Anda di halaman 1dari 4

Saat aku membuka mataku, wajah Hermann Fegelein-lah yang menyambut.

Tidak ada siapa-


siapa lagi disini.

Chairman I itu lantas bereaksi ketika menyadari aku sudah sadarkan diri.

Aku hanya diam. Kepalaku yang pening kupaksakan untuk mengingat apa yang terjadi sebelum
semua menggelap. Aku mulai mendapatkannya satu persatu, bahkan sensasi syoknya juga
melipir.

Usai puzzle itu berhasil kususun, yang kudapat adalah reka adegan saat kulihat Douglas
terbaring dalam keadaan sekarat akibat diterjang timah panas oleh keparat busuk itu. Akan
tetapi, tangan tak terlihat seolah menamparku dengan sangat keras.

Aku menoleh ke arah Fegelein. "Dimana Doug?"

Tidak seperti biasa laki-laki ini akan langsung melontarkan kejujurannya, ia malah terdiam.
Seragam kebesarannya itu memengaruhi karakternya, ternyata.

Aku bertanya satu kali dan sama saja responnya. Fegelein berhasil membuatku naik pitam. Rasa
tidak nyaman dan firasatku menambah cepat dorongan ingin berteriak. Karena aku tidak mau
menunggu lebih lama, segera aku turun dari tempat tidur. Fegelein menahanku, tentu. Tapi
kutepis langsung dan berlari secepat mungkin. Aku harus menemukannya.

Doug, dimana kau?

Aku tidak tau dimana ia, namun aku merasa ada yang menuntunku melewati lorong-lorong.

Mataku menangkap sekilas sosok perempuan tinggi berseragam di salah satu ruangan dengan
pintu terbuka, yang nyaris aku lewatkan. Everett.

Ia memegang tangan seseorang—dan saat kulihat lagi, itu Doug. Aku tidak pikir panjang dan
mendekat.

Suamiku itu terbaring dengan luka yang cukup parah, walau sudah diperban, darahnya masih
merembes dan terlihat jelas maupun samar di beberapa titik. Aku mundur sejenak.
Tak kusangka pertemuan kami sangat mengenaskan. Dia memang pulang. Tapi, bukan dari
tugasnya yang terpaksa selesai, melainkan pertarungan.

Aku merasa air mataku sudah berlinang tanpa izin dan jatuh menetes di kakiku. Aku tak pernah
mengharapkan hal ini. Tidak sama sekali. Yang kuinginkan adalah ia kembali... utuh, tanpa luka
dan sehat.

Ketika aku beringsut jatuh karena tidak kuat, kudengar Everett mengatakan sesuatu.

"Sayangnya, menangis tidak membantu."

Wanita ini benar-benar tidak bisa membaca suasana. Aku takkan memaklumi posisinya sebagai
seorang Nightmare.

"Apa yang kau lakukan, Everett?" tanyaku, mencoba menahan getar dalam suaraku.

"Oh, si nona manis berusaha tegar. Lucu sekali," Mata kosongnya melirikku sesaat.
"Menyingkirlah, cengeng. Kau seperti serangga pengganggu,"

Aku kembali berdiri meski lututku kebas. Aku menatap tajam wanita itu. "Aku tau kau baik,
Everett. Sayang sekali, kebaikanmu itu tertutup oleh busuk yang selalu menempel padamu.
Menyedihkan."

Everett tak melirik lagi. "Sayangnya, aku tidak mempedulikan kata-katamu. Coba lagi besok."

Saat aku hendak maju, Fegelein menahan tanganku. Aku melototinya, namun laki-laki itu malah
menggeleng. Aku mendengus.

Aku melihat tangan wanita ini bertaut dengan Doug. "Apa yang kau lakukan—kenapa kau
memegang tangannya?"

"Kenapa, cemburu? Aww, menjijikkan."

"Jawab aku—"
Everett kemudian memandangku seolah aku ini tikus got yang lewat saat acara hidangan. "Aku
mengawasi tingkat kematiannya, tolol. Kalau kau ingin suamimu mati, katakan saja, dan poof!
Ibu peri pasti akan mengabulkan keinginanmu—"

Aku menarik kerah seragamnya. "Tutup mulut hinamu itu dan lakukan apa yang harus kau
lakukan." Lalu, melepasnya kasar.

"Very well."

Setelah keheningan sesaat aku tau wanita ini akan menyemburkan bisa lagi. "Suamimu juga
akan hina, Tendean. Ia ditolong olehku, yang kau cap hina ini—"

"Everett. Ssh!" Fegelein memotong ucapan Everett. Lalu, dia beralih padaku. "Tidak apa-apa,
Frey, Doug akan baik-baik saja. Ia pasti bertahan!"

"Sekilas info, kau juga tidak membantu, Hermann," ucapnya datar. "Kalian berdua lebih cocok
berada di perlombaan kicau burung daripada disini. Berisik sekali," Jelas sekali nada ejekannya.
"dan ya, kesempatan Doug akan tetap hidup ada dibawah 50, terimakasih."

Tanganku sangat gatal ingin menampar wanita jahanam ini. Tetapi, logikaku menyuruhku untuk
tidak melakukannya. Doug ada di prioritas teratas, aku tidak mau Everett melajukan tingkat
kematiannya.

Setelah keheningan dan chorus alat medis yang seolah bernyanyi, Everett bersuara.

"Jadi? Apa kau ingin mengikhlaskan suamimu untuk—"

"TIDAK SAMA SEKALI!" aku meninggikan suaraku. Mataku kembali menjadi air terjun. Aku
menggigit bibir bawahku. Sepertinya ia ingin aku mengemis di hadapannya. "... Aku mohon
dengan teramat sangat, Everett. Selamatkan Doug..."

"Daritadi aku mencoba, idiot! Kau pikir aku sedang apa?" balasnya, mendelik. "Yah, walau
begitu, kemungkinan besar ia akan mati," ia memutar mata. "Kalau kau ingin menyusul,
silahkan. Kematianmu tidak berdampak apapun. Malahan aku senang, satu manusia lemah
akhirnya menyerah."
"Everett, shush!" Fegelein memicing sebelum berbicara padaku. "Jangan dengarkan dia, Frey."

"I'm listening." jawabku, pelan. Pita suaraku sudah terasa sakit.

"Everett, ini bukan saat yang tepat untuk jadi bajingan!" Fegelein berkata lagi.

"Kau tau, menyenangkan sekali melihat orang lemah seperti ini menderita. Aaah, hiburan di
sela-sela aroma kematian," Everett menyeringai sedikit.

Aku ingin sekali berteriak, namun, suaraku sudah serak. Tenggorokanku sakit sekali. Mataku
juga sudah bengkak. Kepalaku mulai berputar perlahan. Walau aku berhasil menguasai diri,
kakiku tidak mau diajak kerja sama lagi. Aku merosot dalam keadaan lemas. Fegelein mencoba
membantuku.

"... Kumohon, bawa ia kembali padaku...”

Everett mungkin melihatku dengan pandangan jijik saat ini. Namun, aku bisa mendengar ia
bergumam sesuatu.

"Bangunlah, Doug. Freya menunggumu pulang."

...

Anda mungkin juga menyukai