Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN RESIKO BUNUH DIRI”

Laporan Pendahuluan Asuhan keperawatan pada pasien resiko bunuh diri ini diajukan
sebagai bagian dari persyaratan penyelesaian tugas dalam stase Keperawatan Jiwa di
Program Studi Profesi Ners Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dosen Pengampu : Ns. Fajriyah Nur Afriyanti, M.Kep., Sp.Kep.J

Disusun Oleh :

Rahayu Ningsih 41211095000014

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2022
RESIKO BUNUH DIRI

A. DEFINISI
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan (Wilson dan Kneisl, 1988). Bunuh diri merupakan kedaruratan
psikiatri karena pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping
yang maladaptif. Situasi gawat pada hunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara
berulang tanpa rencana yang spesifik atau percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik
untuk bunuh diri (Ahmad Yusuf, dkk, 2015).

B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya kehamilan ektopik melibatkan banyak faktor. Secara teoritsis,
semua faktor yang mengganggu migrasi embrio ke dalam rongga endometrium dapat
menyebabkan kehamilan ektopik. Obstruksi dapat terjadi, karena inflamasi kronik, tumor
intrauteriun, dan endometriosis. Komplikasi kehamilan ektropik sering terjadi karena salah
diagnosis , keterlambatan diagnosis atau kesalahan terapi. Komplikasi terburuk kehamialn
ektropik adalah rupture uteri atau tuba yang dapat menyebabkana terjadinya perdarahan
masif, syok, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), dan kematian (Kurniawan &
Mutiara, 2016).

C. FAKTOR RISIKO
a. Faktor Predisposisi
1) Diagnostik Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat
individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri acialah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat dan skizofrenia.
2) Sifat Kepribadian
Tiga tipe kcpribadian yang erat hubungannya dengan besamya resiko bunuh diri
adaiah antipasti , impulsive dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Faktor prediposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-kejadian negative
dalam kehidupan, penyakit kronis, perpisahan atau bahkan perceraian. Kekuatan
dukungan social sangat penting dalam menciptakan intervensi yang terapeutik,

2
dengan terlebih dahuJu mengetahui penyebab masalah, respon scseorang dalam
menghadapi tindakan bunuh diri.
4) Riwayat keluarga
Tiga tipe kcpribadian yang erat hubungannya dengan besamya resiko bunuh diri
adaiah antipasti , impulsive dan depresi.
5) Faktor biokimia
Pada klien dengan resiko bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang
terdapat di dalam otak seperti serotonin, adrenalin dan dopamine. Peningkatan zat
tersebut dapat dilihat meialui rekaman gelombang otak (EEG).
b. Faktor Prestisipasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami oleh
individu. Pencentus sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain
yang dapat menjadi pencentus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai
orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang
emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
c. Faktor Koping
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar memilih untuk
melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri berhubungan dengan banyak
foktor, baik faktor social maupun budaya. Struktur social dan kehidupan bersosial dapat
menolong atau bahkan mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi sosial
dapat menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk melakukan
bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat lebih mampu menolransi
stress dan menurunkan angka bunuh diri. Aktf dalam kegiatan keagamaan juga dapat
mencegah seseorang melakukan tindakan bunuh diri.
d. Mekanisme Koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping. yang
berhubungan dengan perilaku bunuh diri, termasuk denial, rasionalization, dan magical
thinking. Mekanisme pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa
memberikan koping alternative (Fitria Nita, 2010).
D. KLASIFIKASI
a. lsyarat Bunuh Diri
Peringatan verbal dan non verba bahwa seseorang mempertimbangkan untuk bunuh
diri. Orang yang akan melakukan bunuh diri mungkin akan mengungkapkan secara

3
verbal bahwa dalam waktu dekat dia tidak akan berada disekitar orang-orang
terdekatnya. Atau secara non verbal memberikan isyarat dengan menitipkan barang
berharga yang dimilikinya kepada orang terdekat (Stuart, 2013).
b. Ancaman Bunuh Diri
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan untuk mati
disertai oleh rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif klien telah memikirkan rencana bunuh diri,
tetapi tidak disertai percobaan bunuh diri. Pada tahap ini perawat harus waspada dan
dilakukan pengawasan ketat. Kesempatan sekecil apapun dapat digunakan klien untuk
melaksanakan rencana bunuh dirinya (Keliat, dkk, 2010).
c. Percobaan Bunuh Diri
Percobaan bunuh diri adalah suatu tindakan bunuh diri yang gagal dilakukan atau
tidak berhasil dilakukan sampai selesai. Seseorang yang tidak menyelesaikan tindakan
bunuh diri, karena berhasil ditolong oleh orang lain. Upaya bunuh diri adalah semua
tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh individu yang dapat menyebabkan
kematian jika tidak dicegah (Stuart, 2013).
E. PATOPSIKOLOGI RISIKO BUNUH DIRI
Bunuh diri secara personal, terjadi karena orang merasa lebih bebas dan tidak mau
tunduk pada aturan dan tahu perilaku tertentu, orang tidak ingin terlalu terikat oleh
kebiasaan-kebiasaan dan konvensi-konvensi yang ada untuk memecahkan kesulitan
hidupnya. Sebaliknya mereka mencari jalan singkat dengan “caranya sendiri” yaitu bunuh
diri, untuk mengatasi kesulitan hidupnya atas keputusan sendiri. Oleh karena itu, peristiwa
bunuh diri adalah bentuk kegagalan seseorang dalam upayanya menyesuaikan diri terhadap
tekanan-tekanan social dan tuntutan hidup (Kartono, 2011).
Bermacam-macam factor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan
bunuh diri seperti religi, jenis kelamin, pendidikan, profesi, doktrin, dan usia, sehingga
memaksa seseorang untuk melakukan bunuh diri. Kecenderungan melakukan bunuh diri
biasanya banyak terjadi pada usia pubertas, remaja akhir sampai dengan usia pertengahan.
Disamping itu kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan bunuh diri terlihat dari
tanda-tanda yang nampak dalam perilakunya. Seseorang yang pernah melakukan tindakan
bunuh diri ada kemungkinan untuk melakukan tindakan itu lagi, jika masalah yang
dihadapinya tidak segera tertangani dengan baik. Keinginan untuk melakukan tindakan
bunuh diri jika tidak diatasi secara benar. Hal ini dapat muncul ketika individu berada

4
dalam situasi dan kondisi yang menekan dan menuntutnya untuk melakukan sesuatu yang
melebihi dari kemampuannya (Kartono, 2011).
Proses terjadinya bunuh diri dimulai dari adanya isyarat bunuh diri yang ditunjukkan
dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh diri, misalnya dengan mengatakan
“tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi jauh” atau “segala sesuatu akan lebih baik
tanpa saya”. Pada kondisi ini pasien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri
hidupnya tetapi tidak disertai ancaman dan percobaan bunuh diri. Selanjutnya adalah
adanya ancaman bunuh diri biasanya diucapkan oleh pasien, yang berisi keinginan untuk
mati disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut. Secara aktif pasien telah memikirkan rencana bunuh diri,
tetapi tidak disertai dengan percobaan bunuh diri. Tahap terakhir adalah adanya percobaan
bunuh diri yaitu tindakan pasien mencederai atau melukai diri untuk mengakhiri hidupnya
(Kartono, 2011).

F. MANIFESTASI RISIKO BUNUH DIRI


Tanda dan gejala risiko bunuh diri menurut Fitria (2010) :
1) Mempunyai ide untuk bunuh diri
2) Mengungkapkan keinginan untuk mati
3) Implusif
4) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan
5) Mendekati orang lain dengan ancaman
6) Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
7) Latar belakang keluarga

Menurut Santrock (2014) terdapat tanda-tanda awal bunuh diri khususnya pada remaja
yaitu sebagai berikut :
1) Mengancam akan bunuh diri, misalnya “aku berharap mati saja”; “keluargaku pasti
akan lebih baik kalau aku tidak ada”; aku tidak punya apa-apa yang membuatku tetap
hidup”.
2) Sudah pernah mencoba bunuh diri sebelumnya.

5
3) Tersirat unsur-unsur kematian dalam music, seni, dan tulisan-tulisan pribadinya.
4) Kehilangan anggota keluarga atau teman terdekat akibat kematian
5) Gangguan dalam keluarga, seperti tidak memiliki pekerjaan, penyakit yang serius,
pindah, perceraian.
6) Gangguan tidur, kebersihan diri, dan kebiasaan makan.
7) Menurunnya nilai-nilai di sekolah dan hilangnya minat terhadap sekolah.
8) Perubahan pola tingkah laku yang dramatis, misalnya remaja yang senang sekali
berteman dan berkumpul dengan banyak orang berubah menjadi pemalu dan menarik
diri.
9) Perasaan murung, tidak berdaya, dan putus asa yang mendalam.
10) Menarik diri dari anggota keluarga dan teman , merasa diasingkan oleh orang yang
berarti baginya.

G. RENTANG RESPON

Keterangan :
a. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin, dan
kesadaran diri meningkat.
b. Penumbuhan peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang yang masih
normal dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku.
c. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan
fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti perilaku merusak,
mengebut, berjudi. tindakan kriminal, terlibat dalam rekreasi yang berisiko tinggi,
penyalahgunaan zat, perilaku yang menyimpang secara sosial, dan perilaku yang
menimbulkan stres.
d. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang
dilakukan dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri, tanpa bantuan
orang lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum

6
perilaku pencederaan diri termasuk melukai dan membakar kulit, membenturkan
kepala atau anggota tubuh, melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
e. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengakhiri kehidupan.
(Rizky Fitryasari PK,2015)

H. PENCEGAHAN PERCOBAAN BUNUH DIRI


Hingga saat ini, belum ada cara yang terbukti dapat mencegah tindakan bunuh diri
secara total dan memberikan perlindungan pada pasien dari kemungkinan bunuh diri. Ada
beberapa langkah yang bisa dilakukan, yakni pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer merupakan metode pencegahan yang ideal untuk melawan
keinginan bunuh diri dan dapat melindungi masyarakat dari hal tersebut. Pencegahan tahap
ini sangat penting dilakukan untuk mengurangi munculnya kasuskasus baru, misalnya
dengan mengurangi faktor risiko melakukan bunuh diri. Penanganan yang efektif terhadap
gangguan psikiatri, terutama gangguan mood sangat dibutuhkan. Memodifikasi kondisi
sosial, ekonomi dan biologis, seperti menurunkan angka kemiskinan, kekerasan,
perceraian, dan promosi pola hidup yang sehat dapat secara signifikan berkontribusi
terhadap pencegahan primer. Dokter dapat mempromosikan faktor-faktor protektif, seperti
kesehatan fisik, latihan yang tepat, pola makan yang tepat dan tidur yang cukup (Supyanti
& Wahyuni, 2012).
Pencegahan sekunder merujuk pada deteksi dini dan memberi penanganan yang tepat
pada individu yang memiliki keinginan bunuh diri. Tujuan dari pencegahan sekunder ini
adalah menurunkan kemungkinan percobaan bunuh diri pada pasien dengan risiko tinggi.
Rangkaian dari tindakan bunuh diri ini berawal dari ide untuk menunjukkan gerakan-
gerakan isyarat, pola hidup yang cenderung berisiko, rencana untuk bunuh diri, percobaan
bunuh diri, dan pada akhirnya bunuh diri tersebut terlaksana sepenuhnya. Tidak semua
tindakan yang menghancurkan diri harus diinterpretasikan ke dalam tindakan bunuh diri
(Supyanti & Wahyuni, 2012) .
Manajemen terhadap pasien bunuh diri meliputi diagnosis dan penanganan terhadap
gangguan psikiatri yang sedang dideritanya, menilai risiko untuk melakukan bunuh diri,
dan mengurangi akses terhadap hal-hal yang membahayakan untuk terlaksananya bunuh
diri tersebut, seperti misalnya tersedianya pistol, pisau, tali, dan sebagainya. Prediktor
terbaik dari tindakan bunuh diri adalah adanya riwayat percobaan bunuh diri dan masih ada
pikiran untuk melakukannya lagi. Dokter harus secara teratur meminta keterangan pada

7
pasien yang mengalami depresi menetap, kehilangan harapan, dan memiliki ide untuk
melakukan bunuh diri (Supyanti and Wahyuni, 2012) .
Pencegahan tersier dilakukan untuk mengurangi konsekuensi dari percobaan bunuh
diri. Peningkatan edukasi terhadap tenaga kesehatan profesional tentang cara menilai dan
menangani pasien dengan risiko bunuh diri dapat membantu deteksi secara cepat dan
membatasi kerusakan yang ditimbulkan. Intervensi yang dapat dilakukan pada tahap ini
adalah menilai anggota keluarga siapa sajakah yang mungkin terpengaruh tindakan bunuh
diri tersebut sehingga diapun ingin membunuh dirinya sendiri (Supyanti and Wahyuni,
2012)
Menurut The Mental Health Recovery Institute (2017) ada beberapa faktor pelindung
yang dapat mencegah bunuh diri. Faktor-faktor tersebut telah terbukti menunjukkan
penurunan risiko bunuh diri, faktor-faktor tersebut antara lain (The Mental Health
Recovery Institute, 2017):
a. Hubungan perasaan yang terjalin antara keluarga, komunitas dan lingkungan sosial
Seseorang akan merasa kurang tertekan akibat hubungan persaan yang terjalin
dengan orang-orang disekitarnya dan mereka mungkin juga merasakan tanggung
jawab kepada mereka atau keinginan untuk tidak mengecewakan mereka atau
menyakiti mereka.
b. Spiritualitas dan merasakan tujuan hidup
Spiritulitas dan tujuan hidup dapat menjadi alasan untuk melanjutkan hidup mereka
sepanjang mereka merasakan terhubung dengan spiritulitas dan tujuan hidup.
c. Peduli terhadap anak
Tanggung jawab merawat anak dapat melindungi orang tersebut dari bunuh diri
karena mereka tidak ingin meninggalkan anak mereka tanpa seseorang yang akan
merawat mereka.
d. Meyakini bahwa bunuh diri adalah tindakan yang salah
Kepercayaan ini bisa menimbulkan kecemasan jika seseorang mulai
mempertimbangkan bunuh diri, dan boleh jadi kemungkinannya kecil untuk
menindaklanjuti adanya pemikiran bunuh diri.
e. Memiliki orang yang berarti
Memiliki seseorang yang berarti/spesial dapat membantu seseorang agar tidak
merasa kesepian dan terisolasi. dan akan mengurangi pikiran untuk bunuh diri. Dengan
adanya orang yang berarti maka seseorang yang rentan untuk bunuh diri akan berfikir

8
untuk tidak bunuh diri karena orang tersebut mungkin tidak ingin menyakiti orang-
orang yang berarti atau spesial di hidup mereka
f. Ketahanan dan kemampuan menyelesaikan masalah
Kemampuan untuk bangkit kembali dari kesulitan dan untuk mampu
menyelesaikan masalah yang ditimbulkan bisa mengurangi risiko bunuh diri, karena
orang tersebut dapat menemukan solusi lain.
g. Tidak memiliki akses untuk bunuh diri
Jika orang tersebut tidak dapat mengakses barang-barang yang mereka butuhkan
untuk bunuh diri sesuai dengan yang mereka pilih, bunuh diri cenderung tidak terjadi.
Misalnya, jika orang berpikir bahwa menggunakan pistol akan menjadi yang terbaik,
tapi mereka tidak bisa mengakses pistol maka lebih kecil kemungkinannya untuk
bunuh diri.
h. Kesehatan fisik dan mental
Kesehatan fisik dan mental yang baik dapat mengurangi risiko bunuh diri karena
orang tersebut cenderung tidak memiliki alasan untuk ingin mengakhiri hidupnya.
i. Identifikasi dini dan perawatan untuk penyakit kejiwaan
Secara umum, semakin dini penyakit mental diobati, akan semakin baik hasilnya,
yang membuat kemungkinan terjadinya bunuh diri lebih kecil.
I. IDENTIFIKASI RISIKO BUNUH DIRI
Masih sedikit penelitian mengenai apakah penapisan rutin resiko bunuh diri pada anak
di bawah usia 12 tahun dibutuhkan. Walaupun US Preventative Services Task Force
(UPSTSF) tidak menganjurkan penapisan rutin pada anak usia 7-11 tahun, tetapi mereka
merekomendasikan penapisan untuk Major Depresive Disorder (MDD) pada usia
berapapun. Jika didapati anak tersebut memiliki 1 atau lebih dari 4 faktor resiko berikut ini
: 1. Psikopatologi orang tua, 2. Memiliki pengalaman negatif selama hidupnya, 3.
Komorbid dengan kondisi medis kronis, 4. Komorbid dengan gangguan jiwa, maka anak-
anak dengan faktor resiko seperti ini memiliki resiko munculnya psikopatologi atau
melakukan bunuh diri walaupun tidak didapati adanya MDD (Heise, York and Thatcher,
2016).
Alat penapisan resiko bunuh diri telah dikembangkan dan digunakan pada pasien anak
dan remaja. Berikut ini beberapa diantaranya : Ask Suicide Screening Question (ASQ), Risk
for Suicide Quessionare (RSQ), The Mood and Feeling Quessionare (MFQ), Treatment
Emergen Activation and Suicidality Assessment Profile (TEASAP), Columbia Suicide

9
Severity Ratting Scale (C-SSRS), Suicide Behaviour Quessionaire (SBQ-R), Suicidal
Ideation Quessionaire (SIQ) (Gray dan Dihigo, 2015; Heise, York dan Thatcher, 2016).
Berbagai jenis organisasi dan pengaturan dapat menggunakan alat yang berbeda,
sebagian didasarkan pada apakah rumah sakit itu sendiri akan memberikan perawatan
komprehensif setelah seorang pasien diketahui berisiko.
a. PHQ
Misalnya, begitu pasien diketahui berisiko bunuh diri di pusat perawatan primer,
mereka sering dirujuk untuk perawatan kesehatan perilaku. Dalam hal ini, alat skrining
dasar yang singkat seperti Patient Health Questionnaire (PHQ) dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pasien yang berisiko.
PHQ-9 digunakan secara luas dalam perawatan primer. PHQ-9 berisi sembilan item,
dan item 9 bertanya, "Selama dua minggu terakhir, apakah Anda terganggu oleh ...
pikiran bahwa Anda akan lebih baik mati atau menyakiti diri sendiri dengan cara
tertentu”. Banyak praktik perawatan primer menggunakan versi yang lebih pendek
yang disebut PHQ-2, yang berisi dua item yang menanyakan tentang gejala depresi.
Jika seorang pasien menjawab 'ya' untuk salah satu pertanyaan PHQ-2, maka PHQ-9
diberikan.
Satu keprihatinan tentang pendekatan ini adalah bahwa pasien dapat menjawab
'tidak' untuk pertanyaan-pertanyaan PHQ-2 dan masih memiliki pikiran untuk bunuh
diri. Selain itu, kata-kata pada butir 9 agak tidak langsung, tidak secara langsung
menanyakan tentang pikiran dan perilaku bunuh diri.
Organisasi harus mempertimbangkan untuk menambahkan pertanyaan yang lebih
langsung tentang bunuh diri ke PHQ-2 dan mengganti pertanyaan yang sama dengan
pertanyaan 9 di PHQ-9 jika PHQ-9 adalah satu-satunya skrining yang digunakan.
Misalnya, skrining yang sangat singkat untuk kemungkinan risiko bunuh diri :
selama dua minggu terakhir, apakah Anda merasa terganggu dengan:
1) Sedikit minat atau kesenangan dalam melakukan sesuatu?
2) Merasa sedih, tertekan, atau putus asa?
3) Pikiran bahwa Anda ingin bunuh diri, atau sudahkah Anda mencoba bunuh diri?
b. SAFE-T
Mungkin masuk akal dalam pengaturan yang berbeda, seperti klinik perawatan
kesehatan perilaku rawat jalan, untuk menggunakan SAFE-T atau alat lain yang
menawarkan penilaian menyeluruh tentang sifat dan tingkat pemikiran dan perilaku
bunuh diri. Item yang lebih luas yang terkandung dalam wawancara SAFE-T cenderung

10
menghasilkan informasi rinci yang diperlukan untuk mengembangkan gambaran
lengkap risiko bunuh diri pasien. Yang dapat dikaji:
1) Gagasan: frekuensi, intensitas, durasi — dalam 48 jam terakhir, bulan lalu, dan
terburuk yang pernah ada
2) Rencana: waktu, lokasi, kematian, ketersediaan, tindakan persiapan
3) Perilaku: upaya masa lalu, upaya yang dibatalkan, latihan (mengikat tali, pistol
pemuatan) vs tindakan bunuh diri yang tidak bunuh diri
4) Tujuan: sejauh mana pasien,(1) mengharapkan untuk melaksanakan rencana dan,
(2), percaya rencana / tindakan itu mematikan dan merugikan diri sendiri. Jelajahi
ambivalensi: alasan untuk mati vs alasan untuk hidup
(Department of Health and Human Services, 2009)
c. C-SSRS
Columbia-Suicide Severity Rating Scale (C-SSRS) adalah alat lain yang dapat
digunakan di banyak sistem, termasuk perilaku kesehatan medis, rawat inap, dan rawat
jalan. C-SSRS mengamati upaya bunuh diri yang teridentifikasi dan juga menilai
berbagai ide dan perilaku berbasis bukti. Ini dapat digunakan dalam skrining awal atau
sebagai bagian dari penilaian penuh (Research Foundation for Mental Hygiene, 2008).
d. ASQ
Alat skrining Ask Suicide-Screening Questions (ASQ) adalah sumber daya gratis
untuk sistem medis (gawat darurat, unit rawat inap / medis rawat inap, klinik rawat
jalan / perawatan primer) yang dapat membantu perawat atau dokter berhasil
mengidentifikasi pemuda yang berisiko untuk bunuh diri. ASQ adalah seperangkat
empat pertanyaan skrining yang membutuhkan waktu 20 detik untuk diberikan dan
divalidasi untuk digunakan di unit gawat darurat dengan populasi pediatrik.8 Toolkit
Ask Suicide-Screening Questions (ASQ) dirancang untuk menyaring remaja usia 10-24
(untuk pasien) dengan keluhan utama kesehatan mental, pertimbangkan skrining di
bawah usia 10); toolkit ini juga mencakup sumber daya dan alat untuk digunakan dalam
penilaian dan pengambilan keputusan, serta untuk digunakan dalam berbagai
pengaturan dan dengan populasi pasien tambahan (Horowitz, 2012).

11
COLUMBIA-SUICIDE SEVERITY RATING SCALE Past
Screen Version - Recent month

YE N
Ask questions that are bolded and underlined.
S O

Ask Questions 1 and 2

12
1) Have you wished you were dead or wished you could go to sleep and not
wake up?

2) Have you actually had any thoughts of killing yourself?

If YES to 2, ask questions 3, 4, 5, and 6. If NO to 2, go directly to question 6.

3) Have you been thinking about how you might do this?

E.g. “I thought about taking an overdose but I never made a specific plan as to
when where or how I would actually do it….and I would never go through with
it.”

4) Have you had these thoughts and had some intention of acting on them?

As opposed to “I have the thoughts but I definitely will not do anything about
them.”

5) Have you started to work out or worked out the details of how to kill yourself?
Do you intend to carry out this plan?

6) Have you ever done anything, started to do anything, or prepared to do YE N


anything to end your life? S O

Examples: Collected pills, obtained a gun, gave away valuables, wrote a will
or suicide note, took out pills but didn’t swallow any, held a gun but changed
your mind or it was grabbed from your hand, went to the roof but didn’t
jump; or actually took pills, tried to shoot yourself, cut yourself, tried to hang
yourself, etc.

If YES, ask: Was this within the past three months?

Low Risk

Moderate Risk

High Risk

13
J. SUMBER KOPING
Menurut penelitian Siti (2013), pelaksanaan manajemen kasus spesialis pada klien
resiko bunuh diri didapatkan empat sumber kuping :
a. Kemampuan personal (kemampuan penyelesaian masalah : kognitif, afektif, psiko
motor).
b. Dukungan sosial, semakin rendah dukungan sosial yang diterima oleh keluarga
menyebabkan peningkatan tingkatan bunuh diri. Hal ini dinyatakan bahwa dukungan
sosial merupakan perasaan caring, penghargaan atau membantu seseorang menerima
orang lain yang berasal dari keyakinan berbeda. Seseorang dengan dukungan sosial
akan memberikan cinta, penghargaan dan menjadi bagian jaringan sosial. Terdapat
lima dukungan sosial :
1) Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada kepentingan
orang lain.
2) Esteem merupakan ekspresi positive thinking, mendorong atau setuju pendapat orang
lain
3) Dukungan instrumental adalah menyediakan pelayanan langsung yang berkaitan
dengan kesehatan jiwa
4) Dukungan informasi adalah memberikan nasehat, petunjuk dan umpan balik
bagaimana seseorang harus berprilaku
5) Dukungan network adalah dukungan kelompok untuk berbagi pengalaman
c. Asset material, menurut Stuart (2011), bahwa secara umum sumber koping material
asset sering dihubungkan dengan ketersediaan financial dan asuransi
d. Keyakinan positif adalah keyakinan diri yang menimbulkan motivasi dalam
menyelesaikan segala stressor yang dihadapi.
(Nurjanah, 2013)
K. SUMBER KOPING
Mekanisme koping dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Mekanisme konstruktif
terjadi ketika kecemasan diperlakukan sebagai sinyal peringatan dan individu menerima
sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah. Mekanisme koping destruktif
menghindari kecemasan tanpa menyelesaikan konflik.

Menurut Stuart 2006, mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku
destruktif diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi dan
regresi.

14
a. Penyangkalan adalah melindungi diri terhadap kenyataan yang tak menyenangkan
dengan menolak menghadapi hal itu, yang sering dilakukan dengan cara melarikan diri
seperti menjadi “sakit” atau kesibukan lain. Tidak berani melihat dan mengakui
kenyataan yang menakutkan
b. Rasionalisasi adalah berusaha membuktikan bahwa perbuatannya (yang sebenarnya
tidak baik) rasional adanya, sehingga dapat disetujui dan diterima oleh diri sendiri dan
masyarakat
c. Intelektualisasi
d. Regresi adalah mundur ke tingkat perkembangan yang lebih rendah, dengan respons
yang kurang matang dan biasanya dengan aspirasi yang kurang.

(Stuart 2006 ; Annisa, 2015)

L. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN


a. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan terapi
farmakologi. Menurut Videbeck (2008), obat-obatan tersebut sering dipilih karena tidak
berisisko letal akibat overdosis. Obat-obatan yang sering digunakan pada klien risiko
bunuh diri adalah SSRI (Selective Serotonine Reuptake Inhibitor).
1) Fluoksetin (20 mg/hari peroral)
2) Venlafaksin (75-225 mg/hari peroral)
3) Nefazodon (300-600 mg/hari peroral)
4) Bupropion (200-300 mg/hari peroral)
Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi dengan system neurotransmitter
monoamine di otak khususnya norepinephrine dan serotonin. Kedua neurotransmitter ini
dilepas diseluruh otak dan membantu mengatur keinginan, kewaspadaan, perhatian,
mood, proses sensori dan nafsu makan.
b. Penatalaksanaan Keperawatan Klien dengan Perilaku Bunuh Diri
Menurut Stuart dan Sundeen (Keliat, 2009), mengidentifikasi intervensi utama pada
klien untuk bunuh diri, yaitu:
1) Melindungi
Merupakan intervensi yang paling penting untuk mencegah klien melukai
dirinya. Intervensi yang dapat dilakukan adalah tempatkan klien ditempat yang
aman, bukan diisolasi dan perlu dilakukan pengawasan, temani klien terus menerus

15
sampai klien dapat dipindahkan ketempat yang aman dan jauhkan klien dari semua
benda yang berbahaya.
2) Meningkatkan harga diri
Klien yang ingin bunuh diri mempunyai harga diri yang rendah. Bantu klien
mengekspresikan perasaan positif dan negative. Berikan pujian pada hal yang
positif.
3) Menguatkan koping yang konstruktif/sehat
Perawat perlu mengkaji koping yang sering dipakai klien. Berikan pujian
penguatan untuk koping yang konstruktif. Untuk koping yang destruktif perlu
dimodifikasi atau dipelajari koping baru.
4) Menggali perasaan
Perawat membantu klien mengenal perasaannya. Bersama mencari factor
predisposisis dan presipitasi yang mempengaruhi klien.
5) Menggerakkan dukungan social
Untuk itu perawat mempunyai peran menggerakkan system social klien, yaitu
keluarga, teman terdekat atau lembaga pelayanan dimasyarakat agar dapat
mengontrol perilaku klien.
c. Penatalaksanaan klien dengan risiko bunuh diri
1) Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu dengan
meminta bantuan dari keluarga atau teman.
2) Meningkatkan harga diri klien, dengan cara:
a) Memberi kesempatan klien mengungkapkan perasaannya
b) Berikan pujian bila klien dapat mengatakan perasaan yang positif
c) Meyakinkan klien bahwa dirinya penting
d) Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh klien
e) Merencanakan aktivitas yang dapat klien lakukan
3) Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
a) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalahnya
b) Mendiskusikan dengan klien efektivitas masing-masing cara penyelesaian
masalah
c) Mendiskusikan dengan klien cara menyelesaikan masalah yang lebih baik

(Videbeck, Sheila L, 2008)

16
M. MITOS TENTANG BUNUH DIRI
1. Mitos : Ancaman bunuh diri hanya cara individu untuk menarik perhatian dan
tidakperlu dianggap serius.
Fakta : Semua perilaku bunuh diri harus dianggap serius
2. Mitos : Bunuh diri tidak memberi tanda
Fakta : Delapan dari sepuluh individu memberi tanda secara verbal ataupun perilaku
sebelum melakukan percobaan bunuh diri
3. Mitos : Berbahaya membicarakan pikiran bunuh diri pada pasien
Fakta : Hal yang paling penting dalam perencanaan keperawatan adalah pengkajian
yang akurat tentang rencana bunuh diri pasien.
4. Mitos : Kecendrungan bunuh diri adalah keturunan
Fakta : Tidak ada data dan riset yang menyokong tentang pendapat ini karena pola
perilaku bunuh diri bersifat individual
(Rizky Fitryasari PK, 2015).

N. POHON MASALAH KEPERAWATAN

Bunuh Diri

Keputusasaan

HDRK

O. ASUHAN KEPERAWATAN
DIAGNOSIS OUTCOME INTERVENSI

Risiko Bunuh Diri Setelah dilakukan intervensi Manajemen Mood


3 x 24 jam, kontrol diri Observasi
pasien meningkat dengan a. Identifikasi mood
Kriteria Hasil : b. Identifikasi risiko
a. Verbalisasi ancaman keselamatan diri atau
kepada orang lain menurun orang lain

17
b. Verbalisasi umpatan c. Monitor fungsi kognitif
menurun d. Monitor aktivitas dan
c. Perilaku menyerang tingkat stimulasi
menurun lingkungan
d. Perilaku melukai diri Terapeutik
sendiri / orang lain menurun a. Fasilitasi pengisian
e. Perilaku merusak kuesioner self-report
lingkungan sekitar menurun b. Berikan kesempatan untuk
f. Perilaku agresif/amuk menyampaikan perasaan
menurun dengan cara yang tepat
g. Suara keras menurun Edukasi
h. Bicara ketus menurun a. Jelaskan tentang gangguan
mood dan penanganannya
b. Anjurkan berperan aktif
dalam pengobatan
rehabilitasi
c. Anjurkan rawat inap sesuai
indikasi
d. Ajarkan mengenali pemicu
gangguan mood
e. Ajarkan memonitor mood
secara mandiri
f. Ajarkan keterampilan
koping dan penyelesaian
masalah baru

Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian obat
b. Rujuk untuk psikoterapi

Pencegahan Bunuh Diri


Observasi

18
a. Identifikasi gejala risiko
bunuh diri
b. Identifikasi keinginan dan
pikiran risiko bunuh diri
c. Monitor lingkungan bebas
bahaya secara rutin
d. Monitor adanya perubahan
mood atau perilaku
Terapeutik
a. Libatkan dalam perencanaan
perawatan mandiri
b. Libatkan keluarga dalam
perencanaan perawatan
c. Lakukan pendekatan
langsung dan tidak
menghakimi saat membahas
bunuh diri
d. Berikan lingkungan dan
pengamanan yang ketat dan
mudah dipantau
e. Tingkatkan pengawasan
pada kondisi tertentu
f. Lakukan intervensi
perlindungan
g. Hindari diskusi berulang
tentang bunuh diri
sebelumnya, diskusi
berorientasi pada masa
sekarang dan masa depan
h. Diskusikan rencana
menghadapi ide bunuh diri
di masa depan
i. Pastikan obat ditelan
Edukasi

19
a. Anjurkan mendiskusikan
perasaan yang dialami
kepada orang lain
b. Anjurkan menggunakan
sumber pendukung
c. Jelaskan tindakan
pencegahan bunuh diri
kepada keluarga dekat atau
orang terdekat
d. Informasikan sumber daya
masyarakat dan program
yang tersedia
e. Latih pencegahan risiko
bunuh diri
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian
antiansietas, atau
antipsikotik
b. Kolaborasi tindakan
keselamatan kepada PPA
Keputusasaan Setelah dilakukan intervensi Dukungan Emosional
3 x 24 jam, harapan pasien Observasi
meningkat dengan Kriteria a. Identifikasi fungsi marah,
Hasil : frustasi, dan amuk bagi
a. Keterlibatan dalam pasien
aktivitas perawatan b. Identifikasi hal yang telah
meningkat memicu emosi
b. Verbalisasi Terapeutik
keputusasaan menurun a. Fasilitasi mengungkapkan
c. Perilaku pasif menurun perasaan emas, marah,
atau sedih

20
b. Buat pernyataan suportif
atau empati selama fase
berduka
c. Lakukan sentuhan untuk
memberi dukungan
d. Tetap bersama pasien dan
pastikan keamanan selama
ansietas
e. Kurangi tuntutan berpikir
saat sakit atau lelah
Edukasi
a. Jelaskan konsekuensi tidak
menghadapi rasa bersalah
dan malu
b. Anjurkan mengungkapkan
perasaan yang dialami
c. Anjurkan mengungkapkan
pengalaman emosional
sebelumnya dan pola
respon yang biasa
digunakan
d. Ajarkan penggunaan
mekanisme pertahanan
yang tepat
Kolaborasi
a. Rujuk untuk konseling jika
perlu
HDRK (Harga Diri Rendah Setelah dilakukan intervensi Manajemen Perilaku
Kronis) 3 x 24 jam, harga diri Observasi
pasien membaik dengan a. Identifikasi harapan untuk
Kriteria Hasil : mengendalikan perilaku

a. Penilaian diri positif Terapeutik

meningkat

21
b. Perasaan memiliki a. Diskusikan
kelebihan atau tanggungjawab terhadap
kemampuan positif perilaku
meningkat b. Jadwalkan kegiatan
c. Penerimaan penilaian terstruktur
positif terhadap diri c. Ciptakan dan pertahankan
sendiri meningkat lingkungan dan kegiatan
d. Minat mencoba hal baru perawatan konsisten
meningkat setiap dinas
e. Berjalan menampakkan d. Tingkatkan aktivitas fisik
wajah meningkat sesuai kemampuan
f. Postur tubuh e. Batasi jumlah pengunjung
menampakkan wajah f. Bicara dengan nada rendah
meningkat dan tenang
g. Perasaan malu menurun g. Lakukan kegiatan
h. Perasaan bersalah pengalihan terhadap
menurun sumber agitasi
i. Perasaan tidak mampu h. Cegah perilaku pasif dan
melakukan apapun agresif
menurun i. Beri penguatan positif
j. Meremehkan terhadap keberhasilan
kemampuan mengatasi mengendalikan perilaku
masalah menurun j. Lakukan pengekangan
fisik sesuai indikasi
k. Hindari bersikap
menyudutkan dan
menghentikan
pembicaraan
l. Hindari sikap mengancam
dan berdebat
m. Hindari berdebat atau
menawar batas perilaku
yang telah ditetapkan

22
Edukasi
a. Informasikan keluarga bahwa
keluarga sebagai dasar
pembentukkan kognitif

23
DAFTAR PUSTAKA

Department of Health and Human Services, Substance Abuse and Mental Health Services
Administration. (2009). SAFE-T (HHS Publication No. [SMA] 09-4432). Retrieved
from http://store.samhsa.gov/shin/content//SMA09-4432/SMA09-4432.pdf

Fitria, Nisa. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diganosis Keperawatan Jiwa
Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Gray, B. P., & Dihigo, S. K. (2015). Suicide Risk Assessment in High-Risk Adolescents. The
Nurse Practicioner, 40(9).

Heise, B., York, A. and Thatcher, B. (2016) ‘Child Suicide Screening Methods : Are We
Asking the Right Questions?‟, The Journal of Nurse Practitioners, 12(6), pp. 410–417.

Horowitz, L. M., Bridge, J. A., Teach, S. J., Ballard, E., Klima, J., Rosenstein, D. L., ... & Pao,
M. (2012). Ask Suicide-Screening Questions (ASQ): a brief instrument for the
pediatric emergency department. Archives of pediatrics & adolescent medicine,
166(12), 1170-1176. Retrieved
from https://jamanetwork.com/journals/jamapediatrics/fullarticle/1363508

Kartono, kartini. 2011. Patologi Sosial. Jakarta : Rajawali pers

Keliat, Budi Anna, Dkk. 2010. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Edi. Jakarta: EGC.

Research Foundation for Mental Hygiene, Columbia Lighthouse Project. (2008). Columbia
suicide severity rating scale. Retrieved from http://cssrs.columbia.edu/

Rizky Fitryasari PK. 2015. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika

Santrock, J.W. 2014. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Salemba Humanika

Stuart dan Sundeen. 2013. Keperawatan Jiwa Edisi 6. Jakarta: EGC

Stuart.Gail.W .2016. Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC

Supyanti, W & Wahyuni, A. (2012). Suicide Attempts Prevention in Children & Aolescent
With Depresive Disorders. E-Jurnal Medika Udayana, 1(1), 1-10.

24
The Mental Health Recovery Institute. (2017). The 13 Suicide Warning Signs: A Guide for
Managers. Australai: The Mental Health Recovery Institute. Retrieved from
www.mhri.com.au

Thonneau, Patrick, et.al. 2011. Ectopic pregnancy in Conakry. Guinea : Publisher.

Tim pokja SDKI DPP PPNI. 2019. Standar Diagnosis keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP
PPNI

Tim pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Standar Intervensi keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP
PPNI

Tim pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar luaran keperawatan Indonesia. Jakarta : DPP
PPNI

Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Yusuf, Ahmad Dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.

25

Anda mungkin juga menyukai