Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ahmad yasir

Lokal : PBA 3C
Mata kuliah : fiqih

Soal :

١.‫أكتب عن تطور الفقه اإلسالم في ضوء الفقه اإلمام الشافعى؟‬


٢. ‫كيف رأيك عن الفقه النصى؟‬
٣.‫ من النجاسة ؟‬D‫تحدث عن المعفوات‬

1. Tuliskan perkembangan fiqh islam pada perkembangan fiqih imam Syafi’i?


2. Bagaimana pendapatmu tentang fiqh yang teks?
3. Jelaskan tentang najis-najis yang dimaafkan?

Jawaban :
1. Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H di kota Gaza, Palestina. Di usia yang relatif muda, ia
sudah menggebrak panggung sejarah pemikiran ushul fiqh dengan mahakarya kitab ar-Risalah.
Fakhr ar-Razi juga berpendapat dalam kitab Manaqib asy-Syafi'i "Para ulama sebelum datangnya
Imam Syafi’i saling berdiskusi di dalam masalah-masalah ushul fiqh. Para ulama saling
mengambil dalil dan saling silang pendapat tetapi mereka tidak mempunyai rancangan peraturan
yang bersifat menyeluruh yang bisa dipakai sebagai tendensi di dalam mendalami dalil-dalil
syariat. Begitu juga, para ulama belum mempunyai tatanan baku dalam bersilang pendapat dan
men-tarjih dalil-dalil syariat yang ada. Kemudian tampillah Imam Syafi’i dengan pemikirannya
dalam ilmu Ushul Fiqh. Imam Syafi’i-lah yang meletakkan peraturan yang bersifat menyeluruh
guna mendalami dalil-dalil syariat di hadapan khalayak ramai. Sehingga menjadi kukuhlah
penisbatan kejeniusan Imam Syafi’i di dalam ilmu syara' seperti halnya penisbatan kejeniusan
Aristoteles di dalam ilmu logika."
Kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i di kota Makkah lebih dikenal dengan "ar-Risalah
al-Qadimah" atau disebut juga dengan "ar-Risalah al-Atiqah". Keistimewaan dari Imam Syafi'i
dibandingkan dua mujtahid mutlaq sebelumnya, yaitu Imam Abu Hanifah yang terpusat di Iraq
dan Imam Malik yang terpusat di kota Madinah, adalah perjalanan keilmuannya yang sangat
kaya dan panjang.
Dimulai dari kota Makkah yang sangat terkenal dengan ilmu tafsir dan asbabun nuzul Al-Qur’an.
Imam Syafi’i mulai menetap di kota Makkah sejak usia dua tahun. Imam Syafi’i telah
menyelesaikan hafalan Al-Qur'an sebelum usianya genap menginjak umur tujuh tahun. Di kota
Makkah, Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Syekh Muslim bin Khalid az-Zanji. Kemudian, di
usia 13 tahun Imam Syafi’i mulai mengembara ke kota Madinah yang terkenal dengan
gudangnya ulama ahli hadits. Di kota Madinah inilah Imam Syafi’i menimba ilmu kepada Imam
Malik bin Anas. Imam Syafi’i menetap di kota Madinah hingga tahun 179 H/795 M, tahun di
mana Imam Malik bin Anas wafat.
Di kota Makkah dan Madinah inilah, Imam Syafi’i bertemu dengan pakar ahli hadits, ahli
tafsir dan ahli fiqh yang mumpuni di bidangnya. Imam Syafi’i mampu menyerap semua ilmu
itu dengan baik. Hingga di fase ini, Imam Syafi’i mendapatkan derajat mumpuni dalam
bidang fatwa, baik di bidang fiqh maupun bidang Hadits. Selain menimba ilmu agama, Imam
Syafi’i juga belajar gramatika bahasa Arab ke pelosok-pelosok pedalaman jazirah Arab.
Diriwayatkan Imam Syafi’i pernah menetap lama di perkampungan bani Hudzail. Di fase
inilah, Imam Syafi’i mendapatkan penguasaan gramatika bahasa Arab yang fashih dan baik,
yang di kemudian hari sangat menunjangnya dalam memahami tata bahasa Al-Qur’an dan
Hadits. Imam Syafi’i juga sempat menjadi pegawai pemerintahan di daerah Najran setelah
wafatnya Imam Malik. Kemudian, Imam Syafi’i menetap sekitar sembilan tahun di kota
Makkah. Kemungkinan besar dalam periode sekitar sembilan tahun menetap di kota Makkah
inilah Imam Syafi’i mengarang kitab ar-Risalah. Pengembaraan Imam Syafi’i berlanjut ke
kota Baghdad pada tahun 195 H/810 M. Di fase inilah, Imam Syafi’i menemukan banyak
penyesuaian. Imam Syafi’i mampu menyelaraskan dengan baik pemikiran ahlu naql (ulama
yang banyak bersandar pada teks agama, red) yang didapatkan di kota Madinah di bawah
asuhan Imam Malik dengan pemikiran ahlu ra'yi (ulama yang banyak bersandar pada akal,
red) yang didapatkan di bawah asuhan Imam Muhammad bin al Hasan, murid dari Imam Abu
Hanifah di kota Baghdad. Di kota Baghdad inilah, Imam Syafi’i memiliki beberapa murid.
Murid-murid beliau di kota Baghdad di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, az-
Za'farani, dan al-Karabisi. Setelah perjalanan keilmuannya yang panjang, Imam Syafi’i
merasa memerlukan banyak reformasi dalam kitab ar-Risalah yang telah ditulis dahulu di kota
Makkah. Hingga di fase akhir inilah, Imam Syafi’i menulis ulang kitab ar-Risalah di Fustath,
salah satu bagian dari kota Kairo di negeri Mesir saat itu. Maka lahirlah kitab ar-Risalah versi
baru yang dianggap para ulama setelahnya sebagai puncak pemikiran Imam Syafi'i. Di
kemudian hari, karya yang ditulis ulang ini lebih masyhur dengan sebutan “ar-Risalah al-
Jadidah" atau dikenal juga dengan "ar-Risalah al-Mishriyyah". Akan tetapi, meskipun telah
mengalami masa menimba ilmu yang sangat panjang Imam Syafi’i tetap berusaha untuk
menyempurnakan kitab ar-Risalah. Hal ini, sebagaimana catatan Imam al-Baihaqi dalam kitab
Manaqib asy-Syafi'i yang bersumber dari Rabi' bin Sulaiman, murid dari Imam Syafi’i bahwa
beliau berkata, "Aku membaca kitab ar-Risalah al-Mishriyyah di hadapan Imam Syafi’i lebih
dari 30 kali, dan setiap aku membaca di hadapannya, Imam Syafi’i selalu memberikan koreksi
atas kitab ar-Risalah al-Mishriyyah, kemudian pada akhirnya Imam Syafi’i berkata kepadaku,
‘Allah tidak menakdirkan sebuah kitab lebih shahih (terhindar dari kesalahan) kecuali dalam
kitab-Nya (Al-Qur'an)’." Di kemudian hari, kitab ar-Risalah yang ditulis oleh Imam Syafi’i
dijabarkan lebih panjang (syarh) oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah ash-
Shairafi, Imam Abu Walid Hassan bin Muhammad al Umawi, Imam Muhammad bin Ali yang
lebih masyhur dengan julukan al-Qaffal asy-Syasyi, Imam Abu Muhammad al-Juwaini (ayah
dari Imam Haramain al-Juwaini), dan Imam Abu Bakar Muhammad bin Abdullah asy-
Syaibani. Setelah lahirnya kitab ar-Risalah al-Jadidah Imam Syafi’i merasa perlu untuk
menyempurnakan lagi ilmu ushul fiqh yang beliau rintis dengan menerbitkan kitab Jima'ul
Ulum. Kitab ini banyak menceritakan tentang golongan yang menolak dalil hadits Ahad serta
bantahannya dan sejenisnya. Disusul setelahnya, Imam Syafi’i menerbitkan kitab Ikhtilaful
Hadits yang menjelaskan perbedaan pendapat para ulama dalam menyikapi hadits yang
beredar. Kitab ini disusun sesuai dengan alur bab ilmu fiqh. Dan pada akhirnya Imam Syafi’i
menutup karya-karyanya dalam ilmu ushul fiqh dengan menerbitkan kitab Ibthalul Istihsan.
Kitab ini banyak mengkritik ulama yang terlalu berlebihan dalam memakai metode istihsan.
Selain itu, Imam Syafi’i juga menulis kitab Sifatu Nahyi Nabi yang menjelaskan makna
larangan (nahyu) dalam hadits Nabi. Walhasil, Imam Syafi’i meletakkan fondasi yang sangat
kokoh sebagai awal dimulainya diskusi panjang tiada akhir di bidang ilmu ushul fiqh. Di
antara landasan pemikiran yang telah dibangun oleh Imam Syafi’i adalah: Menjelaskan dalil-
dalil yang diambil dalam menentukan hukum yaitu Al-Qur’an, hadits, ijma', qiyas, serta
mempertajam urutannya. Memperkokoh hujjah hadits secara umum dan mengukuhkan hujjah
hadits Ahad secara khusus serta menerangkan tentang tidak adanya pertentangan secara nyata
baik antara Al-Qur’an dan hadits maupun antara satu hadits dengan hadits lainnya sebagai
sumber dalil. Menjelaskan kewajiban mengikuti jalan orang-orang beriman (ijma').
Memberikan batasan dan kadar yang jelas dalam menjadikan akal sebagai patokan hukum
serta memberikan syarat yang terperinci dalam menggunakan Qiyas. Memberikan perlawanan
cukup serius dalam mematahkan hujjah Mu'tazilah yang terlalu ekstrem dalam mentakwil
sifat Allah. Memberikan peringatan bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab serta di
dalam Al-Qur’an ada beberapa cara baca yang memang ada di dalam pelafalan bahasa Arab.
Menerangkan tentang amr (perintah) dan nahi (larangan). Menjelaskan naskh dan mansukh
(pembatalan hukum). Setelah periode Imam Syafi’i, berbondong-bondonglah para ulama
generasi selanjutnya untuk menelisik lebih jauh di dalam masalah Al-Qur’an dan hadits. Di
antara para ulama tersebut adalah Imam Ahmad bin Hanbal dengan karya kitab Risalatul
Imam Ahmad fi Tha'atir Rasul, disusul dengan Imam al-Bukhari dengan karya kitab Akhbarul
Ahad dan karya kitab al-I'tisham bil Kitab wa Sunnah, disusul dengan Imam Ibnu Qutaibah
dengan karya kitab Takwil Musykil al-Qur'an dan karya kitab Takwilu Mukhtalafil Hadits.
Imam Syafi’i wafat pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H di kota Kairo.

2 . Menurut saya fiqh yang teks adalah fiqh yang hukum dan syariatnya diambil dari Al-qur’an
dan hadits dan ditulis dalam sebuah kitab oleh ulama madzhab, yang kitab tersebut berisi tentang
hukum-hukum fiqh yang telah diambil dari Al-qur’an dan hadits serta berisi tentang pendapat
para ulama pada saat itu. Dan itu terjaga dari kesalahan.

3.Secara fiqih, najis terbagi menjadi 3 (tiga) golongan :


• Najis Mukhaffafah (Ringan)
Najis mukhaffafah adalah najis dari air kencingnya bayi laki-laki yang belum berumur 2
tahun, serta belum pernah makan sesuatu apa pun kecuali air susu ibunya.
•Najis Mutawassitah (Sedang)
Najis mutawassithah merupakan najis yang keluar dari kubul atau dubur manusia atau
binatang, kecuali air mani, barang cair memabukkan, dan susu hewan yang tidak halal
dikonsumsi.
Selain itu ada juga bangkai tulang maupun bulunya, dikecualikan bangkai-bangkai manusia
beserta ikan dan belalang. Najis sedang seperti mutawassithah terbagi menjadi dua, yaitu:
a.Najis 'Ainiyah adalahnajis yang berwujud yakni tampak dilihat. Semisal memiliki warna,
bau dan rasa.
b.Najis Hukmiyah adalah najis yang tidak kelihatan wujudnya, seperti bekas kencing, arak
yang sudah mengering dan sebagainya.
•Najis Mughalladah (Berat)
Najis mughalladhah yaitu najis yang berasal dari hewan anjing dan babi.
tata cara dalam menyucikan najis ringan hingga berat:
Membersihkan Najis Mukhaffafah
Sesuatu hal yang terkena najis mukhaffafah yaitu kotoran kencing bayi yang belum 2 tahun serta
masih minum ASI, dapat dibersihkan dengan percikan air.
Maksud percikan air ini adalah air yang mengalir mengenai seluruh tempat terkena najis, dan airnya
harus lebih banyak dari najis air kencing tersebut.
Apabila lokasi yang terkena najis air kencing misalnya pakaian, sudah dibersihkan menggunakan air
mengalir tadi, maka selanjutnya tinggal keringkan seperti biasa.
Membersihkan Najis Mutawassithaha
Najis mutawassithah dapat dibersihkan terlebih dulu najis'ainiyah-nya dengan cara tiga kali cucian
kemudian disirami lebih banyak.
Untuk najis hukmiyah, cara menghilangkannya cukup dengan air mengalir saja yang
jumlahnya melebihi najis itu.
Membersihkan Najis Mughalladhah
Sesuatu hal yang terkena najis mughalladhah seperti jilatan anjing atau babi, wajib dibasuh sebanyak 7
kali dan salah satunya memakai air campuran tanah atau debu.
Sebelum dibersihkan dengan air, wujud najis atau'ainiyah-nya harus dibuang terlebih dulu sampai
benar-benar hilang, kemudian dilanjutkan dengan cara 7 kali cuci.
Najis yang Dimaafkan (Ma'fu)

Contoh najis yang dimaafkan misalnya bangkai hewan yang tidak mengeluarkan darah atau
nanah sedikit pun, baik mengenai air maupun pakaian.
Najis yang dimaksud adalah najis kecil tak kasat mata, ketika buang air kecil tidak melepas seluruh
pakaian, bisa jadi terkena cipratan air seni yang bulirnya lembut tak terlihat.
Seseorang yang pakaiannya terkena najis kecil tak kasat mata seperti contoh sebelumnya itu, masih
dianggap sah salatnya karena najis pakaiannya masuk pada kategori najis dimaafkan.
Contoh lain najis yang dimaafkan seperti nyamuk dan darahnya ada di tangan, jerawat atau bisul pecah.
Istinja seseorang yang membersihkan kotoran dengan alat yang padat, kasar dan tidak di hormati seperti
batu, dan dengan syarat tidak adanya air.

Anda mungkin juga menyukai