Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan memiliki berbagai alternatif sumber pendanaan. Sumber

pendanaan perusahaan terdiri dari sumber yang berasal dari dalam perusahaan dan

sumber yang berasal dari luar perusahaan. Pendanaan yang bersumber dari dalam

perusahaan adalah modal yang dihasilkan sendiri oleh perusahaan, seperti laba

ditahan (retained earning). Sedangkan pendanaan yang bersumber dari luar

perusahaan adalah dana yang diperoleh dari para kreditur dan investor. Salah satu

cara untuk memperoleh dana dari luar perusahaan ialah dengan melakukan go

public. Go public artinya perusahaan menjual sahamnya kepada publik melalui

bursa efek dan siap dinilai oleh publik secara terbuka. Menurut Jogiyanto (2007:

27), manfaat go public adalah meningkatkan modal, meningkatkan likuiditas bagi

pemegang saham dan transparansi nilai pasar.

Berdasarkan Pusat Informasi Go Public Bursa Efek Indonesia, tahap awal

dalam proses go public ialah perusahaan menunjuk underwriter dan

mempersiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk disampaikan kepada

Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Setelah

menyampaikan permohonan pencatatan saham ke BEI, perusahaan kemudian

menyampaikan pernyataan pendaftaran ke OJK. Setelah mendapatkan pernyataan

efektif dari OJK, perusahaan mulai melakukan penawaran umum saham. Saham

perusahaan terlebih dahulu diperdagangkan di pasar perdana (primary market)

1
2

yang biasa disebut initial public offering (Jogiyanto, 2007: 29). Ang (1997)

menyatakan bahwa IPO merupakan kegiatan yang dilakukan perusahaan dalam

rangka penawaran umum penjualan saham perdana. Setelah saham

diperdagangkan di pasar perdana kemudian didaftarkan di pasar sekunder. Dengan

mendaftarkan saham di pasar sekunder maka saham mulai diperdagangkan di

bursa efek bersama dengan efek lainnya.

Penentuan harga saham di pasar perdana pada dasarnya dilakukan

berdasarkan kesepakatan antara emiten (perusahaan penerbit) dengan underwriter

(penjamin emisi). Sementara itu, harga saham yang terjadi di pasar sekunder

ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran (Minsen,

2004).

Harga saham yang lebih rendah di pasar perdana dibanding dengan harga

saham di pasar sekunder pada hari pertama disebut dengan underpricing.

Sebaliknya, harga saham yang lebih tinggi di pasar perdana dibanding dengan

harga saham di pasar sekunder pada hari pertama disebut dengan overpricing

(Hanafi, 2004). Rock (1986) dan Husnan (1994) merumuskan harga saham pada

waktu IPO lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar sekunder setelah IPO.

Fenomena underpricing terjadi hampir di semua bursa termasuk Indonesia

Pada pasar modal Indonesia, hal ini dapat diketahui dari 126 perusahaan yang

melakukan IPO pada periode 2010-2014 di Bursa Efek Indonesia, sebanyak 74

perusahaan atau sebesar 58,7% mengalami underpricing atau memberikan initial

return yang positif. Tingkat underpricing yang tinggi menunjukkan bahwa harga

saham pada saat penawaran perdana secara merata dapat dikatakan murah.
3

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

terjadinya underpricing di Bursa Efek Indonesia.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan terjadinya fenomena

underpricing adalah teori asimetri informasi dan signalling theory. De Lorenzo

dan Fabrizio (2001) menyatakan bahwa terjadinya underpricing sebagai akibat

asimetri dalam distribusi informasi antara pelaku IPO, yaitu perusahaan,

underwriter, dan investor. Menurut Beatty (1989), asimetri informasi dapat terjadi

antara perusahaan emiten dengan underwriter (Model Baron) atau antara informed

investor dengan uninformed investor (Model Rock).

Ritter dan Welch (2002) mengungkapkan bahwa signalling theory mampu

menjelaskan fenomena underpricing. Underpricing dinyatakan sebagai suatu

mekanisme yang dilakukan oleh perusahaan untuk memberi sinyal kepada

investor atas kualitas perusahaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perusahaan-

perusahaan yang memiliki kualitas yang baik dengan sengaja melakukan

underpricing saham sehingga perusahaan akan memperoleh keberhasilan

penjualan saham saat IPO maupun pada penawaran saham selanjutnya.

Fenomena underpricing dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang

bersifat internal maupun eksternal perusahaan. Berdasarkan beberapa penelitian

yang telah dilakukan di Indonesia maupun di luar negeri menemukan beberapa

faktor yang berpengaruh terhadap underpricing, yaitu reputasi underwriter (Carter

dan Manaster, 1990; Sandhiaji, 2004; Hapsari, 2012; Kristiantari, 2013), reputasi

auditor (Hapsari, 2012), umur perusahaan (Carter dan Manaster, 1990; Sandhiaji,

2004; Hermuningsih, 2014), ukuran perusahaan (Sandhiaji, 2004; Boubaker dan


4

Mezhoud, 2011; Hapsari, 2012) dan return on equity (Yolana dan Martani, 2005;

Hapsari, 2012).

Underwriter merupakan pihak yang menjamin penawaran umum suatu

saham atau obligasi untuk pertama kalinya, yaitu pada saat go public (Ang, 1997).

Underwriter yang bereputasi tinggi memiliki keyakinan yang tinggi terhadap

kesuksesan penawaran perdana saham yang dijamin. Sehingga underwriter yang

bereputasi tinggi akan menetapkan harga yang lebih tinggi yang menyebabkan

tingkat underpricing rendah. Carter dan Manaster (1990), Shandiaji (2004), Yasa

(2008), Hapsari (2012) dan Kristiantari (2013) menemukan bahwa reputasi

underwriter berpengaruh negatif terhadap underpricing. Namun, dalam penelitian

Yolana dan Martani (2005), Sharralisa (2012), Wiguna dan Yadnyana (2015)

menemukan bahwa reputasi underwriter tidak berpengaruh terhadap

underpricing.

Reputasi auditor yang tinggi dapat digunakan sebagai tanda atau petunjuk

terhadap kualitas emiten (Holland dan Horton, 1993). Emiten yang menggunakan

auditor bereputasi tinggi akan dinilai positif oleh investor. Hal ini dikarenakan

laporan keuangan yang diaudit oleh auditor bereputasi tinggi dianggap lebih

akurat sehingga memberikan informasi yang tidak menyesatkan mengenai

prospek perusahaan di masa mendatang. Hapsari (2012) menemukan bahwa

reputasi auditor berpengaruh negatif terhadap underpricing. Sedangkan Sandhiaji

(2004), Suyatmin dan Sujadi (2006) dan Kristiantari (2013) menemukan bahwa

reputasi auditor tidak berpengaruh terhadap underpricing.


5

Umur perusahaan menunjukkan lamanya perusahaan berdiri. Perusahaan

yang telah lama berdiri akan lebih dikenal masyarakat luas, sehingga investor

secara khusus akan lebih percaya dibanding dengan perusahaan yang relatif baru

(Trisnawati, 1999). Carter dan Manaster (1990) dan Sandhiaji (2004) menemukan

bahwa umur perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing. Namun,

Kristiantari (2013), Wiguna dan Yadnyana (2015) menemukan bahwa umur

perusahaan tidak berpengaruh terhadap underpricing.

Ukuran perusahaan menunjukkan besar kecilnya perusahaan. Perusahaan

besar memiliki informasi yang lebih banyak dan lebih mudah diperoleh investor

daripada perusahaan kecil. Hal ini akan mengurangi asimetri informasi pada

perusahaan besar sehingga akan mengurangi tingkat underpricing. Shandiaji

(2004), Yolana dan Martani (2005), Boubaker dan Mezhoud (2011), Hapsari

(2012), Kristiantari (2013) dan Hermuningsih (2014) menemukan bahwa ukuran

perusahaan berpengaruh negatif terhadap underpricing. Sedangkan Yasa (2008)

menemukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap underpricing.

Return on Equity (ROE) merupakan indikator atas kemampuan perusahaan

untuk menghasilkan laba pada masa mendatang melalui keberhasilan atas

efektifitas perusahaan (Yolana dan Martani, 2005). ROE yang tinggi dapat

dijadikan sinyal kepada calon investor untuk menunjukkan bahwa perusahaan

tersebut memiliki kualitas yang baik. Penelitian Yolana dan Martani (2005)

menemukan bahwa ROE berpengaruh positif terhadap underpricing, dan Hapsari

(2012) menemukan bahwa ROE berpengaruh negatif terhadap underpricing.


6

Namun, dalam penelitian Sharralisa (2012) menemukan bahwa ROE tidak

berpengaruh terhadap underpricing.

Persentase saham yang ditawarkan merupakan variabel independen yang

ditambahkan dalam penelitian ini untuk diteliti pengaruhnya terhadap

underpricing. Persentase saham yang ditawarkan menunjukkan seberapa banyak

saham yang dilepas dan ditahan oleh pemilik. Persentase kepemilikan yang

ditahan oleh pemilik (insiders) menunjukkan adanya private information yang

dimiliki oleh pemilik atau manajer (Leland & Phyle, 1997). Informasi tingkat

kepemilikan saham oleh entrepreneur akan digunakan oleh investor sebagai

pertanda bahwa prospek perusahaannya baik. Semakin besar tingkat kepemilikan

yang ditahan atau semakin kecil persentase saham yang ditawarkan, akan

memperkecil tingkat ketidakpastian di masa yang akan datang (Novita, 2005).

Ketidakpastian yang rendah berasosiasi dengan tingkat underpricing yang rendah.

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor

yang mempengaruhi underpricing menghasilkan temuan yang berbeda-beda,

maka peneliti termotivasi meneliti kembali pada periode yang berbeda untuk

memperoleh bukti empiris yang dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak

yang berkepentingan. Variabel-variabel yang akan diteliti terdiri dari variabel

reputasi underwriter, reputasi auditor, umur perusahaan, ukuran perusahaan,

return on equity, dan persentase saham yang ditawarkan. Berdasarkan uraian yang

telah dipaparkan dalam latar belakang, maka penelitian ini diberi judul “Studi

Underpricing pada Initial Public Offering Di Bursa Efek Indonesia”.


7

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang muncul

dalam penelitian ini antara lain:

1. Apakah reputasi underwriter berpengaruh terhadap underpricing?

2. Apakah reputasi auditor berpengaruh terhadap underpricing?

3. Apakah umur perusahaan berpengaruh terhadap underpricing?

4. Apakah ukuran perusahaan berpengaruh terhadap underpricing?

5. Apakah return on equity berpengaruh terhadap underpricing?

6. Apakah persentase saham yang ditawarkan berpengaruh terhadap

underpricing?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diajukan, maka tujuan dari penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji pengaruh reputasi underwriter terhadap underpricing.

2. Untuk mengkaji pengaruh reputasi auditor terhadap underpricing.

3. Untuk mengkaji pengaruh umur perusahaan terhadap underpricing.

4. Untuk mengkaji pengaruh ukuran perusahaan terhadap underpricing.

5. Untuk mengkaji pengaruh return on equity terhadap underpricing.

6. Untuk mengkaji pengaruh persentase saham yang ditawarkan terhadap

underpricing.
8

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memberikan bukti empiris

terhadap teori asimetri informasi, signalling theory dan teori underpricing yang

meliputi theory investment banker monopsony power hypotesis, the lawsuit

avoidance hypotesis dan the ownership dispersion hypotesis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pihak investor

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi sebagai bahan

pertimbangan dalam mengambil keputusan untuk berinvestasi di pasar primer.

b. Bagi pihak perusahaan

Penelitian ini diharapakan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

melakukan penawaran saham baik di pasar primer maupun pasar sekunder.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini fokus pada pengaruh variabel reputasi underwriter, reputasi

auditor, umur perusahaan, ukuran perusahaan, return on equity, dan persentase

saham yang ditawarkan terhadap underpricing pada perusahaan yang melakukan

Initial Public Offering (IPO) pada periode Januari 2010 - Desember 2014 di Bursa

Efek Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai