Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH EXPRESSIVE WRITING THERAPY TERHADAP PENURUNAN

TINGKAT STRESS AKADEMIK PERSERTA DIDIK DI SEKOLAH

SKRIPSI

PENELITIAN KEPERAWATAN JIWA

OLEH

HERU SEPTIADI
181211436

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Terapi bermain merupakan

Smartphone adalah telepon selular dengan mikroprosesor, memori, layar dan


modem bawaan. Smartphone merupakan ponsel multi media yang menggabungkan
fungsionalitas PC dan handset sehingga menghasilkan gadget yang mewah, di mana
terdapat pesan teks, kamera, pemutar musik, video, game, akses email, tv digital, search
engine, pengelola informasi pribadi, fitur GPS, jasa telepon internet dan bahkan terdapat
telepon yang juga berfungsi sebagai kartu kredit (Williams, Sawyer, 2017).
Kemunculan smartphone merupakan hasil dari perkembangan teknologi
komunikasi yang sudah sangat cepat merambah ke semua lapisan dan menyebabkan
perubahan pola kehidupan masyarakat (Kohar, Riadi dan Lutfi, 2015). Smartphone
menjadi perangkat yang tak terkalahkan dalam kehidupan masyarakat karena
memberikan berbagai kemudahan untuk mencari informasi, berkomunikasi, sebagai
media untuk belajar dan hiburan (Haug et al., 2015).
Penggunaan gadget ( smartphone ) secara berlebihan tentunya akan memberikan
dampak yang tidak baik bagi anak. Anak akan lebih emosional dan pembangkang hal ini
disebabkan karena anak merasa diganggu ketika bermain gadget. Gadget dapat membuat
anak-anak enggan melakukan rutinitas pribadinya seperti malas untuk makan dan
mungkin mandi. Pengunaan gadget dengan intensitas waktu yang tinggi akan berdampak
terhadap menurunnya daya konsentrasi dan membuat anak tidak mandiri untuk
melakukan aktivitas pribadinya.
Gadget memberikan pengaruh terhadap perkembangan siswa SD dalam
berinteraksi dengan lingkungannya, selain itu juga itu penggunaan gadget akan
berpengaruh terhadap pola fikir seseorang yang tentunya tidak ada hanya orang dewasa
namun juga anak-anak. Durasi menggunakan gadget yang cukup lama akan
menyebabkan anak menjadi ketergantungan terhadap gadget ini sendiri (Witarsa, 2018).
Keterbukaan akses teknologi seperti melalui smartphone saat ini tidak selalu
memberikan dampak positif. Beberapa masalah perilaku dan psikologis, baik oleh orang
dewasa, remaja, maupun anak-anak, menjadi salah satu buktinya. Dari dampak positif,
Yi, You, dan Bae (2016) menemukan penggunaan smartphone secara intensif pada
pelajar bisa meningkatkan persepsi remaja yang lebih positif pada kinerja akademik.
Apalagi, hal itu didukung ketersediaan ragam smartphone yang semakin praktisnya fitur-
fiturnya, semakin tinggi kecepatan akses informasi, dan semakin terjangkaunya jenis
smartphone (Juraman, 2014). Pelajar dapat memperluas wawasan tentang materi
akademik dengan memanfaatkan fungsi smartphone, sehingga tidak hanya bergantung
pada buku dan materi dari guru di sekolah (Dewanti, Widada, & Triyono, 2016; Muflih,
Hamzah, & Puniawan, 2017). Selain itu, smartphone dapat pula mendorong kerjasama
antarsiswa dari memudahkan komunikasi dan menunjang perkembangan kreativitas
(Aljomaa, Qudah, Albursan, Bakhiet, & Abduljabbar, 2016).
Walaupun demikian, dari sisi negatif ketergantungan berlebihan pada fungsi
smartphone dapat mengakibatkan perasaan stres hingga gejala adiksi (Jun, 2015; Lee,
Chang, & Cheng, 2014; van Deursen, Bolle, Hegner, & Kommers, 2015). Fenomena di
Indonesia sendiri menunjukkan penggunaan smartphone pada remaja yang melebihi
frekuensi 3 jam sehari yang umumnya seputar akses media sosial, bermain games yang
justru dilakukan di waktu- waktu istirahat (Muflih, Hamzah, & Puniawan, 2017).
Penggunaan smartphone sendiri bila lebih dari 4 jam sehari akan memperparah
kecenderungan adiksi (Aljomaa et al., 2016). Dari itu, kualitas istirahat remaja pun
berkurang, bahkan dapat mengurangi kualitas interaksi dengan orangtuanya (Muflih,
Hamzah, & Puniawan, 2017). Terlebih, Kibona dan Mgaya (2015) memperlihatkan
tingginya pemakaian smartphone dapat mengganggu proses pembelajaran sebagaimana
penggunaannya bisa mencapai 5 sampai 7 jam per hari untuk sosial media. Durasi ini
jauh melebihi pemanfaatan smartphone remaja pada konteks akademik. Contohnya
penggunaan aplikasi Facebook, sebagai media sosial terpopuler, bila terjadi secara
berlebihan dapat memprediksi semakin rendahnya prestasi akademik (Junco, 2012).
Menurut kamus psikologi (2016), kecanduan adalah keadaan bergantung secara
fisik dan psikologis. Kecanduan dapat terjadi pada penggunaan smartphone, kecanduan
sendiri di definisikan sebagai aktivitas atau substansi yang dilakukan berulang-ulang dan
dapat menimbulkan dampak negatif.
Kecanduan smartphone adalah suatu bentuk keterikatan atau kecanduan terhadap
smartphone yang memungkinkan menjadi masalah sosial seperti halnya menarik diri, dan
kesulitan dalam performa aktivitas sehari-hari atau sebagai gangguan kontrol impuls
terhadap diri seseorang (Kwon,dkk. 2017). Leung (Yuwanto, 2018) mendefinisikan
kecanduan smartphone sebagai suatu keterikatan dengan smartphone yang disertai
kurangnya kontrol serta memiliki dampak negatif bagi siswa. Kecanduan atau addiction
memiliki beberapa karakteristik yaitu adanya toleransi (meningkatkan penggunaan sesuai
dengan yang diinginkan), penarikan diri, terus menerus menggunakan meskipun tahu
bahwa berdampak negatif, kehilangan kontrol, adanya upaya untuk mengurangi namun
seringkali tidak berhasil, dan mengurangi keterlibatannya dalam kegiatan sosial (DSM-5,
2016).
McDonald (2018) mengungkap sekitar 4 miliar orang di dunia kini memiliki
akses internet, dengan peningkatan jumlah pengguna rata-rata berkisar 4 miliar orang,
jumlah pengguna media sosial 3 miliar orang, dan jumlah pengguna ponsel pintar 5 miliar
orang.
pengguna internet dunia terbesar di Cina, India, Amerika Serikat, dan Brasil
(Internet World Stats, 2018).
Data survei UNICEF, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), dan
Berkman Center for Internet and Society menunjukkan bahwa 84% dari total penduduk di
Indonesia memiliki telepon seluler (Broto, 2014).
Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (2015) menjelaskan
dalam situs resminya bahwa Indonesia adalah "raksasa teknologi digital Asia yang
sedang tertidur". Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa adalah pasar
yang besar. Pengguna smartphone Indonesia juga bertumbuh dengan pesat. Lembaga riset
digital marketing emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif
smartphone di Indonesia lebih dari100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia
akan menjadi Negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia
setelah Cina, India, dan Amerika.
Bila dilihat dari Survei yang dilakukan oleh Kementerian Informasi dan UNICEF
tahun 2014 yang mengelompokan komposisi usia, persentase pengguna gadget yang
termasuk kategori usia anak-anak dan remaja di Indonesia cukup tinggi, yaitu 79,5 %.
Survei tersebut menggambarkan pula bahwa anak menggunakan gadget sebagian besar
untuk mencari informasi, hiburan, serta menjalin relasisosial. Adapun survei yang
dilakukan oleh Indonesia Hottest Insight ditahun 2013 bahkan menunjukkan bahwa 40
persen anak di Indonesia sudah melek teknologi, atau disebut juga dengan active internet
user (Wulandari, 2016).
Menurut aplikasi Halodoc yang diakses pada tanggal 16 januari 2022 kecanduan
smartphone dapat dialihkan atau dikurangi dengan beberapa kegiatan seperti
bersosialisasi dengan teman, mematikan gedged saat tidur, menganti gedget dengan
membaca buku, dan juga melakukan terapi bermain bersama teman.
Selain itu pada anak anak kecanduan dapat di alihkan dengan layanan konseling,
menetapkan area pengunaan, membatasi waktu penggunaan gedget, tidak memberikan
gedget secara pribadi, mendahulukan kewajiban, dan bermain bersama teman (Ade,
2018 ).
Terapi bermain adalah penerapan sistematis dari sekumpulan prinsip belajar
terhadap suatu kondisi perilaku yang bermasalah atau menyimpang dengan melakukan
suatu perubahan serta menempatkan anak dalam situasi bermain ( Andriana, 2015 ).
Bermain bermanfaat untuk menguatkan emosional, kognitif dan fisik anak
tersebut, dan bermain adalah proses bagi anak belajar dan mengurangi efek cemas
(Nelsom & Aidar, 2011). Menurut Supartini (2014), terapi bermain disarankan untuk
anak karena bermain dapat mengurangi kecemasan, takut, sedih, stress.
Beberapa jenis mainan yang bisa dilakukan pada anak-anak usia sekolah yaitu
menggambar. Menggambar adalah mainan untuk memberi anak waktu sehingga dapat
mengekspresikan diri secara bebas dan dan sangat terapeutik (sebagai permainan
penyembuhan kecanduan). Anak sekolah bersifat aktif dan kreatif serta bisa terus
mengembangkan motoric halusnya dengan menggambar selama dirawat dirumah sakit,
jadi melukis juga bisa menyenangkan (Suparto, 2010).
Penelitian yang dilakukan maulidya, 2021. Menyatakan bahwa ada pengaruh Hal
tersebut dapat diamati dan dilihat dilihat dari adanya beberapa perubahan sikap serta
perilaku yang muncul pada diri konseli konseli ke arah yang jauh lebih positif dari
sebelumnya. Seperti sudah mulai mengurangi intensintas bermain game online, serta
mulai memenuhi kewajiban-kewajibannya yang harus dilakukan. Dan tak mengulangi hal
yang dapat menimbulkan penyakit yakni menunda buang air kecil ketika asyik bermain.
Penelitian yang dilakukan mila widahyani, 2021. Menyatakan ada pengaruh
mewarnai gambar terhadap penurunan tingkat kecemasan pada anak usia sekolah,
Tingkat kecemasan anak usia sekolah sebelum diberikan terapi mewarnai gambar akibat
hospitalisasi adalah sedang sampai berat, Tingkat kecemasan anak usia prasekolah
setelah diberikan terapi mewarnai gambar akibat hospitalisasi tetap mengalami
kecemasan sedang, namun persentasenya menurun.

Anda mungkin juga menyukai