
penduduk sipil. Contoh kejahatan terhadap kemanusiaan di antaranya adalah:

• Pembunuhan
• Pemusnahan

8
• Perbudakan
• Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
• Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional.
• Penyiksaan, baik dilakukan oleh individu atau sekelompok orang. Misalnya yang
terjadi pada beberapa kasus yang menimpa TKI di luar negeri.
• Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan,
pemandulan atau sterilisasi secara paksa, kekerasan seksual berbasis cyber, atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
• Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari
persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin
atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menurut hukum internasional.
• Penghilangan orang secara paksa, seperti penculikan, penyekapan dan lain-lain;
serta Kejahatan apartheid.

2.3 Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia

2.3.1 Kasus Marsinah (1993)

Pada pertengahan April 1993, para buruh PT. CPS (Catur Putra Surya) pabrik
tempat kerja Marsinah resah karena ada kabar kenaikan upah menurut Sudar Edaran
Gubernur Jawa Timur. Dalam surat itu termuat himbauan pada para pengusaha untuk
menaikkan upah buruh sebesar 20% dari upah pokok. Pada minggu-minggu tersebut,
Pengurus PUK-SPSI PT. CPS mengadakan pertemuan di setiap bagian untuk
membicarakan kenaikan upah sesuai dengan himbauan dalam Surat Edaran Gubernur.

Hari itu juga, Marsinah pergi ke kantor Depnaker Surabaya untuk mencari
data tentang daftar upah pokok minimum regional. Data inilah yang ingin Marsinah
perlihatkan kepada pihak pengusaha sebagai penguat tuntutan pekerja yang hendak
mogok.Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan
mogok kerja hingga esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen

9
perusahaan dan pekerja berdialog dan menyepakati perjanjian. Intinya mengenai
pengabulan permintaan karyawan dengan membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini
sepertinya permasalahan antara perusahaan dan pekerja telah beres.

Tanggal 4 Mei 1993 pukul 07.00 para buruh PT. CPS melakukan unjuk rasa
dengan mengajukan 12 tuntutan. Seluruh buruh dari ketiga shift serentak masuk pagi
dan mereka bersama-sama memaksa untuk diperbolehkan masuk ke dalam pabrik.
Satpam yang menjaga pabrik menghalang-halangi para buruh shift II dan shift III. Para
satpam juga mengibasibaskan tongkat pemukul serta merobek poster dan spanduk para
pengunjuk rasa sambil meneriakan tuduhan PKI kepada para pengunjuk rasa.

Aparat dari koramil dan kepolisian sudah berjaga-jaga di perusahaan


sebelum aksi berlangsung. Selanjutnya, Marsinah meminta waktu untuk berunding
dengan pengurus PT. CPS. Perundingan berjalan dengan hangat. Dalam perundingan
tersebut, sebagaimana dituturkan kawan-kawannya. Marsinah tampak bersemangat
menyuarakan tuntutan. Dialah satu-satunya perwakilan dari buruh yang tidak mau
mengurangi tuntutan. Khususnya tentang tunjangan tetap yang belum dibayarkan
pengusaha dan upah minimum sebesar Rp. 2.250,- per hari sesuai dengan kepmen
50/1992 tentang Upah Minimum Regional. Setelah perundingan yang melelahkan
tercapailah kesepakatan bersama.

Namun, pertentangan antara kelompok buruh dengan pengusaha tersebut


belum berakhir. Pada tanggal 5 Mei 1993 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk
rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta
mengundurkan diri dari CPS. Marsinah marah dan tidak terima, ia berjanji akan
menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan. Beberapa hari kemudian, Marsinah
dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat
hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993. Posisi mayat ditemukan tergeletak
dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh penuh luka memar bekas pukulan
benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang panggul hancur karena pukulan
benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-bercak darah, diduga

10
karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama menempel kain
putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi
ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian control CPS) menjemput Marsinah
dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi
dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah
tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah


stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik
banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses
selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan
para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI
tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga
muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.

Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga


akhirnya kasusnya kadaluarsa yaitu tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan
kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di
zaman Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah
wujud menjadi sosok yang menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan
menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama kebebasan
menyuarakan aspirasi.

11
2.4 Upaya Pemajuan Hak Asasi Manusia di Indonesia

2.4.1 Periode Tahun 1945-1950

Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih menekankan pada hak
untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang
didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh
pengaturan dan masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi), yaitu UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Komitmen terhadap HAM pada periode awal
kemerdekaan sebagaimana di tunjukan dalam maklumat pemerintah tanggal 1
November 1945 tertulis dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka menyataka :

“Sedikit hari lagi kita akan mengadakan pemilihan umum sebagai bukti bahwa bagi
kita cita-cita dan dasar kerakyatan itu benar-benar dasar dan pedoman penghidupan
masyarakat dan negara kita. Mungkin sebagai akibat pemilihan itu pemerintah akan
berganti dan UUD kita akan disempurnakan menurut kehendak rakyat yang
terbenyak.”

Tertera dalam maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 antara lain


menyatakan.

• Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan adanya partai


politik dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam
masyarakat.

• Pemerintah berharap partai-partai telah tersusun sebelum dilangsungkannya


pemilihan anggota badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946. Hal penting
dalam HAM adalah adanya perubahan mendasdan signifikan terhadap sistem
pemerintah dari presidensial menjadi sistem parlementer, sebagaimana tertuang
dalam maklumat pemerintah tanggal 14 November 1945.

12
2.4.2 Periode Tahun 1950-1959

Periode 1950-1959 dalam perjalanan negara Indonesia dikenal dengan sebutan


periode demokrasi parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan
momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menadi
semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempet dielit
politik. Dikemukakan Prof. Bagir Manan dalam buku “Perkembangan

Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia” menyatakan bahwa


pemikiran atau aktualisasi HAM pada periode ini mengalami “pasang” dan
menikmati “Bulan Madu” kebebasan. Indikator menurut ahli hukum tata Negara ada
5 aspek :
• Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya
masing-masing.
• Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati
kebebasannya.
• Pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi harus berlangsung dalam
suasana kebebasan fair (adil) dan demokratis.
• Parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai representasi dari kedaulatan
raktay menunjukan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan
kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif .
• Wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan
dengan timbulnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.

2.4.3 Periode Tahun 1959-1966

Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem


demokrasi terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi
parlementer. Dalam kaitan HAM, terjadi pemasungan Hak Asasi Manusia, yaitu hak
sipil dan hak politik seperti hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pikiran dengan tulisan.

13
2.4.4 Periode Tahun 1966-1998

Pada awal periode telah diadakan seminar HAM. Salah satu seminar HAM
dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya
pembentukan pegadilan HAM, pembentukan komisi, dan pengadilan HAM untuk
wilayah Asia. Pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang
merekomendasikan perlunya hak uji materiil (Judicial review) guna melindungi
HAM. Hak uji materiil diadakan dalam rangka pelaksanaan Tap MPRS No.
XIV/MPRS/1966. MPRS melalui panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan
yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hakhak
Serta Kewajiban warga negara.
Sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM
di indonesia mengalami kemunduran , karena HAM tidak lagi di hormati , di
lindungi dan di tegak kan. Sikap pemerintahan tercermin dalam ungkapan bahwa
HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai – niali luhur
budaya bangsa yang tercermin dalam pancasila.

Upaya yang di lakukan masyarakant menjelang periode 1990-an


nampaknya memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran
strategi pemerintahan dari reeresif dan defensif ke strategi akomondatif terhadap
tuntunan yang berkaitan dengan penengak HAM . sikap akomondatif pemerintah
terhadap tuntunan penegak HAM adalah dibentuknya komisi nasional Hak Asasi

Manusia

(KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES NOMOR 50 Tahun 1993


tertanggal 7 juni 1993. dimana KOMNAS HAM memiliki tugas:

• Memantau & menyelidiki pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat
kepada pemerintah perihal HAM.
• Membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan HAM
sesuai pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD NKRI 1945),

14
Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan deklarasi atau perundang-undangan
lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.
2.4.5 Periode Tahun 1998 – sekarang

Pada tahun 1998 memberikan dampak besar pada pemajuan dan


perlindungan HAM indonesia. Pengkajian dan retifikasi terhadap instrumen HAM
internasional di tingkatkan hasil pengkajian menunjukan banyak nya norma dan
ketentuan hukum nasponal khususnya terkait dengan penegak HAM di adopsi dari
hukum dan instrumen internasional dalam bidang HAM.

Strategi penengak HAM periode ini dilakukan melelui dua tahap, yaitu tahap
status penentuan (presciptive status) dan tahap penataan aturan secara konsisten
(rule consistent behavior) pada tahap status penentuan telah di tentukan perundang
undangan tentang Ham seperti amandemen konsitusi negara(Undang-undang dasar
negara republik Indonesia tahun 1945). Ketetapan MPR (TAP MPR) undang-
undang (UU), peraturan pemerintahan dan ketentuan perundang-undangan lain.

Tahap penataan aturan secara konsisten mulai di lakukan masa pemerintahan


presiden habibie tahap 1 di tundai dengan penghormatan dan pemajuan HAM
dengan di keluarkannya TAP MPR No.XVII/MPR/1998 tentang HAM dan di
sahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM, yaitu konvensi menentang
penyiksaan dan perlakuan kejam lain dengan UU nomor 5/1999 konvensi ILO
nomor 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi
dengan keppres Nomor 83/1998: konvensi ILO nomor 105 tentang pengahpusan
kerja paksa dengan UU nomor 19/1999, konveksi ILO nomor tentang diskriminasi
dalam pekerjaan dan jabatan dengan UU nomor 20/1999: konveksi ILO nomor 138
tentang usia minimum untuk di perbolehkan bekerja dengan UU nomor 20/1999

15
2.5 Faktor Penyebab Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Faktor penyebab dari kasus Marsinah yang pertama adalah perussahaan CPS yang
tidak mengikuti himbauan gubernur setempat untuk menaikkan UMR. Walaupun kebijakan
kenaikan UMR tersebut sudah dikeluarkan, CPS tetap bergeming. Kondisi ini memicu geram
para pekerjanya sehingga menyebabkan mereka melakukan aksi unjuk rasa dan mogok kerja.

Lalu faktor penyebab kedua, adalah manajemen perusahaan CPS yang telah
menyepakati perjanjian penaikan UMR namun rupanya diikuti dengan memberhentikan 13
pekerjanya dengan cara mencari-cari kesalahan pasca tuntutan kenaikan UMR. Hal ini
menjadikan Marsinah penuh amarah.

Fakor yang lain dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Telah terjadi krisis moral di Indonesia

Krisis moral jauh lebih berbahaya dari krisis lainnya. Krisis moral dapat
melumpuhkan segala aspek atau sendii dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Salah satu penyebabnya adalah kurangnya penerapan ideologii Pancasila. Sebenarnya
bangsa Indonesia memliki ideology yang luhur yaitu Pancasila. Akan tetapi, seringkali
ideologi ini tidak dijalankan secara murni dan konsekuen sehingga yang terjadi adalah
kekacauan. Selain itu, krisis moral ini juga disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran
akan rasa kemanusiaan di dalam masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia masih
belum memahami benar bahwa manusia hidup bersama dengan manusia lainnya, oleh
karena itu, manusia harus dapat juga menghargai dan menghormati manusia lainnya. Hal
ini dapat diterapkan dengan tidak berlaku seenaknya, apalagi sampai melanggar hak
asasi manusia lainnya.

16
2. Aparat hukum yang berlaku bertindak sewenang-wenang.

Di dalam masyarakat terdapat banyak kekuasaan yang berlaku. Kekuasaan disini


tidak hanya menunjuk pada kekuasaan pemerintah, tetapi juga bentuk-bentuk kekuasaan
lain yang terdapat di dalam masyarakat. Salah satu contohnya adalah kekuasaan di dalam
perusahaan.

Para pengusaha yang tidak memperdulikan hak-hak buruhnya jelas melanggar


hak asasi manusia. Oleh karena itu, dapat kita lihat bahwa setiap elemen di dalam
masyarakat yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya
tersebut. Kekuasaan-kekuasaan yang mereka miliki seharusnya dibatasi sehingga tetap
menghormati hak orang lain dan tidak melanggarnya. Kurang adanya penegakan hukum
yang benar Seperti yang kita ketahui bahwa penegakan hukum di Indonesia belum dapat
berjalan dengan benar. Masih banyak para penegak hukum yang bersikap tidak adil. Hal
ini dikarenakan menerima suap sudah menjadi budaya bangsa kita. Penegak hukum yang
bersikap tidak adil akan membuat masyarakat pun bertindak sewenang- wenang. Mereka
yang mempunyai cukup uang, tidak lagi takut untuk berbuat salah. Hal ini seharusnya
dapat diberantas karena ini merupakan masalah yang besar. Pemerintah harus bisa
bertindak tegas dalam menyelesaikan masalah ini. Pelanggar HAM seharusnya diberi
hukuman yang tegas.

3. Kesenjangan sosial yang tinggi.

Kesenjangan sosial juga menjadi salah satu faktor pelanggaran HAM. Orang
yang kaya tentu memiliki kekuasaan yang besar, sedangkan orang yang kurang mampu
menjadi semakin tidak berdaya. Mereka harus dapat menerima semua yang diberikan
dari pihak penguasa dikarenakan ketidakberdayaan mereka. Hal ini tentu saja memicu
terjadinya pelanggaran HAM. Penguasa dapat bertindak sewenangwenang tanpa harus
memperdulikan masyarakatnya.Ketiga faktor penyebab terjdinya pelanggaran hak
asasi manusia dalam kasus Marsinah, yakni pembagian kekuasan yang tidak
berimbang, masyarakat yang belum berdaya, serta masih kuatnya budaya feodal dan
paternalistik dalam masyarakat kita. Ketiga faktor tersebut, pada giliranya,

17
memunculakan praktek praktek penyalahgunaan kekuasaanKekuasaan disini tidak
melulu menunjuk pada kekuasaan pemerintah, tetapi juga bentuk bentuk kekuasan lain
yang ada didalam masyarakat, termasuk kekuasan didalam perusahaan. Para pengusaha
yang tidak memperdulikan hak-hak buruhnya jelas melanggar hak asasi manusia,
pendek kata, tiap elemen di dalam masyarakat kita, bila memiliki kekuasaan, cederung
untuk menyalah gunakannya.

Faktor -faktor lain penyebab pelanggaran HAM pada kasus Marsinah yaitu
Masih Kurang berfungsinya lembaga-lembaga penegak hokum (Polisi, jaksa dan
pengadilan) sarta Pemahaman belum merata tentang HAM baik di kalangan sipil
maupun militer.

2.6 Solusi dan Pendapat dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Dalam kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada Marsinah, selaku keluarga

Marsinah merasa tidak terima atas kasus tersebut dan berharap kepada pihak yang
berwenang untuk segera menyelesaikan kasus tersebut dengan serius dan mencari
buktibukti yang berkaitan dengan kasus tersebut. Dan memberikan hukuman yang
sepantasnya terhadap orang yang terlibat dalan kasus tersebut.

Pemerintah melalui Komnas HAM, harus menyelidiki dengan seksama apa yang
terjadi saat itu. Komnas HAM harus segera menuntaskannya agar kepercayaan bangsa
Indonesia terhadap pemerintahnya tidak hilang akibat janji-janji kosong mengenai tindakan
lanjut dari kasus Marsinah

Adapun solusi yand dapat dijabarkan dari Kasus Marsinah ini yaitu :

2.6.1 Solusi Represif

Solusi Represif ini merupakan solusi yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan
dan mengungkap kebenaran dari peristiwa Marsinah ini. Dengan pencarian kebenaran

18
ini bukan tentang siapa yang akan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman karena hal
tersebut tidak akan bisa mengembalikan semua yang telah hilang dan semua yang
telah rusak menjadi kembali utuh. Adapun langkah-langkah yang bisa ditempuh untuk
mencari kebenaran ini adalah:

1. Mengajukan kembali kasus Marsinah ini kedalam persidangan


2. Mencari bukti-bukti baru terkait peristiwa tersebut dengan berkerjasama dengan
komisi Nasionall Hak Asasi Manusia

3. Mencari saksi-saksi baru yang bisa menceritakan kronologis yang sebenarnya


tentang Peristiwa tersebut.

2.6.2 Solusi Preventif

Solusi Preventif ini adalah solusi yang dapat dilakukan agar di masa yang akan
datang kejadian ini tidak akan terulang lagi. Adapun solusi-solusi preventif yang
dapat dilakukan adalah :
1. Mengamalkan Pancasila sebagaimana mestinya sebagai ideology bangsa, dan
menjalankan UUD 1945 sebagai konstitusi negara. Pancasila dengan UUD 1945
ini harus bisa di amalkan secara bersamaan dan saling melengkapi. Ini dilakukan
agar apa yang terjadi di masa orde baru tentang Hegemoni Pancasila tidak terulang
lagi karena dengan adanya UUD 1945 maka menjadi penjamin terlindungan HAM
bagi warga negara Indonesia.

2. Pemerintah dan instansi terkait misalnya militer dalam konteks ini harus bisa
menahan sikap ketika sedang menjalankan tugas demi terjalinnya komunikasi yang
baik dengan masyarakat. Dan ketika terjadi permasalahan hendaknya mampu
diselesaikan dengan musyawarah mufakat antara masing-masing pihak dengan
melibatkan lembaga-lembaga social kemasyarakatan (LSM) sebagai penengah dan
pengawas dalam proses pemecahan masalah.

3. Pemerintah, pemuka agama, dan tokoh-tokoh masyarakat hendaknya saling


berdiskusi dan menjalin hubungan yang harmonis. Dengan begitu

19
pemimpinpemimpin dari berbagai elemen tersebut mampu mengontrol perilaku
anak buahnya. Agar tidak ada lagi adu domba dari segelintir orang yang
memanfaatkan keuntungan jika terjadi konflik.

2.7 Penyelesaian dalam Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Hak Asasi setiap manusia harus dihargai oleh manusia yang lain yang dalam

kasus ini adalah hak asasi berpendapat dan hak untuk hidup. Selain itu, kasus marsinah yang
tak kunjung usai ini diakibatkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas para penyidik.
Seharusnya kredibilitas dan transparansi penyidikan lembaga terhadap suatu kasus haruslah
dijaga oleh para penegak hukum sehingga tercipta keadilan dan ketentraman masyarakat
Indonesia

20
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal
yang perlu kita ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam
kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana
setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Sementara menyangkut
Kasus Marsinah yang merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena
merupakan kasus penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah tumbal dari apa
yang namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman Orde Baru.
Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani
berjuang dan mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara
menciptakan teror ketakutan kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan.
Negara juga telah mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak
terpecahkan selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita
komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah hanyalah satu
dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia yang seringkali harus dihadapkan dengan
berbagai persoalan pelik yang mendasar. persoalan kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan
diskriminasi seolah terus menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk
diselesaikan. Realitas kekinian memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh
perempuan di Indonesia yang masih ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan
rumah tangga. Menguak kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut,
benang kusut yang mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli
untuk mengurainya. Betapa lemahnya lembaga-lembaga peradlan di negeri ini, untuk
menangani kasus sekala kecil/ perorangan saja tidak mampu, bahkan untuk kurun waktu yang

21
cukup lama, 5 pergantian presiden mencoba membuka kejanggalan pada kasus ini, namun
apa? Hanya terlupa atau dilupakan saja yang terjadi pada kasus ini, seolah-olah pemerintah
ingin menghilangkan jejak kasus marsinah, bahkan ketika kasus ini belum terungkap terdapat
masa kadaluwarsa tahun 2014 era presiden SBY yang akhirnya kasus ini pun ditutup.
Indonesia dikenal Negara berpancasila atas ketuhanan di no 1, namun Indonesia pada tahun
2013 dicap/termasuk Negara urutan 30 yang memiliki riwayat terburuk untuk kasus
penyelesaian pelanggaran HAM. Bahkan jika 1000 lembaga peradilan diadakan jika hokum
masih terkait tangan-tangan politik, tidak heran akan banyak kasus kasus yang lebih parah
terlewat begitu saja dan kadaluwarsa layaknya bongkahan makanan kecil yang memiliki
masa experied

3.2 Saran

Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan


memperjuangkan hak kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan
menjaga hak orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan
sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Menurut pandangan saya,
Hal ini telah bertentangan dengan Pancasila, yaitu sila kedua. Karena setiap kegiatan yang
merugikan dan mengancam nyawa seseorang merupakan hal yang tidak beradab. Setiap
manusia diberi kesempatan hidup. Jadi apakah kita pantas untuk mengakhiri sebuah
kehidupan?

Sudah saatnya pemerintah membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan
kasus-kasus yang dialami oleh buruh saat ini. Pemerintah sebaiknya berani membuka ulang
kasus Marsinah atas nama demokrasi dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang
tentu adalah sesuatu yang “direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah
menemui titik terang. Padahal keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak Asasi
Manusia.sikap menunda-nunda kasus harus di hilangkan, usut sampai tuntas barulah
beristirahat, tangani kasus skala perorangan saja tidak mampu itupun dalam 5 periode

22
pergantian pemimpin, apa yang salah? Jangankan untuk menyelesaikan, untuk mencari tahu
siapa? Bagaimana? Kapan tepatnya pun belum bisa hingga saat ini. Kita Negara besar dengan
rakyat yang besar pula, pelanggaran diluar dalam skala instansi atau pun kelompok banyak
namun jika untuk skala individu saja tidak mampu, saya akui Indonesia ini lemah hokum,
nyatanya bahkan pemerintahan takut akan orang-orang yang mampu beraspirasi, dan mereka
akan melakukan terror untuk menghilangkan orang-orang seperti ini.

DAFTAR PUSTAKA

23
http://riswandi77.blogspot.com/2018/10/makalah-kasus-marsinah.html

http://buser.liputan6.com/read/52757/marsinah-dan-misteri-kematiannya

http://sarubanglahaping.blogspot.com/2013/10/analisis-kasus-pembunuhan-marsinah.html

http://ubpeacemaker.blogspot.com/2011/11/memahami-ham-marsinah-pahlawan-kaum.html

http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/refleksi-21-tahun-kasus-marsinah-650551.html

http://www.tempo.co/read/news/2012/05/08/173402558/Kasus-Marsinah-Sulit-Diungkap-Lagi

https://idstatic.zdn.net/files/d45/9c548afe8bda653390dd2c5a19586b4f.docx#:~:text=Penguasa%

20dapat%20bertindak%20sewenang%2Dwenang,dan%20paternalistik%20dalam%20masyarakat

https://tirto.id/contoh-kejahatan-genosida-dan-jenis-pelanggaran-ham-di-indonesia-gf1q%20kita.

24

Anda mungkin juga menyukai