Anda di halaman 1dari 5

Model Keyakinan Kesehatan

Model Keyakinan tentang Kesehatan (MKK) atau Health Belief Model (HBM) dikembangkan pada
tahun 1950 oleh para psikolog sosial di Layanan Kesehatan Publik Amerika Serikat. Model ini
dikembangkan untuk menjelaskan mengapa orang-orang di masa itu banyak yang tidak ikut
berpartisipasi dalam program-program yang dirancang untuk mencegah dan mendeteksi penyakit.
Pada masa itu, para ahli dituntut untuk bisa menjelaskan mengapa hanya sedikit orang yang
bersedia untuk cek tuberculosis (TB), padahal mobil untuk pemeriksaan sudah didatangkan ke
tempat mereka masing-masing.

Para pengembang MKK meyakini bahwa permasalahan yang menyebabkan orang-orang enggan
untuk mengecek kondisinya (bahkan setelah mekanismenya telah sedemikian dipermudah untuk
mereka) adalah permasalahan kognitif, yaitu keyakinan yang mereka miliki. Jadi masalahnya
bukanlah di kondisi, melainkan di kognisi.

Mengapa model ini dipandang sangat mencerahkan pada saat itu? Karena di masa itu, yaitu di paruh
pertama abad kedua puluh, dunia psikologi didominasi oleh Teori Stimulus-Respon dalam
menjelaskan perilaku manusia. Teori Stimulus-Respon meyakini bahwa respon (atau perilaku)
manusia bergantung pada stimulusnya. Dengan kata lain, perilaku manusia itu munculnya otomatis,
distimulasi oleh kondisi, dan sama sekali tidak melibatkan proses mental apapun. Berdasarkan Teori
Stimulus-Respon, penentu perilaku manusia adalah kondisi, bukan kognisi. Namun Teori Stimulus-
Respon ini tampaknya dipandang gagal dalam menjelaskan mengapa hanya sedikit orang saja yang
bersedia untuk cek tuberculosis, padahal kondisinya sudah sangat dipermudah dengan
didatangkannya mobil pemeriksaan ke tempat masing-masing. MKK dipandang mampu memberikan
penjelasan yang lebih memuaskan tentang permasalahan tersebut.

MKK meyakini bahwa permasalahannya ada pada kognisi, bukan pada kondisi. MKK melihat bahwa
perilaku manusia sangat bergantung pada penilaian mereka tentang 1) konsekuensi apa yang akan
mereka terima bila mereka melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu, 2) seberapa besar
kemungkinannya konsekuensi itu akan benar-benar mereka terima, dan 3) seberapa penting
konsekuensi itu bagi diri mereka. Dengan demikian, untuk mengubah perilaku, maka yang perlu
diubah adalah juga kognisinya, tidak semata kondisinya saja. Itulah sebabnya mengapa hanya sedikit
orang saja yang bersedia untuk cek tuberculosis meskipun kondisinya sudah sangat dipermudah.
Meskipun kondisinya sudah sangat dipermudah bagi mereka untuk cek tuberculosis, mereka tetap
akan tidak melakukan cek tersebut bila mereka tidak merasa perlu untuk periksa, atau bila mereka
takut bahwa justru akan terjadi suatu hal yang tidak mereka inginkan bila mereka periksa.
Permasalahannya ada pada kognisi, bukan kondisi.

Penentu Perilaku
Dari perspektif MKK, manusia akan melakukan perilaku sehat yang semestinya mereka lakukan bila:

1. Mereka meyakini bahwa diri mereka termasuk orang yang rentan terhadap suatu resiko
(penyakit tertentu, misalnya, atau konsekuensi tertentu) [perceived susceptibility]
2. Mereka meyakini bahwa resiko tersebut memiliki konsekuensi yang serius bagi diri mereka
[perceived severity]
3. Mereka meyakini bahwa perilaku sehat yang seharusnya mereka lakukan (atau yang
disarankan kepada mereka) benar-benar dapat menghindarkan mereka dari resiko dan
segala konsekuensinya yang serius itu [perceived benefit]
4. Mereka meyakini bahwa segala kerugian, ketidaknyamanan, ataupun konsekuensi negatif
lain yang harus mereka hadapi untuk melakukan perilaku sehat itu tidak sebanding dengan
keuntungan, manfaat, dan segala konsekuensi positif lain yang akan mereka terima
[perceived barriers].

Secara lengkap, penentu dari perilaku manusia menurut perspektif MKK adalah sebagai berikut:

Berdasarkan perspektif MKK, enam penentu perilaku tersebut cukup memadai untuk menganalisis
penyebab utama masalah perilaku. Bila kita kembali ke masalah tuberculosis yang telah kita singgung
di awal, maka ada beberapa dugaan penyebab yang perlu kita periksa untuk menemukan penyebab
masalah yang sebenarnya. Mari kita coba analisis menggunakan MKK.

Kita mulai dengan permasalahan. Mengapa mengapa hanya sedikit orang saja yang bersedia untuk
cek tuberculosis, padahal kondisinya sudah sangat dipermudah dengan didatangkannya mobil
pemeriksaan ke tempat masing-masing?

Analisis akar masalah dengan menggunakan MKK akan membawa kita pada enam dugaan sebab.
Dugaan pertama, orang-orang tidak menyadari adanya arahan ataupun ajakan ataupun petunjuk
sekecil apapun agar mereka cek tuberculosis, meskipun mobil pemeriksaan telah didatangkan ke
tempat mereka masing-masing. Bila benar ini yang terjadi, maka penyebab orang-orang tidak cek
tuberculosis adalah permasalahan cues to action atau stimulasi untuk melakukan sesuatu.

Dugaan kedua, orang-orang meyakini bahwa kecil sekali kemungkinannya mereka terkena
tuberculosis. Bila ini yang terjadi, maka penyebab orang-orang tidak cek tuberculosis meskipun telah
didatangkan mobil pemeriksaan ke tempat masing-masing adalah permasalahan perceived
susceptibility, atau persepsi probabilitas terkena resiko.

Dugaan ketiga, orang-orang meyakini bahwa kalaupunlah mereka terkena tuberculosis maka hal itu
bukanlah masalah yang serius bagi mereka, dan mereka meyakini bahwa tidak ada yang perlu
ditakutkan dari terkena tuberculosis. Bila ini yang terjadi, maka penyebab orang-orang tidak cek
tuberculosis meskipun telah didatangkan mobil pemeriksaan ke tempat masing-masing adalah
permasalahan perceived severity, atau persepsi tingkat keseriusan resiko.

Dugaan keempat, orang-orang meyakini bahwa tidak ada gunanya bagi mereka untuk cek
tuberculosis. Kalaupun mereka ikut cek tuberculosis, mereka meyakini bahwa hal itu tidak akan
banyak membantu mereka untuk terhindar dari tuberculosis. Bila ini yang terjadi, maka penyebab
orang-orang tidak cek tuberculosis meskipun telah didatangkan mobil pemeriksaan ke tempat
masing-masing adalah permasalahan perceived benefit, atau persepsi kemanfaatan perilaku.

Dugaan kelima, orang-orang meyakini bahwa meskipun meskipun cek tuberculosis akan banyak
membantu, ada banyak hambatan yang harus mereka atasi serta konsekuensi negatif yang harus
mereka hadapi untuk melakukan cek tuberculosis yang membuat mereka memutuskan untuk tidak
melakukannya. Bila ini yang terjadi, maka penyebab orang-orang tidak cek tuberculosis meskipun
telah didatangkan mobil pemeriksaan ke tempat masing-masing adalah permasalahan perceived
barriers, atau persepsi hambatan perilaku.

Dugaan keenam, orang-orang meyakini bahwa kalaupun mereka mau melakukan cek tuberculosis,
mereka merasa tidak bisa ataupun tidak mampu melakukannya. Bila ini yang terjadi, maka penyebab
orang-orang tidak cek tuberculosis meskipun telah didatangkan mobil pemeriksaan ke tempat
masing-masing adalah permasalahan self-efficacy, atau persepsi kemampuan diri untuk melakukan
perilaku.

Untuk menentukan apa sesungguhnya yang menyebabkan ‘hanya sedikit orang saja yang bersedia
untuk cek tuberculosis padahal kondisinya sudah sangat dipermudah dengan didatangkannya mobil
pemeriksaan ke tempat masing-masing’, maka kita perlu terjun ke lapangan untuk melihat mana dari
keenam dugaan itu yang benar-benar terjadi. Bisa saja akar masalahnya tidak hanya satu, melainkan
beberapa hal sekaligus. Hal terpenting adalah dugaan tersebut memang tervalidasi oleh data
lapangan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Strategi Intervensi
Ada cukup banyak strategi intervensi yang direkomendasikan oleh MKK, bergantung pada apa sebab
permasalahanannya.

Pertama, apabila akar masalahnya adalah cues to action, ada dua strategi intervensi yang
direkomendasikan MKK, yaitu 1) munculkan kesadaran untuk melakukan perilaku dan 2)
menggunakan mekanisme yang pas untuk mengingatkan. Memunculkan kesadaran pada dasarnya
adalah stimulasi apapun yang dapat membuat orang-orang menyadari bahwa ada suatu hal yang
sebaiknya mereka lakukan. Stimulasi yang dimaksud bisa publisitas atau pesan media untuk
melakukan sesuatu, rekomendasi dari seorang ahli untuk melakukan sesuatu, atau bahkan cerita
atau pengalaman dari seorang teman yang mengindikasikan bahwa ada suatu hal yang perlu
dilakukan. Strategi intervensi tidak dapat disebut sebagai memunculkan kesadaran apabila strategi
intervensi itu tidak mampu membuat individu menyadari bahwa dirinya perlu melakukan suatu
perilaku. Datangnya mobil pemeriksaan tuberculosis ke tempat masing-masing, misalnya, tidak dapat
disebut sebagai strategi memunculkan kesadaran bila tidak membuat individu menyadari bahwa
dirinya perlu melakukan cek tuberculosis.

Selain menyadarkan orang untuk melakukan suatu perilaku, strategi yang tak kalah diperlukan
adalah mekanisme yang pas untuk mengingatkan mereka agar melakukan perilaku itu. Oleh sebab
itu, mekanisme untuk mengingatkan sebaiknya disesuaikan dengan preferensi personal masing-
masing.

Kedua, apabila akar masalahnya adalah perceived susceptibility, ada tiga strategi intervensi yang
direkomendasikan oleh MKK, yaitu 1) mendefinisikan populasi seperti apa yang sesungguhnya
beresiko terkena bahaya, 2) menjelaskan betapa rentan seseorang terkena bahaya dengan cara yang
sesuai dengan karakteristik individual dan perilakunya, serta 3) menyelaraskan persepsi individual
dengan resiko sesungguhnya bagi dirinya. Bila orang-orang dijelaskan bahwa diri mereka benar-
benar termasuk ke dalam populasi yang memang rentan terkena bahaya dengan cara yang sesuai
dengan perilaku dan karakteristik kepribadian mereka, bisa melihat bahwa diri mereka benar-benar
termasuk ke dalam populasi yang memang rentan terkena bahaya, dan diluruskan persepsi-persepsi
sesatnya bahwa mereka tidak rentan, maka orang-orang yang perceived susceptibilitynya rendah
akan mulai mempertimbangkan untuk melakukan apa yang memang semestinya dilakukan.

Ketiga, apabila akar masalahnya adalah perceived severity, ada dua strategi intervensi yang
direkomendasikan oleh MKK, yaitu 1) menunjukkan secara spesifik apa saja konsekuensi yang akan
dihadapi bila terkena bahaya, serta 2) memperlihatkan gambar-gambar yang mampu
menggambarkan seserius apa konsekuensi-konsekuensi tersebut.

Keempat, apabila akar masalahnya adalah perceived benefits, ada dua strategi intervensi yang
direkomendasikan oleh MKK, yaitu 1) memperlihatkan kepada mereka betapa orang-orang meyakini
bahwa perilaku sehat yang diadvokasi benar-benar bermanfaat bagi mereka dan bisa
menghindarkan mereka dari bahaya yang tidak diinginkan, dan 2) menyampaikan informasi dan
argumentasi yang mendukung dilakukannya perilaku yang semestinya dilakukan.

Kelima, apabila akar masalahnya adalah perceived barriers, maka yang perlu dilakukan adalah
membantu mereka mengatasi hambatan-hambatan untuk melakukan perilaku sehat dengan cara 1)
menguatkan hati mereka untuk melakukannya, 2) meluruskan informasi-informasi sesat yang
beredar, 3) memberikan insentif bila perilaku sehat itu dilakukan, dan 4) membantu mereka agar
lebih mudah dalam melakukannya.
Keenam, apabila akar masalahnya adalah self-efficacy, maka ada lima saran yang direkomendasikan,
yaitu 1) memberikan pelatihan dan bimbingan agar bisa melakukan perilaku sehat yang diharapkan,
2) menggunakan goal setting yang progresif, 3) menguatkan perilaku sehat yang berhasil dilakukan
dengan penguatan verbal, 4) mendemonstrasikan perilaku sehat yang diharapkan agar orang-orang
yang melihat tertarik dan merasa mampu untuk melakukannya, dan 5) menurunkan kecemasan dan
ketidaknyamanan yang mereka rasakan saat melakukan perilaku sehat yang diharapkan itu.

SUSCEPTIBILITY
Define population at RISK
Personalize RISK
Make perceived RISK consistent with actual RISK

Anda mungkin juga menyukai