Anda di halaman 1dari 3

PERTEMUAN I

IBADAH DALAM ISLAM

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Indikator


Santri menjalankan ibadah 4. Santri senantiasa 4.1. Menjelaskan
kepada Allah dengan beribadah kepada makna dan tujuan
tekun Allah, yang wajib ibadah dalam Islam
maupun sunnah 4.2. Menjelaskan
macam-macam ibadah
yang wajib dan sunnah
4.3. Menjelaskan
syarat-syarat
diterimanya ibadah

1. TUJUAN
 Menjelaskan makna dan tujuan ibadah dalam Islam
 Menjelaskan macam-macam ibadah
 Menjelaskan syarat-syarat diterimanya ibadah

2. METODE PENDEKATAN
 Ceramah dan diskusi

3. RINCIAN BAHASAN
a. Makna ibadah
Secara bahasa, ibadah berasal dari ‘abada-ya’budu-‘ibadatan-‘ubudiyyatan,
maknanya daana (tunduk, patuh), khadha’a (tunduk, merendahkan diri), dzalla
(hina, menurut). Jadi, ketika dikatakan “seseorang beribadah kepada Allah”,
artinya: dia tunduk, patuh, merendahkan diri, merasa hina, dan menurut kepada-
Nya. Dalam ibadah pasti ada unsur menghormati dan mengagungkan yang
diibadahi.
Adapun secara istilah, ada banyak definisi yang dikemukakan para ulama’, antara
lain:
1. Ibadah adalah ketundukan kepada Allah semata, dalam segala urusan
duniawi maupun ukhrawi.
2. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui
lisan para rasul-Nya.
3. Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah yaitu tingkatan tunduk yang
paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
4. Ibadah adalah istilah yang digunakan untuk menyebut segala perkara yang
dicintai dan diridhai Allah, baik berupa perbuatan maupun perkataan, yang
bersifat lahiriah maupun batiniah. – Dan, inilah definisi yang paling lengkap
dan tepat.

b. Tujuan ibadah
Tujuan ibadah adalah merealisasikan kehendak Allah dalam penciptaan
makhluk-Nya. Sebab, Allah menciptakan jin dan manusia agar mereka tunduk
beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam Qs. adz-Dzariyat: 56-58.

Artinya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku. * Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan
Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. * Sesungguhnya
Allah Dialah Maha Pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”

c. Macam-macam ibadah
Ditinjau dari segi sifatnya, maka ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan
dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja' (mengharap), mahabbah (cinta),
tawakkal, raghbah (senang) dan rahbah (takut), cinta kepada Allah dan Rasul-
Nya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepada-Nya, ikhlas
kepada-Nya, sabar terhadap hukum-Nya, ridha dengan qadha'-Nya, mengharap
nikmat-Nya dan takut dari siksa-Nya, adalah contoh-contoh ibadah qalbiyah
(yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah
ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-
macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan
qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah.
Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bisa bernilai ibadah jika diniatkan
sebagai bekal untuk taat kepada-Nya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli,
bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika
disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai ibadah yang berhak
mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada syi'ar-
syi'ar yang biasa dikenal.
Bisa jadi, ada amal-amal yang secara lahiriah merupakan amal duniawi, namun
karena niat yang benar ia menjadi amal ukhrawi. Sebaliknya, banyak amal yang
secara lahiriah adalah amal ukhrawi, namun karena niat yang salah menjadi amal
duniawi.
Imam ‘Abdullah bin al-Mubarak berkata, "Sangat boleh jadi amal yang kecil
dibuat besar oleh niatnya, dan sangat boleh jadi pula amal yang besar dibuat
kecil oleh niatnya." (Riwayat Ibnu Abi Dunya, dalam al-Ikhlash wan Niyat)
Ditinjau dari segi hukum, maka ibadah itu ada yang dikategorikan fardhu (wajib) dan
nafilah (sukarela/sunnah). Contoh ibadah fardhu adalah shalat lima waktu, puasa
Ramadhan, berhaji bagi yang mampu, dan membayar zakat ketika sudah mencapai
nishab. Contoh ibadah nafilah adalah shalat sunnah rawatib (qabliyah dan ba’diyah),
shalat Dhuha, shalat lail, puasa Senin-Kamis, puasa Ayyamul Biidh, sedekah, dll.

d. Syarat diterimanya ibadah


Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar
kecuali dengan dua syarat, yaitu:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasul (ittiba’).
Ibnu 'Ajlan berkata, "Amal itu tidak akan menjadi baik kecuali dengan tiga hal: taqwa
karena Allah, niat yang baik, dan ketepatan." Yakni, ketepatan dalam mengikuti jalan
yang disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu, ibadah tidak mungkin dilaksanakan dengan benar kecuali dilandasi
ilmu. Seorang muslim harus tahu apa saja yang bisa merusak keikhlasan ibadahnya,
dan juga bagaimana cara melakukannya dengan benar seperti yang diajarkan Allah
dan dicontohkan Rasulullah. Ibadah tidak bisa direkayasa dan dibuat-buat sendiri.
Tindakan membuat-buat sendiri dalam masalah ini disebut dengan bid’ah, dan ia
sangat dilarang.
Selain itu, ibadah harus dilaksanakan dengan berlandaskan 3 pilar utama, yaitu: hubb
(cinta), khauf (takut) dan raja' (harapan). Rasa cinta harus dibarengi dengan sikap
rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja'. Seorang muslim
beribadah karena sangat mencintai Allah, merasakan hina dan rendah di hadapan-
Nya, dan sangat berharap serta butuh kepada-Nya. Dalam setiap ibadah harus
terkumpul unsur-unsur ini.

4. REFERENSI
 Mawsu’ah Fiqhil Qulub, Syekh Muhammad bin ‘Abdullah at-Tuwaijiry, Al-
Maktabah Al-Syamilah.
 At-Ta’rifat, Syarif ‘Ali Al-Jurjani, Darul Kitab al-‘Araby, Beirut.
 Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Wizarat al-Awqaf wa asy-Syu’un al-
Islamiyah al-Kuwait.
 Al-Ikhlash wan Niyyah, Al-Hafizh Ibnu Abid Dunya al-Baghdadi, Al-Maktabah Al-
Syamilah.
 Kitabut Tauhid lish-Shoffil Awwal al-‘Aly, Syekh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al
Fauzan, Darul Haq, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai