Anda di halaman 1dari 6

A.

Latar Belakang
Hadis merupakan pedoman kedua setelah al-Qur'an dan menjadi rujukan dari
seluruh umat muslim di dunia, karena hadis menjadi penyelesaian masalah yang
ada pada umat Islam. Tapi faktanya tidak semua hadis dapat dijadikan hujjah,
karena hadis memiliki tingkatan atau level yang bisa dibedakan dari beberapa
hal. Baik dari segistrukturalnya,pembagian hadis dan lain sebagainya
Setelah al-Qur'an, hadis juga diyakini oleh umat islam sebagai rujukan yang
mampu memjawab berbagai persoalan kehidupan damanapun dan kapanpun.
Dari zaman dahulu hingga saat ini banyak yang menjadikan hadis sebagai
rujukan mulai dari sahabat-sahabat nabi, tabi'in, dan lain sebagainya. Sebelum
dibukukannya, terjadi banyak pemalsuan hadis dengan latar belakang dan
motivai yang berbeda. Maka untuk menyelamatkan kemurnian hadis dari hal
yang buruk dan menyesatkan, ulama' bekerja keras mengembangkan berbagai
pengetahuan, menciptakan berbagai kaidah, menyusun sebaga istilah dan
memuat berbagai metode penelitian sanad dan matan hadis. dari segi kualitas
rawi maka hadis juga dibedakan, hadis Shahih, hadis Hasan, hadis, Dhaif. Dalam
makalah ini kita akan spesifikan pada hadis Shahih.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadis shahih dan kriterianya?
2. Apa saja macam-macam hadis shahih?
3. Bagaimana kehujjahan hadis shahih?
4. Apa saja kitab-kitab yang memuat hadis shahih?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengertian hadis shahih dan kriterianya?
2. Untuk mengetahui macam-macam hadis shahih?
3. Untuk mengetahui kehujjahan hadis shahih?
4. Untuk mengetahui kitab-kitab yang memuat hadis shahih?

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis Shahih


Secara bahasa pengertian hadis shahih lawan kata dari "Saqim", artinya sehat
lawan kata dari sakit, Haq lawan dari batil.[1] Sedangkan menurut ahli hadis,
hadis shahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang
adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berahir pada Rasulullah SAW. Yang
tidak (Syaz) konroversial dan juga terkena 'illat yang menyebabkan cacat dalam
penerimaannya.[2]

B. Kriteria Hadis Shahih


Ada beberapa kriteria dalam hadis shahih yaitu:
1. Sanadnya bersambung (Ittishāl al-sanad)
Yaitu tiap-tiap periwayat dalam sanad hadis menerima riwayat hadis dari
periwayat sebelumnya. Dan hal tersebut terus berlangsung hingga sampai pada
akhir sanad hadis tersebut. Perambungan sanad tersebut terjadi mulai Mukharrij
Hadis (penghimpun riwayat dalam kitabnya) sampai pada periwayat pertama
dari para sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari nabi. Dengan
kata lain sanad hadit bersambung sejak sanad pertama ampai pada sanad terahir.
Pada ulama' hadis sanad yang bersambung dinamai dengan sebutan hadit
Musnad sedangkan Musnad ada yang Mutthasil bersambung dan ada pula Musnad
yang Munqathi'. Sedangkan hadis yang disandarkan kepada nabi disebut dengan
hadis marfu'. Oleh karenanya hadis musnad pasti Marfu' dan berambung pada
sanadnya. Sedangkan hadis Marfu' belum tentu hadis Musnad. Hadit Marfu' dapat
dikatakan hadis Musnad apabila rangkaian hadisnya bersambung dan tidak
terputus mulai dari awal hingga akhir.
2. Periwayatnya berifat 'Ȃdil
Dalam hal ini ulama' memiliki perbedaan tentang kriteria-kriteria periwayat
yang 'ādil. Al- Hakim dan al-Nawawi berpendapat bahwa seseorang dapat
dikatakan 'ādil apabila beragama islam, baligh, berakal, dan memelihara Marū'ah
serta tidak berbuat fasik. Sementara itu Ibn Hajar al-Asqalani menyatakan bahwa
sifat ādil akan dimiliki seorang periwayat hadis yang bertaqwa, memelihara
Marū'ah, tidak berbuat dosa besar semisal syirik, tidak berbuat bid'ah dan tidak
berbuat fasik.
Untuk mengetahui 'ādil tidaknya periwayat hadis, para ulama' hadis telah
menetapkan beberapa cara yaitu: pertama melalui popularita keutamaan
periwayat dikalangan ulama' hadis. Kedua, penilaian dari kritikus periwayat
hadis penilain ini berisi tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri
periwayat hadis. Ketiga, ialah penerapan kaidah al-Jarh wa al-Ta'dīl. Cara ini
dilakukan apabila para kritikus periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas
pribadi periwayat tertentu. Dari tiga cara tersebut maka sangat di anjurkan
untuk berurutan mulai dari yang pertama hingga seterusnya. Sedangkan
penggunaan kaidah al-Jarh wa al-Ta'dil baru digunakan bila ternyata terjadi
perbedaan pendapat dikalangan kritikus periwayat tentang kualitas seorang
perawi.
3. Periwayat bersifat Dhābith
Bagi hadis shahih, maka periwayatannya akan berstatus dhābith, dhābith dapat
diartikan dengan kuat hafalannya. kuat hafalan memang sangat penting bagi
periwayatan hadis shahih dan hadit shahih sesungguhnya sangat erat
hubungannya dengan keadilan. Karena orang yang mampu berbuat adil berarti ia
jujur, amanah, objektif maka informasinya akan dipercaya. Akan tetapi
sebaliknya walaupun ia memiliki intelektual yang tinggi dan memiliki ketajaman
dalam hafalan tapi ia merupakan orang yang tidak jujur, pendusta dan suka
menipu maka tidak akan ada orang yang mempercayainya. Maka dari itu ulama'
hadis keadilan dan ke-dabith-an periwayat hadis kemudian di jadikan satu
dengan istilah tsiqah, jadi periwayat yang adil dan dhabith.
Dikalangan ulama' pengertian dabith dinyatakan dengan redaksi beragam. Ibn
Hajar al-Sakhawi menyatakan bahwa orang yang disebut dhabith adalah orang
yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan juga ia mampu
menyampaikan hafalan itu kapan saja ia kehendaki. Berikut ini untuk
mengetahui ke-dhabith-an periwayat hadis menurut beberapa pendapat ulama'
sebagai berikut:
a. Ke-dhabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama
b. Ke-dhabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah
dikenal ke-dhabith-annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun
sampai tingkat harfiah.
c. Periwayat yang sesekali mengalami kekeliruan, tetap dinyatakan dhabith
asalkan kesalahannya itu tidak sering terjadi. Jika ia sering mengalami kekeliruan
dalam riwayat hadis, maka tidak disebut dhabith.
4. Terhindar dari Syādz (kejanggalan)
Secara bahasa, Syādz merupakan isim fā'il dari Syādzdza yang berarti menyendiri
(infarada). Sedangkan ulama' hadis, Syādz adalah hadis yang diriwayatkan oleh
periwayat tsiqah dan bertentangan dengan periwayat oleh periwayat yang lebih
tsiqah, menurut ulama' hadis akan dikatakan Syādz apabila:
a. Hadis itu memiliki lebih dari satu sanad
b. Para periwayat hadis itu seluruhnya tsiqah
c. Matan atau sanad mengandung pertentangan
5. Terhindar dari 'Illat
Apabila dalam suatu hadiat tampak shahih akan tetapi ternyata didalamnya
terdapat cacat yang tak telihat atau tersembunyi maka hadis itu akan dikatakan
mu'allal yaitu hadis yang mengandung 'Illat secara bahasa berarti cacat,
kesalahan baca, penyakit atau keburukan. Sedangkan menurut istilah ahli hdist,
Illat berarti sebab yang tersembunyi yang dapat merusak keshahihan hadis.[3]

C. Perbedaan Kriteria Hadis dalam Kitab Sahhih Bukhari dan Shahih Muslim
Ada beberapa perbedaan antara shahih bukhari dan shahih muslim, akan tetapi
perbedaan tersebut sangatlah ringan dan lebih banyak mengenai sistematika
dari pada yang menyangkut tema atau isi. Hal ini dikarenakan kriteria yang
perbandingan kelompok ini berbeda. Jumhur muhaddisin mengunggulkan shahih
bukhari karena melihat kriteria yang sangat prinsipil menurut muhaddisin, yaitu
kesempurnaan ke-shahihan-nya. Ini suatu kenyataan, karena sanad-sanad al-
bukhari lebih dapat dipastikan kebersambungannya dan para rawinya lebih
dapat di andalkan dari pada rawi dalam shahih muslim.
Adapun pendapat ulama yang mengunggulkan shahih muslim bertolak pada
metode penulisan yang dipakainya serta keistimewaan-keistimewaan yang
terdapat padanya, sebagaimana pendapat ulama mengatakan bahwa imam
muslim menuliskan hadis-haditsnya pada berbagai sumber dimasa kehidupan
gurunya di negerinya sendiri sehingga ia sangatlah berhati-hati dalam menyusun
kata-kata redaksinya. Ia tidak membuat kesimpulan hukum untuk memberi judul
bab sebagaiman yang diakukan al-bukhari yang mengakibatkan harus
memotong-motong hadis dalam berbagai bab.
Akan tetapi penilaian ini adalah penilaian yang global tentang kelebihan salah
satu dari dua ulama' hadits tersebut. Bukan berarti bahwa seluruh hadis dalam
shahih bukhari lebih shahih dari pada hadis-hadis yang terdapat dala shahih
muslim, melainkan banyak sekali yang ditemukan dalam shahih muslim yang
lebih shahih dari pada hadis dalam bukhari. Akan tetapi secara umum
keshahihan bukhari itu lebih tinggi dari pada ke shahih-an hadis dalam shahih
muslim.[4]

D. Macam-Macam Hadis Shahih


Hadis shahih terbagi pada dua macam yaitu: shahih li-dzatih dan shahih li-
ghairih. Yaitu hadis yang memenuhi kriteria-kriteria hadis shahih. Akan tetapi
apabila ke-dhabith-an seorang rawi yang kurang sempurna, menjadikan hadis
shahih li-dzatuh turun nilainya menjadi hadis hasan li-dzatih. Akan tetapi jika
kurang sempurna rawi tentang ke-dhabit-annya itu dapat ditutup, misalnya hadis
hasan li-dhatih tersebut mempunyai sanad lain yang lebih dhabith, maka naiklah
derajat hasan menjadi hadis shahih li-ghairih.[5]
Sedangkan hadis shahih li-ghairih adalah hadis yang ke-shahih-annya dibantu
oleh adanya hadis lain. Pada mulanya katagori ini memiliki kelemahan berupa
perawi yang kurang dhabith dan hal ini dimulai kurang memenuhi syarat untuk
menjadi hadis shahih. Berikut ini adalah contoh hadis shahih li- ghairih:
Contoh: hadis shahih li-dhatih adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-
Bukhari, dari jalur al-A'raj, dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasul bersabda:

‫ﻟﻮ ﻻ ﻻان اﺷﻖ ﻋﻠﻰ اﻣﺘﻰ ﻻﻣﺮﺗﮭﻢ ﺑﺎاﺳﻮاك ﻋﻨﺪ ﻛﻞ ﺻﻼة‬

"seandainya aku tidak khawatir memberatkan ummatku, pasti aku


memerintahkan agar mereka bersiwak setiap kali hendak mengerjakan
shalat"[6]

Contoh: hadis shahih li-ghairih, ialah hadis al-Bukhari dari Ubay bin al-Abbas bin
Sahal dari ayahnya ('Abbas) dari neneknya (Sahal) katanya:
‫ﻛﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺣﺎﺋﺘﻨﺎ ﻓﺮس ﯾﻘﺎل ﻟﮫ اﻟﻠﺤﯿﻒ‬

"konon Rasulullah mempunyai seekor kuda, ditaruh dikandang kami diberi nama
al-Luhaif"
Ubay bin Abbas oleh Ahmad, Ibnu Ma'in dan an-Nasa'I dianggap rawi yang
kurang kuat hafalnnya. Oleh karena itu, hadis tersebut mempunyai derajat hasan
li-dhatih. Tetapi oleh karena hadis Ubay tersebut mempunyai muthabi' yang
diriwayatkan oleh 'Abdul Muhaimin, maka naiklah derajatnya dari li-dzatih
menjadi shahih li-Ghairih.

E. Kehujjahan hadis shahih


Dalam kehujjahan hadis shahih para ulama memilki paerbedaan pendapat yaitu
sebagai berikut:
1. Sebagian ulama' memandang bahwa hadis shahih tidak berstatus qath'I
sehingga tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan akidah.
2. Sebagian ulama hadis, sebagaimana dinyatakan al-Nawawi, berpendapat
bahwa hadis-hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim barstatus qath'i.
3. Sebagian ualam' seperti Ibn Huzm, memandang bahwa semua hadis shahih
berstatus qath'i tanapa dibedakan apakah hadis tersebut dari al-Bukhari dan
Muslim atau yang lainnya. Menurutnya tidak ada alasan yang cukup untuk
membedakan hal ini berdasarkan siapa yang meriwayatkan. Ia berpendapat
bahwa semua hadis jika syaratnya terpenuhi, maka juga dapat dijadikan
hujjah.[7]

F. Kitab-kitab yang memuat hadis shahih


Adapun kitab yang memuat hadis shahih ialah:
1. Shahih Bukhari
2. Shahih Muslim
3. Mustadrak al-Hakim

4. Shahih Ibn Hibban


5. Shahih Ibn Khuzaimah[8]

Adapun yang sebagian kitab memuat hadis shahih, hasan dan dha'if ialah:
1. Sunan Abu Dāwud
2. Sunan al-Nasa'i
3. Sunan Ibn Majah

PENUTUP

A. Kesimplan
Secara bahasa pengertian hadis shahih lawan kata dari " saqim", artinya sehat
lawan dari kata sakit, Haq lawan dari batil. Berdasarkan kualitas rawinya hadis
dibagi menjadi hadis shahih, hadis hasan, hadis dhaif. para ulama juga membagi
hadis shahih menjadi dua macam pertama, hadis shahih li-dhatih yaitu hadis yang
memenuhi criteria-kriteria hadis shahih yaitu: perawinya adil dan dhabith,
terlepas dari Syādz, tidak terdapat 'illat. Kedua, hadis shahih li-ghairih. Adalah
hadis yang kesahihannya dibantu oleh adanya hadis lain.
Dalam kehujjahannya ulama berbeda pendapat sebagian ulama' memandang
bahwa hadis shahih tidak berstatus qath'i sehingga tidak dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan persoalan akidah. Sebagian ulama' hadis, sebagaimana
dinyatakan al-Nawawi, berpendapat bahwa semua hadis shahih dari Bukhari dan
Muslim berstatus qath'i. sebagian ulama' seperti Ibn Huzm, memandang bahwa
semua hadis shahih berstatus qath'i tanpa dibedakan apakah hadis tersebut
berasal dari Bukhari dan Muslim atau yang lainnya. Menurutnya tidak ada alasan
yang cukup untuk membedakan hal ini berdasarkan siapa yang meriwayatkan. Ia
berpendapat bahwa semua hadis jika syaratnya terpenuhi maka dapat dijadikan
hujjah

Anda mungkin juga menyukai