Anda di halaman 1dari 4

Leidy Cuntoro / D12200169 / Kelas E1

Problematika Hubungan Orang Tionghoa dan Pribumi di Kota Makassar Pada Saat
Kerusuhan Mei 1998

Pola umum yang seringkali muncul dalam imigrasi penduduk China ke beberapa
wilayah di belahan dunia antara lain melalui empat pola. Pertama, Huashang atau
melalui jalur perdagangan. Hal ini digambarkan dengan ekspansi seorang pedagang ke
negara lain yang kemudian mendirikan bisnis di negara terakhir yang dikunjungi dan
memilih untuk menetap setelah menghasilkan generasi selanjutnya. Pola selanjutnya
yakni Huagong atau penyebaran budak China yang disebar pada masa tahun 1920-an
dengan mendorong China untuk bermigrasi di negara seperti Amerika Utara dan
Australia untuk berkontribusi dalam pembangunan rel kereta api dan penggalian emas.
Pola ketiga yakni Huaqiao atau para pendatang yang dideskripsikan sebagai penduduk
China yang memiliki pendidikan yang tinggi seperti fenomena pendatang China di Asia
Tenggara yang didominasi oleh guru untuk mengajarkan para imigran China di tahun
1920-1950an. Pola keempat disebut sebagai Huayi atau melalui keturunan China yang
menjadi fenomena pada tahun 1950-an satu negara asing yang bermigrasi ke atau
bermigrasi ke negara asing lainnya (Jr & Wong, 2016).

Salah satu negara yang kemudian menjadi estimasi penduduk China yakni
Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di wilayah Asia Tenggara
yang terdiri dari sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mendukung.
Penduduk China kemudian menyebar ke seluruh wilayah kepulauan dengan dominasi
penduduk China yang tinggi di Pulau Jawa yang terkenal dengan tingginya urbanisasi dan
merupakan wilayah dengan tingkat penduduk tertinggi di Indonesia. Selain Pulau Jawa,
pulau-pulau lain pun didatangi oleh penduduk China yakni, Pulau Sumatera, Kalimantan,
dan Sulawesi. Penduduk China yang tinggal di Indonesia ini kemudian dikenal dengan
sebutan orang Tionghoa.

Salah satu wilayah di Pulau Sulawesi yang memiliki peranakan Tionghoa terbesar
berada di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Orang Tionghoa telah melakukan migrasi ke
Kota Makassar di masa pemerintahan Kerajaan Gowa-Tallo pada abad ke-19. Generasi
mereka secara turun-temurun melanjutkan kehidupan di Kota Makassar hingga yang
tentunya membangun relasi yang baik bersama penduduk pribumi di Kota Makassar
yang kemudian menghadapi permasalahan pasca kemerdekaan dimana orang Tionghoa
dihadapkan pada kebijakan yang memarjinalisasikan keberadaan ras mereka melalui
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967 di masa pemerintahan
Presiden Soeharto. Kebijakan tersebut tentunya berdampak langsung kepada mereka
dengan menerima perlakuan diskriminatif seperti mengeliminasi secara sistematis
identitas diri orang-orang Tionghoa terhadap semasa keberlangsungan pemerintahan
orde baru hingga pada akhirnya kerusuhan Mei 1998 menjadi titik balik problematika
hubungan antara penduduk Tionghoa dan penduduk Pribumi di Makassar.

Kerusuhan Mei 1998 terjadi di Makassar sebagai proyeksi dari kerusuhan yang
terjadi di Jakarta dengan adanya protes aksi massa terkait tidak becusnya kinerja
Presiden Soeharto dalam mengatasi krisis ekonomi di Indonesia terlihat dari kurs Rupiah
terhadap Dollar yang semakin tinggi (Noviyanti, Puji, & Hartanto, 2019). Kerusuhan ini
terjadi sebagai bentuk kecemasan masyarakat atas rentetan pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh rezim Orde Baru selama 30 tahun masa kepemimpinannya. Penyebab
lainnya adalah beredarnya tuduhan bahwa etnis Tionghoa adalah penyebab krisis
moneter. Tuduhan tersebut didasarkan pada informasi palsu bahwa etnis Tionghoa
melarikan uang rakyat ke luar negeri dan sengaja menimbun sembako. Terlebih pada
saat itu terlihat bahwa perekonomian etnis Tionghoa yang stabil, serta dinilai lebih
sukses, semakin memperkuat kebencian orang pribumi terhadap keberadaan orang
Tionghoa.

Kebencian dan kecurigaan yang dirasakan oleh orang Pribumi terhadap orang
Tionghoa semakin tinggi. Hal ini membuat ketegangan yang ada di antara keduanya
semakin menjadi ditambah dengan beredarnya desas-desus bahwa etnis Tionghoa
merupakan bagian dari rezim Soekarno yang menganut paham komunis, dimana hal ini
diketahui bertentangan dengan paham yang dianut masyarakat mayoritas. Sentimen
tersebut semakin memposisikan etnis Tionghoa sebagai dislike minority, yaitu kaum
minoritas yang tidak disukai. Dari serangkaian informasi yang beredar, akhirnya para
massa pun memulai aksinya. Wujud perilaku dari kelompok aksi massa ini meliputi
perusakan, penjarahan, dan pembakaran properti milik etnis Tionghoa (Assifa, 2021).
Hal ini terjadi melihat kecemburuan sosial yang dialami oleh pribumi Kota Makassar
terhadap etnis Tionghoa (Laily, 2016).

Kecemburuan sosial ini terjadi akibat penduduk Tionghoa yang cenderung


memposisikan diri mereka sebagai ras yang eksklusif dan homogen sehingga mereka
cenderung memprivatisasi pergaulan mereka dengan penduduk pribumi Kota Makassar.
Hal ini kemudian mendorong dampak Kerusuhan Mei 1998 bagi masyarakat itu selain
terganggunya keberlangsungan kegiatan sehari-hari di Kota Makassar juga renggangnya
hubungan antara orang Tionghoa dan pribumi. Secara ekonomi, keberlangsungan
ekonomi penduduk Tionghoa banyak berpusat di Jalan Sulawesi, Jalan Irian, Jalan
Nusantara, Jalan Lembeh, Jalan Bali dan sekitarnya. Kerjasama yang dibangun antara
penduduk Tionghoa dan pribumi di Kota Makassar pun menjadi tidak teratur dan tidak
berjalan sesuai dengan sistem melihat bahwa pasca kerusuhan 1998 diskriminasi
terhadap penduduk Tionghoa masih dialami oleh mereka.

Sampai saat ini, pengaruh dari kerusuhan tersebut masih dapat dirasakan
melihat bahwa interaksi antara penduduk Tionghoa dan pribumi di Kota Makassar masih
dalam kondisi rekonsiliasi mengingat bahwa penduduk Tionghoa masih mengalami
trauma yang signifikan. Permasalahan diskriminasi tentunya masih sulit untuk
dihilangkan sehingga kemudian direfleksikan pada hadirnya jurang interaksi antara
orang Tionghoa dan Pribumi. Kerusuhan ini juga menyisakan bekas trauma yang sangat
berat bagi para korban yang masih hidup hingga saat ini, beberapa di antaranya bahkan
memilih untuk mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup untuk menanggung beban
trauma yang dirasakan. Tidak hanya itu, ada yang menjadi gila, diusir oleh keluarga,
bahkan ada yang menghilangkan diri ke luar negeri dan mengganti identitasnya. Dari apa
yang penulis gambarkan, solusi yang dapat dilakukan antar kedua belah pihak yakni
melakukan kerjasama antar umat beragama dan mengadakan sosialisasi tentang
pentingnya kehidupan bertoleransi dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Assifa, F. (2021, Mei 22). Kisah-Kisah Pilu dalam Kerusuhan Mei 1998. Retrieved from
Kompas.com:
https://www.kompas.com/tren/read/2021/05/22/100341565/kisah-kisah-pilu-
dalam-kerusuhan-mei-1998?page=all

Jr, D. L., & Wong, J. H. (2016). The Chinese Diaspora: The Current Distribution of the
overseas Chinese Population. Chinese Journal of Sociology, 348-373.

Laily, K. N. (2016). Dinamika Kehidupan Sosial-Ekonomi Etnis Tionghoa di Makassar pada


Masa Orde baru (1966-1998). Jember: Universitas Jember.

Noviyanti, Puji, R. P., & Hartanto, W. (2019). Gerakan Reformasi 1998 di Kecamatan
Kaliwater Kabupaten Jember (Pengrusakan Toko Milik Etnis Cina). Jurnal
Mukadimah , 1-5.

Andryanto, S. Dian. (2021, Mei 14). Kerusuhan Mei 1998, Sejarah Kelam Pelanggaran
HAM di Indonesia. Retrieved from Tempo.co:
https://nasional.tempo.co/read/1462239/kerusuhan-mei-1998-sejarah-kelam-
pelanggaran-ham-di-indonesia
LAMPIRAN I - CLUSTERING

LAMPIRAN II - LISTING

Anda mungkin juga menyukai