Anda di halaman 1dari 15

I.

Pendahuluan

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang memiliki keterbatasan dalam


hal fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya,
dan anak yang akibat keadaan tertentu memerlukan penanganan secara khusus. Salah satu
yang termasuk dalam kelompok anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan gangguan
autistik.1 Autistik adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan
ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan berperilaku sesuai
dengan perkembangan, ketertarikan dan aktifitas. Kelainan tersebut terlihat sebelum anak
berusia 3 tahun.2 Kasus autisme terjadi di berbagai negara, tanpa memandang ras, etnik,
maupun latar belakang sosial ekonomi. Pada beberapa tahun terakhir ini, kasus autis
meningkat terus-menerus. Menurut United Nations Educational, Scientific Organization
(UNESCO) pada tahun 2011 tercatat 35 juta orang penyandang autis yang ada diseluruh
dunia. Di negara maju seperti Amerika Serikat prevalensi anak autis pun meningkat
setiap tahunnya.3 Prevalensi autis dunia saat ini mencapai 15─20 kasus per 10.000 anak
atau berkisar 0,15─0,20%. Jika angka kelahiran di Indonesia mencapai enam juta per
tahun, maka jumlah penyandang autis di Indonesia per tahunnya bertambah sekitar 6.900
anak per tahun.4 Berdasarkan jenis kelaminnya, penderita autis empat kali lebih banyak
diderita oleh laki-laki daripada perempuan. Dengan kata lain, anak laki-laki lebih rentan
terkena autis dibandingkan anak perempuan.2

Anak autis memiliki gangguan perilaku khas yang disebut perilaku autis. Pada
sebagian besar anak autis sering memperlihatkan perilaku seperti hiperaktif, menyakiti
diri sendiri, suka bertepuk tangan berulang ulang,suka mengamuk, tidak mampu dalam
menatap lawan bicara.2 Perilaku-perilaku tersebut disebabkan oleh berbagai faktor seperti
umur, intelegensia, pola asuh orang tua, intensitas terapi, pola konsumsi pangan dan lain
sebagainya.5

I. Definisi
Autistic Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan pervasif yang
ditandai dengan ketidakmampuan dalam berinteraksi sosial, berkomunikasi, dan
berperilaku sesuai dengan perkembangan, ketertarikan dan aktifitas. Kelainan tersebut

1
terlihat sebelum anak berusia 3 tahun.2 Menurut Atchison dalam Marpaung (2014) istilah
Pervasive developmental disorder (PDD) menjadi Autistic Spectrum Disorder (ASD)
berubah sejak dilakukannya revisi terhadap Diagnostic and statistical Manual Of Mental
(DSM) Disorder IV TR menjadi Diagnostic and statistical Manual Of Mental (DSM)
Disorder V.6,7

Autistic Spectrum Disorder (ASD) merupakan kelainan neurodevelopmental yang


belum dapat dipastikan penyebabnya. Berbagai teori tentang autisme banyak
dikemukakan diantaranya berkaitan dengan faktor genetik, disfungsi metabolik,
gangguan perkembangan saat postnatal dan prenatal dan faktor lingkungan.2 Sampai saat
ini masih belum dapat dipastikan penyebab dari autisme, tetapi terdapat sejumlah teori
yang mendukung terkait penyebab autisme, antara lain sebagai berikut :
a. Genetik
Gangguan autistik diperkirakan sekitar 90%, dicurigai adanya abnormalitas
genetic pada kromosom 7, 2 dan 15.8 Hasil penelitian pada keluarga dan anak
kembar menunjukkan adanya faktor genetik yang berperan dalam
perkembangan autisme.9
b. Faktor perinatal
Komplikasi perinatal yang cukup tinggi ditemukan pada anak-anak dengan
gangguan autistik, walaupun tidak ada komplikasi yang secara langsung
dinyatakan sebagai penyebab. Komplikasi yang sering dilaporkan adalah
adanya perdarahan di trimester pertama dan adanya meconium dalam cairan
amnion lebih sering ditemukan pada anak dengan gangguan autistik.10
c. Neuroanatomi
Berbagai kondisi neuropatologi diduga dapat mendorong timbulnya gangguan
perilaku pada anak-anak autis, ada beberapa daerah di otak anak autis yang
diduga mengalami disfungsi.9 Lobus temporalis telah diperkirakan sebagai
bagian penting dalam otak yang mungkin abnormal pada gangguan autistic.
Hal tersebut berdasarkan laporan adanya sindroma yang mirip dengan
gangguan autistik pada orang dengan kerusakan lobus temporalis. Jika daerah
temporalis rusak, perilaku sosial yang diharapkan menghilang, dan
kegelisahan, perilaku motorik berulang, dan kumpulan perilaku terbatas

2
ditemukan.10 Pada otak kecil juga ditemukan kelainenean, terutama pada lobus
ke VI dan VII. Jumlah sel purkinje di otak kecil juga didapatkan sangat
sedikit, sehingga terjadi gangguan keseimbangan serotonin dan dopamin,
menyebabkan gangguan impuls di otak. Ditemukan pula kelainan khas
didaerah sistem limbik yang disebut hipokamus dan amigdala. Akibatnya
terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi, gangguan sensoris,
daya ingat, dan perilaku aneh serta hiperaktif pada anak-anak dengan
gangguan autistik.11
d. Faktor imunologi
Sistem imun diduga berperan pada terjadinya autisme karena ditemukannya
penurunan respon imun pada anak dengan gangguan autistik. Beberapa bukti
yang menyatakan bahwa inkompatibilitas antara ibu dan embrio atau janin
dapat menyebabkan gangguan autistik.9,10
e. Faktor infeksi virus
Peningkatan gangguan autisme pada anak-anak dengan congenital rubella,
herpes simplex, ensefalitis, dan infeksi cytomegalovirus, membuat peniliti
menduga bahwa infeksi virus tersebut juga turut berperan sebagai salah satu
penyebab gangguan autistik.9
f. Faktor keracunan logam berat
Kondisi keluarga yang dekat dengan pertambangan dapat menyebabkan
autisme. Keracunan yang dikonsumsi ibu hamil seperti halnya beberapa ikan
yang mengandung mineral berat dengan kadar tinggi.
Berbagai faktor-faktor yang diduga berperan sebagai penyebab gangguan autistik
erat dikaitkan dengan gejala klinis yang terjadi pada anak-anak dengan gangguan autistik.
Terdapat sekelompok gejala khas pada gangguan autistik yaitu gangguan interaksi sosial,
gangguan komunikasi dan gangguan perilaku.9

3
II. Gejala Klinis
American Psychiatric Association (APA) dalam buku Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder Fifth Edition Text Revision, menentukan kriteria diagnostik
dari gangguan ASD adalah sebagai berikut :12
1. Terhambatnya dalam komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat menetap pada
berbagai konteks
2. Perilaku yang terbatas, dan pola perilaku yang repetitive
3. Gejala-gejala harus muncul pada periode perkembangan awal (tapi mungkin tidak
termanifestasi secara penuh sampai tuntutan sosial melebihi kapasitas yang terbatas,
atau mungkin tertutupi dengan strategi belajar dalam kehidupannya).
4. Gejala-gejala menyebabkan gangguan yang signifikan pada kehidupan sosial,
pekerjaan atau situasi penting lain dalam kehidupan.
5. Gangguan-gangguan ini lebih baik tidak disebut dengan istilah ketidakmampuan
intelektual (intellectual disability) atau gangguan perkembangan intelektual atau
keterlambatan perkembangan secara global.

Gangguan perilaku yang dialami anak autis digolongkan menjadi dua yaitu
perilaku yang eksesif dan perilaku defisit. Perilaku eksesif adalah perilaku yang
hiperaktif dan tantrum seperti menjerit, menggigit, mencakar dan memukul serta
menyakiti diri sendiri (self abuse). Perilaku defisit adalah perilaku yang menimbulkan
gangguan bicara atau kurangnya perilaku sosial seperti tertawa atau menangis tanpa
sebab serta melamun. Perilaku-perilaku tersebut muncul karena berbagai sebab terkadang
terkesan sederhana dan terjadi secara tiba-tiba.13

Anak autis memiliki ketertarikan pada objek yang berputar seperti memandang
putaran kipas angin, roda mobil atau mesin cuci. Anak autis juga memiliki tingkah laku
yang suka mengepak-ngepakkan tangan (flapping hand), menggoyang-goyangkan
anggota tubuhnya atau menyeringai. Stereotipe tersebut tampak hampir pada semua anak
autis. Perilaku rutinitas berulang-ulang yang mereka sukai menyebabkan mereka menolak
adanya perubahan lingkungan dan rutinitas baru. Walaupun demikian, ada beberapa anak
autis yang masih dapat menerima perubahan yang terjadi di sekitarnya, tetapi menjadi
sangat cemas dan bingung dengan perubahan sekecil apapun tersebut, contohnya seorang

4
anak autis akan mengalami kesukaran bila jalan yang biasa ia tempuh ke sekolah diubah.
Perilaku rutinitas tersebut jarang atau sulit dihilangkan dan perilaku ini dapat menjadi
tidak terkontrol dan mengganggu dalam proses belajar. Perilaku ini bukan hanya suatu
kelemahan mereka tetapi merupakan satu bagian agar tetap dapat menjalin hubungan
dengan orang lain atau dunia luar yang tidak diketahuinya. Hal tersebut karena anak
autistic memiliki keterbatasan dalam pemahaman komunikasi verbal dan non verbal serta
intelegensi sosial yang terhambat.5,9

Karakteristik gangguan perilaku pada autistik menjadi makin terlihat seiring


dengan pertumbuhan anak dan berlanjut sepanjang hidupnya dengan sejumlah bentuk
variasi tingkat keparahan dan juga berbeda antara anak autistik yang satu dan yang
lainnya. Seperti pada salah satu penelitian yang membandingkan kemampuan berinteraksi
antara kelompok anak-anak, remaja dan dewasa menunjukkan kemampuan berinteraksi
pada kelompok usia remaja lebih sedikit terganggu dibandingkan dengan kelompok usia
dewasa. Perbedaaan tingkat karakteristik gangguan perilaku tersebut dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti kematangan anak, pemahaman anak, diet makanan, terapi yang
diberikan, penanganan yang bersifat medis, dan usaha yang sangat luar biasa dari sekolah
dan orang tua serta keluarganya.5,8

III. Terapi Non Medis Autism Spectrum Disorder


a. Terapi Perilaku (ABA, TEACCH, Son-Rise)
Anak autis seringkali merasi frustasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami
mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya. Mereka banyak yang
hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering
mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih akan mencari latar belakang dari
perilaku negative tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan
perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
Terapi perilaku (behavior therapy) adalah terapi yang dilaksanakan untuk mendidik
dan mengembangkan kemampuan perilaku anak yang terhambat dan untuk
mengurangi perilaku-perilaku yang tidak wajar dan menggantikannya dengan
perilaku yang bisa diterima dalam masyarakat. Terapi perilaku ini merupakan dasar
bagi anak-anak autis yang belum patuh (belum bisa kontak mata dan duduk mandiri)

5
karena program dasar/kunci terapi perilaku adalah melatih kepatuhan, dan kepatuhan
ini sangat dibutuhkan saat anak-anak akan mengikuti terapi-terapi lainnya seperti
terapi wicara, terapi okupasi, fisioterapi, karena tanpa kepatuhan ini, terapi yang
diikuti tidak akan pernah berhasil.14
 Applied Behavioral Analysis (ABA)
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied Behavioral
Analysis (ABA) yang diciptakan oleh O. Ivar Lovaas PhD dari University of
California Los Angeles (UCLA). Dalam terapi perilaku, focus penanganan
terletak pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak berespons benar
sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment) dalam
terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negative (salah/tidak tepat) atau
tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement positif
yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan kemungkinan
anak untuk berespons positif atau mengurangi kemungkinan ia berespons
negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan.
Menurut Danuatmaja, ABA yaitu suatu metode untuk membangun
kemampuan yang secara sosial bermanfaat dan mengurangi atau
menghilangkan hal-hal kebalikannya yang merupakan masalah. Terapi ABA
merupakan suatu bentuk modifikasi perilaku melalui pendekatan perilaku
secara langsung, dengan lebih memfokuskan pada perubahan secara spesifik.
Baik berupa interaksi sosial, bahasa dan perawatan diri sendiri.15
Secara lebih teoritis, prinsip dasar terapi ini dapat dijabarkan sebagai A-B-C;
yakni A (antecedent) yang diikuti dengan B (behavior) dan diikuti dengan C
(consequence). Antecedent (hal yang mendahului terjadinya perilaku) berupa
instruksi yang diberikan oleh seseorang kepada anak autis. Melalui gaya
pengajarannya yang berstruktur, anak autis kemudian memahami Behavior
(perilaku) apa yang diharapkan cenderung terjadi bila anak memperoleh
Consequence/akibat (konsekuensi perilaku, atau kadang berupa imbalan) yang
menyenangkan. Hal ini disebut Respondent Conditioning.

Perilaku + Imbalan Terus Dilakukan


Perilaku + Imbalan Akan Terhenti 6
Menurut Handojo dari suatu penelitian didapatkan suatu kesimpulan bahwa
suatu perilaku tertentu apabila diberikan imbalan (Reinforcement) akan
dilakukan lebih sering, dan apabila tidak diberi imbalan suatu perilaku
semakin jarang dan akhirnya berhenti. Berdasarkan hasil penelitian inilah
metode ABA.
Terapi perilaku metode ABA mempelajari cara seorang individu bereaksi
terhadap suatu rangsangan, konsekuensi yang terjadi sebagai reaksi spesifik
dan bagaimana konsekuensi tersebut mempengaruhi kejadian yang akan
datang. Metode ini dapat melatih setiap keterampilan yang tidak dimiliki anak,
mulai dari respon sederhana, misalnya memandang orang lain atau kontak
mata, sampai keterampilan kompleks misalnya komunikasi spontan atau
interaksi sosial. Metode ini diajarkan secara sistematik, terstruktur dan
terukur. Terapi perilaku ini mengajarkan anak bagaimana berespon terhadap
lingkungan dan mengajarkan anak bagaimana berespon terhadap lingkungan
dan mengajarkan perilaku yang sesuai agar anak dapat membedakan berbagai
hal tertentu dari berbagai macam rangsangan.15
Tujuan terapi ABA yang perlu ditetapkan dan diingat menurut Handojo,
sebagai berikut15 :
1. Komunikasi dua arah yang aktif
Mereka dapat melakukan percakapan parallel, dapat melontarkan hal-hal
yang lucu. Tujuan ini harus selalu diingat, sehingga kecakapan anak dapat
terus ditingkatkan sampai seperti atau mendekati kemampuan orang yang
normal.
2. Sosialisasi ke dalam lingkungan yang umum
Setelah anak mampu berkomunikasi, lakukan hal-hal yang menambah
generalisasii. Generalisasi menyangkut subjek atau orang lain, instruksi,
objek, respon anak dan lingkungan yang berbeda-beda.

7
3. Menghilangkan atau meminimalkan perilaku yang tidak wajar
Perilaku yang aneh perlu segera dihilangkan sebelum usia 5 tahun, agar
tidak mengganggu kehidupan sosial anak setelah dewasa. Banyak orang
tua yang lebih memprioritaskan hal-hal yang akademik, tetapi lalai dalam
menangani perilaku yang tidak wajar.
4. Mengajarkan materi akademik
Kemampuan akademik sangat bergantung pada intelegensia atau IQ anak.
Apabila IQ anak memang tidak termasuk yang dibawah normal, maka
kemampuan akademiknya juga pasti tidak sulit untuk dikembangkan.
5. Kemampuan bantu diri atau bina diri dan keterampilan lain
Ini adalah kemampuan yang juga diperlukan bagi setiap individu, agar
dalam hal-hal yang pribadi, mampu dikerjakan sendiri tanpa dibantu orang
lain. Makan, minum, memasang dan melepas pakaian dan sebagainya.
Disamping itu pada anak yang lebih besar dapat diajarkan keterampilan
lain seperti berenang, melukis, memasak, olahraga dan sebagainya.
Keterampilan ini akan sangat bermanfaat, selain sebagai latihan motorik,
juga untuk memupuk bakat anak, dan dapat mengisi seluruh waktu anak.
Dalam ABA disarankan waktu yang dibutuhkan adalah 40 jam/minggu, tetapi
keberhasilan terapi ini dipengaruhi beberapa faktor :
1. Berat ringannya derajat autism
2. Usia anak saat pertama kali ditangani/terapi
3. Intensitas terapi
4. Metode terapi
5. IQ anak
6. Kemampuan berbahasa
7. Masalah perilaku
8. Peran serta orang tua dan lingkungan

8
 Treatment and Education of Autistic and Related Communication
Handicapped Childern and Adults (TEACCH)
Kemampuan berbicara dan sosial seseorang menentukan tingkat
perkembangan sosialnya, atau tingkat penguasaan kemampuan untuk
bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat serta menentukan
kemandirian dan kesiapan anak dalam mengikuti proses belajar di sekolah.
Kekuatan dasar ini sangat menentukan kemampuan perilaku adaptif anak,
yang dalam pengertian lebih sempit diartikan sebagai perilaku yang sesuai
dengan kebiasaan yang dapat diterima secara social. Penekanan pada aspek
sosial ini sangat penting mengingat manusia, termasuk anak autis adalah
makhluk sosial dan mempunyai kebutuhan untuk melakukan interaksi sosial.
Oleh karena itu perlu dikembangkan kemampuan psikososialnya dengan
menggunakan metode ini.

 Son Rise
Metode lain dari terapi perilaku ini adalah terapi bermain Son Rise. Son rise
adalah program terapi berbasis rumah untuk anak-anak yang mengalami
gangguan komunikasi dan interaksi sosial. Program ini dapat membantu
meningkatkan kontak mata, menerima keberadaan orang lain. Dan yang lebih
penting, program ini, tidak memberikan punishment berupa kekerasan kepada
anak. Proses ini dilakukan dengan harapan, anak mereka dapat “berubah” dan
kondisi menjadi lebih baik.
Metode ini tidak bisa diterapkan/diimplementasikan pada semua kasus,
terutama kasus autis yang masih berada pada tahap awal terapi. Kemampuan
perkembangan bermain, merupakan hal yang penting dalam terapi ini, selain
juga kemampuan komunikasi dan sosialisasi. Program son rise, menyatakan
bahwa, jika kita mengadakan pendekatan ke anak secara positif, dengan rasa
cinta, akan membuat anak menjalin interaksi dengan kita, dibandingkan bila
kita mengedepankan sikap marah dll. Ide dasar teori ini adalah bahwa setiap
anak termasuk autism, lebih menyukai suasana belajar yang menyenangkan.

9
Banyak orang tua berusaha menerima keberadaan anak mereka yang
terdiagnosa autis, son rise menekankan bahwa peran serta orang tua dapat
memberikan support yang positif bagi perkembangan/kemajuan anak mereka.

b. Terapi Wicara
Terapi wicara merupakan suatu keharusan, karena anak autis mempunyai
keterlambatan bicara dan kesulitan berbahasa. Tujuannya adalah untuk melancarkan
otot-otot mulut agar dapat berbicara lebih baik. Hampir semua anak dengan autism
mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa.
Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autis yang non-verbal
atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup
berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai kemampuan bicaranya
untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan
berbahasa akan sangat menolong.14

c. Terapi Okupasi
Terapi okupasi dilakukan untuk membantu menguatkan, memperbaiki koordinasi dan
keterampilan otot pada anak autis dengan kata lain untuk melatih motorik halus anak.
Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik
halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil
dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan
kemulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk
melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar, contohnya floor time.14

d. Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasive. Banyak diantara individu
autistik mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-
kadang tonus ototnya lemah sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya
kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong
untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

10
Hydroterapi, merupakan salah satu contoh terapi fisik yang dapat membantu anak
autistik untuk melepaskan energi yang berlebihan pada diri anak.14

e. Terapi Bermain
Untuk melatih mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain. Meskipun
terdengarnya aneh, seorang anak autis membutuhkan pertolongan dalam belajar
bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi
dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini
dengan tekhnik-tekhnik tertentu. Terapi bermain ini bertujuan selain untuk
bersosialisasi juga bertujuan untuk terapi perilaku, bermain sesuai aturan.14

f. Terapi Makanan (Diet Therapy)


Pola makan pada anak terutama anak autis harus mengandung jumlah zat gizi,
terutama karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan
selama masa pertumbuhan dan perkembangan. Ada beberapa jenis makanan yang
menyebabkan reaksi alergi pada anak autis seperti gula, susu sapi, gandum, coklat,
telur, kacang maupun ikan. Selain itu, konsumsi gluten dan kasein perlu dihindari
karena penderita autis umumnya tidak tahan terhadap gluten dan kasein.
Tidak semua anak autism harus menjalani diet bebas Kasein dan Glutein. Dr. Paul
Shattock menemukan bahwa lebih dari 50% populasi autism pada tubuhnya terdapat
substansi yang sifatnya mirip dengan peptide opioid. Untuk mengetahui apakah anak
perlu menjalani terapi diet, dapat dilakukan pemeriksaan feses, urin, darah dan
rambut. Pemeriksaan tersebut memerlukan biaya yang sangat mahal. Salah satu cara
yang mudah dan biaya murah adalah dengan melakukan diet bebas kasein dang lutein
pada anak. Selanjutnya dipantau ada tidaknya perbaikan pada anak tersebut, dengan
mencatat bahan makanan apa saja yang diberikan kepada anak dan perubahan reaksi
yang muncul. Bila pada saat anak mendapat bahan makanan tersebut terlihat
peningkatan perilaku autism, maka diduga kuat anak menderita alergi terhadap
makanan tersebut. Cara ini mempunyai kelemahan, yaitu tidak memungkinkan untuk
menguji semua bahan makanan sekaligus.16
Indikasi terapi diet pada penyandang autism :

11
 Gangguan bicara yang berat
 Pada tahun pertama perkembangan anak normal, tetapi selanjutnya anak
mengalami kemunduran yang nyata dalam perkembangannya.
 Gangguan buang air besar
 Sering mendapat pengobatan dengan antibiotic
 Sering merasa haus
 Banyak mengkonsumsi produk susu dan gandum
 Pucat
 Warna kulit kemerahan di sekitar anus
 Eksim

g. Terapi Integrasi Sensoris dan Auditori


Terapi integrasi sensoris untuk melatih kepekaan dan koordinasi daya indra anak
autis. Sedangkan, terapi integrasi auditori untuk melatih kepekan pendengaran supaya
lebih sempurna.14

h. Terapi Musik
Untuk melatih auditori anak, menekan emois, melatih kontak mata dan konsentrasi.14

i. Terapi Anggota Keluarga


Memberi perhatian yang penuh. Bisa menggunakan konseling kognitif perilaku
(KKP).14

j. Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autism adalah dalam bidang
komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam
keterampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama ditempat
bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka
untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.14

12
k. Terapi Perkembangan
RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi
perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat
perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan
intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA
yang lebih mengajarkan keterampilan yang lebih spesifik.14

l. Media Visual
Individu autis lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers).
Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi
melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange
Communication System).14

Pemilihan terapi tersebut diatas yang diberikan pada anak, tergantung dari kondisi
kemampuan dan kebutuhan anak. Jadi tidak semua terapi sesuai dengan kebutuhan anak,
namun terapi utama bagi anak adalah terapi perilaku, terapi wicara dan terapi okupasi.14

IV. Kesimpulan
Autism Spectrum Disorder (ASD) mencakup spektrum gangguan yang luas
dengan etiologi genetic dan lingkungan. Tidak ada rencana perawatan tunggal untuk
semua. Farmakologi memiliki keberhasilan yang terbatas dalam mengatasi gejala inti
ASD dan berbagai perawatan non-farmakologis diusulkan untuk membantu berbagai
aspek gangguan.17
Pada umumnya kegiatan anak autis terbentuk dari rutinitas yang terpola dan
terjadwal, oleh karena itu, dalam terapi anak harus dikondisikan atau dibiasakan dengan
pola yang teratur. Untuk anak autis yang kemampuan kognitifnya telah berkembang,
dapat dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
lingkungannya, agar anak dapat menerima perubahan dari rutinitas yang sudah berlaku
agar menjadi lebih fleksibel. Dengan demikian diharapkan anak autis akan menjadi lebih
mudah menerima perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya (adaptif)
dan dapat berperilaku secara wajar.14

13
Prinsip lain terapi anak autis yaitu konsisten. Konsisten artinya tetap dalam
berbagai hal, ruang dan waktu. Konsisten bagi anak artinya tetap dalam menguasai
kemampuan sesuai dengan stimulant yang muncul dalam ruang dan waktu yang
berbeda.14

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi
Petugas Kesehatan. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010.
2. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme WJ, Behrman RE. Nelson Textbook of
Pediatrics (19th ed.). Philadelphia: Saunders Elsevier Inc; 2011.
3. DeFilippis M. The use of Complementary Alternative Medicine in Children and
Adolescents with Autism Spectrum Disorder. Psychopharmacologybulletin;
2018.48(23):40-63. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5765434/

14
4. El-Rashidy O, El-Baz F, El-Gendy Y. Ketogenic diet versus gluten free casein free diet in
autistic children: a case-control study. Springer; 2017. 1(7): 1-7.
https://link.springer.com/article/10.1007/s11011-017-0088-z
5. Yuwono W. Memahami Anak Autistik (Kajian Teoritik dan Empirik). Bandung:
Alfabeta; 2012.
6. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
(4th ed Text Revision). Washington, DC: American Psychiatric Association; 2004.
7. Marpaung W. Social Skill Training untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial pada Anak
Autistic Spectrum Disorder [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2014.
8. Halgin RP, Susan KW. Psikologi Abnormal: Perspektif Klinis pada Gangguan Psikologi.
Edisi ke-6. Jakarta: Salemba Humanika; 2010.
9. Widyawati I. Autisme Masa Kanak. Dalam: SD Elvira & G Hadisukanto, editor. Buku
Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
10. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku Klinis.
Jilid 2. Tangerang: Bina Rupa Aksara; 2010.
11. Sari ID. Nutrisi pada Pasien Autis. CDK. 2009; 36(2): 89–93.
12. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,
Fifth Edition. Washington,DC: American Psychiatric Association; 2013.
13. Pratiwi RA. Hubungan Skor Frekuensi Diet Bebas Gluten Bebas Casein dengan Skor
Perilaku Autis. Journal of Nutrition College. 2014; 3(1): 34–42.
14. Buku Pedoman Penanganan dan Pendidikan Autisme YPAC.
15. Handojo. Petunjuk Praktis dan Pedoman Materi untuk Autism. Malang; UMM Press,
2004.
16. Zygawindi N. Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Kasein dengan
Gangguan Perilku pada Anak Autistik. Jakarta; 2015.
17. Klein N, Kemper KJ. Integrative Approaches to Caring for Children with Autism. Curr
Probl Pediatr Adolesc Health Care; 2016. 46(6): 195-201.
http://dx.doi.org/10.1016/j.cppeds.2015.12.004

15

Anda mungkin juga menyukai