Anda di halaman 1dari 8

DAFTAR ISI

Type chapter title (level 1) 1


Type chapter title (level 2) 2
Type chapter title (level 3) 3
Type chapter title (level 1) 4
Type chapter title (level 2) 5
Type chapter title (level 3) 6

A. PENGERTIAN PERNIKAHAN
Kata nikah berasal dari bahasa arab nikaahun yang merupakan masdar atau kata
asal dari kata kerja nakaha. sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. Menurut bahasa ,kata nikah berarti
adh-dhammu wattadaakhul (bertindih dan memasukkan). Dalam kitab lain kata
nikah diartikan dengan adh-dhammu wal jam’u (bertindih dan berkumpul).
Menurut istilah fikih, nikah berarti suatu akad atau (perjanjian) yang mengandung
kebolehan melakukan hubungan seksual dengan memakai kata- kata(lafazh) nikah
atau taswij. Jadi Nikah adalah suatu akad yang menyebabkan kebolehan bergaul
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dan saling menolong diantara
keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban diantara keduanya. Dalam
Hal pernikahan ,syariat islam mengaturnya sedemikian rupa karena menikah
merupakankebutuhan fitrah manusia sebagai makhluk fisik ,sebagai bagian
makhluk hidup.manusia memerlukan pemenuhan fisik dan ruhaninya. antara lain
memerlukan pemenuhan kebutuhan biologisnya sehingga dapat mengembangkan
keturunannya karena itu islam menyediakan ketentuan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut ,yaitu aturan mengenai pernikahan. Tujuan pernikahan dalam
islam adalah terbentuknya keluarga sakinah mawaddah warahma sebagaimana
diungkapkan dalam alqur’an surah Ar-Rum ayat 21:
َ ِ‫َومِنْ ٰا ٰي ِت ٖ ٓه اَنْ َخلَ َق لَ ُك ْم مِّنْ اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجً ا لِّ َت ْس ُك ُن ْٓوا ِالَ ْي َه ا َو َج َع َل َب ْي َن ُك ْم م ََّو َّد ًة َّو َرحْ َم ًة ۗاِنَّ فِيْ ٰذل‬
ٍ ‫ك اَل ٰ ٰي‬
‫ت لِّ َق ْو ٍم‬
‫َّي َت َف َّكر ُْو َن‬

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu


isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.

B. HUKUM MENIKAHI WANITA HAMIL DALAM SYARIAT ISLAM


Hukum hamil di luar nikah mengundang banyak pendapat.Meski memang hamil di
luar nikah merupakan hal yang tabu di Indonesia, tidak dapat dipungkiri hal ini
banyak terjadi.Hamil di luar nikah dianggap sebagai aib dalam keluarga, dengan
demikian wanita yang hamil harus segera dinikahi untuk menghapus
aibnya.Dikutip dari Jurnal Hukum Perdata Islam , menurut pendapat Imam Syafi’i,
perkawinan akibat hamil di luar nikah adalah sah hukumnya.Perkawinan boleh
dilangsungkan ketika seorang wanita dalam keadaan hamil .Baik perkawinan itu
dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya atau dengan laki-laki yang bukan
menghamilinya.Hal ini sebagaimana yang tercantum di dalam kitab Al-Muhazzab
karya Abu Ishaq Asy-Syairazi juz II halaman 43.Argumen Imam Syafi'i tentang
kebolehan perkawinan tersebut adalah karena wanita tersebut, termasuk
golongan wanita yang haram untuk dinikahi.Bayi yang lahir sebagai akibat
hubungan di luar nikah, nasab atau keturunannya kembali kepadanya. Namun,
pendapat ini cukup berbeda dengan Imam Hanafi. Imam Hanafi hanya
membolehkan menggauli jika yang menikahinya laki-laki melakukan zina
dengannya.

Sedangkan Imam Syafi'i membolehkan menggaulinya baik oleh laki-laki yang


menghamilinya atau bukan. Sementara itu, menurut Imam Maliki dan Hambali
tidak membolehkan menikahi wanita hamil di luar nikah baik dengan laki-laki yang
menghamilinya atau bukan yang menghamilinya.Selain itu, Imam Hanafi dan
Syafi'i berpendapat bahwa mentalak wanita hamil hukumnya jaiz (boleh).Adapun
menurut Imam Maliki mentalak wanita  hamil hukumnya haram, sebab mereka
mengkiyaskan talak di dalamnya kepada talak pada  masa haid  di luar
kehamilan.Pendapat Imam Hanafi dan Syafi’I bahwa tidak ada iddah bagi wanita
hamil karena zina.Sedangkan Imam Maliki dan Hambali, yaitu mewajibkan adanya
iddah bagi wanita hamil di luar nikah.Sebenarnya, semua pendapat yang
menghalalkan wanita hamil di luar nikah dinikahkan dengan laki-laki yang
menghamilinya, karena beberapa nash.Aisyah ra berkata, Rasulullah SAW
pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan
berniat untuk menikahinya, kemudian beliau berkata:
“Awalnya kotor dan akhirnya perbuatan nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa
mengharamkan yang halal.” (HR Tabarany dan Daruquthuny).

Adapun pendapat yang mengharamkan seorang laki-laki menikahi seorang wanita


yang sedang mengandung anak dari orang lain.Hal itu dapat mengakibatkan
rancunya nasab anak tersebut. Dalilnya adalah beberapa nash berikut ini.

Nabi SAW mengatakan: "Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil


(karena zina) hingga kelahiran." (HR Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim).

Nabi SAW mengatakan: "Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada
Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain." (HR
Abu Daud dan Tirmizi).

1. Menurut Imam Abu Hanifah.


Wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang
menghamilinya atau dengan laki-laki lain. Wanita hamil karena zina itu tidak ada
iddahnya, boleh melangsungkan perkawinan, tetapi tidak boleh melakukan
hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya. Imam Hanafi berpendapat
bahwa pernikahan wanita hamil itu tetap boleh dilangsungkan dan sah
perkawinannya, hanya saja siapapun suami dari wanita tersebut tidak boleh
melakukan hubungan seksual sampai wanita tersebut melahirkan bayi yang
dikandungnya dari perbuatan zina tersebut. Ini didasarkan pada hadis Nabi
Saw.:
‫التوطأ حامل حىت تضع وال غري ذات محل‬
‫حىت حتيض حيضة‬

Artinya:
“Jangan kamu melakukan hubungan seks terhadap wanita hamil sampai dia
melahirkan dan bagi yang tidak hamil hingga keluar haid satu kali.”
2. Madzhab Syafi’iyah
Ulama Syafi’iah berpendapat, hukumnya sah menikahi wanita hamil akibat zina,
baik yang menikahi itu
laki-laki yang menghamilinya maupun bukan yang menghamilinya. Alasannya
karena wanita hamil akibat zina tidak termasuk golongan wanita yang diharamkan
untuk dinikahi. Mereka juga berpendapat karena akad nikah yang dilakukan itu
hukumnya sah, wanita yang dinikahi tersebut halal untuk disetubuhi walaupun ia
dalam keadaan hamil.9Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa wanita yang hamil
karena zina tidak diwajibkan melaksanakan iddah, karena wanita hamil di luar
nikah tidak termasuk yang dilarang
menikah. Dasar lain yang digunakan mazhab Syafi’i yaitu:
‫أما وطء الزان فإنو ال عدة فيو* وحيل التزوج ابحالمل من الزان ووطؤىا* وىي حامل على األصح‬
Artinya:
“Hubungan seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena
zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks sekalipun dalam
keadaan hamil.”

3. Madzhab Hambali
Ulama Hanabilah menentukan dua syarat mengenai kebolehan menikahi wanita
yang hamil di luar nikah. Menurut ulama Hanabilah, seseorang laki-laki yang
mengetahui seseorang wanita telah berzina, tidak halal menikahi wanita tersebut
kecuali dengan dua syarat:
a) Telah habis masa iddahnya, masa iddah wanita hamil sampai anak yang ada di
dalam kandungannya lahir. Sebelum anak yang dikandungnya lahir, maka wanita
yang hamil di luar nikah tersebut haram menikah. Karena Nabi saw. melarang
menyirami hasil tanaman orang lain.
b) Wanita yang hamil di luar nikah telah bertaubat. Sebelum bertaubat, wanita
hamil di luar nikah tersebut
haram dinikahi oleh seorang yang beriman.20 Hal ini di dasarkan pada Q.S. Al
Nuur: 3.
‫ك َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِيْن‬ ٌ ۚ ‫ان اَوْ ُم ْش ِر‬
َ ِ‫ك َوحُرِّ َم ٰذل‬ ٍ ‫ل َّزانِ ْي اَل يَ ْن ِك ُح اِاَّل زَانِيَةً اَوْ ُم ْش ِر َكةً ۖ َّوال َّزانِيَةُ اَل يَ ْن ِك ُحهَٓا اِاَّل َز‬

Terjemahnya:
“Laki-laki yang berzina tidak menikahi kecuali dengan perempuan yang berzina
atau perempuan yang musyrik dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan dengan laki-laki yang berzina atau yang musyrik dan itu diharamkan
bagi orang-orang yang mukmin.”
Menikahi wanita hamil korban perbuatan zina dengan lelaki lain, statusnya
pernikahan yang batal. Para lelaki dilarang melakukan hubungan dengan wanita
yang hamil dengan mani orang lain. Dari Ruwaifi’ bin Tsabit Ra., Nabi Saw.
bersabda,
‫من كان يؤمن ابهلل واليوم اآلخر فال يسقي ماءه زرع غريه‬
Artinya:
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah dia menuangkan air
maninya pada tanaman orang lain.‛ (HR. Ahmad)
Yang dimaksud tanaman orang lain adalah janin yang disebabkan air mani orang
lain. Ancaman dalam
hadis ini menunjukkan larangan. Karena itu, tidak ada istilah menolong wanita
hamil korban hasil zina dengan bentuk menikahinya. Menikahi wanita hamil,
justru menjerumuskannya pada perbuatan zina yang
dilegalkan dengan pernikahan yang batal. Dalam Impres No. 1 Tahun 1991
tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama
dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga
(3) ayat, yaitu :
a) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang
menghamilinya.
b) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
c) Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan
perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir. Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dil ihat
dari KHI, penyelesaianya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga
ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini
termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam
pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk
memberi perlindungan kepastian hukum kepada anak yang ada dalam
kandungan, dan logikanya untuk mengakhiri status anak zina. Fatwa MUI DKI
tanggal 26 Dzulqa’dah 1420 tentang perkawinan wanita hamil di luar nikah
menyebutkan bahwa wanita yang pernah melakukan zina, baik dalam keadaan
hamil dari zina maupun tidak, boleh dan sah dinikah oleh pria yang menzinahinya
dan laki-laki lain yang tidak menzinainya.22 Adapun fatwa tersebut dapat
dijelaskan dengan dalil:
1. Al Qur’an
Firman Allah QS Al Nur: 3.
َ‫ك َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬ ٌ ۚ ‫ان اَوْ ُم ْش ِر‬
َ ِ‫ك َوحُرِّ َم ٰذل‬ ٍ ‫ل َّزانِ ْي اَل يَ ْن ِك ُح اِاَّل زَانِيَةً اَوْ ُم ْش ِر َكةً ۖ َّوال َّزانِيَةُ اَل يَ ْن ِك ُحهَٓا اِاَّل َز‬

Terjemahnya:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian
itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”23
Ayat diatas menjelaskan, tentang boleh dan sah nya menikahi wanita yang sedang
hamil atau tidak karena zina, dengan sesama pria yang menzinainya. Firman Allah
dalam Qs. Al Nisa’: 24.
‫ب هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم ۚ َواُ ِح** َّل لَ ُك ْم َّما َو َر ۤا َء ٰذلِ ُك ْم اَ ْن تَ ْبتَ ُغ**وْ ا* بِ**ا َ ْم َوالِ ُك ْم‬ ْ ‫ت ِمنَ النِّ َس** ۤا ِء اِاَّل َم**ا َملَ َك‬
َ ‫ت اَ ْي َم**انُ ُك ْ*م ۚ ِك ٰت‬ َ ْ‫َو ْال ُمح‬
*ُ ‫ص** ٰن‬
‫ض ْيتُْ*م بِ* ٖ*ه ِم ۢ ْن‬َ ‫َاح َعلَ ْي ُك ْم فِ ْي َما ت ََرا‬ َ ‫ْضةً َۗواَل ُجن‬ َ ‫صنِ ْينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِح ْينَ ۗ فَ َما ا ْستَ ْمتَ ْعتُ ْم بِ ٖه ِم ْنه َُّن فَ ٰاتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن فَ ِري‬ِ ْ‫ُّمح‬
‫هّٰللا‬ ۗ ْ
‫ْض ِة اِ َّن َ َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫بَ ْع ِد الفَ ِري‬
Artinya:
Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba
sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah
atas kamu. Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian
itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.
Maka karena kenikmatan yang telah kamu dapatkan dari mereka, berikanlah
maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban. Tetapi tidak mengapa jika
ternyata di antara kamu telah saling merelakannya, setelah ditetapkan. Sungguh,
Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.

DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah. al-Fikih al-Islam wa Adillatuhu. Bairut: Dar al-


Fikr,1985.
Abdullah, Hamid. Siri’ dan Pese’. Makassar: Pusat Refleksi, 2007.
Abdillah, Al-Hafiz Abi. Sunan Ibn Majah. Juz 1; Makah: Dar at-
Turas al-Arabi, tth.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya . Bandung: J-Art,
2004.
Ghozali, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Prenada Media
Group, 2003. , Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Cet. IV; Jakarta: Kencana,
2010.
Kementerian Agama RI. al-Qur’an 20 Baris Terjemah. Bandung: CV.
Mikraj Khazanah Ilmu, 2013.
Kementerian Agama RI, al-Qur’an 20 Baris Terjemah. Bandung: CV.
Mikraj Khazanah Ilmu, 2013.
Kumpulan Fatwa MUI Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
1975-2012. Jakarta: Komisi Fatwa MUI DKI Jakarta, 2012.
Mugniyah. Fikih Lima Mazhab: ja’fari, Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali.
Cet. VIII; Jakarta: Lentera, 2002.
Rafiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo
Persada, 1997.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid, Juz 2; Beirut : Da>r al- Fikr, t.th.

Anda mungkin juga menyukai