Anda di halaman 1dari 13

1

Kepemimpinan Pemerintahan: Kepala Daerah dan DPRD


(Oleh: Irfan Ridwan Maksum)

Abstrak

Kepemimpinan merupakan elemen strategis dalam pemerintahan. Tanpa kepemimpinan, praktis,


pemerintahan tidak bergerak. Sebagaimana teori governance, bahwa kepemimpinan menjadi dasar
dari kerja mesin birokrasi. Pemerintahan terdiri dari elemen kepemimpinan dan mesin birokrasi yang
berfungsi meraih tujuan-tujuan yang diinginkan dalam sebuah Negara bangsa. Dalam pemerintahan
daerah, kepemimpinan terdiri dari kepemimpinan politiik dan kepemimpinan dalam birokrasi.
Kepemimpinan politik bersumber dari eksekutif dan DPRD. Kepemimpinan politik ini adalah sumber
dari governansi lokal berjalan. Maka. terkait efektifitas kepemimpinan lokal tersebut sistem pemilihan
amat berperan baik pemilu legistatif maupun pilkada. Uraian dalam karya ini merinci hubungan kepala
daerah dan DPRD, paradigma rekrutmen eksekutif lokal, dan pilkada untuk sistem rekrutmen
eksekutif lokal di Indonesia.

A. PENDAHULUAN

Pemerintah daerah berada dalam ruang tertentu. Sistem pemerintahan nasional adalah konteks
utama dalam pemerintahan daerah. Dalam hal pemda tidak sanggup mengisi pembangunan,
sebetulnya ada andil sistem pemerintahan nasional itu sendiri yang membuatnya demikian.
Pemerintah nasional harus terus mengisinya dengan mengarahkan pemda pada soal-soal
konkrit yang berkembang di tempatnya. Pemerintah nasional juga harus mengetahui apakah sistem
pemda yang dibangun memang kondusif untuk pembangunan berjalan. Pemda hanyalah instrumen
dalam mencapai serangkaian nilai pembangunan yang diinginkan oleh sebuah bangsa.
Jika ranah pemerintah daerah ada dalam ranah pemerintahan nasional, sudah sepatutnya
pengendali pemerintah nasional turun tangan. Jika menyangkut sistem pemda yang dikembangkan
maka pihak-pihak yang terlibat dalam governance nasional harus memperbaikinya agar bisa berjalan
efektif.
Tampak di Indonesia, kini terdapat ketidak-kompakkan antar berbagai elemen sistem pemda
yang dimulai dari tingkat nasional itu sendiri. Di tingkat nasional, kita kebingungan apakah presidensiil
atau parlementer, bahkan memilih federal dan kesatuan pun tidak kuat arah kebijakan nasionalnya.
Bangsa kita belum sepakat betul terhadap sistem-sistem yang berkarakter tersebut di tingkat nasional.
Padahal sumbangan terhadap sistem pemerintahan daerah amat besar.
Selanjutnya pilihan antar tekanan terhadap nilai demokrasi dan efisiensi yang campur-aduk
dan tanpa arah juga menyumbangkan ketidak-kompakkan kembali. Akhirnya sumbangan terakhir
datang dari ketidak-jelasan karakter sistem pemda Indonesia. Sistem yang memang sejatinya
berkembang dari bumi Indonesia seharusnya dicari.
2

Membicarakan hal ini adalah tugas pilar governance nasional. Jika ini mampu dikelola dan
diarahkan dengan baik, maka mengembangkan sistem manajemen pemerintahan daerah yang lebih
operasional dapat mudah dipoles secara efektif pula. Walhasil, tidak menjadikan pepesan kosong
kembali buat pemda dalam pembangunan, mengingat ’decentralization is point no return’.

B. KEPALA DAERAH DAN DPRD


Ukuran keberhasilan administrasi negara adalah jika sasaran dalam manajemen pemerintahan yang
diturunkan jauh bahkan dari ideologi negara berhasil diwujudkan. Manajemen pemerintahan ini
tergantung dari governance, birokrasi dan leadership dari administrasi negara tersebut (Turner dan
Hulme: 1995). Cara Turner dan Hulme ini bisa diacu sebagai jalan menemukan dimensi-dimensi
reformasi. Di daerah manajemen pemerintahan bersumber dari kepemimpinan politik yang berada di
tangan Kepala Daerah dan DPRD.

A.1. Kepala Daerah


Kepala daerah, dalam bahasa internasional dikenal dengan istilah ekskutif atau eksekutif lokal. Khan
dan Muthallib (1981) mengatakan bahwa:
“The local executives may be classified on threefold basis: number, nature, and
position. On the basis of number, one may identify two forms: mono-executive and
plural-executive…By nature, there can be political and non-political executive, while
on the basis of legal powers and position local executives can be divided into two
board: strong and weak….”

Pendapat tersebut membawa kepada kemungkinan adanya 8 bentuk eksekutif lokal. Kedelapan
bentuk tersebut, semuanya di dalam hubungannya dengan DPRD (council) berpola pada dua kategori
di atas. Jika dibuat bahwa menurut jumlahnya dapat kita beri label katakanlah: mono (1) dan plural
(2), dan dari ‘nature-nya adalah: politis (3) dan non-politis (4); kemudian dari posisisnya adalah kuat
(5) dan lemah (6), maka kedelapan pola tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 5.4
Pola Kemungkinan eksekutif
Pola Eksekutif Kombinasi yang Mungkin Keterangan
A 1-3-5 Mono-politis-kuat
B 1-3-6 Mono-politis-lemah
C 1-4-5 Dst.,
D 1-4-6
E 2-3-5
F 2-3-6
G 2-4-5
h 2-4-6

Sumber: Khan dan Muthallib (1981)


3

Pada saat UU No. 5 Tahun 1974, Indonesia menganut 100% mono eksekutif. Di bawah UU
No. 22 Tahun 1999, dalam kadar dimana KDH dipilih bersama Wakil KDH dan tugas-tugasnya
seringkali dalam praktek dibawa bersama-sama, Indonesia tidak lagi 100% mono eksekutif. Undnag-
undang No. 32 Tahun 2004-pun tidak jauh berbeda dengan UU No. 22 tahun 1999 hanya saja mulai
dilakukan pemilihan kepala daerah secara langsung. Ketiga UU menganut ekskutif yang bersifat
politis (dipilih secara oleh DPRD/ tidak langsung oleh masyarajat) dan berkedudukan kuat
(membentuk birokrasi daerah).

A.2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)


Dalam literatur asing, peristilahan untuk perwakilan di tingkat lokal digunakan ‘council’. Keberadaan
DPRD ini bersifat mendasar dalam pemerintahan daerah karena menyangkut nilai-nilai demokrasi
seperti dikatakan oleh Khan dan Muthallib (1981). Seperti disinggung di Bab I, terdapat beberapa
variabel penting yang mempengaruhi kinerja DPRD ini.

Khan dan Muthallib (1981) mensinyalir bahwa bentuk alamiah Dewan Lokal sekarang ini di
dunia hanya berupa satu kamar (One Chamber). Kamar ini diisi melalui pemilu. Leemans (1970)
sampai pada akhri 60-an, melihat bahwa di negara-negara berkembang pengisian keanggotaa Dewan
lokal bervariasi dalam tiga kelompok pengisian: (1) pegawai pemerintah Pusat di daerah umumnya
merangkap sebagai anggota; (2) Pemerintah atau wakilnya di daerah menunjuk atau menetapkan
beberapa waga masyarakat daerah menjadi anggota Dewan (baik diadakan pemilihan maupun tidak);
dan (3) pemilihan langsung oleh warga masyarakat.
Di antara variabel-variabel yang dikemukakan oleh Khan dan Muthallib (1981), bentuk formal
Council (DPRD) adalah variabel yang secara jelas berdekatan dengan penjelasan mengenai
hubungan antara Council dengan eksekutif lokal (KDH). Sebagaimana diungkap di bab I, Khan dan
Muthallib (1981) menuliskan adanya dua kelompok bentuk formal DPRD. Secara ringkas, kelompok
pertama menempatkan DPRD sebagai sumber otoritas birokrasi lokal –bisa bersama KDH atau tanpa
KDH seperti di Inggris, sedangkan kelompok kedua tidak berperan sebagai sumber otoritas birokrasi
karena dipegang oleh KDH (Eksekutif).
Kedua bentuk formal tersebut mempengaruhi hubungan antara DPRD dan KDH, hak dan
wewenang DPRD –dan kewajibannya— dalam pemerintahan. Oleh karena itu mengurai kelembagaan
DPRD tentu tidak bisa dilepaskan dengan pembahasan kelembagaan KDH (eksekutif lokal).

B. BENTUK HUBUNGAN ANTARA DPRD DAN KDH


Untuk mengawali bangunan teoritik hubungan DPRD (council) dan KDH (local excutive), sangat baik
digambarkan terlebih dahulu apa yang dikembangkan di USA karena terdapat variasi yang cukup
kompleks. Di USA terdapat empat sistem berikut (Pinch: 1985):
4

1. ‘commissioners system’ dimana komisioner hasil pemilihan langsung masyarakat,


menentukan dan mengelola dinas-dinas/ lembaga birokrasi daerah;
2. ‘council-manager system’ dimana manager hasil pilihan dewan bersama major-nya
menentukan dan mengelola dinas-dinas/ lembaga birokrasi daerah
3. Pola ‘weak major’; jika dinas/ lembaga birokrasi daerah diisi melalui pemilihan
langsung dari warga, sedangkan KDH-nya oleh DPRD yang terpilih.
4. ‘strong major’ dimana KDH dipilih langsung oleh publik, kemudian menentukan dan
mengelola dinas/ lembaga birokrasi daerahnya; sedangkan di Inggris di tangan
Dewan dan tanpa mayor/ KDH (mirip commissioner system).

Masing-masing pola memiliki karakter hubungan tersendiri. Pada saat ini, Indonesia berada di antara
pola strong-major dan council- manager. Dikatakan strong major, karena Kepala Daerah (KDH)
mengembangkan birokrasinya sendiri. Dikatakan council-manager, karena KDH hasil pilkadasung
mengangkat seorang Sekda yang berperan besar dalam pemerintahan daerah atas persetujuan
DPRD (council) -- meskipun usul mengenai jabatan Sekda Kabupaten/ Kota dimintai pula
persetujuannya ke Gubernur. Sekarang ini, Sekda di Indonesia seolah-olah manager di Daerah,
dimana Sekda memainkan peranan yang besar dalam manajemen sehari-hari pemerintahan daerah
dan model tersebut menghendaki tidak dipilihnya secara politis seorang manager.

Dengan demikian, Indonesia kini tidak mencontoh salah satu pun bentuk dari Amerika,
apalagi Inggris yang memang mirip ‘commisioner system’ di Amerika. Sesungguhnya pun pada masa
lalu dimana KDH ditentukan melalui proses pemilihan dari DPRD bahkan terdapat intervensi
Pemerintah Pusat untuk menentukan calon terpilih tanpa berdasarkan suara. Baik Inggris maupun
Amerika rekrutmen KDH tidak melalui proses yang demikian. Dalam hal ini Indonesia banyak
mencontoh Perancis, walaupun kini sistem Pemerintahan daerah di Perancis pun mengalami
perubahan dalam pemilihan KDH-nya (Humes IV: 1991). Sistem pemilihan KDH ini selanjutnya akan
mempengaruhi bentuk hubungan antara KDH dan DPRD.

Humes dan Martin (1969: 126) mengatakan:

“Just as the representative and staff aspects of focal representative governing


process are so closely interwoven that it is impossible to segregate the two, so are
the representative and staff aspects of the role of the chief executive difficult to
distinguish clearly. Each is dependent upon the other. The leading role of the chief
executive in the representative process enhances his ability to get things done as the
top official directing the staff. On the other hand, his role as the overall director of the
staff puts him in a stronger position not only to formulate and initiate the ideas which
are presented to the council, but also to influence the decisions which it makes.”

Oleh karena itu Humes dan martin (1969: 127) mengatakan bahwa untuk menganalisis pengaruh dari
KDH atas pembuatan keputusan dalam DPRD perlu dibedakan bentuk-bentuk atau pola KDH apakah
dia adalah ‘chairman’ dalam DPRD itu sendiri ataukah memang jabatan strategis karena dipilih
langsung dari masyarakat.
5

Bukan dijadikannya KDH sebagai ‘chairman’ atau ‘board chairman’ dari DPRD, seorang KDH
dapat berupa single chief executive atau plural. Dalam hal KDH memiliki posisi strategis, pengaruhnya
terhadap proses pengambilan keputusan melalui empat tahapan: (1) KDH dapat menyiapkan ide-ide
untuk dijadikan proposal kebijakan; (2) KDH menyampaikan proposal kebijakan kepada DPRD; (3)
DPRD menilai apakah disetujui, modifikasi, atau ditolak; dan (4) implementasi kebijakan.

KDH yang bertindak sebagai ‘chairman’ atau ‘board chairman’ tidak sampai memasuki
tahapan ke-empat karena terdapatnya kepala eksekutif operasional bahkan bisa di berbagai bidang
tergantung keadaan di daerahnya masing-masing. Tahapan awal dalam pola ini juga bisa berangkat
di dalam tubuh DPRD sendiri –di antara komisi-komisi di dalam tubuh DPRD mulai digodok ide-ide
kebijakan daerah.

Keadaan tersebut di atas, dalam hal KDH bukanlah merupakan ‘chairman’ dari DPRD,
semakin kompleks jika intervensi Pemerintah Pusat memiliki andil terutama dalam proses pemilihan
KDH-nya. Negara-negara yang menganut ini antara lain: Perancis, Belanda, Sudan, Indonesia (UU
No. 5 Tahun 1974), dan negara-negara bekas jajahan Inggris di Afrika, Spanyol, dan jajahan Belanda.

1. KDH yang dipilih oleh DPRD

Humes IV (1991) memetakan pola-pola pemerintahan daerah menurut dimensi pengawasan dari
DPRD dan Wakil pemerintah pusat di daerah menjadi empat macam tipe. Pertama, functional
regulation, seperti di Inggris dimana DPRD berperan penuh mengawasi jalannya pemerintahan
daerah tidak ada wakil pemerintah di daerah, yang ada adalah pejabat pemerintah pusat sektoral di
daerah yang mengawasi bidangnya masing-masing.

Kedua, dual supervision, seperti di Perancis. DPRD berperan lemah terhadap pengawasan
pemerintah daerah karena pengawasan yang kuat justru dari wakil pemerintah pusat (WPP) di daerah
ditambah adanya pejabat pemerintah pusat sektoral yang mengawasi pula bidang-bidangnya. Bahkan
DPRD sendiri diawasi pula oleh lembaga WPP ini. Ketiga, dual subsidiary, seperti di Jerman yang
hampir mirip dengan Inggris dimana DPRD punya peran kuat mengawasi pemerintah daerah tetapi
didukung pengawasan oleh WPP. Peran pejabat pemerintah di daerah sektoral dikurangi.

Keempat, dual subordination, seperti di mantan Uni-soviet dimana pengawasan DPRD sangat
dikurangi. Pengawasan lembaga ini diwujudkan melalui pengawasan partai tunggal di
Pemerintahannya. Praktis, yang mengawasi jalannya pemerintah daerah adalah pemerintah pusat
melalui aparaturnya di daerah dan ditambah partai tunggal yang berkuasa.

Diplihnya KDH baik oleh DPRD maupun masyarakat secara langsung membawa kedudukan
KDH dalam pandangan Khan dan Muthallib (1981) bersifat politis. Dipilih oleh DPRD, bisa membawa
posisi KDH lemah karena KDH harus akuntabel terhadap DPRD. Namun, kelemahan tersebut menjadi
6

berkurang jika birokrasi daerah ada di tangan KDH murni. Kedudukannya akan berkurang jika
terdapat campur tangan DPRD, dan semakin lemah jika memang DPRD mengambil posisi penuh
menentukan birokrasi daerah pula.

Di dalam hal ini perlu dilihat apakah KDH berkedudukan sebagai WPP pula (dual function)
atau tidak. Jika tidak sebagai WPP apakah terdapat WPP di sana? Jika tidak ada WPP bagaimana
dengan pejabat pemerintah pusat sektoral yang ditempatkan di daerah? Bagaimana pula sistem
pembagian kewenangan yang diterapkan secara makro, apakah ‘ultra vires’ ataukah ‘general
competence’.

Terlepas dari hal-hal tersebut, dipilihnya KDH oleh DPRD memiliki keuntungan dan kelebihan
relative menurut beberapa kriteria. Pemilihan KDH dapat dilihat berdasarkan kriteria: (1) kualitas KDH
terpilih; (2) akuntabilitas publik dan responsiveness; (3) efisiensi pemilihan; (4) jaminan transparansi
dan fairness.

Dipilihnya oleh DPRD, KDH yang terpilih relative lebih berkualitas karena dikenal oleh elite-
elite politik yang berkecimpung di dalam pemerintahan daerah dan jaminan telah mengenal
daerahnya dengan baik lebih teruji. Namun akuntabilitas publik dan responsiveness-nya relative
kurang karena dipilih oleh lembaga elite lokal (DPRD). Dari sisi efisiensi sampai terpilihnya seorang
KDH, proses seperti ini cenderung tinggi walaupun fairness dan transparansi-nya bisa jadi kurang.

2. KDH yang Dipilih oleh Masyarakat Secara Langsung

Kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat sudah dipastikan berkedudukan kuat, politis
dan cenderung tunggal. Kemudian kedudukan yang kuat ini harus dibandingkan pula dengan apa
yang juga bisa dilihat dalam KDH yang dipilih oleh DPRD di atas, apakah KDH berkedudukan sebagai
WPP pula (dual function) atau tidak. Jika tidak sebagai WPP apakah terdapat WPP di sana? Jika tidak
ada WPP bagaimana dengan pejabat pemerintah pusat sektoral yang ditempatkan di daerah?
Bagaimana pula sistem pembagian kewenangan yang diterapkan secara makro, apakah ‘ultra vires’
ataukah ‘general competence’.

Kedudukan kuat seperti ini dimiliki oleh pola ‘strong major’ di USA. Bagaimana hubungannya
dengan DPRD, apakah DPRD memiliki rangkaian pengawasan yang variatif pula? Apakah sampai
pada hak ‘impeachment’? peran seperti apa yang diambil oleh Pemerintah pusat terhadap kedua
lembaga tersebut. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat sepenuhnya membawa pola
ke strong major USA, atau ke arah variasi-variasi yang bisa dilakukan oleh sebuah sistem
pemerintahan daerah.

Dipilihnya oleh DPRD, KDH yang terpilih relative lebih kurang berkualitas karena dikenal
terbuka ke seluruh lapisan masyarakat dan terbuka bagi ‘new comers’. Namun, akuntabilitas publik
7

dan responsiveness-nya relative tinggi karena dipilih langsung oleh konstituen. Dari sisi efisiensi
sampai terpilihnya seorang KDH, proses seperti ini cenderung rendah walaupun fairness dan
transparansi-nya bisa jadi lebih tinggi.

Menggabungkan keunggulan kedua proses pengisian jabatan KDH, terdapat variasi di


berbagai praktik pemerintahan daerah bahwa KDH dapat saja dipilih melalui proses gabungan yakni
dua tahapan. Pertama, dilakukan penjaringan dan pencalonan serta pemilihan di tingkat DPRD;
kemudian, Kedua, dilakukan pemilihan langsung oleh Masyarakat.

C. SELECTION DIUBAH MENJADI ELECTION


Menarik untuk disimak dari UU No. 32 tahun 2004 adalah bahwa Pilkada sendiri tidaklah murni
‘election’, melainkan ‘selection’. Pasal 65 ayat (1) menyatakan: “Pemilihan kepala Daerah dan wakil
kepala Daerah dilaksanakan melalui masa persiapan, dan tahap pelaksanaan.” Ayat (2) pasal
tersebut kemudian menyatakan:”Masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a.
Pemberitahuan DPRD kepada kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan; b. Pemberitahuan
DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan kepala Daerah; c. Perencanaan
penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala
Daerah; d. Pembentukan Panitia Pengawas, PPK, PPS dan KPPS; e. Pemberitahuan dan
pendaftaran pemantau.
Pasal tersebut memberi indikasi bahwa walaupun tidak lagi berperan dalam proses pemilihan
KDH, namun sesungguhnya kekuasaan penentuan jabatan kepala Daerah masih berada pada kendali
DPRD. Pasal lain yang memperkuat hal ini adalah pasal 109. Ayat (3) pasal tersebut menyatakan”
Pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur terpilih diusulkan oleh DPRD provinsi, selambat-
lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari, kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri berdasarkan
berita acara penetapan pasangan calon terpilih dari KPU provinsi untuk mendapatkan pengesahan
pengangkatan.” Kemudian ayat (4) nya menyatakan: “Pasangan calon bupati dan wakil bupati atau
walikota dan wakil walikota diusulkan oleh DPRD kabupaten/kota, selambat-lambatnya dalam waktu 3
(tiga) hari, kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur berdasarkan berita acara penetapan
pasangan calon terpilih dari KPU Kabupaten/ Kota untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan.”
Dua pasal tersebut merupakan dasar pikir utama bahwa Pilkada di bawah UU No. 32 Tahun
2004 bukanlah ‘election’ dalam arti sesungguhnya tetapi ‘selection’ yang dibumbui kuat ‘election’.
Pada tataran praksis, konsepsi tersebut memiliki implikasinya masing-masing oleh karena itu, tidaklah
bijaksana jika kita memaksakan kehendak paradigma ‘election’ terhadap materi UU tersebut.
Undang-undang No. 22 Tahun 2014 tentang Pilkada telah menggantikan pengaturan
pilkadasung di bawah UU No. 32 Tahun 2004. Undang-undang baru mengatur bahwa pilkada
berlangsung di tangan DPRD kembali. Namun, UU ini mendapatkan gugatan bahkan juga tengah
8

menghadapi tuntutan diterapkannya Perpu sebagai respon atas meluasnya keberatan masyarakat
yang ditetapkan pemerintah agar pilkadasung tetap dianut.

D. IMPLIKASI PERGESERAN PARADIGMA ‘SELECTION’ KE ARAH ’ELECTION’


Seleksi berbeda dari eleksi. Letaknya adalah bahwa panitia pemilihan memiliki otoritas atau tidak
untuk secara langsung menyatakan bahwa kedudukan tertentu secara sah diisi oleh Pemenang
Pemilu. Jika memiliki otoritas, maka itu adalah ’election’. Adapun pejabat yang berwenang
mengesahkan calon Pemenang berfungsi sebatas untuk memperkuat otoritas tersebut. Sebaliknya
jika tidak memiliki otoritas melainkan masih harus diteruskan oleh adanya lembaga lain, maka proses
pemilihan tersebut sesungguhnya beralih fungsi menjadi ’selection’ yang dikerangkai oleh ’election’.
Inti dasarnya masih tetap ’selection’.
Pada tingkatan yang paling rendah, seleksi tidak membutuhkan pemilihan terbuka melainkan
dengan penunjukkan. Pada tahapan yang agak moderat, seleksi dilakukan dengan fit and proper test.
Undang-undang 32 Tahun 2004 mengalihkan tugas pemilihan dari DPRD kepada KPUD yang
masih di bawah lembaga perwakilan lokal tersebut. Proses seleksi yang menjadi pilihan UU tersebut
ditujukan bahwa upaya demokratisasi tidak perlu dilakukan secara drastis. Untuk itu, sangat logik jika
pintu partai masih menjadi satu-satunya akses calon Kepala Daerah.
Sistem seleksi yang kuat ini dipatahkan berurutan oleh MK dengan mengegser
pertanggungjawaban KPUD bukan kepada DPRD, dan terakhir adanya calon independen.
Sesungguhnya kita menjadi kuat sistem ’election’.
Dari nilai demokrasi, pilihan seleksi memiliki kadar yang lebih rendah. Namun, seringkali
diambil karena beberapa pertimbangan. Pertimbangan utamanya adalah bahwa pancaran
pengelolaan pemerintahan Daerah dari pemegang kekuasaan eksekutif ke Daerah dilakukan oleh dua
lembaga, yakni DPRD dan pemerintah Daerah. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tidak disertai adanya
anak kalimat perlunya keterlibatan pihak lain di Daerah di luar kedua lembaga tersebut dalam
mengemban pemerintahan Daerah.
Paradigma seleksi jabatan kepala Daerah merupakan pilihan logis bagi pengembangan
pemerintahan Daerah yang bersumber pada konsep negara kesatuan. Eleksi murni hanya bisa terjadi
pada kepala pemerintahan sebuah negara atau negara bagian yang memiliki kedaulatan.
Pemerintahan Daerah seperti kita ketahui tidak memiliki kedaulatan, melainkan pancaran kekuasaan
yang bersumber dari kekuasaan eksekutif di tingkat nasional. Dengan demikian, dalam sebuah
negara bagian pun pemeirntahan Daerah yang ada tidak dimungkinkan terjadinya eleksi murni.
Adanya pintu di luar partai di beberapa pemerintahan Daerah dalam sebuah negara bagian
selalu dilakukan dengan model fit and proper test dan adanya konvensi dari berbagai partai lokal atau
cabang dari partai nasional yang dikembangkan di negara bagian tersebut.
9

Selain itu kemungkinan calon independen terjadi bagi kepala Daerah dapat didorong oleh
adanya sistem perwakilan lokal di negara-negara tersebut yang mengenal adanya calon independen.
Oleh karena itu, jika lembaga perwakilan lokal tidak mengenal adanya anggota di luar partai, maka
sangat sulit calon Kepala Daerah pun datang dari luar partai.
Pada umumnya perwakilan independen muncul pada sistem pemerintahan lokal yang sudah
mengenal partai lokal. Negara kita tidak mengenal partai lokal, sehingga sangat sulit dikembangkan
calon independen di tingkat lokal sebagai anggota DPRD. Oleh karena itu, calon kepala daerah dari
unsur independen pun sangat sulit dikembangkan merunuti logika ’selection’. Tetapi karena aroma
kuatnya ’election’, maka MK pun menggol-kan calon independen. Arah akhir dari sistem ini, kita
menuju sistem parelementer atau federalisme.

E. JAMINAN CALON TERBAIK


Baik eleksi maupun seleksi misi utamanya adalah diperolehnya calon terbaik. Namun juga, kedua
instrumen tersebut ditentukan lagi oleh parameter utamanya yakni adanya pengembangan kriteria
calon yang jelas, terarah dan terjaga. Pengembangan kriteria calon harus mampu mencerminkan
kebutuhan Daerah dan kualifikasi calon. Dengan demikian, peran Panitia Pemilihan menjadi strategis.
Pilihan terhadap proses seleksi menurut UU No. 32 Tahun 2004 membawa KPUD sebagai
panitia Pemilihan tersebut harus dikelola secara optimal. Nilai strategis KPUD membutuhkan
keseriusan berbagai pihak yang berkepentingan terhadap kemajuan Daerah. Pertanyaannya apakah
jaminan calon terbaik di bawah seleksi lebih tinggi katimbang eleksi?
Adanya pintu partai menyebabkan dalam pengembangan kriteria calon menuntut kemampuan
Partai untuk konsisten mengikutinya. Jika sejak awal sudah terjadi proses yang berbau money politics,
baik eleksi maupun seleksi sama-sama tidak bermanfaat. Kriteria tersebut juga menyangkut
bagaimana proses pemilihan dilalui oleh masing-masing calon yang lolos seleksi administrasi oleh
Panitia.
Adanya sanksi yang tegas harus menjadi perhatian kita semua termasuk bagaimana sanksi
itu dapat diwujudkan bagi pelanggar. Transaparansi dalam penyelenggaraan pemilihan dari awal
hingga mendapatkan calon terbaik perlu dikembangkan juga karena money politics bukan hanya bisa
terjadi antara calon vis a vis partai dan calon vis a vis panitia, tetapi juga bisa saja terjadi antara calon
vis a vis pemilih. Beda halnya jika ’election’ murni yang tidak memiliki variasi kemungkinan money
politics sebegitu banyak.

F. PILAKADA LANGSUNG DI INDONESIA


Dalam masa-masa awal kemerdekaan, karena serba tak-tis manajemen republik ini membawa
pengisian jabatan kepala daerah melalui pilkada amatlah sederhana termasuk jabatan anggota
10

DPRD. Jabatan kepala daerah masih bervariasi polanya. Di beberapa tempat faktor keturunan
menjadi mekanisme, di beberapa tempat eks-officio, di beberapa tempat diangkat pemerintah pusat.
Namun semuanya disahkan pemerintah pusat.
Secara normative sejak kemerdekaan, bangsa Indonesia telah memiliki sejumlah UU
Pemerintahan daerah yang di dalamnya mengatur soal Pilkada. Undang-undang pertama, UU No. 1
Tahun 1945 adalah UU yang paling sederhana dan tidak terlalu jelas mengatur soal ini. Prakteknya
juga mencerminkan keadaan negara yang masih baru lepas dari kemerdekaan. Banyak kepala
daerah adalah hasil masa penjajahan. Kepala daerah yang mengikuti UU tersebut umumnya eks-
officio pejabat pusat di daerah, terdapat pula kepala daerah yang merupakan mantan pejuang dalam
Komite Nasional Indonesia di Daerah.
Undang-undang berikutnya, UU No. 22 Tahun 1948, diatur bahwa pilkada oleh DPRD.
Undang-undang ini menyatakan bahwa kepala daerah tidak berdiri sendiri dalam menjalankan
pemerintahan daerah. Kepala daerah memimpin sebuah dewan terdiri dari beberapa orang berjumlah
ganjil termasuk dengan dirinya. Anggota yang lain tersebut diambil dari anggota DPRD untuk
menjalankan pemerintahan daerah. Maka, dikenal sistem “plural executive” sama dengan di masa UU
sebelumnya.
Undang-undang tersebut menyatakan bahwa kepala daerah baik di Provinsi maupun
Kabupaten/ Kota saat itu, sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat (wakil pemerintah). Dikenal
dengan sistem prefektur dan bersifat fused sehingga terjadi peran ganda pada seorang kepala
daerah.
Undang-undang No. 22 Tahun 1948 diganti oleh UU No. 1 Tahun 1957. Undang-undang
pengganti ini, mengatur pilkada-langsung (pilkadasung). Undang-undang tersebut tidak mengenal
kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pusat, baik Gubernur maupun Bupati/ Walikota. Tidak
ada wakil pemerintah di daerah pada masa UU ini. Namun, UU tersebut masih mengenal “plural
executive”. Kepala daerah memimpin dewan pemerintah daerah sebagai elemen tertinggi dalam
pemerintah daerah. Anggotanya diambil dari anggota DPRD sebagian yang terpilih dan berjumlah
ganjil.
Pada saat itu, di tingkat nasional terjadi pergantian sistem presidensiil menjadi parlementer.
Di tingkat nasional menganut sistem multi-partai. Di tingkat nasional terjadi perpecahan antara Bung
Karno dan Bung Hatta. Bung Hatta keluar dari kabinet karena ketidaksetujuannya terhadap sistem
pilkadasung tersebut.
Praktiknya sampai UU tersebut dicabut kembali, Pilkadasung yang diatur oleh UU tidak
pernah terlaksana. Hampir semua Kepala daerah adalah hasil pemilihan melalui DPRD hasil UU
sebelumnya.
Undang-undang berikutnya, UU No. 18 Tahun 1965 mencabut kembali sistem pilkadasung
yang sampai masa pak Harto dianut. Pilkada saat itu melalui DPRD. Pada saat UU 18/1965, Pimpinan
11

DPRD wajib diisi oleh NASAKOM sesuai UU tersebut. Kepala daerah masa pak Karno ini, semua diisi
oleh unsur NASAKOM. Dalam masa ini Eksekutif bersifat tunggal karena tidak bersama-sama
mempimpin dengan suatu badan atau dewan seperti pada masa sebelumnya.
Kepala daerah kembali dual-role. Menurut UU, disamping sebagai kepala daerah, juga
meangkap sebagai wakil pemerintah pusat. Bahkan DPRD tunduk kepada wakil pemerintah pusat.
Pada masa ini justru, DPRD memberi laporan kepada Wakil pemerintah. Secara nasional terjadi
pergeseran sistem presidensiil kembali. Multi-partai masih diacu dengan dominasi NASAKOM.
Sistem pilkada oleh DPRD diteruskan oleh UU No. 5 Tahun 1974. Masa ini menganut
eksekutif tunggal seperti UU sebelumnya. Dual-role juga demikian, tetap diacu dengan keadaan
nasional telah berubah. Multi-partai tidak dianut, hanya tiga partai saja. Dominasi eksekutif sangat
kuat dengan tetap diacunya presidensiil. Pemilihan kepala daerah cenderung rekayasa pemerintah
pusat. Dalam hal ini DPRD sangat lemah.
Undang-undang penggantinya, UU No. 22 tahun 1999 pilkada tetap melalui DPRD ditambah hak
impeach DPRD atas Kepala Daerah. Dikenal istilah “legislative heavy”. Stagnasi pemerintahan terjadi
karena hubungan antara DPRD dan kepala Daerah seringkali dispute. Gubernur bertindak pula
sebagai wakil pemerintah, sedangkan Bupati/ walikota tidak.
Di tingkat nasional tetap dianut sistem presidensiil hanya menganut multipartai. Keadaan di
tingkat daerah yang tidak kondusif membawa keinginan merevisi UU tersebut. Keinginan yang kuat
adalah mengubah Pilkada melalui DPRD ke pilkadasung.
Akhirnya, Pilkadasung dianut oleh UU No. 32 tahun 2004 pengganti UU 22/1999. Sistem wakil
pemerintah masih berlaku hanya di pundak Gubernur, sedangkan Bupati/ Walikota berkedudukan
sebagai kepala daerah semata. Sistem multipartai dianut dan legislative heavy masih mewarnai di
tingkat nasional.
Pilkada di tangan DPRD masa UU No 22/1999 dan pilkadasung masa UU No. 32/2004,
semuanya menganut sistem paket. Dalam kedua sistem, dipilih Kepala Daerah bersama-sama
seorang wakil kepala daerah.
Dua UU terakhir yang dilahirkan sejak masa reformasi ini dikenal dengan UU pengubah
momentum pelaksanaan otonomi daerah di bumi NKRI yang mengacu 'local-democratic model'.
Keduanya tergolong hasil “big-bang approach” dalam desentralisasi di Indonesia.
Pilkadasung di bumi NKRI diacu oleh para pendiri negara dan penerusnya dengan
memperhatikan sistem yang berkembang, tidak sepenggal-sepenggal hanya memikirkan nilai
demokrasi. Nilai demokrasi jika dipikirkan semata, tentu Inggris, Australia, Perancis, Jerman sebagai
negara-negara sangat demokratis seharusnya memilih Pilkadasung. Buktinya mereka tidak
menganutnya, bahkan sebagian besar pemerintah daerah di USA-pun tidak dengan pilkadasung.
Sistem wakil pemerintah-pun menjadi acuan. Negara-negara dimana dianut wakil pemerintah,
maka tidak dianut pilkadasung. Pendiri negara memahami betul soal ini.
12

Sistem kepartaian harus diperbaiki. Seharusnya DPRD-pun dapat diisi oleh kalangan non-
partai agar mampu menampung calon indipenden. Ini semua soal kekompakkan antar-subsistem
pemerintahan dalam NKRI. Dengan demikian, pilkada melalui DPRD juga memiliki agenda perbaikan,
pilkadasung-pun demikian terhadap bangun NKRI.

G. ANOMALI KEDUDUKAN GUBERNUR


Negara kesatuan RI adalah design positive yang utama di sini kecuali UUD dasar tentang hal ini
diubah. Dalam negara kesatuan, kedaulatan adalah bulat dan utuh secara nasional yang
diejawantahkan dengan adanya pemerintahan nasional utama yang menjadi sumber gerak organisasi
negara secara keseluruhan.
Sejak Hindia Belanda, negara kesatuan RI menganut apa yang disebut integrated prefectoral
system (IPS). Dalam sistem ini, pertama-tama, untuk menjaga keutuhan kedaulatan RI elemen
sentralisasi melakukan dekonsentrasi dengan tujuan agar jangkauan pemerintahan untuk pelayanan
dan pembangunan dapat terlaksana secara efektif dimana dianut pola integrasi wilayah dengan
ditempatkannya wakil pemerintah di tingkat lokal.
Hal ini amat tergantung dengan susunan wilayah pemerintahan. Susunan tingkatan
pemerintahan yang di-design oleh the founding fathers dalam UUD dan susunan hasil amandemen
berbeda aroma. Design the founding fathers lebih akomodatif, fleksibel, futuris dan sesuai dengan alur
pemikiran konsep IPS di atas, sedangkan hasil amandemen; menjerat, kaku, dan langsung lompat
menuju pembentukan daerah otonom. Bahkan kata-kata ’negara dibagi’ beraroma federal.
Oleh karena dekonsentrasi, maka pengisian jabatan wakil pemerintah ini harus tetap berada
di tangan pemerintah. Elemen pelibatan masyarakat jika ada, adalah memastikan nilai penerimaan
unsur lokal agar manajemen pemeirntahannya kelak dapat efektif. Susunan pemerintahan dalam
negara kesatuan di atas, berkelindan dengan susunan daerah otonom dalam rangka desentralisasi.
Dengan demikian, negara yang menganut IPS, daerah otonomnya akan berhimpit dengan
wilayah kerja wakil pemerintah. Disamping itu, kepala daerahnya ditugasi sekaligus sebagai wakil
pemerintah atau sebaliknya. Di Indonesia kini wakil pemerintah hanya berhenti di tangan Gubernur
semata, sedangkan tingkatan kabupaten/ kota hanya sebagai kepala daerah.
Dalam rangka desentralisasi nilai penerimaan elemen lokal harus tinggi sehingga pengisian
jabatan kepala daerah harus dengan cara yang demokratis. Nilai demokratis ini bisa dengan melalui
wakil rakyat karena jumlah rakyatnya besar, atau dengan secara langsung oleh rakyat itu sendiri jika
memungkinkan. Tetapi jika kepala daerah yang ada ditugasi sebagai wakil pemerintah, secara
konseptual, semestinya penetapan Gubernur tetap di tangan pemerintah.
Kondisi ini tidak perlu berkembang sampai melukai demokrasi dalam pemerintahan daerah
dengan menyepelekan suara lokal. Presiden harus betul-betul memperhatikan usulan dari masayarakt
setempat.
13

H. Penutup: OTONOMI BUKAN KEDAULATAN

Indonesia menganut Integrated Prefektoral system di tangan Gubernur. Sistem IPS ini biasa dianut
oleh negara-negara yang berpola pemerintahan presidensiil dan umumnya di negara kesatuan. Di
negar-negara tersebut juga pengisiannya dilakukan oleh wakil rakyat. Perancis sebagai pelopor
sistem ini, di level yang terbawah kini dilakukan pilkada langsung hanya pada sebatas usulan elemen
lokal semata sebagai pertanda nilai penerimaan (acceptiblity). Selebihnya Pemerintah tetap
memutuskan siapa yang betul-betul layak karena di level terbawah-pun mereka tetap berstatus wakil
pemerintah.
Di Jerman, dengan dua tingkatan daerah otonom, pada level terbawah daerah otonomnya
tidak di-design kepala daerahnya sebagai wakil pemerintah. Mereka menerapkan pemilihan kepala
daerah oleh DPRD baik daerah otonom tingkat pertama maupun kedua. Pilkada langsung hanya
dilakukan untuk memilih Kepala Negara Bagian dan pemerintahan tingkat nasional.
Bisa disimpulkan bahwa pilkada langsung identik dengan kedaulatan. Jika dilakukan di tingkat
lokal, hanya untuk memastikan nilai penerimaan elemen lokal atas kepempimpinan seseorang.
Pantas-lah Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden ketika UU No. 1 tahun 1957
diputuskan menggunakan sistem pilkada langsung walaupun tidak pernah terwujud pilkada tersebut
hingga akhir hayat UU-nya.
Pembobotan penerimaan elemen lokal dari hasil pemilihan oleh DPRD dan pembobotan
elemen Pusat mungkin menjadi jalan terbaik agar dapat terjaga merit system dalam penetapan siapa
yang berhak menduduki kursi Gubernur di seluruh wilayah RI. Dengan demikian, efisiensi, efektifitas
dan demokratisasi pemerintahan tetap terjaga.

Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai